Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muhamad Iqbal

Radhibillah
NIM : 0906869
Kelas : B
Mata Kuliah : Etika Profesi PLS
Tugas : 5 (Kode Etik Pend. Non
formal)
Paraf/tgl :

Problematika Pendidikan Nasional

Diakui atau tidak, krisis multidimensional yang melanda negeri ini membuka mata
kita terhadap mutu pendidikan manusia Indonesia. Pun dengan sumber daya manusia hasil
pendidikan yang ada di negeri ini. Memang, penyebab krisis itu sendiri begitu kompleks.
Namun tak dipungkiri bahwa penyebab utamanya adalah sumber daya manusia itu sendiri
yang kurang bermutu. Jangan harap bicara soal profesionalisme, terkadang sikap manusia
Indonesia yang paling merisaukan adalah seringnya bertindak tanpa moralitas.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Brunei dan
apalagi dengan Singapura kita jauh tertinggal. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya daya
saing SDM Indonesia untuk memperoleh posisi kerja yang baik di tengah-tengah persaingan
global yang kompetitif.

Sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita selama


ini, meliputi:

1. Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek


kognitif, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan
generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah.
2. Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa
memandang Jakarta (ibu Kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu
melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.
3. Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang
berdisiplin.
4. Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global
5. Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi
manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru negeri di sekolah lingkungan
Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru
negeri untuk 2000 siswa. Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU
negeri mencapai Rp.400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliah hanya
Rp.4.000,-/anak/tahun.
6. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan
oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam
pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh.
7. Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi
daerah.
8. Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan
semangat bhinneka Tunggal Ika.
9. Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan –yakni melalui P4
dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif.

Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang


telah melahirkan buahnya yang pahit, yakni:

• Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan imajinasi


idealistik.
• Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global.
• Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.
• Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair
• Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis
• Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah
• Cendekiawan yang hipokrit,
• Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan
• Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.
• Pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus tetap
mengharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus menghambur-hamburkan uang
untuk hal-hal yang tidak strategis.

Pendidikan pada Era reformasi

• Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam
penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runtuh. Mereka
semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan
keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat
masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik
tetapi tidak mampu menawarkan solusi.
• Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari sistem pendidikan nasional
kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu
mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus
bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu
itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yang tidak kompetitif hari
ini adalah juga produk dari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk
mengubah sistem pendidikan secara radikal juga punya problem, yaitu tenaga guru
yang kita miliki adalah produk dari sistem pendidikan yang tidak tepat. Dalam konsep
IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer
kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.
• Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk
mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa.
Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada textbook dibanding
melakukan ujicoba sistem di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga
pengajar, bukan guru yang digugu dan ditiru seperti dalam filsafat pendidikan
nasional kita sejak dulu. Mestinya Doktor dan Profesor bidang pendidikan tetap
mengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan berbasis budaya,
menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian
berkumpul di birokrasi untuk kemudian mengatur pendidikan dari balik meja
berpedoman kepada teori-teori Barat. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh
tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan
berikutnya.
• Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN
menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas Depdiknas, hanya pada
proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan.
• Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan
birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak
lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan.
• Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap globalisasi, tetapi
pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa
karena filsafat pendidikannya berbeda.
• Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan
negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah
informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi
melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa
dikembangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu titik nanti, gelar-gelar
akademik juga tidak lagi relevan.

Penyimpangan Pengelola Praktisi Pendidikan

Fenomena hadirnya lembaga bimbingan tes di tengah-tengah sekolah bisa dipandang


dari dua sisi. Satu sisi, kehadiran lembaga bimbingan tes di sekolah dapat membantu sekolah
dalam mengkondisikan dan mempersiapkan siswa kelas tiga menghadapi UN. Tentu banyak
sekolah yang tidak mau mengulangi pengalaman buruk tahun-tahun sebelumnya, di mana ada
banyak siswa yang tidak lulus UN. Adanya pendampingan dari lembaga bimbingan tes ini
akan dapat memberikan kepercayaan diri yang lebih besar bagi para siswa. Dan akhirnya,
lewat bimbingan tes ini diharapkan semua siswa lulus dan tidak ada lagi siswa yang tercecer
atau gagal dalam UN.

Disadari atau tidak, penyimpangan dalam suatu tempat praktisi pendidikan seperti
tempat bimbingan belajar, pasti ada. Contohnya tidak konsistennya pemilik praktisi
pendidikan untuk mendatangkan tenaga pengajar yang ahli dalam membina anak didik yang
sedang menghadapi UN. Hal lain membawa dampak buruk bagi anak didik yang diajarnya.

Sumber :
http://www.unindra.ac.id/?q=node/31
http://sigitirawan.blog.ugm.ac.id/2009/06/03/guru-dan-problem-pendidikan/

Anda mungkin juga menyukai