Anda di halaman 1dari 5

Karakteristik Pemimpin

Ditulis oleh redaksi


Jumat, 23 Juli 2004
Tidak mudah menjadi pemimpin. Juga tidak mudah
memilih pemimpin. Ini akan dialami oleh suatu
masayarakat yang rusak. Masyarakat yang para pemimpin
dan politisinya menjadikan Book of The Prince sebagai
kitab suci mereka dan Machiavelli sebagai panutan
mereka. Masyarakat yang memberikan kesempatan pada
orang-orang bodoh tampil bicara. Kondisi ini pernah
digambarkan Nabi Saw dalam sabdanya:

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh


tipu daya, di masa itu para pendusta dibenarkan
omongannya sedangkan orang-orang jujur didustakan, di
masa itu para pengkhianat dipercaya sedangkan orang
yang terpercaya justru tidak dipercaya, dan pada masa
itu muncul Ruwaibidlah, ditanyakan kepada beliau Saw
apa itu Ruwaibidlah? Rasul menjawab: Seorang yang
bodoh (yang dipercaya berbicara) tentang masalah
rakyat/publik.” [HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah].

Agar kita tidak terjatuh pada kondisi buruk seperti


diperingatkan Nabi Saw di atas, maka perlu dibentuk
kesadaran umum (public awaraness) tentang
karakteristik pemimpin yang layak mengurus publik.
Tulisan ini mencoba memberikan sumbangsih pemikiran
untuk itu.

Tanggung Jawab Pemimpin


Kepemimpinan adalah amanat untuk mengurus orang-orang
atau rakyat yang dipimpin. Rasulullah Saw
mengumpamakan pemimpin laksana penggembala (ra’in).
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw
bersabda:

Imam yang diangkat untuk memimpin manusia itu adalah


laksana penggembala, dan dia akan dimintai
pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang
digembalakannya).” [HR. Imam al-Bukhari dari sahabat
Abdullah bin Umar r.a.].

Rasulullah Saw memberikan penjelasan tentang pemimpin


pengganti beliau (khalifah) dalam mengurus kaum
muslimin bakal diminta pertanggungjawaban di akhirat.
Beliau Saw bersabda:

Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara


urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi
meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain.
Sesungguhnya tidak akan ada Nabi setelahku, (tetapi)
nanti akan ada banyak khalifah. Para sahabat bertanya:
Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau
menjawab: Penuhilah baiat yang pertama, lalu yang
pertama. Berikanlah kepada mereka hak mereka, karena
Allah nanti akan meminta pertanggungjawaban mereka
atas apa saja yang telah diserahkan kepada mereka
mengurusnya.” [HR. Imam Muslim dari Abu Hurairah].
Hadits-hadits tersebut di atas memberikan indikasi
bahwa pemimpin yang layak adalah yang punya dimensi
tanggung jawab hingga ke akhirat. Tentu yang dimaksud
bukanlah rohaniawan yang tak cakap mengurus dunia.
Juga bukan pemimpin sekuler yang tak tahu urusan
akhirat. Pemimpin sekuler, yang memisahkkan agama dari
urusan dunia atau negara jelas merasa bebas berbuat,
karena merasa tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada
Allah SWT. Pertanggungjawaban di dunia itu semu
belaka, sebab tergantung banyaknya suara dukungan.
Pemimpin yang pandai menjaga dukungan mayoritas suara,
dia tidak akan pernah ditolak pertanggungjawabannya.

Jika kita sepakat bahwa pemimpin yang layak memimpin


manusia adalah pemimpin yang punya rasa tanggung jawab
dunia akhirat, maka bagaimana karakteristik pemimpin
itu sehingga dia bisa melaksanakan tanggung jawabnya.

Karakteristik Pemimpin

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nizhamul Hukm


fil Islam memberikan syarat-syarat —dengan argumen
syar’i— yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang
khalifah sebagai pemimpin publik tertinggi negara
dalam perspektif Islam sebagai berikut: (1) muslim;
(2) laki-laki; (3) dewasa (baligh); (4) berakal; (5)
adil; (6) merdeka; dan (7) mampu melaksanakan amanat
Khilafah, yakni menjalankan pemerintahan berdasarkan
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Selain syarat
sahnya baiat seorang Khalifah di atas, An-Nabhani juga
menambahkan syarat tambahan —keutamaan, bukan
keharusan— berupa: (1) mujtahid, yakni seorang yang
ahli menggali hukum syar’i dari sumber-sumber hukum
syariah (al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan
Qiyas); (2) pemberani; (3) politikus ulung; (4)
keturunan Quraisy atau Ali bin Abi Thalib.

Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al Afkar as


Siyasiyyah menyebut beberapa karakteristik untuk
seorang pemimpin publik sebagai berikut:

Pertama, berkepribadian kuat. Rasulullah Saw


menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus kuat, tidak
lemah. Orang lemah tidak pantas menjadi pemimpin.
Diriwayatkan dari Abu Dzar bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
“Wahai Abu Dzar, aku melihat dirimu adalah orang yang
lemah. Dan aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai
diriku. Janganlah engkau menjadi amir (pemimpin) dari
dua orang. Dan janganlah kkamu mengurus harta anak
yatim.” [HR. Imam Muslim].

Abu Dzar juga menuturkan bahwa dia berkata kepada


Rasulullah Saw:
Wahai Rasulullah, tidakkan engkau mengangkatku
(menjadi pejabat)?” Kemudian Rasulullah Saw menepuk
pundakku, dan berkata: “Wahai Abu Dzar, kamu adalah
orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan ini adalah
amanah, dan pada hari pembalasan akan menjadi kehinaan
dan sesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya
sesuai dengan haknya dan menunaikan kewajiban dalam
kepemimpinannya.” [HR. Muslim].

Kuat dan lemah yang dimaksud dalam hadits ini adalah


kekuatan kepribadian (syakhshiyyah), yakni pola pikir
(aqliyyah) dan pola jiwanya (nafsiyyah).

Oleh karena itu, pola pikir seorang pemimpin harus


menyatu dengan kepemimpinannya. Dengan itu dia dapat
memahami berbagai masalah yang menjadi tanggung
jawabnya. Demikian juga, pola jiwanya juga harus
menyatu dengan kepemimpinannya. Dengan itu dia akan
menyadari bahwa dia seorang pemimpin, sehingga dia
dapat mengendalikan kecenderungan-kecenderungannya
sebagai pemimpin.

Kedua, bertakwa. Karena kekuatan kepribadian seorang


pemimpin sangat berpengaruh pada kepemimpinannya, maka
seorang pemimpin harus memiliki kualitas yang mampu
menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh buruk. Oleh
karena itu, seorang pemimpin harus memiliki sifat
takwa pada dirinya, baik secara pribadi, maupun dalam
hubungannya dengan tugas dan tanggung jawabnya
memelihara urusan rakyat. Diriwayatkan dari Sulaiman
bin Buraidah dari bapaknya, bahwa ia menuturkan:

“Rasulullah Saw apabila mengangkat seorang pemimpin


pasukan atau suatu ekspedisi pasukan khusus, maka
beliau mewasiatkan takwa kepadanya dan berbuat baik
terhadap kaum muslimin yang bersama dengannya (anak
buahnya).” [HR. Muslim].

Seorang pemimpin yang bertakwa akan senantiasa


menyadari bahwa Allah SWT senantiasa memonitornya
(muraqabah) dan dia takut kepada-Nya, sehingga dengan
demikian dia akan menjauhkan diri dari sikap
sewenang-wenang (zalim) kepada rakyat maupun sikap
abai terhadap urusan urusan rakyat. Khalifah Umar
r.a., pemimpin negara Khilafah yang luas wilayahnya
meliputi Jazirah Arab, Persia, Irak, Syam (sekarang:
Syria, Yordania, Lebanon, Israel, dan Palestina),
serta Mesir, pernah berkata: “Andaikan ada seekor
hewan di Irak kakinya terperosok di jalan, aku takut
Allah akan meminta pertanggungjawabanku kenapa tidak
mempersiapkan jalan tersebut (menjadi jalan yang rata
dan bagus).” (lihat Zallum, idem).

Ketiga, belas kasih. Seorang pemimpin harus punya


sifat belas kasih kepada rakyatnya. Ini diwujudkan
secara konkrit dengan sikap lembut dan
kebijaksanaannya yang tidak menyulitkan rakyatnya.
Diriwayatkan bahwa istri Rasulullah Saw, Aisyah r.a.
pernah berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:
“Ya Allah, siapa saja yang diberi tanggung jawab
memimpin urusan pemerintahan umatku dan menimbulkan
kesulitan bagi mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa
saja yang memerintah umatku dengan sikap lembut
(bersahabat) kepada mereka, maka lembutlah kepadanya.”
[HR. Muslim].

Dalam kaitan ini juga Rasulullah Saw mengajarkan agar


pemimpin itu bersikap memberi kabar yang baik, bukan
bersikap menakutkan. Diriwayatkan dari Abu Musa al
Asy’ari r.a. (yang diutus menjadi Wali/Gubernur di
Yaman) bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Gembirakanlah (rakyat) dan janganlah engkau hardik,
dan permudahlah mereka dan jangan engkau persulit
(urusan mereka).” [HR. Bukhari].

