Menyegarkan Motivasi Bersama Ramadhan Oleh: Okke Nurtama
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah [2]: 186)
Kiat-kiat meningkatkan motivasi setiap orang memang bisa
dilakukan dari beberapa sisi, yaitu sisi mental, emosi, fisik, dan spiritual. Tak ada satu sisi yang bisa dikatakan lebih baik daripada lainnya. Semua saling melengkapi. Saling menyempurnakan. Kebetulan sekali, setiap muslim kini mulai menapaki hari-hari awal di bulan Ramadhan, bulan paling mulia, dan—seharusnya dapat menjadi—bulan penyegar motivasi bagi setiap diri muslim. Mengapa dapat diistilahkan demikian?
Seperti diuraikan di atas, ada sisi spiritual—atau kita sebut juga
spiritual religius—yang sangat luar biasa yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal oleh setiap muslim selama Ramadhan. Ini sisi yang paling dominan sebagai peningkat motivasi selama Ramadhan. Namun sayangnya, banyak kaum muslimin yang menganggap nilai dan agenda acara Ramadhan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, atau sebagai ibadah rutin tahunan miskin makna. Tentu saja pemahaman ini patut disayangkan. Mari kita renungkan sejenak untuk memaknai dan melihat lebih dalam sisi spiritual religius bulan Ramadhan sebagai peningkat motivasi pribadi-pribadi muslim.
Keridhaan Allah swt.
Keridhaan Allah swt. memang menjadi dasar utama
diterimanya amal seorang hamba-Nya. Pembahasan ayat al-Baqarah ayat 186 di atas menyebut istilah “kedekatan” Allah swt. kepada hamba-hambanya akan berbuah menjadi keridhaan-Nya, asalkan hamba-hamba tersebut secara konsekuen beriman agar selalu berada dalam kebenaran. Penulis tidak akan melanjutkan pembahasan dari sudut aqidah, tetapi lebih kepada beberapa nilai motivasi yang dapat kita ambil sebagai ibrah (pelajaran) yang sangat berharga. Beberapa Kiat Spiritual dalam Ramadhan
• Latihlah jiwa kejujuran, kesungguhan, dan disiplin diri kita dalam
bulan Ramadhan karena Allah swt..
Bukan berarti di luar bulan Ramadhan kita tidak memunculkan
sifat-sifat mulia tersebut. Namun, seperti telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya, bahwa visi dan misi hidup setiap muslim harus sesuai dengan keinginan dan keridhaan Allah swt.. Kita tak boleh hidup dengan cara “semau gue” atau hidup “sa ena'e udhele dhewek”. Karena itu, hidup setiap muslim setelah diawali dengan tujuan hidup yang diridhai Allah swt. maka dilanjutkan dengan aktivitas yang ikhlas, mawas (menjaga jangan sampai melenceng dari tujuan semula), dan berkualitas. Inilah yang dikenal dengan istilah ihsanul-'amal (pekerjaan yang berkualitas dilihat atau tidak dilihat orang, karena yakin Allah swt. pasti melihat si pelaku pekerjaan tersebut). Termasuk pula di dalamnya nilai kejujuran, kesungguhan, kedisiplinan, serta nilai-nilai mulia lainnya. Sebagai contoh kasus: di bulan Ramadhan seorang muslim bisa saja membohongi teman-temannya bahwa dia sedang berpuasa walaupun sebenarnya dia sedang tidak berpuasa. Tak satu pun temannya yang tahu. Tetapi, apakah dia bisa membohongi Allah swt.?
Nilai kesungguhan dan kedisiplinan juga makin terasah dengan
memaksa diri “berjuang” menepati time schedule bangun sahur, starting time aktivitas shaum (berpuasa), hingga tiba di finishing time berbuka puasa dalam satu hari di bulan Ramadhan. Dengan frekuensi sebanyak 29 atau 30 hari seharusnya cukup untuk melatih setiap muslim merespon keterlibatan dirinya dalam training center “kesungguhan dan kedisiplinan” tahunan. Ini baru seputar pelaksanaan puasanya saja.
