Radhibillah
NIM : 0906869
Kelas : B
Mata Kuliah : Etika Profesi PLS
Tugas : 5 (Kode Etik Pend. Non
formal)
Paraf/tgl :
Diakui atau tidak, krisis multidimensional yang melanda negeri ini membuka mata
kita terhadap mutu pendidikan manusia Indonesia. Pun dengan sumber daya manusia hasil
pendidikan yang ada di negeri ini. Memang, penyebab krisis itu sendiri begitu kompleks.
Namun tak dipungkiri bahwa penyebab utamanya adalah sumber daya manusia itu sendiri
yang kurang bermutu. Jangan harap bicara soal profesionalisme, terkadang sikap manusia
Indonesia yang paling merisaukan adalah seringnya bertindak tanpa moralitas.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Brunei dan
apalagi dengan Singapura kita jauh tertinggal. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya daya
saing SDM Indonesia untuk memperoleh posisi kerja yang baik di tengah-tengah persaingan
global yang kompetitif.
• Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam
penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runtuh. Mereka
semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan
keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat
masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik
tetapi tidak mampu menawarkan solusi.
• Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari sistem pendidikan nasional
kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu
mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus
bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu
itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yang tidak kompetitif hari
ini adalah juga produk dari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk
mengubah sistem pendidikan secara radikal juga punya problem, yaitu tenaga guru
yang kita miliki adalah produk dari sistem pendidikan yang tidak tepat. Dalam konsep
IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer
kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.
• Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk
mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa.
Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada textbook dibanding
melakukan ujicoba sistem di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga
pengajar, bukan guru yang digugu dan ditiru seperti dalam filsafat pendidikan
nasional kita sejak dulu. Mestinya Doktor dan Profesor bidang pendidikan tetap
mengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan berbasis budaya,
menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian
berkumpul di birokrasi untuk kemudian mengatur pendidikan dari balik meja
berpedoman kepada teori-teori Barat. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh
tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan
berikutnya.
• Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN
menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas Depdiknas, hanya pada
proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan.
• Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan
birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak
lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan.
• Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap globalisasi, tetapi
pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa
karena filsafat pendidikannya berbeda.
• Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan
negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah
informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi
melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa
dikembangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu titik nanti, gelar-gelar
akademik juga tidak lagi relevan.
Disadari atau tidak, penyimpangan dalam suatu tempat praktisi pendidikan seperti
tempat bimbingan belajar, pasti ada. Contohnya tidak konsistennya pemilik praktisi
pendidikan untuk mendatangkan tenaga pengajar yang ahli dalam membina anak didik yang
sedang menghadapi UN. Hal lain membawa dampak buruk bagi anak didik yang diajarnya.
Sumber :
http://www.unindra.ac.id/?q=node/31
http://sigitirawan.blog.ugm.ac.id/2009/06/03/guru-dan-problem-pendidikan/