Anda di halaman 1dari 21

Hubungan Mental Lokal dengan Perilaku Mengemis

(Studi Kasus Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan


Madura)
Oleh ; Tri Cahyono, Universitas Brawijaya, Malang 2011

Abstraksi
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mempelajari dan mengidentifikasikan
hubungan antara mental lokal dengan perilaku mengemis di desa Branta Tinggi.
Hal ini sangatlah penting sebab, dari tahun ke tahun keberadaan pengemis di desa
ini tidak kunjung tereduksi. Padahal, sebagaimana diketahui bahwa di daerah ini
nilai-nilai ajaran islam sangat di junjung tinggi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan, mental lokal sangat berpengaruh terhadap
perilaku mengemis lantaran adanya kecenderungan perilaku masyarakat yang
menitikberatkan pada perilaku meniru secara negatif (konsumsi tinggi). Selain itu,
dengan mengemis, oleh sebagian masyarakat dianggap lebih mudah memperoleh
kepingan rupiah tanpa membutuhkan usaha yang lebih berat. Untuk itulah, mental
lokal yang terus dijaga berakibat pada polemik tersendiri dalam menanggulangi
perilaku mengemis tersebut.

Kata kunci : Mental lokal, perilaku mengemis.

Pendahuluan
Permasalahan sosial ekonomi hingga saat ini menjadi sebuah keniscayaan
tersendiri yang patut dikaji lebih dalam guna menemukan solusi terbaik dalam
meningkatkan pertumbuhan perekonomian negara. Tidak meratanya kebijakan,
pendapatan dan pembangunan di masing-masing daerah di sinyalir sebagai pokok
permasalahan yang melatarbelakangi terjadinya migrasi penduduk. Terjadinya
migrasi ini secara simultan justru menimbulkan paradoks tersendiri. Memang,
kaum urban memberikan kemudahan dalam mencukupi kebutuhan tenaga kerja di
daerah tujuan. Namun di lain pihak, membengkaknya jumlah pencari kerja (kaum
urban) di daerah tujuan justru akan membentuk polemik baru lantaran ladang-
ladang pekerjaan yang mampu menampung mereka selalu menerapkan
persyaratan yang rumit dan cenderung tidak bisa dipenuhi seluruhnya oleh kaum
urban.
Kaum urban yang tidak tertampung oleh unit-unit usaha yang diidam-
idamkan justru menimbulkan kontradiksi lantaran menyumbang meningkatnya
angka kemiskinan di Indonesia. Data dari BPS 2010 menunjukkan, angka
1
kemiskinan di Indonesia berjumlah 31,02 juta jiwa. Dimana 11,1 juta jiwa tinggal
di perkotaan dan sisanya 19,93 juta jiwa tinggal di pedesaan. Sangat ironis
memang melihat masih tingginya angka kemiskinan ini. Negara dengan kekayaan
sumberdaya (alam dan manusia) yang melimpah masih terbelenggu oleh jeratan
angka kemiskinan.
Belenggu kemiskinan ini terkadang justru menimbulkan sebuah pola
perilaku masyarakat yang cenderung mengarah pada penyimpangan terhadap
norma-norma bangsa. Bentuk nyata dari biasnya perilaku yang bertentangan
dengan norma bangsa ini dapat dilihat dari tingginya jumlah masyarakat yang
aktivitas hariannya menjadi gelandangan atau pengemis. Berdasar Perturan
Pemerintah nomor 31 tahun 1980, dikatakan bahwasannya gelandangan dan
pengemis sejatinya bertentangan dengan norma-norma bangsa sehingga harus
segera ditanggulangi. Walaupun sudah tertulis secara gamblang dalam peraturan
pemerintah bahwasannya perilaku menggelandang dan mengemis bertentangan
dengan norma bangsa, namun hingga saat ini kegiatan tersebut masih menjamur.
Aktivitas ini sangat mudah di temui di tempat-tempat umum seperti : sekitaran
lampu merah, stasiun, dan lain sebagainya. Yang lebih parahnya lagi, praktek-
praktek mengemis tersebut mulai dijalankan secara berkoloni dan lebih
profesional.
Dari kegiatan mengemis ini seringkali menimbulkan kecemburuan sosial
tersendiri lantaran begitu mudahnya memperoleh pundi-pundi rupiah. Tak hayal,
kegiatan ini terkadang bak bakteri patogen yang cenderung merusak tatanan nilai
dan memperburuk citra daerah. Bahkan, kegiatan ini memiliki kecenderungan
menular, baik kepada masyarakat sekitar maupun kepada keturunan. Seperti kasus
yang terjadi di desa Branta Tinggi kecamatan Tlanakan kabupaten Pamekasan
Madura. Dimana perilaku mengemis di daerah ini dari waktu ke waktu masih saja
eksis dan tak kunjung bisa di tanggulangi. Berbagai macam kebijakan dari
pemerintah telah diterapkan bahkan penanggulangannya pun telah melibatkan
beberapa civitas akademika di Jawa Timur. Yang disayangkan, kebijakan itu
hanya sebatas sebagai obat penenang yang memiliki efek sementara. Tak heran,
perilaku mengemis menjadi kegiatan endemik di wilayah ini.

2
Perilaku ini ditularkan melalui pranata dasar yaitu keluarga dan
lingkungan sekitar. Untuk itulah, hingga saat ini perilaku mengemis semakin
mengakar kuat sehingga sulit untuk ditanggulangi. Jika dihubungkan dengan
beberapa sumber pustaka, perilaku mengemis yang di jalani oleh masyarakat
Madura ini sangatlah aneh. Rifa’i dalam A’la (2010) menyebutkan, masyarakat
Madura sejatinya memiliki pembawaan yang berpijak pada nilai-nilai adiluhung
diantaranya : tanggap, ulet, berkewirausahaan, ketualangan, serta hemat dan
cermat, mereka juga tulus setia dan memiliki keterkaitan kuat dengan agama.
Cukup aneh memang melihat perilaku sebagian masyarakat Madura yang
sedikit bias tersebut. Untuk itulah, permasalahan ini perlu dikaji lebih dalam lagi
agar ditemukan inti permasalahan yang melatarbelakangi mereka berperilaku
mengemis utamanya dikaji dari sudut mental lokal. Sebab, mental lokal seringkali
diidentikkan dengan perilaku masyarakat suatu daerah yang mencerminkan
pencitraan daerah tersebut.
Dari uraian diatas, terdapat beberapa permasalahan pokok yang dapat
diidentifikasi dan diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan yaitu : Bagaimana
hubungan antara mental lokal (shared value) dengan perilaku mengemis di desa
Branta Tinggi?
Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini akan mencoba untuk
mempelajari dan mengidentifikasikan : Hubungan antara mental lokal (shared
value) dengan perilaku mengemis di desa Branta Tinggi. Hal ini sangatlah penting
sebab, dari tahun ke tahun keberadaan pengemis di desa ini tidak kunjung
tereduksi. Padahal, sebagaimana diketahui bahwa di daerah ini nilai-nilai ajaran
islam sangat di junjung tinggi. Selain itu karakteristik masyarakatnya terkenal
sebagai pekerja keras sebagaimana yang digambarkan oleh beberapa sumber
pustaka.