• Latihlah jiwa kebersamaan dan persaudaraan kita dalam agenda
kegiatan yang telah disusun, baik secara individu maupun secara kolektif.
Tahun-tahun belakangan ini sudah semakin marak dan semakin
kreatif mata acara yang disusun sebagai pengisi bulan Ramadhan. Sebut saja acara buka puasa bersama, shalat tarawih dan witir berjamaah, pesantren kilat—yang mudah-mudahan materi-materi yang diterima tidak kilat pula hilangnya—, tadarus Al-Qur`an, kegiatan penerimaan & penyaluran zakat fitrah, hingga ke acara shalat Idul Fitri di lapangan dan masjid, serta halal bihalal pasca Idul Fitri. Mungkin masih ada yang belum disebut, namun seberapa jauh kita terlibat sebagai panitia/pengurus kegiatan-kegiatan tersebut? Kalau belum mampu jadi panitia, seberapa aktif diri kita sebagai peserta kegiatan tersebut? Adakah rencana peningkatan secara signifikan kuantitas maupun kualitas kegiatan (baca: ibadah berlipah pahala) kita Ramadhan tahun ini? Selain itu, yang tak kalah penting adalah jiwa kebersamaan dan persaudaraan sesama muslim harus lebih ditumbuhsuburkan, agar kita bisa terhindar dari penyakit ananiyyah (egoisme) yang sangat merusak motivasi diri muslim hingga ikatan persaudaraan umat Islam secara komunal. Ramadhan sebagai syahrul-mu`asat (bulan santunan) jangan sampai kita lewatkan begitu saja. Tumbuhkan empati, simpati, pertolongan kepada sesama.
• Manfaatkan momen 10 hari terakhir (i’tikaf) untuk meningkatkan
kualitas ibadah dan bermuhasabah (mengevaluasi) kualitas diri.
Meskipun banyak orang Islam yang lalai memanfaatkan momen
10 hari terakhir Ramadhan, seharusnya kita menjadi muslim yang cerdas memanfaatkan peluang ini. Jangan terpengaruh oleh realitas motivasi yang “kurang sehat” di kalangan umat Islam pada 10 hari terakhir Ramadhan, seperti: shaf jamaah shalat tarawih dan witir mengalami “kemajuan” (maksudnya: jumlah jamaahnya berkurang sehingga shaf-nya hanya ada beberapa di bagian depan), sikap malas-malasan dan ingin segera lebaran, acara malamnya dipakai begadang, dan lain-lain. Rasulullah saw.—yang kemudian diikuti para sahabatnya—selalu mengisi momen penting ini dengan i’tikaf. Ini membuktikan bahwa selain untuk meningkatkan kualitas ibadah, ternyata ada satu hal yang sering dilupakan kaum muslimin, yaitu muhasabah. Evaluasi kualitas diri kita khususnya selama setahun ini langsung kita adukan pada Yang Maha Pemberi jalan keluar, Allah swt.. Setelah itu, kita makin “dekatkan” diri kita kepada-Nya dengan cara: peningkatan keimanan kepada-Nya lebih baik daripada tahun sebelumnya dan memelihara diri agar tetap dalam kebenaran.
Rupanya inilah salah satu rahasia Rasulullah dan generasi awal
kaum muslimin kembali menyegarkan motivasi hidup mereka. Motivasi Ilahiah adalah adalah motivasi tertinggi dan terhebat dibandingkan motivasi-motivasi “karbitan” lainnya. Wajar saja bila Rasulullah dan para sahabatnya menyambut Ramadhan selaku tamu agung dan berderai air mata melepas kepergiannya. Momen yang luar biasa mulia untuk meningkatkan kualitas diri dan menyegarkan motivasi hidup kita. Wallahu a’lam.