Keempat, jujur dan penuh perhatian. Seorang pemimpin


haruslah jujur dan penuh perhatian dalam mengurus
urusan rakyat sehingga rakyat bisa terpenuhi kebutuhan
mereka dan menikmati layanan pemimpinnya. Diriwayatkan
dari Ma’qil bin Yasar bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa saja yang memimpin pemerintahan kaum muslimin
lalu dia tidak serius mengurusnya, dan tidak
memberikan nasihat yang tulus kepada mereka, maka dia
tidak akan mencium harumnya aroma surga.” [HR. Imam
Muslim]. Dalam hal ini perhatian pemimpin bukan saja
untuk memelihara terpenuhinya kebutuhan fisik rakyat,
tapi juga kebutuhan ideologis, agar mereka tetap di
jalur kehidupan yang mengantarkan kepada jalan menuju
keridloan Allah SWT sehingga rakyatnya sukses dunia
akhirat.

Kelima, istiqamah memerintah dengan syariah. Seorang


pemimpin yang jujur memimpin kaum muslimin akan
melaksanakan pemerintahannya berdasarkan Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah. Diriwayatkan bahwa ketika Muadz
bin Jabal diutus menjadi Wali/Gubernur di Yaman,
Rasulullah Saw menanyainya bagaimana cara dia
memerintah. Nabi bertanya kepadanya: “Dengan apa
engkau memutuskan perkara?” Muadz menjawab: “Dengan
Kitabullah” Rasul bertanya: “Dengan apalagi jika
engkau tidak mendapatinya (di dalam Al Quran)?” Muadz
menjawab: “Dengan Sunnah Rasululllah” Rasul berkata:
“Dengan apalagi jika engkau tidak mendapatinya (di
dalam al-Quran maupun as-Sunnah)?” Muadz menjawab:
Aku akan berijtihad” Kemudian Rasulullah Saw berucap:
Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
kepada utusan Rasulullah ke jalan yang disukai Allah
dan Rasul-Nya.” [HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Baihaqi].

Khatimah
Kita berharap lima karakteristik kepemimpinan di atas
menjadi kesadaran dan opini umum masayarakat sehingga
aspirasi dan kecenderungan rakyat adalah memilih
pemimpin yang berkarakter seperti itu. Karena rakyat
yang muslim beriman kepada Allah dan rasul-Nya pasti
berharap agar para pemimpinnya benar-benar punya
kehendak baik kepada rakyat kaum muslim seperti sifat
Rasulullah Saw (lihat Qs. at-Taubah [9]: 128) dan
punya kesiagaan dan kewaspadaan tinggi untuk menjaga
kemaslahatan dan keselamatan rakyat dengan syariah
seperti perintah Allah SWT kepada Rasulullah Saw
(lihat Qs. Al-Maa'idah [5]: 49). Mudah-mudahan dengan
dengan munculnya karakter kepemimpinan seperti itu
dalam diri para pemimpin di negeri ini, krisis yang
melanda selama ini cepat di atasi. Wallahu a’lam bi
shawab!

http://majelis.mujahidin.or.id/kolom/siyasah/karakteristik_pemimpin/

Ingin belajar Islam? Mari bergabung milis Media Dakwah


Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED
Pendapat al-Mawardi mengenai mereka yang berhak memangku kepemimpinan
(ahl al-'imamah). Syarat yang diperuntukkan kepada mereka ada tujuh: pertama,
adil dengan berbagai persyaratannya. Kedua, berpengetahuan yang membawa
kepada munculnya ijtihad dan hukum atas berbagai bencana (peristiwa). Ketiga,
indera dapat berfungsi dengan sempurna, baik pada pendengaran, penglihatan,
maupun lidah. Hal itu dimaksudkan supaya dapat membenarkan apa yang ia
temukan melalui indera tersebut secara langsung. Empat, anggota tubuh bebas
dari cacat yang dapat menghalangi pelaksanaan gerak dan ketangkasan berdiri.
Kelima, mempunyai pendapat yang membawa kepada munculnya kebijakan
terhadap rakyat dan pengaturan berbagai kepentingan. Keenam, berani yang
menimbulkan adanya perlindungan terhadap elemen kecil dan memerangi musuh.
Ketujuh, yaitu me-nyangkut keturunan.  

Pendapat al-Fara ada tiga syarat yang harus dimiliki oleh agent of change yang
berhak memangku kepemimpinan (ahl al-'imamah): pertama hendaknya
mempunyai sifat yang pantas untuk menjadi qadi, berupa baligh, berakal, berilmu
pengetahuan dan adil. Kedua menguasai teknik peperangan (gizabul fikri), politik,
mampu mem-berikan keadilan dan membela rakyat. Ketiga hendaknya orang yang
paling sempurna tingkat pengetahuan dan agamanya. Sedang  menurut pendapat
Ibnu Khaldun, syarat memangku jabatan ini ada empat: berilmu, adil, adil
(kompeten), dan meiliki indera serta anggota tubuh yang sehat yang akan
berpengaruh pada pengambilan pendapat dan tindakan.

Anda mungkin juga menyukai