Teori
Aplikasi Sikap Mental Terhadap Polemik Kemiskinan
Sikap mental sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang mana nilai tersebut
menjadi landasan dalam etos kerja. Sikap mulai menjadi pokok bahasan dalam
ilmu sosial sejak awal abad 20. Secara bahasa, Oxford Advanced Learner

3
Dictionary dalam Ramdhani (tanpa tahun) mencantumkan bahwa sikap (attitude),
berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu yaitu “Manner of placing or holding the
body, dan Way of feeling, thinking or behaving” atau dalam bahasa Indonesianya
yaitu cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran,
dan perilaku.
Sedangkan mental sendiri menurut Abidin (2009), diartikan sebagai
kepribadian yang merupakan kebulatan yang dinamik yang dimiliki seseorang
yang tercermin dalam sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya. Dari
papaaran tersebut sangat jelas bahwa sikap dan mental selalu berhungan. Kartono
dalam Abidin (2009) mengemukakan bahwa orang yang memiliki mental yang
sehat adalah yang memiliki sifat-sifat yang khas antara lain: mempunyai
kemampuan untuk bertindak secara efesien, memiliki tujuan hidup yang jelas,
memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordinasi antara segenap potensi
dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian dan
memiliki batin yang tenang.
Dalam ranah pembelajaran, memahami kemiskinan sering kali dikaitkan
secara sempit dengan ketidakmampuan secara ekonomi saja. Sebenarnya banyak
hal yang mempengaruhi terjadinya kemiskinan. Kemiskinan bisa terkait dengan
ketidakmampuan memenuhi standar hidup pada hampir semua aspek kehidupan,
baik yang bersifat material (pendapatan, pangan, air, pakaian, rumah, sumber
energi, keadaan sanitasi, aset lain seperti tanah, ternak, tanaman), termasuk
pendidikan dan kesehatan, maupun non material (pengetahuan kurang, partisipasi
dalam masyarakat terbatas, tidak percaya diri di depan umum, pendapatnya tidak
dihargai, tersisih dalam pergaulan, dan sebagainya) (Ranimpi, 2009).
Implikasi dari polemik kemiskinan yang terjadi untuk saat ini nampak jelas
ketika di lihat dari sudut pandang ekonomi secara mendasar yaitu pola konsumsi
dan produksi. Ditinjau dari pola konsumsi dan produksi yang dilakukan oleh
kalangan masyarakat marginal tidaklah seimbang. Pola konsumsi sendiri
sebenarnya untuk saat ini lebih mengarah kepada konsumsi yang berlebihan dan
mencolok. Dimana konsumsi yang berlebihan dan mencolok tersebut tidak lepas
karena adanya pengaruh-pengaruh dari berbagai media utamanya televisi.

4
Yang saat ini terjadi di masyarakat, orang-orang di negara berkembang
tidak membelanjakan uangnya yang pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dasar, melainkan untuk membeli “life style” (Dewi, 2007). Masyarakat di negara-
negara berkembang yang belum memiliki kemampuan menyaring informasi,
menganggap gaya hidup kelas atas adalah gaya hidup yang ada di televisi. Selain
itu, konsumsi berlebihan juga diimplementasikan kepada barang yang mubadzir.
Seperti yang di infokan oleh Suprapto (2009), yaitu 70 persen dari 19 juta
penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah dipakai
untuk konsumsi rokok.
Ini artinya BLT yang diberikan kepada masyarakat miskin bukan untuk
mengatasi kemiskinan tetapi lebih membantu industri rokok yang ada di
Indonesia. Bukan hanya sekedar mengkonsumsi rokok saja, dengan adanya BLT
masyarakat cenderung menggantungkan bantuan dari pemerintah. Untuk itulah,
diperlukan sebuah kebijakan yang mampu merubah paradigma masyarkat. Yang
dulunya berperilaku konsumtif diubah menjadi perilaku produktif. Dengan
berubahnya paradigma tersebut, pola konsumsi dan produksi masyarakat marginal
menjadi seimbang. Seimbang disini maksudnya masih ada selisih uang yang
disisakan untuk kebutuhan lain (misalnya tabungan dan modal usaha) dan di
sisakan untuk memenuhi kebutuhan hidup esok hari.

Karakteristik Masyarakat Madura yang Digambarkan oleh Sumber Pustaka


Etnis Madura merupakan salah satu etnis yang terkenal sebagai penduduk
perantau dan pekerja keras. Tanah di Madura kurang subur sebagai lahan
pertanian (Hakim, tanpa tahun). Keterbatasan lahan tersebut mengakibatkan
tingginya angka kemiskinan hingga mengakibatkan masyarakat bermigrasi dalam
jangka panjang. Ikatan kekeluargaan sesama etnis sangat kuat. Orang Madura
berpikir bahwa di mana ada orang Madura itulah saudara, apalagi dari daerah
yang sama dan memang ada ikatan keluarga (Humaidy, 2002).
Sistem kekerabatan individu dalam kelompok tertentu di Madura biasanya
memiliki kedudukan dan peranannya masing-masing. Tak jarang seseorang dapat
mempunyai lebih dari satu kedudukan dan peranannya dalam kelompok
kekerabatan (Wibowo dkk, 2002).

