A. Kesehatan Mental dan Sejarahnya B. Terapi-terapi Medis Penggunaan Obat-obatan Electroconvulsive Therapy (ECT) Bedah Syaraf (Psychosurgery) C. Psikoterapi D. Psikoanalisis E. Terapi EksistensiallHumanistik Client-Centered Therapy D. Terapi Perilakuan Desensitisasi Sistematis Pelatihan Asertif LATIHAN SOAL A. KESEHATAN MENTAL DAN SEJARAHNYA Anggapan lama di Cina, Mesirmaupun Yahudi kuno mengenai seseorang yang mengalarn i gangguanjiwa adalah karena dikuasai oleh rohjahat, yang dapat disembuhkan dengan doa, mantera, sihir, dan penggunaan obat-obatan alami tertentu. Jika cara pengobatan ini tidak dapat menyembuhkan, maka langkah berikutnya adalah upaya agar roh jahat tersebut tidak kerasan hidup di dalam _ tubuh penderita. Cara yang dilakukan terkadang ekstrim, yaitu dengan cara mencambuk, membiarkan lapar, atau melemparinya dengan batu sampai penderita meninggal dunia (Atkinson dkk., 1993). Kemajuan pemikiran dalam upaya menyembuhkan penderita gangguan jiwa adalah ketika Hippocrates, seorang dokter Yunani Kunomenolak anggapan bahwa adanya rohj ahat. Ia berpendapat bahwa gangguan terjadi karena adanya kekacauan ketidakseimbangan cairan dalam tubuh penderita. Hippocrates dan beberapa pengikutnya (para dokterdari Yun ani dan Romawi) mengajukancarapenyembuhanyanglebihmanusiawi.Mereka lebihmementingkan lingkungan yang menyenangkan, olah raga, aturan makan yang teratur, pijat/mandi yang menyejukkan; di samping beberapa pengobatan yang kurang menyenangkan seperti: 141 mengeluarkan darah, penggunaan obat pencahar, dan pengekangan mekanis (Atkinson dkk., 1993). Perkembangan yang telah dimulai oleh Hippocrates dan kawan-kawannya tersebut sayangnya tidak diikuti dengan perkembangan lebih lanjut, sehingga pada abad per tengahan kemudian berkembang lagi adalah cerita takhayul primitif dan adanya key akin an ten tang setan. Para penderita gangguan jiwa dianggap berada dalam kelompok setan yang me miliki kekuatan gaib untuk dapat menimbulkan bencana dan kecelakaan bagi orang lain. Me reka ini lalu diperlakukan secara kejam, karena adakeyakinan bahwa dengan memukul, membua tnya lapar, dan menyiksa, setan yang merasuk di dalamnya yang akan menderita. Kekejam an ini memuncak pada abad ke-15, 16, dan 17, karena pada masa itu sedang berlangsung pe ngadilan ilmu sihir yang akhirnya menghukum mati ribuam penderita (Atkinson dkk., 1993). Lahirnya Rumah Sakit Jiwa Pada akhir abad pertengahan, banyak rumah sakit didirikan untuk menanggulangi pa ra penderita penyakit jiwa. Rumah sakit ini bukanlah merupakan pusat perawatan dan penyembuhan, melainkan merupakan semacam penjara dimana para penghuninya diranta i di dalam sel yang gelap dan kotor, serta diperlakukan secara tidak manusia wi (sepe rti binatang). Pada tahun 1792 ada kabar menggembirakan ketika Phillipe Pinel ditempatkan pada sebuah rumah sakit jiwa di Paris. Pinel membuat semacam eksperimen dengan cara m elepas rantai yang mengikat penderita. Di luar dugaan orang-orang yang skeptis, yang me nganggap Pinel gila karena keberaniannya melepas rantai "binatang" tersebut, percobaan Pi nel justru menunjUkkan hasil yang lebih baik. Ketika akhirnyadilepas dari kekangannya, lalu ditempatkan di tempat yang bersih dan bercahaya, diperlakukan dengan baik, banyak penderita yang dulunya dianggap tidak dapat disembuhkan memperlihatkan kemajuan yang pesat sehi ngga akhirnya diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakitjiwa (Atkinson dkk., 1993). Pada awal abad ke-20, dicapai kemajuan besar dalam bidang obat-obatan dan psikol ogi. Pad a tahun 1905, gangguan fisik yang dikenal sebagai general paresis terbukti m emiliki penyebab yang sifatnya fisik, yaitu infeksi sifilis yang diderita sebelum timbul nya gejala gangguan terse but. General paresis ditandai dengan adanya penurunan fungsi ment al dan fisik seseorang secara lambat, perubahan kepribadian, serta adanya delusi dan ha