Anda di halaman 1dari 5

Lonely at The Top

Tantangan dalam Memimpin Perubahan: Pelajaran dari Winston Churchill

Oleh:
Ery Arifullah
Widyaiswara Bandiklat Prov.Kaltim

Semakin terbukti bahwa organisasi-organisasi yang menang dalam menghadapi

tantangan berat, seringkali memiliki keunggulan kepemimpinan yang berani

mengambil langkah perubahan. Selama PD II, melalui kepemimpinan Winston

Churchill yang berani berpikir berbeda untuk melakukan perubahan, Inggris

akhirnya mampu mencapai kemenangan terhadap dominasi kekuasaan Jerman

yang sangat tangguh pada waktu itu.

“Jam-jam terbaik Inggris” adalah istilah yang terkenal dan merupakan saat-saat

terbaik dalam sejarah Inggris ketika menghadapi Jerman. Sekali lagi Churchill

menunjukkan kualitas dan jiwa kepemimpinannya.

Pada tanggal 9 April 1940 Jerman menyerbu Denmark yang menyerah hari itu

juga dan Norwegia yang takluk sebulan kemudian. Tanggal 10 Mei, giliran

Belanda, Belgia dan Prancis yang diserbu oleh Jerman yang perkasa, masing-

masing hanya bertahan 5 hari, 18 hari, dan 35 hari. Dengan jatuhnya seluruh

Eropa Barat, kini giliran Inggris untuk ditaklukan oleh armada perang Jerman

yang jumlah dan keperkasaannya melampaui Inggris hampir dalam segalanya.

Terikat dengan ketentuan politik dalam negerinya, Amerika Serikat mengalami

kesulitan mengirimkan bantuan apalagi ikut berperang membantu Inggris.

Dalam keadaan yang terkucil, terancam dan kebingunan, rakyat Inggris

mendengarkan perdana menteri mereka yang baru, Winston Churchill, yang


dengan menggebu-gebu dan bersemangat mengorbarkan semangat seluruh

anggota DPR Inggris, the house of commision untuk bersatu melawan Jerman.

Dia berpidato di depan semua anggota dewan maupun di radio menyatakan

keyakinannya yang berkobar-kobar bahwa Jerman harus dilawan dengan cara

apapun juga, kalau perlu sampai titik darah penghabisan dan bahwa Inggris

akan menang. Berikut isi pidatonya:

“Saya tidak memiliki apapun untuk disumbangkan kecuali darah, tenaga,

airmata dan keringat.” Kita akan berperang di laut, darat, dan udara, dengan

segala kekuatan yang diberikan oleh Tuhan pada kita,” tekadnya. Dengan

keyakinan dan keteguhannya ini maka Churchill yang seruan-seruannya kelak

disebut sebagai auman singa berhasil menjadikan Inggris lambang kegigihan

Eropa Barat dalam menentang Jerman dan sekutunya.

Menengok kisah kehebatan Inggris dalam Perang Dunia II tersebut, pada waktu

itu hanya Churchill seorang diri yang berani berinisiatif melawan kekuatan

pasukan Jerman yang sangat tangguh. Sedangkan Perdana Menteri Inggris saat

itu, Neville Chamberlain bersama para pemimpin lainnya memilih untuk

menutup mata terhadap langkah-langkah Hitler yang sedang membangun

angkatan senjata terbesar dalam sejarah Eropa. Tokoh-tokoh penting lainnya

saat itu seperti Raja Inggris George VI dan Paus Pius XI memilih untuk

menghindari perang dengan Hitler dan mereka beranggapan bahwa bila Hitler

diijinkan untuk mendapatkan negera-negara kecil yang diinginkannya, maka

perang antar negara besar dapat dihindari.


Karena politik “appeasement” (penenangan, penentraman) inilah maka

Chamberlain menjadi sangat populer, sementara Churchill sangat terkucil

karena dia menentangnya sejak awal, persis pada saat pandangan umum para

pemimpin lainnya terkesan lebih masuk akal, lebih murah hati dan terlihat

bijaksana karena mencegah perang. Namun sejarah membuktikan bahwa mutu

dari seorang pemimpin tidak datang dari banyaknya dukungan tapi dari kualitas

insight yang dimilikinya.