5
Pulau Madura terdiri dari empat kabupaten diantaranya : Bangkalan,
Sampang, Pamekasan dan Sumeneb. Sebagian besar penduduk pulau Madura
tinggal di pesisir dengan mata pencaharian utama yaitu sebagai nelayan
tradisional, petani garam dan petani tembakau. Namun, ada juga yang berprofesi
lain tetapi jumlahnya tidak begitu banyak. Untuk potensi sosial budaya, Madura
mempunyai beberapa hal yang unik yaitu antara lain karapan sapi, batik Madura,
semangat kesetiakawanan yang tinggi, terbuka dan ulet (Sativa dan Utami, 2010).
Rifa’i dalam A’la (2010) menyebutkan bahwsannya masyarakat Madura
sejatinya memiliki pembawaan yang berpijak pada nilai-nilai adiluhung
diantaranya : tanggap, ulet, berkewirausahaan, ketualangan, serta hemat dan
cermat, mereka juga tulus setia dan memiliki keterkaitan kuat dengan agama.
Keuletan tersebut tercermin dari perilaku mereka dalam memenuhi tuntutan
ekonomi. Sehingga, tak jarang mereka merantau ke berbagai daerah bahkan ke
berbagai negara untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Namun, hal tersebut tidaklah seimbang dengan tingkat pendidikan yang
mereka kenyam. Entah kebetulan atau memang berpijak pada anutan tertentu,
mereka terutama yang berdiam di remote area sampai derajat tertentu kurang
memiliki apresiasi yang cukup kuat terhadap pendidikan dan keilmuan yang tidak
berhubungan langsung dengan dasar-dasar agama Islam yang menjadi anutan
mereka (A’la, 2010). Padahal, jika disimak secara baik-baik bahwasannya
masyarakat madura lebih suka menyekolahkan anaknya dalam tataran pendidikan
yang basisnya pondok pesantren. Dalam hal pendidikan, Sujito (2007)
mengungkapkan, orang tua lebih memilih pondok karena disamping biayanya
yang tidak mahal juga mendapatkan pendidikan agama.
Pendidikan yang berbasis pesantren ini sengaja dipilih dikarenakan
masyarakat madura begitu mengagungung-agungkan sosok seorang kyai. Sebagai
pemimpin informal, kyai oleh banyak orang diyakini mempunyai "otoritas
kebenaran" yang sangat besar serta kharismatik karena ia dianggap sebagai orang
suci yang dianugerahi berkah Ilahi (Sirodj, 2009).

6
Realitas Kemarginalan di Daerah dan Implikasi Peran Kelembagaan
Dalam kasus kemiskinan yang terjadi diberbagai daerah saat ini tidaklah
lepas dari adanya ketidakberdayaan masyarakat. Ketidakberdayaan keluarga
miskin salah satunya tercermin dalam kasus dimana elite desa dengan seenaknya
memfungsikan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan yang sebenarnya
diperuntukkan untuk orang miskin (Hidayanti, 2006).
Masyarakat miskin tidak berdaya menghadapi biasnya perilaku elite desa
karena sering kali terjadi asymmetric information antara lembaga desa dengan
masyarakatnya. Biasnya perilaku elite desa ini dari waktu ke waktu tetap
konsisten dan eksis dikalangan masyarakat desa. Masyarakat tidak berdaya
menanggulangi hal tersebut mengingat adanya keterbatasan akses kelembagaan
dan informasi yang tidak sempurna. Keluarga miskin umumnya selalu lemah
dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi,
sehingga seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki
potensi lebih tinggi (Hidayanti, 2006).
Untuk itulah, dalam memajukan perekonomian pedesaan, setidaknya harus
ada peran dari kelembagaan setempat dengan melibatkan (pemberdayaan)
masyarakat, yang mana masyarakat bukan dijadikan objek tetapi harus terlibat
melaksanakan pembangunan dalam hal ini sebagai subjek.
Pemberdayaan, secara definitif yaitu suatu proses tindakan sosial dimana
masyarakat mengatur diri mereka sendiri untuk suatu perencanaan dan penerapan,
mendefinisikan kebutuhan dan masalah individu dan kolektif mereka, membuat
rencana kelompok dan individu untuk memenuhi kebutuhan mereka dan
memecahkan masalah mereka, melengkapi sumber daya yang dimiliki bila
diperlukan dengan jasa dan material yang diperoleh dari pemerintah dan agen non
pemerintah (LSM) di luar komuniti (Effendi, 2006).
Sebelum mengimplementasikan kebijakan lembaga daerah dalam
memberdayakan masyarakat, setidaknya harus ada identifikasi terlebih dahulu
terhadap permasalahan sosial-ekonomi yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Identifikasi ini sangat diperlukan mengingat permasalahan sosial-ekonomi di
setiap daerah berbeda-beda. Setelah dilakukan identifikasi dan ditemukan solusi,
selanjutnya diperlukan adanya rangsangan agar masyarakat mau terlibat dalam

7
pembangunan derah. Rangsangan untuk memulai proses pembangaunan ini,
Sayogyo dalam Hidayanti (2006) mengemukakan beberapa syarat yang harus
dipenuhi diantaranya :
1. Restrukturisasi kelembagaan komunitas.
Maksudnya yaitu tatanan dasar yang mengatur komunitas perlu direorientasi,
dari yang berpola feodalistik dan kolonial ke pola pemerintahan yang
profesional dengan mempertimbangkan adanya pola perilaku masyarakat
yang dinamis.
2. Meninjau kembali segala kebijakan yang memperlemah kebudayaan
masyarakat dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih memihak pada
upaya peningkatan keberdayaan masyarakat desa untuk memperbaiki
nasibnya sendiri.
Pada aras program, pendekatan top-down harus segera diganti pendekatan bottom-
up, yang tercermin dari mekanisme pengambilan keputusan dan penyelenggaraan
program. Strategi pembangunan model top-down (sentralistik) yang selama tiga
dekade terakhir telah memarjinalkan arti masyarakat lokal dan memandulkan
inisiatif mereka serta menjauhkan dari sumberdaya sosial-ekonomi yang
seharusnya menjadi hak mereka (Elizabeth, 2004). Adanya kebijakan secara top-
down, ruang gerak masyarakat untuk berekspresi dan beraktualisasi diri menjadi
semakin sempit dan terbatas. Maka dari itu, perubahan pendekatan dari top-down
ke bottom-up diharapkan mampu menstimuli masyarakt untuk lebih kreatif
berekspresi dan lebih bebas dalam beraktualisasi diri.