lusinasi. Tanpa pengobatan para penderita penyakit ini akan meninggal dalam beberapa tahun . Pada masa itu, general paresis merupakan lebih dari 10% penyebab timbulnya penyakit j iwa, namun pada saat ini hanya sedikit kasus yang dilaporkan berkat efektivitas penis ilin sebagai obat untuk menyenbuhkan sifilis (Dale dalam Atkinson dkk.' ] 993). Penemuan general paresis tersebut meyakinkan paraahli bahwa penyakit jiwa berpan gkal pada gangguan biologis. Sementara itu pada saat yang hampir bersamaan dua orang ahli yang berbeda juga telah meletakkan dasar pijakan yang penting. Sigmund Freud dan para pengikutnya meletakkan dasar pemahaman penyakit jiwa sebagai gangg{,1anyang berk aitan dengan faktorpsikologis, semen tara Ivan Pavlov telah berhasil menunjukkan bahwa binatang dapat terganggu secara emosional bila dipaksa mengambil keputusan di luar kemamp uan mereka (Atkinson dkk., 1993). 142 Kemajuan-kemajuan pengetahuan di atas agaknya tidak mempengaruhi pandangan masyarakat, bahwa rumah sakitjiwa itu adalah sesuatu yang horor dimana para peng huninya dihinggapi rasa takut. Adalah Clifford Beers, mantan penderita gangguan manik de presif sehingga pemah dirumahsakitkan selama 3 tahun. Selamaperawatannya di rumah sakit ji wa, Beers memang tidak lagi mendapat perlakuan dirantai dan disiksa, akan tetapi kar ena penderitaannya ia pemah memakai baju pengikat (straitjacket) untuk mengendalikan pemberontakannya. Kurangnya dana pada rumah sakit jiwa pada umumnya menyebabkab suatu rumah sakit jiwa menjadi penuh sesak dengan barak-barak, makanan dengan gi zi rendah, serta para pembezoek yang tidak simpatik;kesemuanya itumenyebabkan rumah sakit jiwa menjadi sesuatutempatyangjauh darimenyenangkan.Setelahsembuh, Beermenuliska n semua pengalamannya di rumah sakitjiwa tersebutdalam buku yang terkenal pada wak tu itu: A Mind That Found Itself (1908). Beers tiada henti-hentinya bekerja untuk mendid ik masyarakat tentang penyakit jiwa serta membantu mengorganisasi Komite Nasional u ntuk Kesehatan Jiwa. Pada tahun 1950, organisasi ini lalu bergabung dengan dengan dua kelompok lain untuk membentuk Asosiasi Nasional Kesehatan Jiwa. Gerakan ini temy ata berpengaruh besar pada pencegahan dan pengobatan gangguan jiwa. B. TERAPI-TERAPI MEDIS Dalam upaya untuk menyembuhkan gangguan perilaku atau abnormalitas, maka para terapsi yang berlatar belakang medis, umumnya menggunakan terapi obat-obatan, ke jutan eIektrokonvulsif, dan pembedahan saraf. Berikut ini akan dibahas ketiga bentuk t erapi medis tersebut. 1. Penggunaan Obat-obatan Terapi obat-obatan merupakan terapi yang paling efektif di antara terapi medis l ainnya, terutama dalam mengubah suasana hati (mood) dan perilaku. Obat-obatan sebagaiman a telah dibahas pada bab terdahulu dapat digolongkan menjadi: Obat Penawar, Opiate Narco tics, Stimulans, Obat Penenang, dan Halusinogen. Dari beberapajenis obat bius di atas, yang umumnya digunakan antara lain adalah Obat Penenang (Tranquilizers) yang berfungsi sebagai obat anti kecemasan dan anti psi kosis, dan beberapa dari jenis Stimulans sebagai anti depresi. Terapi obat-obatan pada mulanya ditemukan pada tahun I950-an, ketika beberapa penderita skizofrenia menunjukkan kemajuan. Mereka yang tidak tenang dan meronta -ronta tidak lagi harus dikekang denganjaket pengekang, delusidan halusinasijuga dapat dikurangi, sehingga penderita menjadi responsif dan fungsional. Barak-barak rumah sakitjiwa menjadi lebih rapi, karena penderita dapat segera dipulangkan. Beberapa tahun kemudian, penemuan obat-obatan anti psikosis dan anti depresi menimbulkan dampak serupa dan amat menguntungkan rumah sakit jiwa pada masa itu. 2. Electroconvulsive Therapy (ECT) Electroconvulsive Therapy (ECT) adalah suatu terapi berupa aliran listrik ringan yang dialirkan ke dalam otak untuk menghasilkan suatu serangan yang serupa dengan ser angan 143 epilepsi. Terapi ini kemudian