Keputusan yang berani dan Sunyi

Pemimpin memang sering harus berjalan sendirian karena insight mereka tidak

dimengerti banyak orang. Apalagi bila situasi berubah sangat cepat seperti

sekarang. Pemimpin merasa seringkali sendirian karena banyak hal-hal yang

harus diputuskannya tanpa sempat mendapatkan dukungan secara populer.

Perubahan yang sangat cepat seringkali berarti pula bahwa “kesempatan dan

ancaman” juga memiliki siklus hidup yang cepat. Kesempatan yang “mengetuk”

pintu hari ini sudah akan menjadi kenangan di hari esok bila terlampau lambat

untuk ditindaklanjuti. Ancaman ini bisa merupakan prahara hari esok bila

terlambat diantisipasi. Makin singkatnya siklus hidup kesempatan dan

pendeknya waktu untuk menyikapi ancaman makin membuat pemimpin harus

siap mengambil keputusan yang berani dan sunyi.

Hal lain yang membuat hidup pemimpin agak sepi adalah pendeknya usia

planning. Bila “mantra” lama adalah Plan, Do, Check, Action maka “mantra”

yang baru masih tetap sama PDCA dengan tekanan baru bahwa bagian Plan

akan lebih singkat untuk scope masalah yang sama. Ajaran para ahli
manajemen bahwa “A Good Planning is a Project Half Done” bisa berubah

menjadi “A Long Planning is a Project Undone” bila planningnya memakan

waktu begitu lama sehingga pemecahan yang dihasilkannya hanya tepat untuk

masalah yang sudah berlalu. Tanpa planning yang berlarut-larut kembali

pemimpin harus mengandalkan “insight” nya yang seringkali membedakan

dengan orang kebanyakan.

Hal ketiga tetapi mungkin yang terpenting yang membuat pemimpin sering

sendirian adalah wawasannya, kebijaksanaannya. Seorang pemimpin

melampaui banyak orang lain karena dia mengalami lebih banyak, berkorban

lebih sering dan merenung lebih dalam dan lama. Akibatnya, dia memiliki

wawasan yang lebih jauh dan hal itu amat menunjang kepemimpinannya.

Sangat berbeda kasusnya dengan seorang tokoh pendidikan nasional yang

menjadi terkenal setelah dia muncul di televisi. Walau koran-koran menuliskan

komentarnya tapi mereka yang mengenalnya tidak mengakuinya sebagai

pemimpin. Para pakar berkata bahwa “content” begitu biasa, kisah dan humor

yang beliau ceritakan begitu umum, dan terutama, wawasannya terlalu rata.

Pengikut barunya berdatangan karena namanya namun segera pergi menjauh

dengan kecewa ketika melihat bahwa orang yang mereka kagumi ternyata tidak

ada apa-apanya. “Nama boleh zaman digital,” kata seorang dari mereka ini

“tetapi isi ternyata masih zaman batu.”

Dalam salah satu tulisannya yang berjudul Why Leaders Won’t Lead, James

O’Toole, Professor peneliti di Center of Effectiveness Organization dari

University of California, mengatakan bahwa dalam menghadapi tekanan-


tekanan, hanya sedikit CEO yang mau berkorban untuk membuat organisasi

menjadi besar. Hanya sedikit pemimpin yang bersedia menerima

tanggungjawab untuk menciptakan organisasi yang berdaya pembaruan. Ada

banyak alasan untuk tidak memimpin, salah satunya adalah ketakutan terhadap

resiko kegagalan yang lebih besar, sehingga mereka lebih memilih menjalani

saja apa adanya daripada memimpin perubahan. Pilihannya jelas. Anda harus

memutuskan bagaimana Anda ingin dilihat sebagai pemimpin dan bagaimana

Anda ingin melihat diri Anda di cermin. Pilihan ada di tangan Anda.

Anda mungkin juga menyukai