Kemiskinan Ditinjau dari Perspektif Agama Islam


Dalam Islam, kemiskinan yang terjadi merupakan suatu masalah yang
perlu segera diatasi. Perhatian Islam tentang kemiskinan begitu besar, sampai-
sampai dalam Al-Qur'an kata miskin dan masakin disebut hingga 25 kali dan
tersebar dalam 19 surat, sementara faqir dan fuqoro disebut-sebut hingga 13 kali
yang tersebar di 10 surat (Ibrahim, 2007).
Sebagaimana yang di terapkan dalam nilai-nilai ajaran islam, sebenarnya
untuk rizki setiap individu manusia telah diatur, tinggal manusianya saja yang

8
harus berusaha untuk mencarinya. Ini tertuang dalam Al-qur’an surat Al-Ra’d
ayat 26 dan surat Al-Jatsiyyah ayat 13 yaitu :
“Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia
kehendaki” (QS. Al-Ra’d :26).

“Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi
semuanya (sebagai rahmat) dari padanya” (QS. Al-Jatsiyyah :13).

Dari ayat tersebut, dinyatakan bahwa semua riski setiap manusia telah diatur oleh
Allah, sehingga manusia tinggal berusaha untuk mencarinya. Apa lagi dalam ayat
lainnya dikatakan bahwasannya alam semesta ini merupakan sumberdaya yang
siap digunakan untuk kepentingan manusia. Sehingga, manusia jangan hanya
pasrah dan meratapi nasib, tetapi harus berusaha untuk keluar dari jeratan
kesengsaraan.
Islam menolak pandangan bahwa kemiskinan merupakan sebuah
keterpaksaan dan tidak perlu ada upaya perubahan nasib karena pandangan seperti
itu merupakan sandungan bagi upaya perbaikan harta yang rusak, kecurangan
timbangan, penegakan keadilan dan solidaritas kemanusiaan (Qardhawi dalam
Soekarni, 2004). Artinya setiap kaum muslim haruslah berusaha memenuhi
kebutuhan hidupnya guna terlepas dari jeratan rantai kemiskinan. Kemiskinan
yang terus membelenggu masyarakat tidaklah baik. Jika ini terus menerus terjadi,
akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi (pendapatan rendah, tingkat
konsumsi menurun dan tabungan ataupun investasi ikut menurun).
Jika kita hubungkan nilai-nilai ajaran islam ini dengan kasus pengemis
yang saat ini marak diberbagai daerah, beberapa literatur mengatakan
bahwasannya mengemis itu diperbolehkan bagi orang yang benar-benar tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dilarang bagi orang yang masih
mempunyai kekuatan untuk berusaha. Sebagaimana sabda Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Tarmizi dalam Qardhawi (1993) :
“Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai
kekuatan dengan sempurna”.

Sebebnarnya, perilaku mengemis yang sering kita jumpai baik bentuk dan
karakternya bermacam-macam. Ada yang membawa atau menggendong anak
kecil, ada yang anggota tubuhnya luka-luka, ada pula yang anggota tubuhnya

9
cacat dan lain sebagainya. Disampaikan oleh Yusuf Qardhawi 1993, bahwa tidak
halal juga seorang muslim hanya menggantungkan dirinya kepada sedekah orang,
padahal dia masih mampu berusaha memenuhi kepentingan dirinya sendiri dan
keluarga serta tanggungannya. Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu
Daud dan Nas’i yaitu :
“Sesungguhnya meminta-minta itu sama dengan luka-luka yang dengan
meminta-minta itu berarti seseorang melukai mukanya sendiri. Oleh karena
itu, siapa mau silakan menetapkan luka itu pada mukanya, dan siapa mau
silakan meninggalkan, kecuali meminta kepada sultan atau meminta untuk
suatu urusan yang tidak didapat dengan jalan lain”.
Memang sangat kompleks pembahasan kemiskinan dalam ajaran Islam. Untuk
itulah, setiap manusia dihimbau agar terus berusaha dalam mencukupi kebutuhan
hidupnya selama ia masih mempunyai kekuatan untuk melakukannya.

Metode
Pendekatan
Karena objek yang diteliti tidak sebatas pada pemahaman, pencarian dan
pendeskripsian data semata, maka diperlukan sebuah pendekatan analisis secara
mendalam guna diperoleh hasil yang lebih kompleks. Untuk itulah, maka jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kulitatif dimana penelitian
deskriptif ini mencoba mendeskripsikan suatu fenomena yang berlangsung ketika
penelitian dilakukan. Dalam artian penelitian deskriptif tersebut mencoba
memaparkan kekinian fenomena-fenomena yang diteliti (fenomena yang terjadi
pada saat ini).

Lokasi
Penelitian yang dilakukan berupa penelitian studi kasus dimana penelitian
ini lebih spesifik mencoba untuk mempelajari dan mengamati fenomena yang ada
di suatu daerah sesuai kebutuhan penelitian. Adapun tempat atau lokasi
penelitiannya yaitu dilakukan di desa Branta Tinggi kecamatan Tlanakan
kabupaten Pamekasan pulau Madura. Dari pemilihan tempat tersebut, harapannya
mampu menjawab permasalahan penelitian.

10
Informan
Untuk mengetahui keakuratan dan keaktualan informasi, maka kehadiran
informan sangat diperlukan. Untuk itulah, beberapa informan yang sengaja
ditunjuk diantaranya : pertama, masyarakat lokal yang terlibat dalam lingkup
penelitian (pengemis dan bukan pengemis). Dimana masyarakat ini secara
langsung terlibat dalam satu kesatuan sistem interaksi sosial suatu komunitas.
Adapun maksud dan tujuan peneliti memilih masyarakat pengemis adalah untuk
mengetahui sejauh mana paradigma yang berkembang sehingga berpengaruh pada
perilaku mengemis mereka.
Selanjutnya informan non-pengemis sengaja dipilih guna menjabarkan
bagaimana interaksi atau hubungan sosial pengemis dikalangan masyarakat umum
(pengemis dengan non-pengemis) dan sejauh mana pengaruh interaksi hubungan
sosial tersebut dalam pembentukan paradigma (pola fikir) bagi pengemis maupun
non-pengemis. Kedua, kepala desa yang secara langsung terlibat dan berpengaruh
terhadap mobilitas sosial-ekonomi kemasyarakatan di desa Branta Tinggi. Dari
kepala desa ini harapannya peneliti mampu memperoleh informasi mengenai
bagaimana peran kelembagaan dalam mempengaruhi mobilitas sosial-ekonomi
(utamanya yang berkaitan dengan isu-isu perilaku mengemis masyarakatnya) di
desa terkait melalui kebijakan-kebijakan yang diterapkan ataupun yang masih
direncanakan.
Ketiga, kyai dan tokoh masyarakat setempat yang secara struktur
kemasyarakatan informan tersebut memiliki pengaruh terhadap tindakan sosial
masyarakat. Sebagai pemimpin informal, kyai oleh banyak orang diyakini
mempunyai "otoritas kebenaran" yang sangat besar serta kharismatik karena ia
dianggap sebagai orang suci yang dianugerahi berkah Ilahi (Chufron, 2009). Kyai
dan tokoh masyarakat tersebut diharapkan mampu memberikan gambaran secara
umum mengenai hubungan antara masyarakat dengan sosok pemimpin informal
dan sejauh mana pengaruh keduanya (kyai dan tokoh masyarakat) terhadap
tindakan (perilaku) masyarkat desa Branta Tinggi.