dikenal juga dengan istilah terapi electroshock. E CT ini amat populer pada tahun 1940sampai 1960-an, sebelumobat-obatan anti psikosis dan anti depresi ditemukan. Pada saat ini ECT hanya digunakan pada penderita depresi berat, jika penderita tidak dapat diobati dengan terapi obat. ECT menjadi perdebatan yang kontroversial karena beberapa alasan. Pada masa awal populemya ECT, penggunaannya tidak pandang bulu untuk mengobati berbagai ganggua n perilaku seperti alkoholisme dan skizofrenia. Hasilnya pun dipertanyakan oleh be berapa kalangan. Pada saat ini ECT merupakan pengalaman yang menakutkan bagi penderita. Penderita seringkali tidak bangun untuk beberpa waktu yang lama setelah aliran l istrik dialirkan ke dalam tubuhnya, mengalami ketidaksadaran sementara, serta seringkal i juga menderita kerancuan pikiran dan kehilangan ingatan setelah itu. Adakalanya, keke jangan otot akan menyertai serangan otak yang menyebabkan terjadinya cacat fisik pada p enderita. Pada saat ini, ECT tidak begitu menyakitkandan lebih manusiawi. Pasien pada mula nya diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listr ik sangat lemah dialirkan ke otak melalui kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak dominan. Aliran listrik ringan tersebut dibutuhkan untuk menghas ilkan serangan otak, yang berfungsi terapis, dan bukan karena serangan listriknya. Pen enang otot berfungsi mencegah kekejangan otot tubuh dan kemungkinan terjadinya luka. Setela h itu penderita bangun beberapa menit dan tidak mengingat apa-apa tentang pengobatan y ang baru saja dilakukan. Kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan hampir tidak terjadi, ka rena aliran listrik hanyadiberikan pada belahan otakyangtidakdominan. Umumnyapenderita menda pat enam kali ECT dalamjangka waktu dua minggu (Atkinson dkk., 1993). 3. Bedah Syaraf (Psychosurgery) Pada bedah syaraf cara yang dilakukan adalah dengan merusak area tertentu dengan memotong serabut syaraf atau dengan penyinaran ultrasonik. Yang paling sering ad alah rusaknya serabut yang yang menghubungkanfrontallobe dengan sistem limbik atau de ngan area hipothalamus tertentu. Sistem limbik dan hipothalamus memang memainkan pera n penting di dalam emosi. Terapi ini juga merupakan prosedur yang kontroversial, karena memiliki beberapa efek yangnegatif.Bedah syarafdengancara terdahulutemyata memilikiefek penderita berpe rilaku santai dan ceria, sehingga tidak lagi bersifat agresif dan terganggu pikiran aka n bunuh diri. Akan tetapi otak mereka begitu rusaknya, sehingga tidak dapat lagi berfungsi sec ara efisien. Sementara teknik bedah syaraf modem agaknya memiliki efek terganggunya intelektu al penderita, terutamajika diberikan untuk mengobati depresi berat atau rasa sakit yang hebat. Teknik bedah syaraf inijuga belum terbukti efektifuntuk mengatasi skizofrenia da n obsesifkompulsif. c. PSIKOTERAPI Psikoterapiadalahperawatandanpenyembuhanterhadapgangguandanpenyakitjiwa dengancarayanglebihpsikologisdaripadafisiologismaupunbiologis.Istilahinimencakup 144 beberapa macam teknik yang kesemuanya itu dimaksudkan untuk membantu individu ya ng emosinya terganggu, sehingga mereka dapat mengembangkan cara yang lebih bermanfa at dalam menghadapi orang lain. Terdapat beberapaperbedaan teknik yang digunakan di dalam psikoterapi. Meski demikian, teknik-teknik dalam psikoterapi kebanyakan memiliki ciri yang sarna, yaitu adanya komunikasi antara klien (penderita) dengan terapi. Klie n didorong untuk dapat mengungkapkan rasa takut, emosi, dan pengalaman-pengalamannya yang t idak menyenangkan secara bebas tanpa ada rasa takut dan malu dicemooh oleh terapisnya . Di lain pihak, seorang terapis juga harns memiliki simpati dan empati, serta mencoba mem bantu klien mengembangkan cara efektif untuk menangani masalahnya (Atkinson dkk., 1993 ). Terdapat banyak sekali teknik atau metode psikoterapi akan tetapi beberapa tekni