11
Analisis Data
Dalam penelitian ini, secara keseluruhan terdapat empat tahapan yang
digunakan untuk menganalisis data yaitu :
1. Pengumpulan Data
Data-data yang dikumpulkan merupakan hasil dari wawancara, observasi,
Dokumentasi dan lain sebagainya. Data-data yang terkumpul ini masih berupa
data mentah dan perlu dilakukan pemilahan untuk menemukan isu-isu utama
penelitian yang lebih fokus.
2. Penyajian Data
Penyajian data yaitu data yang dihasilkan melalui proses reduksi data akan
langsung disajikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penerikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
3. Reduksi Data
Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi
data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil
(Miles dan Huberman, 1992). Maksud utama dari reduksi ini yaitu untuk
memeperoleh data yang lebih tajam dan lebih fokus terhadap penelitian sehingga
dapat mempermudah dalam penarikan kesimpulan.
4. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan secara terus-menerus selama peneliti
melakukan penelitian. Penarikan kesimpulan dimaksudkan untuk mengetahui
secara mendalam mengenai objek yang diteliti. Sehingga, mempermudah dalam
mengetahui isu-isu utama dari penelitian.

Pembahasan
Gambaran Geografis ; Sebuah Eksplorasi Pengolahan Potensi Ekonomi yang
Belum Optimal
Dilihat dari bentang alamnya, kondisi tanah di Madura sebagian besar
berupa tanah grumusol. Menurut Karjadi (2000), umumnya tanah grumusol yaitu
berupa batu-batuan endapan yang berkapur biasanya berada di daerah bukit
maupun gunung, sifat tanah seperti ini biasanya basah (becek berlumpur) jika

12
musim hujan dan sangat kering jika musim kemarau. Bukan hanya itu saja,
sebagian besar wilayah Madura beriklim C (iklim hujan sedang), D (iklim agak
kering), dan E (iklim kering) dengan 8 – 10 bulan kering (Schmidt dan Ferguson
dalam Swarso, 2007). Karena kondisi tanah dan iklim yang tidak mendukung
untuk dikembangkannya tanaman yang mengandalkan kesuburan tanah, sehingga
sebagian besar masyarakat Madura terpaksa menanam tanaman seperti ketela
pohon, jagung, dan tembakau.
Tak ubahnya daerah Madura lainnya, desa Branta Tinggi juga mengalami
kondisi yang serupa. Kontur tanahnya yang kurang subur dan berpapasan
langsung dengan laut, menjadikan ketela pohon, jagung dan tembakau sebagai
tanamam favorit. Beberapa sumber pustaka sering kali memaparkan bahwasannya
tembakau Madura memiliki cita rasa yang unik dan berkualitas tinggi. Tembakau
Madura mempunyai mutu spesifik yang sangat dibutuhkan oleh pabrik rokok
sebagai bahan baku utama (Istiana, 2003). Untuk itulah, tembakau-tembakau yang
ada di Madura banyak dibudidayakan diberbagai tempat di Madura mulai
pegunungan hingga pesisir. Namun, kualitas tembakau tiap-tiap daerah berbeda-
beda sehingga muculah ketimpangan harga komoditas.
Kualitas tembakau yang dihasilkan desa Branta Tinggi tidaklah sebaik
tembakau didaerah Madura lainnya. Karena lokasinya berpapasan dengan laut
tersebut yang menjadi corak tersendiri sehingga kualitas tembakau di desa Branta
Tinggi ini kurang bagus. Tanah-tanah yang ada sebagian dibiarkan kering lantaran
jika ditanami tembakau hasil yang diperoleh tidak maksimal. Daun tembakau
yang tipis menjadikan bobot panen kurang sesuai dengan apa yang diharapkan
oleh para petani. Bukan hanya itu, cita rasa dari tembakau yang dihasilkanpun
kurang diminati oleh konsumen.
Walaupun karakteristik wilayahnya sebagian besar memiliki corak yang
kering dan kurang subur, tetapi potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh desa
Branta Tinggi ini sangatlah melimpah. Wilayahnya yang dekat dengan pantai dan
jalur transportasi utama antar wilayah di Madura merupakan salah satu aset
berharga yang perlu di tinjau lebih lanjut. Wilayah Branta Tinggi bagian selatan,
memiliki pantai dengan pasir putih yang luas dengan keanekaragaman hayati yang
terkandung didalamnya seperti kepiting, tiram, ikan, tanaman bakau, karang yang

13
kondisinya masih utuh dan aneka flora dan fauna lainnya yang dijadikan sebagai
salah satu faktor penting penggerak perekonomian desa. Keindahan pantai hingga
saat ini dibiarkan begitu saja tanpa ada perhatian untuk dikembangkan lebih lanjut
(misalnya sebagai objek wisata atau untuk tambak ikan).
Bentang alam di bagian tengah desa Branta Tinggi sebagian besar berupa
tegalan dan kebetulan dilalui oleh jalur transportasi utama pulau Madura. Hal
inilah yang menjadikan wilayah ini semakin potensial untuk dikembangkan lebih
jauh. Pengembangan potensi yang ada berkaitan dengan adanya faktor pendukung
berupa sarana transportasi yang memadai yaitu berupa pengembangan industri
olahan. Daerah-daerah yang banyak industri pengolahan tumbuh lebih cepat
dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri pengolahan
(Nuryadin dkk, 2007).
Tidak berhenti pada dukungan dari adanya sarana transportasi saja, bagian
desa Branta Tinggi sebelah utara, untuk saat ini telah memiliki sumur bor. Dimana
sumur bor yang ada digunakan untuk mencukupi kebutuhan air bersih beberapa
desa di Pamekasan. Selain itu, sumur bor yang ada oleh sebagian masyarakat
digunakan untuk mengairi ladang-ladang tembakau. Aset berharga seperti ini
seharusnya bisa dijadikan sebagai salah satu sumber devisa desa. Pemaparan
tersebut diatas merupakan beberapa potensi yang hingga saat ini belum
terekplorasi secara maksimal. Bahkkan, walaupun desa ini memiliki akses air
bersih yang sangat lancar, namun melimpahnya air bersih yang dimiliki sebagian
besar dikuasai oleh PDAM Pamekasan. Sehingga, setiap hari masyarakat harus
mengeluarkan + Rp 2.000 untuk memenuhi bak mandi yang dimilikinya.
Lebih parahnya lagi, air yang diperoleh dari PDAM tersebut tidak bisa
digunakan untuk kebutuhan konsumsi lantaran rasanya agak asin. Dan itupun
sebagian masyarakat Branta Tinggi ada yang tidak memperoleh bagian jatah air
dari sumur bor lantaran sebagian air yang ada disalurkan ke beberapa desa lain.
Untuk kebutuhan air konsumsi, masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan +
Rp 4.000 demi membeli air bersih yang digunakan sebagai air konsumsi selama
dua hari. Dengan uang Rp 4.000 air yang diperoleh sebanyak 10 jirigen berukuran
5 liter per jirigennya. Pembelian air konsumsi ini biasanya dilakukan di salah satu
rumah penduduk yang telah ditunjuk oleh PDAM sebagai agen penyuplai air

14
konsumsi. Kondisi ini memperparah kehidupan masyarakat desa lantaran biaya-
biaya kebutuhan harian cukup tinggi.
Memang, pengelolaan sumberdaya (alam maupun manusia) yang ada di
desa ini menimbulkan kontradiksi tersendiri. Melimpahnya potensi yang ada tidak
disikapi secara luar biasa oleh masyarakat dan pemerintah setempat. Sehingga,
pengembangan desa melalui potensi sumberdaya tersebut dirasa stagnan dan tidak
menunjukkan perkembangan yang berarti. Tak dapat disangkal lagi, ketidak
maksimalan pengelolaan inilah yang menjadikan masyarakat setempat terkukung
dalam jeratan kemiskinan dan rela melakukan kegiatan mengemis.

Realitas Interaksi Masyarakat Desa Branta Tinggi Berkaitan dengan Perilaku


Mengemis
Tak ubahnya didaerah Madura lainnya, hubungan kekerabatan yang terjadi
di desa Branta Tinggi ini sangatlah erat. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada
di desa ini beraneka ragam bentuknya. Mulai selamatan setelah panen tembakau,
pengajian bulanan, hingga pengajian bersama setiap hari kamis (malam jum’at).
Karena begitu banyaknya kegiatan kemasyarakatan yang menimbulkan interaksi
sosial, tak jarang interaksi tersebut menimbulkan efek resiprokal kepada warga
yang lain. Pengaruh yang sangat nampak yaitu pada penularan perilaku mengemis
yang merupakan tradisi turun-temurun di desa ini. Dari data-data empiris
dilangan, masyarakat Branta Tinggi yang menjalankan tradisi untuk mengemis
terbatas untuk masyarakat di dusun Pelanggaran semata (salah satu dusun di desa
Branta Tinggi). Namun, karena adanya hubungan sosial yang begitu kuat, perilaku
ini berpengaruh dan menular pada masyarakat di dusun lain bahkan masyarakat di
luar desa Branta Tinggi.
Dengan jumlah penduduk 2.210 jiwa, di desa ini diperkirakan ada sekitar
250 jiwa atau 70 kepala keluarga yang berprofesi sebagai pengemis (data
kelurahan, 2006 diolah). Kegiatan mengemis bukan hanya dilakukan oleh orang
dewasa semata, namun anak-anak juga terlibat dalam kegiatan ini. Jumlah 250
jiwa yang dipaparkan dalam data kelurahan tersebut hanya perkiraan saja lantaran
ada sebagian masyarakat yang menjadi pengemis kambuhan.

15
Ada sebuah kecenderugan tersendiri yang menggambarkan bagaimana
mental lokal itu terbentuk di desa ini. Kesamaan pola konsumsi yang mencolok
antar warga mengakibatkan pendapatan harian tidaklah berarti apa-apa. Pola
konsumsi yang mengarah pada pembelian barang-barang yang dianggap mubadzir
ini lah yang disinyalir sebagai salah satu hal yang melatarbelakangi biasnya
sebuah anggapan mengenai masyarakat Madura. Pendapatan yang seharusnya
digunakan untuk menabung atau berinvestasi jangka panjang di bidang perikanan
atau pertanian ternyata terbuang secara sia-sia.
Pengusahaan dibidang pertanian manupun perikanan sebenarnya cukup
menjanjikan walaupun terdapat beberapa risiko tersendiri. Disektor pertanian
misalnya, walaupun kualitas tembakau yang dihasilkan kurang memadai, namun
pendapatan yang diperoleh tiap kali panen bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Sebenarnya pendapatan tersebut bisa ditingkatkan lagi jika asymmetric
information yang terjadi bisa ditanggulangi dengan baik. Dalam pemasaran
tembakau yang terjadi, sebagian besar informasi harga di kuasai oleh oknum-
oknum tertentu yaitu tengkulak. Sehingga informasi riil mengenai harga tembakau
cenderung tertutup dan sulit untuk diketahui.
Tidak berhenti pada pemasaran semata untuk kasus yang terjadi di sektor
pertanian tembakau ini. Sulitnya permodalan dalam pengusahaan pertanian
tersebut lantaran pendapatan yang diperoleh digunakan untuk konsumsi yang
berlebihan mengakibatkan petani terjerat kontrak dengan para rentenir. Ini lah
sekelumit bukti kongkrit disektor pertanian yang mengakibatkan kemarginalan
petani tembakau nyata adanya.
Kasus yang mendera pada sektor pertanian sebenarnya juga hampir sama
dengan kasus yang terjadi disektor perikanan. Ketidaktahuan masyarakat nelayan
setempat dalam memanfaatkan potensi laut secara lebih kreatif menimbulkan
sebuah keniscayaan tersendiri. Sebagian besar nelayan setempat hanya
memanfaatkan ikan-ikan tertentu dari hasil tangkapan. Sehingga, ikan-ikan lain
yang terjerat dalam jaring sering kali dibuang atau bahkan dibagi-bagikan secara
sukarela kepada penduduk sekitar. Padahal, jika dilakukan diversifikasi produk
dari hasil tangkapan tersebut tentunya akan memberikan sumbangan yang positif
bagi pertumbuhan perekonomian desa. Selain itu, pemanfaatan kekayaan alam