k yang sudah banyak digunakan adalah Psikoanalisis, Terapi EksistensialIHumanistik, dan Terapi Perilakuan. Terapi Med-isf Obat-obatan ECT (Electroconvulsive Therapy) Bedah Syaraf (Psychosurgery) Terapi Psikoanalisis* HumanistiklEsistensial* Perilakuan* Psiko terapi Gestalt Analisis Transaksional Rasional-Emotif Realitas Gambar IX.t. Beberapa Jenis Terapi D. PSIKOANALISIS Dasar dari terapi psikoanalisis adalah konsep dari Sigmund Freun dan beberapa pengikutnya. Tujuan dari psikoanalisis adalah menyadarkan individu dari konflik yang tidak disadari serta mekanisme pertahanan (defense mechanism) yang digunakan untuk 145 mengendalikan kecemasan. Apabila motif dan rasa takut yang tidak disadari telah diketahui, maka hal-hal tersebut dapat diatasi dengan cara yang lebih rasional dan realisti s Dalam bentuknya yang asli, terapi psikoanalisis bersifat intensif dan panjang le bar. Terapis dan klien umumnya bertemu selama 50 menit beberapa kali dalam seminggu s ampai beberapa tahun. Oleh karena itu agar dapat lebih efisien, maka pertemuan dapat d ilakukan dengan pembatasan waktu dan penjadwalan waktu yang tidak terlalu sering (Atkinso n dkk., 1993). Teknik. Teknik-teknik dalam Psikoanalisis disesuaikan untuk meningkatkan kesadar an, memperoleh pemahaman intelektual atas tingkah laku klien, serta untuk memahami m akna dari beberapa gejala. Kemajuan terapeutik diawali dari pembicaraan klien ke arah katarsis, pemahaman, hal-hal yang tidak disadari, sampai dengan tujuan pemahaman masalahma salah intelektual dan emosionaI. Untuk itu diperlukan teknik-teknik dasar psikoanalisi s, yaitu: Asosiasi Bebas, Penafsiran, Analisis Mimpi, Resistensi, dan Transferensi (Corey, 1995). Asosiasi Bebas Asosiasi Bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisis. Terapis meminta klien agarmembersihkan pikirannyadari pikiran-pikirandan renungan-renungan sehari-hari , serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang muncul dan melintas dalam pikiran. Cara yang khas adalah dengan mempersilakan klien berbaring di atas balai-balai sementara t erapis duduk di belakangnya, sehinggatidakmengalihkanperhatian klienpada saat-saat asos iasinya mengalir dengan bebas (Corey, 1995). Gambar IX.2. Cara Untuk Mencapai Teknik Asosiasi Bebas Sumber: Morgan dan King (1976) 146 Asosiasi bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitandengan situasi traumatis mas a lalu, yang kemudian dikenal dengan katarsis. Katarsis hanya menghasilkan perbedaan sem entara atas pengalaman-pengalaman menyakitkan pada klien, tetapi tidak memainkan peran utama dalam proses treatment (Corey, 1995). Penafsiran (Interpretasi) Penafsiran merupakan prosedur dasar di dalam menganalisis asosiasi bebas, mimpim impi, resistensi, dan transferensi. Caranya adalah dengan tindakan-tindakan terapis un tuk menyatakan, menerangkan, dan mengajarkan klien makna-makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi, dan hubungan terapeuti k itu sendiri. Fungsi dari penafsiran ini adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bah an-bahan baru dan mempercepat prosespengungkapanalambawahsadar secara lebih lanjut.Penafs iran yang diberikan oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalanginya alam bawah sadar pada diri klien (Corey, 1995). Analisis Mimpi Analisis mimpi adalah prosedur atau cara yang penting untuk mengungkap alam bawa h sadar dan memberikan kepada klien pemahaman atas beberapa area masalah yang tida k terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-pe rasaan yang direpres akan muncul ke permukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan "jalan istimewa menuju ketidaksadaran", karena melalui mim pi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diung kapkan. Beberapamotivasi sangattidakdapatditerimaoleh seseorang,sehinggaakhimya diungkap kan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang berbeda (Corey, 1995). Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isimanifes. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik,dan tidak disadari. Karena begitu menyaki tkan dan mengancam,makadorongan-doronganseksualdanperilakuagresiftak sadar(yangmerupakan isi laten) ditransformasikan ke dalam isi manifesyang lebihdapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana adanya. Sementara tugas terapis adalah mengun gkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifes. Di dalam proses terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasos iasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkap makna-makna yang terselubung (Corey, 1995). Resistensi Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi , klien dapat menunjukkan ketidaksediaanuntukmenghubungkanpikiran,perasaan,dan pengalama n tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar y ang digunakan oleh klien sebagaipertahanan terhadap kecemasanyang tidak bisa dibiark an, yang akan meningkatjika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut (Corey, 1995). 147 Dalam proses terapi, resistensi bukanlah sesuatu yang harus diatasi, karena meru pakan perwujudan dari pertahanan klien yang biasanya dilakukan sehari-hari. Resistensi ini dapat dilihat sebagai sarana untuk bertahan klien terhadap kecemasan, meski sebenamya menghambat kemampuannya untuk menghadapi hidup yang lebih memuaskan (Corey, 1995). Transferensi Resistensi dan transferensi merupakan dua hal inti dalam terapi psikonalisis. Tr ansferensi dalam keadaan normal adalah pemindahan emosi dari satu objek ke objek lainnya, a tau secara lebih khusus pemindahan emosi dari orangtua kepada terapis. Dalam keadaan neuros is, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang pengganti. Seperti ketika seorang kli en menjadi lekat dan jatuh cinta pada terapis sebagai pemindahan dari orangtuanya (Chaplin, 1995). Transferensi mengejawantah ketika dalam proses terapi ketika "urusan yang tidak selesai" (unfinished business) mas a lalu klien dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh menyebabkan klien mendistorsi dan bereaksi terhadap terapis sebagaimana dia bere kasi terhadap ayah/ibunya. Dalam hubungannya dengan terapis, klien mengalami kembali perasaan menolak dan membenci sebagaimana yang dulu dirasakan kepada orangtuanya . Tugas terapis adalah membangkitkan neurosis transferensi klien dengan kenetralan , objektivitas, keanoniman, dan kepasifan yang relatif. Dengan cara ini, maka diha rapkan klien dapat menghidupkan kembali masa lampaunya dalam terapi dan memungkinkan klien mampu memperoleh pemahaman atas sifat-sifat dari fiksasi-fiksasi, konflik-konfli k atau deprivasi-deprivasinya, serta mengatakan kepada klien suatu pemahaman mengenai p engaruh mas a lalu terhadap kehidupannya saat ini (Corey, 1995). E. TERAPI EKSISTENSIAUHUMANISTIK Dasardari terapiHumanistikadalahpenekanankeunikansetiapindividusertamemusatkan perhatian pada kecenderungan alami dalam pertumbuhan dan pewujudan dirinya. Dala m terapi ini para ahli tidak mencoba menafsirkan perilaku penderita, tetapi bertuj uan untuk memperlancar kajian pikiran dan perasaan seseorang dan membantunya memecahkan masalahnya sendiri. Salah satu pedekatan yang dikenal dalam terapi Humanistik in i adalah Terapi yang berpusat kepada klien atau Client-Centered Therapy. Client-Centered Therapy Client-Centered Therapy adalah terapi yang dikembangkan oleh Carl Rogers yang didasarkan kepada asumsi bahwa klien merupakan ahli yang paling baik bagi diriny a sendiri dan merupakan orang yang mampu untuk memecahkan masalahnya sendiri. Tugas terapi s adalah adalah mempermudah proses pemecahan masalah mereka sendiri. Terapis juga tidak mengajukan pertanyaan menyelidik, membuat penafsiran, atau menganjurkan serangka ian tindakan. Istilah terapis dalam pendekatan ini kemudian lebih dikenal dengan ist ilah fasilitator (Atkinson dkk., 1993). Untuk mencapai pemahaman klien terhadap permasalahan yang dihadapi, maka dalam diri terapis diperlukan beberapa persyaratan antara lain adalah: empati, rapport , dan ikhlas. 