16
laut hingga saat ini hanya sebatas untuk mengeruk ikan-ikan yang ada
didalamnya. Inilah yang sebenarnya perlu diperhatikan lebih jauh untuk
dikembangkan. Sebab, pemanfaatan laut bukan hanya untuk menangkap ikan
semata tetapi bisa dimanfaatkan sebagai sarana budi daya ikan melalui jaring
apung maupun sebagai tambak-tambak ikan di bibir pantai.
Jika ditinjau lebih jauh mengenai interaksi yang terjadi di masyarakat
sendiri, sebetulnya terdapat beberapa pola penting yang perlu diperhatikan. Yaitu
bagaimana pola interaksi dengan kelembagaan terkait, interaksi dengan tokoh
masyarakat informal, dan interaksi antar warga. Dari beberapa pola interaksi
tersebut tentunya akan menimbulkan sebuah efek tersendiri yang mengarah pada
pembentukan pola fikir individu. Pola interaksi masyarakat dengan kelembagaan
terkait tidaklah menunjukkan sebuah pola yang cukup membanggakan. Artinya
kelembagaan terkait yang memiliki andil dalam menanggulangi perilaku
mengemis hanya sebatas untuk menghadapi masalah (facing problem) bukan
untuk menyelesaikan masalah (solving problem).
Kelembagaan terkait sering kali memberikan bantuan-bantuan pendanaan
dan hewan-hewan ternak kepada pengemis. Dan ini tentunya justru menimbulkan
efek ketergantungan (dependendcy effect) masyarakat terhadap bantuan dari
pemerintah. Bantuan-bantuan tersebut akan memanjakan masyarakat sehingga
mental produksi sulit terbentuk. Sedangkan untuk interaksi dengan sosok
pemimpin informal utamanya kyai sebernarnya sangat bagus. Namun, beberapa
petuah dari kyai sering kali diabaikan terutama yang bersangkutan dengan
pelarangan mengemis. Kyai sebagai sosok pemimpin informal hanya dijadikan
sebuah kebanggaan (simbol) yang mana petuahnya tidak sepenuhnya diikuti.
Diabaikannya petuah dari sosok kyai tersebut dengan dalih bahwasannya
desa akan celaka jika masyarakatnnya berhenti mengemis. Untuk itulah
keberadaan pengemis di desa ini menimbulkan dilematika tersendiri bagi seorang
kyai dalam berdakwah. Tingginya interaksi sosial yang ada di desa ini sering kali
mempersulit penanggulangan keberadaan pengemis. Risiko-risiko yang cukup
tinggi dibidang pertanian dan perikanan memeberikan andil yang cukup besar
dalam menyumbang kemunculan sosok pengemis-pengemis baru. Selain itu pola
konsumsi yang terlalu dominan mengakibatkan perilaku mengemis ini semakin

17
menjamur dan mengakar kuat. Untuk itulah, diperlukan sebuah solusi yang
mumpuni sehingga keberadaan pengemis di desa ini mampu tereduksi.

Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat ditarik
kesimpulan :
1. Hubungan sosial yang kuat antara masyarakat bukan pengemis dan pengemis
menjadi poin penting dalam pembentukan mental lokal. Pola perilaku
konsumtif tanpa diimbangi pola produksi yang memadai menjadikan aktivitas
mengemis terpaksa dijalani oleh orang-orang yang sejatinya bukan pengemis.
Sebenarnya, perilaku mengemis yang merupakan tradisi (membudaya) secara
turun-temurun hanya berlaku pada mayarakat di salah satu dusun di Branta
Tinggi yaitu dusun Pelanggaran. Namun, kenyataan dilapangan berkata lain.
Perilaku ini telah menular pada masyarakt dusun lain bahkan di desa lain
lantaran adanya kecenderungan sosial bahwasannya mengemis begitu
mudahnya mendapatkan kepingan rupiah. Selain itu adanya kesamaan pola
kunsumtif (konsumsi tinggi) pada masyarakat daerah setempat semakin
memperkuat kegiatan mengemis sulit ditinggalkan.
2. Kegiatan mengemis memang telah menjadi tradisi di Branta Tinggi lantaran
adanya mitos yang beredar di masyarakat. Tradisi kelokalan yang sangat kuat
menjadikan perilaku mengemis ini sulit untuk ditinggalkan. Bahkan dari
waktu ke waktu kegiatan ini menimbulkan dilema lantaran memunculkan
sosok pengemis-pengemis musiman dari daerah lain.
3. Potensi luarbiasa yang terdapat pada sektor-sektor pertanian dan perikanan
hingga saat ini tidak dieksplorasi secara maksimal. Residu dari sektor basis
yang bernilai ekonomi tinggi belum termanfaatkan dengan baik. Potensi lain
di bidang perikanan hanya sebatas dijadikan konsumsi harian. Lebih parahnya
lagi, Kelembagaan formal maupun informal yang bertanggungjawab dalam
peningkatan perekonomian basis sektor desa tidak jelas keberadaannya.
Adapun sektor kelembagaan informal semakin mempersulit nasib pelaku

18
ekonomi desa lantaran informasi pemasaran produk dikuasai dan ditentukan
oleh kelembagaan informal ini.
4. Sosok kyai sebagai pemimpin informal di Madura sebenarnya memiliki peran
penting dalam menanggulangi perilaku mengemis ini. Namun, alasan klasik
dari masyarakat (adanya kutukan dari leluhur) yang sejatinya tidak
berhubungan degan kegiatan mengemis menjadikan prosesi dakwah menjadi
terhambat. Munculnya kecenderungan sosial karena risiko-risiko yang sering
dihadapi pada sektor basis menjadi dilematika tersendiri bagi kyai dalam
berdakwah.