148 Empati adalah kemampuan memahami perasaan yang dapat mengungkapkan keadaan klien & kemampuan mengkomunikasikan pemahaman ini terhadap klien. Terapis berusaha aga r masalah yang dihadapi klien dipandang dari sudut klien sendiri. Rapport adalah m enerima klien dengan tulus sebagaimana adanya, termasuk pengakuan bahwa orang tersebut m emiliki kemampuan untuk terlibat secara konstruktif dengan masalahnya. Ikhlas dalam arti sifat terbuka, jujur, dan tidak berpura-pura atau bertindak di balik topeng profesinya (Atkinson dkk., 1993). Selain ketiga hal tersebut, di dalam proses konseling harus terdapa t pula adanya jaminan bahwa masalah yang diungkapkan oleh klien dapat dijamin kerahasiaannya s erta adanya kebebasan bagi klien untuk kembali lagi berkonsultasi atau tidak sarna se kali jika klien sudah dapat memahami permasalahannya sendiri. Menurut Rogers (dalam Corey, 1995), pertanyaan "SiapaSaya?" dapat menjadi penyeb ab kebanyakan seseorang datang ke terapis untuk psikoterapi. Kebanyakan dari mereka ini bertanya: Bagaimana sayadapat menemukan diri nyata saya? Bagaimana saya dapat me njadi apa yang saya inginkan? Bagaimana saya memahami apa yang saya yang ada di balik dinding saya dan menjadi diri sendiri? Oleh karena itu tujuan dari Client-Centered Thera py adalah menciptakan iklim yng kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi pribadi y ang dapat berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan tersebut terapis perlu mengusahakan agar klien dapat menghilangkan topeng yang dikenakannya dan mengarahkannya menjadi dirinya sendiri. F. TERAPI PERILAKUAN Terapi Perilakuan mencakup sejumIah metode terapi yang be~beda-bada yang kesemua nya itu didasarkan kepada teori-teori belajar. Para ahli behaviorist beranggapan bah wa perilaku maladaptif merupakan cara untuk menanggulangi stres yang sudah "terbiasa" pada d iri seseorang, sehingga beberapa teknik perilakuan yang dikembangkan dalam percobaan dapat digunakan untuk menggantikan respons maladaptif tersebut dengan respon baru yang lebih tepat. Jika terapis psikoanalis berkaitan dengan pemahaman konflik masa lalu, ma ka terapi perilakuan lebih memusatkan langsung kepada perilaku itu sendiri (Atkinson dkk., 1993). Dua aliran utama yang menjadi pijakan dalam metode-metode dan teknik-teknik pendekatan terapi yang didasarkan kepada terori belajar adalah Pengkondisian Kla sik dan Pengkondisian Operan. Pengkondisian Klasik atau pengkondisian responden dari Pav lov, padadasarnya melibatkan stimulus tak berkondisi (UCS) yang secara otomatis memba ngkitkan UCS » UCR (makanan kucing) (pengeluaran air liur kucing) CS » CR (menjalankan pembuka (pengeluaran air liur kucing) kaleng listrik) Gambar IX.3. Model Pengkondisian Klasik 149 ----- --- respons berkondisi (CR), yang sarna dengan respons tak berkondisi (VCR) apabila diasosiasikan dengan stimulus berkondisi (CS), sehingga lambat laun CS mengarahk an kemunculan CR (Corey, 1995). Pengkondisian Operan melibatkan pemberian ganjaran (reward) kepada individu atas ppemunculan tingkahlakunya (yang diharapkan) pada saat tingkah laku itu muncul. Pengkondisian operan ini dikenal dengan istilah "pengkondisian instrumental", ka rena memperlihatkan bahwa tingkah laku instrumental dapat dimunculkan oleh oleh organ isme yang aktif sebelum perkuatan (reinforcement) diberikan untuk tingkah laku terseb ut (Corey, 1995). Berdasarkan kedua aliran dalam teori belajar tersebut di atas, maka para ahli ke mudian mengembangkan beberapa teknik atau metode terapi. Beberapa tekniklmetode terapi yang didasarkan kepada teori belajar antara lain dapat dilihat dalam gambar sebagai b erikut Oesensitisasi Sistematis* Assertive Training* Modeling Terapi Peril aku an Gestalt Terapi Implosif Terapi Aversi Positive Reinforcement, dsb. Gambar IX.4. Beberapa Jenis Terapi Perilakuan Berikut ini akan dibahas dua di antara beberapa tekniklmetode terapi perilakuan, yaitu Oesensitisasi Sistematis dan Assertive Training. Desensitisasi Sistematis Oesensitisasi Sistematis adalah salah satu teknik yang digunakan untuk menghilan gkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif, serta memunculkan tingkah laku atau respons yangberlawanandengantingkahlakuyangakandihilangkantersebut.Teknik inimengarahkan agar klien dilatih untuk menampilkan suatu respons yang tidak konsisten dengan k ecemasan yang dialaminya (Corey, 1995). Wolpe (dalam Corey, 1995), seorang ahli yang pertama mengembangkan teknik desensitisasi sistematis, mengajukan argumen bahwa segenap tingkah laku neurotik adalah ungkapan dari kecemasan serta kecemasan tersebut menurutnya dapat dapat dihilang kan 150 dengan respons-respons yang secara inheren berlawanan dengan respons tersebut. D engan menggunakan pengkondisian klasik, maka kekuatan stimulus yang menyebabkan kecema san dapat dilemahkan, dan gejala kecemasan dapat dikendalikan dan dihapus melalui pe nggantian stimulus. Di dalam menerapkan teknik Desensitisasi Sistematis, dikenal dua unsur utama yan g tidak dapat dipisahkan dari teknik ini, yaitu: relaksasi dan hirarki kecemasan. Relaksasi adalah suatu prosedur pelatihan bagi individu untuk melemaskan otot -o tot (Martin dan Pear, 1992). Melalui latihan relaksasi, individu belajarmengkerutkan dan men gendurkan otot, misalnya dimulai dari otot leher, wajah, otot tubuh, terus sampai ke bawah ke pergelangan kaki sampai kaki itu sendiri. lndividu dapat belajar bagaimana rasan ya otot tersebut dalam keadaan benar-benar rileks (dibandingkan dengan dalamkeadaan tega ng) dan dapat membedakan beberapa tingkatan ketegangan (Atkinson dkk., 1993). Hirarki Kecemasan adalah sejumlah situasi atau stimulus yang membuat orang menga lami kecemasan. Keseluruhan situasi ini disusun mulai dari yang tidak membuat seseora ng merasakan kecemasan sampai dengan yang paling membuatnya ketakutan (Atkinson dkk ., 1993).Misalnya, seorang gadis yang mengalamiketakutan ketika menghadapi seekor k ecoa. Dibantu dengan terapis, ia dapat menyusun suatu hirarki dari mendengar cerita me ngenai kecoa (ringan) sampai dengan ketika ia menghadapi kecoa tersebut (berat). Prosedur Desensitisasi Sistematis. lndividu yang mengalami phobia belajar untuk rileks dan hirarki kecemasan telah disusun, maka desensitisasi dimulai. Penderita duduk dengan mata tertutup di kursi yang nyaman dengan seorang terapis menguraiakn situasi ya ng tidak membuatnya begitu mencemaskan. Jika dia dapat membayangkan dirinya berada dalam situasi tersebut tanpa adanya ketegangan otot yang meningkat, terapi akan melanj utkan hal atau situasi lain yang sudah tersusun dalam hirarki. Jika penderita mengalami ke cemasan pada saat membayangkan suatu situasi dengan tingkat tertentu, maka dia dilatih u ntuk mengkonsentrasikan pada situasi rileks, sehingga dengan melakukannya berkali-kal i kecemasan penderita akan dapat dinetralkan (Atkinson dkk., 1993). Pelatihan Asertif Beberapa orang merasa cemasdalam berbagai situasi sosialkarena tidak tahu bagaim ana bagaimana "berbicara secara terus terang" tentang apa yang meraka rasakan benar atau "mengatakan tidak" jika orang lain berusaha memanfaatkan mereka. Misalnya "ketik a seseorang mendahului anda ketika anda sedang antri membeli karcis" atau "atasan anda mengkritik anda dengan tidak benar". Dengan memberikan latihan responsyang tegas, seorang klien tidak hanya mengurang i kecemasannya akan tetapi sekaligus juga mengembangkan teknik penanggulangan yang efektif. Latihan asertif diberikan secara bertahap, dimulai dari latihan permain an peran dengan terapis sampai dengan menghadapi situasi kehidupan yang sebenarnya (Atkin son dkk., 1993). 151