Rekomendasi
Menanggulangi kemiskinan yang mengarah pada perilaku mengemis
memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan analisis yang
lebih mendalam guna menemukan formula kebijakan yang lebih tepat dan terarah.
Adapun rekomendasi yang bisa diberikan oleh peneliti atas hasil penelitian yang
dilakukan yaitu :
1. Ada pepatah Cina yang mengatakan “untuk bisa menikmati bubur panas yang
begitu lezat, maka makanlah dari pinggir”. Seperti itulah sebuah kebijakan.
Dimana agar kebijakan bisa tercapai secara maksimal dimulailah dari hal
kecil yang berpotensi menimbulkan efek yang luar biasa dalam jangka
panjang. Ini bisa diimplementasikan melalui penanggulangan internalisasi
perilaku mengemis yang ditularkan dari orang tua ke anak. Lembaga
pendidikan terkait (formal maupun informal) haruslah membuat sebuah
model pengajaran yang lebih inovatif (mengajarkan pola produktif pada
anak). Sehingga, mind-set mengemis yang ditularkan dari keluarga kepada
anak mampu diubah dengan mind-set produktif yang diajarkan di sekolah.
Pemutusan rantai generasi mengemis ini memberikan dampak yang sangat
luar biasa dimasa depan. Karena generasi penerus yang menjalankan aktivitas
mengemis dari waktu ke waktu tereduksi lantaran adanya program pemutusan
rantai generasi tersebut.
2. Penguatan kaidah-kaidah Islamiah dengan penyampaian yang lebih bagus
haruslah terus digalakkan oleh tokoh masyarakat setempat (pemimpin formal

19
dan informal). Ini dikarenakan nilai-nilai agama Islam selalu dijunjung tinggi
di wilayah ini. Penyampaian tersebut bisa melalui pemberian pelatihan-
pelatihan membuat kerajianan tangan atau membuat sebuah usaha baru bagi
anak-anak yang notabene banyak melakukan kegiatan keagamaan di
pesantren. Kegiatan kewirausahaan sejatinya juga merupakan wujud apresiasi
seseorang dalam menegakkan kaidah-kaidah keislaman. Dimana dalam nilai-
nilai ajaran Islam juga ada anjuran-anjuran untuk berusaha sendiri melalui
berwirausaha. Model pendekatan ini tentunya dimaksudkan untuk mengubah
mind-set masyarakat menjadi orang yang lebih produktif. Sebagaimana
diajarkan dalam Islam, bahwasannya mengemis sangatlah dilarang bagi
orang-orang yang masih memiliki kemampuan dengan sempurna. Tentunya
rekomendasi ini haruslah memperoleh apresiasi yang mumpuni dari
stakeholder terkait baik dari pemerintah maupun jaringan kerjasama dengan
lembaga lainnya. Untuk itulah, unit-unit yang dimaksud (kelembagaan dan
stakeholder) mampu bersinergi dengan baik agar rekomendasi yang
dicanangkan mampu merasuk pada sendi-sendi vital permasalahan sosial-
ekonomi masyarakat desa Branta Tinggi.

Daftar Pustaka

A’la, Abdul. 2010. Pemberdayaan Masyarakat Madura Pasca Suramadu Melalui


Agama, Budaya dan Tradisi. http://blog.sunan-
ampel.ac.id/abdala/2010/03/01/pemberdayaan-masyarakat-madura-pasca-
suramadu-melalui-agama-budaya-dan-tradisi/
Abidin, Muhammad Zainal. 2009. Pengertian Pembinaan Mental.
http://meetabied.wordpress.com/2009/12/24/pengertian-pembinaan-mental
BPS. 2009. Data Angka Kemiskinan di Indonesia Tahun 2010.
Effendi, Nursyirwan. 2006. Keberadaan dan Fungsi Pasar Tradisional. Jurnal
Antropologi.
Elizabeth, Roosgandha. 2004. Diagnosa Kemarjinalan Kelembagaan Lokal Untuk
Menunjang Perekonomian Rakyat di Pedesaan. Pusat Analisis Sosial

20
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Departemen Pertanian
Bogor. Bogor.
Hadiyanti, Puji. 2006. Kemiskinan dan Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Jakarta. Jakarta.
Humaidy, M Ali. 2002. Pergeseran Budaya Mengemis di Masyarakat Desa
Pragaan Daya Sumenep Madura. STAIN Pamekasan. Pamekasan.
Istiana, Heri. 2003. Teknik Pemetikan Daun Tembakau Madura. Buletin Teknik
Pertanian Vol. 8. Malang.
Miles, M. B dan A. M Huberman. 1992. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook
of New Methods. SAGE. Beverly Hills.
Nuryadin, Didi dkk. 2007. Aglomerasi dan Pertumbuhan Ekonomi ; Peran
Karakteristik Regional di Indonesia. Fakultas Ekonomi UPN Veteran
Yogyakarta. Yogyakarta.

Qardhawi, Yusuf. 1993. Halal dan Haram dalam Islam. PT Bina Ilmu. Jakarta.
Ramdhani, Neila. Tanpa Tahun. Sikap dan Beberapa Definisi untuk
Memahaminya. Program Doktor Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta.
Republik Indonesia. 1992. Peraturan Pemerintah No. 31 Tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, dalam Himpunan Peraturan
Perundang-undangan. Bidang Tugas Rehabilitasi Sosial. Jakarta.
Sativa, Khoridah dan Juliatin Putri Utami. 2010. Pencegahan Dampak
Pembangunan Jembatan Suramadu Terhadap Ekologi Dengan Metode
Master Plan Madura Terpadu. Program Kreativitas Mahasiswa Universitas
Negeri Malang. Malang.
Sirodj, Chufron. 2009. Peran dan Posisi Kyai di Tengah Masyarakat Pamekasan
Madura. Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.

Soekarni, M. 2004. Kebijakan Penanganan Kemiskinan dalam Islam.


http://www.undp.or.id./mdg/index.asp
Sujito. 2007. Laporan MDGs Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Bangkalan.
Wibowo, H. J Dkk. 2002. Tatakrama Suku Bangsa Madura. Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Paiwisata. Yogayakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai