Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan sumber daya hutan dalam rangka menjaga


kelestarian hutan, peningkatan kesejahteraan, maupun dalam rangka
pembangunan wilayah sekitar hutan, tentunya bukan hanya merupakan
tanggung jawab Perhutani semata. Di Jawa Tengah, pengelolaan hutan
melalui kebijakan sistem PHBM bukan lagi merupakan program perhutani
saja, namun PHBM sudah menjadi program Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah. Hal itu dibuktikan dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur
tahun 2001. Secara terstruktur, program PHBM dibentuk mulai dari tingkat
pemerintah provinsi, kabupaten, kecamatan hingga desa.

Perum Perhutani sebagai BUMN yang diberi mandat oleh


pemerintah dalam mengelola hutan di Pulau Jawa dan Madura telah
berkomitmen untuk mengelola hutan secara berkesinambungan (lestari).
Komitmen tersebut tertuang dalam motto “Menjadi Pengelola Hutan Tropis
Terbaik di Dunia“. Dalam kondisi seperti ini, Perum Perhutani tentunya
tidak dapat dipisahkan dari dinamika global yang memerlukan keunggulan
kompetitif. Sebagai wujud nyata dari komitmen tersebut maka saat ini
Perum Perhutani telah mengimplementasikan kegiatan Pengelolaan Hutan
Lestari (PHL) dengan menggunakan standar Prinsip dan Kriteria Forest
Stewardship Council (FSC). Dalam kegiatan pengelolaan sumber daya
hutan berdasarkan Prinsip & Kriteria FSC, dimana Unit Manajemen dalam
kegiatannya harus menyelaraskan antara aspek Sosial, Lingkungan dan
Produksi.

Perhutani Kebonharjo dengan sistem PHBM dengan prinsip jiwa


berbagi telah masuk ke seluruh desa di wilayah KPH Kebonharjo yakni 58
desa sekitar hutan, dimana ke-58 desa telah berbadan hukum dan secara
hukum pula telah melakukan kesepakatan kerjasama dalam pengelolaan

Studi Dampak Sosial 2010 1


hutan pada wilayah KPH Kebonharjo. Pada umumnya program
pengembangan yang telah dilaksanakan di Desa bersifat top down, yaitu
kebijakan yang dilaksanakan berasal dari pemerintah. Kaitannya PHBM
melalui LMDH yang dalam melaksanakan program-program kegiatannya
didasarkan atas inisiatif dan prakarsa dari masyarakat, jadi kegiatannya
bersifat bottom up sehingga memberikan kesinambungan dan sinkronisasi
program perhutani dengan kepentingan masyarakat.
Kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat dilakukan
dengan jiwa berbagi yang meliputi berbagi dalam pemanfaatan lahan dan
atau ruang, berbagai dalam pemanfaatan waktu, berbagi dalam
pemanfaatan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip
saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling mendukung. Dalam
mewujudkan visi dan misi Perum Perhutani sebagai pihak pengelola
sumberdaya hutan maka dalam rangka meningkatkan keberhasilan
pengelolaan hutan pihak Perhutani membutuhkan partisipasi aktif
berbagai pihak, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan
(pesanggem/ penggarap) melalui program PHBM.

Dalam proses implementasi PHBM kegiatan-kegiatan


pemberdayaan masyarakat menjadi hal yang utama dimana Perum
Perhutani banyak melibatkan masyarakat desa sekitar hutan dalam
kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan sehingga hal ini juga secara nyata
memberikan tambahan penghasilan kepada masyarakat.

Proses implementasi PHBM juga melibatkan pihak eksternal


seperti pemerintah daerah kabupaten maupun provinsi dengan
memberikan bantuan dana APBD dan pihak eksternal lintas sektoral
maupun instansi-instansi yang terkait dengan berbagai kegiatan dalam
implementasi PHBM seperti Depdiknas dalam kegiatan pemberantasan
buta aksara LMDH di Jawa Tengah, bantuan dana dari Kementrian
Negara Koperasi dan UKM dalam pelatihan perkoperasian untuk LMDH
dan sebagainya.

Sejak tahun 2002 hingga bulan Juli 2009, telah tercatat sebesar
Rp. 70 Milyar dana bantuan yang diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten maupun provinsi untuk kegiatan PHBM terdiri dari Rp. 21

Studi Dampak Sosial 2010 2


Milyar di Unit I Jawa Tengah, Rp. 32 Milyar di Unit II Jawa Timur dan Rp.
18 Milyar di Unit III Jawa Barat & Banten.

Untuk membantu meningkatkan kemandirian dalam peningkatan


kesejahteraan masyarakat, Perum Perhutani melalui pengembangan
usaha produktif dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (
PHBM ) juga memberikan bantuan pinjaman lunak kepada masyarakat
yang dikenal dengan dana PKBL ( Progam Kemitraan & Bina
Lingkungan ). Diharapkan bantuan yang diberikan ini dapat
mengembangkan usaha produktif yang dirintis oleh masyarakat dan lebih
jauh diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat desa sekitar hutan.

Dari berbagai interaksi tentang Pengelolaan Hutan Bersama


Masyarakat melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), suatu
kajian penguatan kapasitas LMDH dan peningkatan efektivitas PHBM di
KPH Kebonharjo, berdasarkan kebijakan yang telah dilakukan selama ini
yang disesuaikan dengan tujuan kebijakan, dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut :

1. Peran PHBM yang implementasi dilakukan melalui LMDH


memberikan akses kepada pesanggem (penggarap) untuk
mengelola hutan secara partisipatif dengan memadukan aspek
ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional telah mampu
memberikan dampak positif terhadap perubahan taraf hidup
pesanggem (penggarap) di Desa sekitar hutan, hanya pada tahap
implementasinya masih diperlukan serangkaian langkah
penyempurnaan.

2. Rancangan dan pelaksanaan program pengembangan masyarakat


yang melibatkan masyarakat secara partisipatif memerlukan waktu
yang lebih fleksibel dan secara simultan dengan melibatkan
berbagai stakeholders yang terlibat dalam program PHBM.

3. Diperlukan pengidentifikasian yang menyeluruh terhadap kontribusi


nyata dari pengelolaan hutan yang dilakukan KPH Kebonharjo
terhadap masyarakat sekitar hutan.

Studi Dampak Sosial 2010 3


Kaitannya dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan
pengidentifikasian manfaat dan dampak pengelolaan hutan bersama
masyarakat. Selama ini Studi Dampak Sosial (SDS) yang merupakan
instrumen proses penilaian Perhutani terhadap kebijakan yang telah
dilakukan terhadap masyarakat hutan, dan sekaligus salah satu dasar
untuk penyempurnaan program lanjutan hendaknya dapat dilakukan
secara berkesinambungan.

Tujuan

Studi Dampak Sosial (SDS) ini dilakukan dengan tujuan yaitu :


Pertama, untuk memperoleh gambaran tentang manfaat dan dampak
sosial ekonomi, dan ekologi dari pengelolaan sumber daya hutan oleh
KPH Kebonharjo terhadap keberadaan masyarakat yang bermukim di
sekitar kawasan hutan KPH Kebonharjo. Manfaat dan dampak tersebut
tentunya tidak terjadi secara kebetulan tetapi merupakan sebuah proses
interaksi antara aktifitas pengelolaan dan kondisi sosial budaya dari
masyarakat sekitar. Aspek kesinambungan (sustainability) pengelolaan
sumber daya hutan oleh Perum Perhutani menjadi titik sentral oleh
karena hal ini tidak hanya terkait dengan kelangsungan perusahaan tetapi
juga berdampak terhadap kelangsungan hidup masyarakat yang
bermukim di sekitar hutan di Pulau Jawa. Kedua, menjadi salah satu
referensi dan evaluasi dalam merencanakan program kerja KPH
Kebonharjo diwaktu yang akan datang. Ketiga, untuk referensi data
stakeholders.

Studi Dampak Sosial 2010 4


B A B II
METODOLOGI KAJIAN

Metode dan Instumen Kajian

Metode kajian yang digunakan merupakan metode kajian


komunitas eksplanasi, yaitu proses pencarian pengetahuan dan
pemahaman yang benar tentang berbagai aspek sosial komunitas
melalui eksplanasi (menjelaskan) faktor penyebab suatu kejadian/ gejala
sosial yang dipertanyakan, atau mengidentifikasi jaringan sebab-akibat
berkenaan dengan suatu kejadian atau gejala sosial melalui data
kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini ialah subyektif-
mikro, yaitu upaya memahami sikap, pola perilaku, dan upaya-upaya
yang ada berkaitan dengan masalah yang dipertanyakan dalam kajian,
dengan menggunakan strategi studi kasus.

Sedangkan instumen atau sumber data-data lapangan yang


digunakan terdiri dari 3 bagian :
a. Monografi Desa, sebagai sumber data-data kependudukan
(kelompok usia, pendidikan, profesi/mata pencaharian, dan lain-lain),
sarana dan prasarana, dan lembaga-lembaga yang terkait dengan
Unit Management.
b. Responden, sebagai sumber data-data kuantitatif hasil
wawancara, data-data tersebut meliputi mata pencaharian dan
jumlah pendapatan.
c. Informan, sebagai sumber data-data kualitatif hasil wawancara
(kebudayaan dan persepsi masyarakat).

Studi Dampak Sosial 2010 5


Pelaksanaan Kegiatan

Kegiatan studi dampak sosial yang dilakukan KPH Kebonharjo


adalah merupakan kegiatan rutin tahunan dalam rangka untuk mengetahui
kontribusi pengelolaan hutan terhadap masyarakat sekitar hutan baik dari
aspek ekologi, sosial, maupun ekonomi. Dalam pelaksanaan inventarisasi
data yang dibutuhkan dalam kegiatan ini dilakukan melalui dua data, yaitu
data kualitatif dan data kuantitatif.

1. Data kuantitatif diperoleh melalui format


isian (blangko) yang disediakan oleh KPH Kebonharjo untuk
dilakukan pengisian oleh responden1 yang diantaranya berupa data
pendapatan, mata pencaharian, data profesi, data pendidikan, dan
Kesehatan.

2. Sedangkan data kualitatif diperoleh dari


informan2 diantaranya menyangkut budaya, persepsi masyarakat,
perkembangan kelembagaan, maupun interaksi masyarakat
terhadap hutan.

Pelaksanaan penilaian terhadap studi dampak sosial


KPH Kebonharjo dilakukan secara sengaja (purpossive sampling), dan
secara bertahap dari seluruh populasi desa sekitar hutan yaitu sebanyak
58 desa. Pada tahap awal dilakukan sebanyak 12 desa sebagai desa
sampling, kemudian selanjutnya dilakukan proses penilaian studi dampak
sosial yang kedua dengan mengambil desa sampling sebanyak 28 desa.
Sebagai penyempurnaan penilaian, maka untuk tahun 2010 dilakukan
proses penilaian studi dampak sosial pada 14 desa sampling yaitu :

1. Desa Gandu, Kec. Bogorejo, Kab. Blora


(BKPH Gayam).

2. Desa Ketringan, Kec. Jiken, Kab. Blora


(BKPH Gayam).
1
Responden adalah istilah untuk org yg menjadi sumber informasi dalam penelitian
kuantitatif (informasi sesuai yang tertera di kuesioner dan jawaban-jawaban hanya
terkait dengan dirinya).
2
Informan adalah istilah untuk org yg memberikan informasi dalam penelitian kualitataif
(informasi lebih luas, tidak hanya terkait dengan dirinya tetapi juga org lain dan situasi
lain)

Studi Dampak Sosial 2010 6


3. Desa Sale, Kec. Sale, Kab. Rembang
(BKPH Sale).

4. Desa Rendeng, Kec. Sale, Kab. Rembang


(BKPH Karas).

5. Desa Pakis, Kec. Sale, Kab. Rembang


(BKPH Tuder).

6. Desa Tegaldowo, Kec. Gunem, Kab.


Rembang (BKPH Tuder).

7. Desa Ketodan, Kec. Jatirogo, Kab. Tuban


(BKPH Sale).

8. Desa Lemah Putih, Kec. Sedan, Kab.


Rembang (BKPH Gn. Lasem).

9. Desa Dadaban, Kec. Sedan, Kab.


Rembang (BKPH Gn. Lasem).

10. Desa Sambong, Kec. Sedan, Kab.


Rembang (BKPH Gn. Lasem).

11. Desa Lodan Kulon, Kec. Sarang, Kab.


Rembang (BKPH Ngandang).

12. Desa Lodan Wetan, Kec. Sarang, Kab.


Rembang (BKPH Ngandang).

13. Desa Soko Gunung, Kec. Kenduruan,


Kab. Tuban (BKPH Tawaran).

14. Desa Sidomukti, Kec. Kenduruan, Kab.


Tuban (BKPH Tawaran).

Responden yang dipilih untuk memberikan informasi pada proses


penilaian studi dampak sosial ini adalah responden yang berasal dari
kelompok-kelompok sosial yang dianggap sebagai representasi dari
kondisi masyarakat secara keseluruhan secara nyata. Oleh karena itu,
responden maupun informannya dipilih dari empat kelompok sosial, yaitu

Studi Dampak Sosial 2010 7


dari Perangkat Desa, Petani Pesanggem, Tokoh Masyarakat, dan Tokoh
Agama.

Studi Dampak Sosial 2010 8


B A B III
GAMBARAN UMUM

A. Gambaran Umum KPH Kebonharjo

Areal kerja Perum Perhutani KPH Kebonharjo seluas 17.653 Ha


mencakup tiga Kabupaten yaitu 12.858 Ha (73 %) masuk Kab, Rembang,
1.723 Ha (10 %) masuk Kab. Blora dan 3.072 Ha (17%) masuk wilayah
Tuban.
Wilayah KPH Kebonharjo terdiri dari 13 Kecamatan dan 58 Desa
Hutan. Desa-Desa hutan dalam wilayah KPH Kebonharjo masing-masing
tersebar di 3 Kabupaten, yakni Rembang, Blora dan Tuban. Perincian
Desa-Desa hutan tersebut adalah: 43 Desa berada di 9 Kecamatan
Kabupaten Rembang; 9 Desa berada dalam 2 Kecamatan Kabupaten
Tuban, dan 6 Desa berada di 2 Kecamatan Kabupaten Blora. Secara
umum desa-desa tersebut berbeda budaya pedesaannya. Penduduk
yang bermukim di wilayah desa-desa hutan tersebut sebagian besar
menggantungkan mata pencaharian mereka pada sektor pertanian yang
ditandai oleh aktifitas mengumpulkan dan meramu hasil-hasil hutan, serta
mengolah lahan-lahan pertanian.

Berikut rincian desa-desa hutan yang termasuk dalam wilayah


kerja KPH Kebonharjo.

Tabel III. 1.

Desa-Desa Hutan Wilayah KPH Kebonharjo di Kab. Blora

Jumlah Petak
No Desa Hutan Kecamata Pangkuan RPH BKPH
n Petak Luas
1. Nglengkir Bogorejo 5 198,7 Nglengkir Gayam
2. Tempurejo Bogorejo 2 86,2 Nglengkir Gayam
3. Gandu Bogorejo 11 364,9 Sbr.Wungu Gayam
4. Ketringan Jiken 16 540,8 Ngapus Gayam
5. Gayam Bogorejo 11 241,7 Merah Gayam
6. Sendang Rejo Bogorejo 20 595,0 Merah Gayam
6 Desa 2 65 2.027,3 4 RPH 1 BKPH
Kecamatan
Sumber: KPH Kebonharjo 2005

Studi Dampak Sosial 2010 9


Tabel III. 2

Desa-Desa Hutan Wilayah KPH Kebonharjo di Kab. Tuban

Jumlah Petak
No Desa Hutan Kecamata Pangkuan RPH BKPH
n Peta Luas
k
1. Karang Tengah Jatirogo 2 84,8 Karang Tawaran
Tengah
2. Ketodan Jatirogo 7 247,1 Ketodan Sale
3. Wangi Jatirogo 8 247,7 Ketodan Sale
4. Ngepon Jatirogo 12 494,3 Ngepon Sale
5. Soko Gunung Kenduruan 20 729,8 Soko Tawaran
Gunung
6. Jamprong Kenduruan 7 223,8 Soko Tawaran
Gunung
7. Jlodro Kenduruan 13 341,4 Gato Tawaran
8. Tawaran Kenduruan 13 332,1 Gato Tawaran
9. Sidomukti Kenduruan 6 194,0 Gato Tawaran
9 Desa 2 88 2.895,0 5 RPH 2 BKPH
Kecamatan
Sumber: KPH Kebonharjo 2005

Tabel III. 3

Desa-Desa Hutan Wilayah KPH Kebonharjo di Kab. Rembang

Jumlah Petak
No Desa Kecamat Pangkuan RPH BKPH
Hutan an Peta Luas
k
1. Bancang Sale 13 427,0 Ngajaran Tawaran
2. Ngajaran Sale 16 549,6 Ngajaran Tawaran
3. Sale Sale 29 838,4 Terongan Sale
4. Wonokerto Sale 51 1.584,7 Terongan Sale
5. Pakis Sale 2 89,0 Tengger Tuder
6. Bitingan Sale 7 165,5 Tengger Tuder
7. Tengger Sale 14 405,2 Tengger Tuder
8. Tahunan Sale 31 913,6 Tahunan Tuder
9. Gading Sale 7 240,3 Tahunan Tuder
10. Jinanten Sale 7 246,3 Tahunan Tuder
11. Sumbermul Sale 21 658,8 Ngampon Karas
yo
12. Rendeng Sale 7 240,1 Ngampon Karas
13. Tegaldowo Gunem 3 119,9 Tengger Tuder
14. Tawangrejo Sarang 16 533,9 Ngepon Sale
15. Lodan Sarang 8 275,0 Lodan Ngandang
Kulon
16. Lodan Sarang 15 564,4 Lodan Ngandang
Wetan
17. Pamotan Pamotan 6 183,5 Kring Pamotan Karas
18. Bamban Pamotan 3 126,1 Bedog Karas
19. Bangunrejo Pamotan 5 171,2 Bedog Karas
20. Mojosari Sedan 12 288,1 Mangseng Ngandang
21. Sambiroto Sedan 7 208,9 Mangseng Ngandang
22. Bonjor Sarang 23 663,0 Bonjor Ngandang
23. Pacing Sedan 4 126,5 Karas Karas
24. Karas Sedan 11 322,4 Karas Karas
25. Sambong Sedan 2 44,3 Gandrirejo Gn.Lasem

Studi Dampak Sosial 2010 10


26. Lemah Sedan 2 87,7 Gandrirejo Gn.Lasem
Putih
27. Kumbo Sedan 3 116,2 Gandrirejo Gn.Lasem
28. Candi Sedan 5 379,7 Gandrirejo Gn.Lasem
Mulyo
29. Dadapan Sedan 2 135,1 Gandrirejo Gn.Lasem

Studi Dampak Sosial 2010 11


Jumlah Petak
No Desa Kecamat Pangkuan RPH BKPH
Hutan an Peta Luas
k
30. Kali Tengah Pancur 3 98,6 Bedog Karas
31. Sidowayah Pancur 2 105,8 Sidowayah Gn.Lasem
32. Ngroto Pancur 1 124,6 Sidowayah Gn.Lasem
33. Joho Pancur 1 60,8 Sidowayah Gn.Lasem
Gunung
34. Rakitan Sluke 1 119,4 Kajar Gn.Lasem
35. Senetan Sluke 1 79,0 Kajar Gn.Lasem
36. Bendo Sluke 1 167,8 Sidowayah Gn.lasem
37. Watu Pecah Kragan 2 218,2 Sidowayah Gn.Lasem
38. Woro Kragan 1 82,5 Sidowayah Gn.Lasem
39. Criwik Lasem 2 170,7 Sidowayah Gn.Lasem
40. Kajar Lasem 2 79,5 Kajar Gn.Lasem
41. Gowak Lasem 3 177,6 Kajar Gn.Lasem
42. Binangun Lasem 2 172,9 Kajar Gn.Lasem
43. Sendangco Lasem 1 159,4 Sidowayah Gn.Lasem
yo
43 Desa 9 355 12.521, 14 RPH 6 BKPH
Kecamata 2
n
Sumber: KPH Kebonharjo 2009

KPH Kebonharjo pernah meraih sertifikat Sustainable Forest


Management (SFM) standar FSC (Forest Stewardship Council) pada
tahun 2002 sebuah lembaga di bawah naungan PBB yang dibentuk oleh
UNEP sejak tahun 1994 yang menerapkan Prinsip-prinsip Pengelolaan
Hutan Lestari oleh Rain Forest Alliiance-smart Wood USA. Sejak itu KPH
Kebonharjo memastikan akan meraih kembali sertifikat “ Well Managed
Forest” tersebut bekerjasama dengan Tropical forest Trust (TFT) dari
Switzerland sejak tahun 2003.

Pengelolaan hutan KPH Kebonharjo menerapkan Prinsip-prinsip


pengelolaan Hutan Lestari (PHL) berstandar FSC sebagai berikut :

Ketaatan pada hukum dan prinsip-prinsip FSC.


Hak tenure dan hak guna serta tanggung jawab.
Hak Masyarakat adat.
Hubungan masyarakat dan hak-hak pekerja.
Manfaat dari hutan.
Dampak pada lingkungan hidup.
Rencana pengelolaan.
Monitoring dan evaluasi.

Studi Dampak Sosial 2010 12


Kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi.
Hutan tanaman.

Dalam penerapannya prinsip-prinsip tersebut, Perum Perhutani


KPH Kebonharjo berusaha menyeimbangkan programnya ke dalam tiga
kelola, yaitu Kelola Produksi, Kelola Sosial, dan Kelola Lingkungan. Untuk
mengetahui dampak pengelolaan hutan terhadap tingkat sosial-ekonomi
Masyarakat Desa Hutan (MDH) dalam wilayah kerja KPH Kebonharjo,
maka dalam tahun 2009 telah dilakukan Studi Dampak Sosial pada 28
Desa sebagai sampling. Studi Dampak Sosial yang dilakukan tahun 2009
merupakan kelanjutan dari kegiatan tahun 2005, sebanyak 12 desa yang
sudah dilaksanakan studi dampak sosial sampai dengan tahun 2009
sebanyak 40 desa. Dan untuk tahun 2010 dilakukan kembali 14 desa,
sehingga total 54 desa ( 93 %) dari 58 desa yang akan dilakukan
sampling.

B. Gambaran Umum Sampling Desa

Desa adalah unit pemerintahan terkecil yang menjalankan


aktivitas pemerintahan dengan berbagai peraturan dan sistem
keadministrasian desa. Desa seringkali diidentikkan dengan karakter
masyarakat yang tingkat mobilisasi ke kota rendah, bersifat agraris, dan
jauh dari pusat kota. Masyarakat yang ada pada ke-14 desa yang menjadi
sampling Studi Dampak Sosial 2010 ini mayoritas bermukim di sekitar
wilayah hutan, pada umumnya menggantungkan mata pencaharian pada
sektor pertanian dengan cara menggarap lahan pertanian untuk ditanami
berbagai tanaman palawija secara tumpangsari, antara lain jagung,
singkong, dan sayur-sayuran. Mereka bercocok tanam di lahan-lahan milik
sendiri dan ada juga yang bercocok tanam di lahan Perhutani melalui
program-program yang telah diatur dalam kesepakatan kerja antara KPH
dengan Kelompok Tani Hutan (KTH) atau Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH).

Selain mengandalkan mata pencaharian bercocok tanam atau


berkebun sebagai mata pencaharian, ada juga yang berprofesi sebagai

Studi Dampak Sosial 2010 13


karyawan swasta, dan PNS. Biasanya masyarakat pedesaan juga mencari
sumber-sumber pendapatan yang lain seperti mendirikan warung, toko,
berdagang, atau menjual jasa lainnya. Bagi diantara sebagian masyarakat
yang karena interaksi atau dikarenakan memiliki akses ke Perhutani,
mereka mendapatkan kerjasama pekerjaan dengan perhutani dalam
bidang tanaman, pemeliharaan, tebangan, angkutan, bahkan sampai
kerjasama dengan sistem sharing.

. Kependudukan.

Penduduk masyarakat pada wilayah pangkuan KPH Kebonharjo


adalah masyarakat yang tersebar pada tiga kabupaten, yaitu
Kabupaten Rembang, Kabupaten Tuban, Dan Kabupaten Blora.
Masyarakat pada wilayah desa hutan di wilayah KPH Kebonharjo
mayoritas berasal dari suku jawa dan beragama islam, tetapi terjadi
pluralitas dimana diantaranya terjadi keanekaragaman agama, mata
pencaharian, status sosial, dan lain-lain. Berikut ini deskripsi secara
umum mengenai kondisi ke-14 desa yang menjadi sampling dalam
Studi Dampak Sosial 2010 :

a. Kependudukan Berdasarkan Gender.


Desa pada wilayah sekitar hutan dengan jumlah penduduk
yang tinggi merupakan potensi, dimana memungkinkan banyak
tersedianya tenaga kerja dalam hal penyerapan tenaga kerja pada
pekerjaan-pekerjaan kehutanan. Disamping itu tidak menutup
kemungkinan sebaliknya, bahwa dengan tingginya jumlah
penduduk berarti kemungkinan tingkat gangguan hutan juga tinggi.

Jumlah seluruh penduduk pada 14 desa sampling dalam


SDS 2010 adalah 44.040 orang. Masing-masing berdasarkan
gender (jenis kelamin) terbagi untuk jenis kelamin perempuan
berjumlah 21.979 orang (49,9 %) dan jenis kelamin laki-laki
berjumlah 22.061 orang (50,1 %), yang berarti jumlah laki-laki lebih

Studi Dampak Sosial 2010 14


dominan dibandingkan jenis kelamin perempuan dengan selisih 82
orang (0,2 %).

Sebaran penduduk pada masing-masing desa yang paling


tinggi terdapat pada desa Ketringan sebesar 5.040, dan sebaliknya
yang paling rendah pada desa Lemah Putih yaitu sebesar 1094.
Gambaran yang menunjukkan keselurahan kondisi tersebut dapat
dilihat pada Tabel III. 4. Berikut Tabel III. 4. yang mendiskripsikan
hal tersebut :

Tabel. III.4
Kependudukan berdasarkan gender.

Jumlah Jenis Kelamin


No Desa/Kec./Kab. Nama LMDH
Pddk Pr % Lk-lk %
1 Gandu, Bogorejo, Blora Gunung Lestari 1.910 946 49,5 964 50,5
2 Ketringan, Jiken, Blora Wana Sejahtera 5.040 2.580 51,2 2.460 48,8
3 Sale, Sale, Rembang Reksa wana Kumala 4.663 2.342 50,2 2.321 49,8
4 Rendeng, Sale, Rembang Sobo Wono 1.358 670 49,3 688 50,7
5 Pakis, Sale, Rembang Ngudi Lestari 1.279 640 50,0 639 50,0
6 Tegaldowo, Gunem, Rembang Giri Wana Lestari 5.019 2.610 52,0 2.409 48,0
7 Ketodan, Jatirogo, Tuban Sumber Gedhe 2.046 1.020 49,9 1.026 50,1
8 Lemah Putih, Sedan, Rembang Wana Lestari 1.094 559 51,1 535 48,9
9 Dadaban, Sedan, Rembang Argo Puro 3.455 1.725 49,9 1.730 50,1
10 Sambong, sedan, Rembang Rengganis
Sumber Rejeki 2.009 1.049 52,2 960 47,8
11 Lodan Kulon, Sarang, Rembang Wono rahayu 3.773 1.825 48,4 1.948 51,6
12 Lodan Wetan, Sarang, Sido Dadi 3.183 1.486 46,7 1.697 53,3
13 Rembang
Soko Gng,Kenduruan, Tuban Towo Bangau 2.910 1.424 48,9 1.486 51,1
14 Sido Mukti, Kenduruan, Tuban Wono Mukti 6.301 3.103 49,2 3.198 50,8
Jum lah 44.040 21.979 49,9 22.061 50,1

Sumber : Studi Dampak Sosial, 2010

b. Kependudukan Berdasarkan Agama.

Penduduk sekitar hutan pada wilayah KPH Kebonharjo


mayoritas beragama islam, dengan tingkat religiusitas tinggi. Dalam
berbagai kegiatan dari program Perum Perhutani KPH Kebonharjo
dilakukan program sosial dengan pendekatan agama, yaitu dengan
memberikan bantuan sarana-prasarana ibadah kepada masjid-

Studi Dampak Sosial 2010 15


masjid sekitar hutan. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa
guna menjaga dan melestarikan hutan tidak hanya melalui
pendekatan patroli keamanan saja, tetapi bisa dilakukan melalui
pendekatan simpatik.

Pembangunan kesadaran masyarakat melalui pendekatan


agama juga dilakukan melalui Ulama-ulama . Pendekatan ini
dilakukan mengingat masih kentalnya nilai-nilai agama masyarakat
setempat, yang diyakini dengan figur ulama akan mampu
memberikan kesadaran terhadap masyarakat karena tradisi
pathernalistik yang masih kuat.

Kehidupan beragama di wilayah Perum Perhutani


KPH Kebonharjo-pun terjalin harmonis diantara umat beragama,
yaitu umat agama Islam, Kristen, dan Katolik. Pada ke-14 desa
sampling diketahui komposisi jumlah penduduk yang beragama
Islam sebanyak 43.958 orang (99,8 %), kemudian selanjutnya
diikuti yang beragama Kristen sebanyak 48 orang (0,1 %), dan
yang beragama Katolik sebanyak 31 orang (0,1 %). Gambaran
yang menunjukkan keselurahan kondisi tersebut dapat dilihat pada
Tabel III. 5. Berikut Tabel III. 5 yang mendiskripsikan hal tersebut :

Studi Dampak Sosial 2010 16


Tabel III.5
Kependudukan berdasarkan Agama.

Nama Agama
No Desa Keper
LMDH Islam Kristen katolik Hindu Budha
cayaan
Gandu, Bogorejo, Gunung 1.908 2 - - - -
Blora Lestari
Ketringan, Jiken, Wana 5.034 6 - - - -
Blora Sejahtera
Sale, Sale, Reksa wana 4.593 39 30 - - -
Rembang Kumala
Rendeng, Sale, Sobo Wono 1.358 - - - - -
Rembang
Pakis, Sale, Ngudi Lestari 1.279 - - - - -
Rembang
Tegaldowo, Giri Wana 5.018 - 1 - - -
Gunem, Rembang Lestari
Ketodan, Jatirogo, Sumber Gedhe 2.045 1 - - - -
Tuban
Lemah Putih, Wana Lestari 1.094 - - - - -
Sedan, Rembang
Dadaban, Sedan, Argo Puro 3.455 - - - - -
Rembang Rengganis
Sambong, sedan, Sumber Rejeki 2.009 - - - - -
Rembang
Lodan Kulon, Wono rahayu 3.773 - - - - -
Sarang, Rembang
Lodan Wetan, Sido Dadi 3.183 - - - - -
Sarang, Rembang
Soko Towo Bangau 2.908 - - - - -
Gng,Kenduruan,
Tuban
Sido Mukti, Wono Mukti 6.301 - - - - -
Kenduruan, Tuban
Jumlah 43.958 48 31 - - -
Prosentase (%) 99,8 0,1 0,1 - - -
Sumber : Studi Dampak Sosial, 2010

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa kehidupan desa yang


paling plural untuk kehidupan beragama adalah desa sale,
selanjutnya desa ketringan, desa Gandu, desa Ketodan, dan yang
lainnya bersifat homogen.

Studi Dampak Sosial 2010 17


c. Berdasarkan Usia Pendidikan dan Usia Kelompok Tenaga
Kerja.

Pendidikan adalah merupakan satu hal yang penting dalam


rangka membangun masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan
masyarakat, maka kecenderungan akan semakin mudah untuk
menyadari pentingnya kelestarian lingkungan. Selain itu pendidikan
memiliki pengaruh terhadap kesinambungan program Perhutani
kepada masyarakat, karena mudahnya masyarakat memahami
program kerja yang dijalankan.

Berdasarkan usia pendidikan diketahui untuk usia


pendidikan yang paling tinggi adalah usia pendidikan 19 th keatas,
yaitu sebesar 22907, dan yang terendah adalah usia pendidikan
00-03 th yang sebesar 1740. Sedangkan untuk usia kelompok
tenaga kerja pada ke-14 desa sampling adalah yang paling besar
adalah usia 41-56 th yaitu sebesar 8202, dan yang paling rendah
usia 10-14 th yaitu sebesar 3076. Untuk memperjelas kondisi
tersebut, berikut ini disajikan dalam Tabel III.6.

Studi Dampak Sosial 2010 18


Tabel III. 6
Kependudukan berdasarkan Usia Pendidikan dan Kelompok Usia
Kerja.
Usia Pendidikan Usia Klp Tenaga Kerja
No Desa 00- 04- 07- 13- 16- 19- 10-14 15- 20- 27- 41- 57
03 06 12 15 18 keatas 19 26 40 56 keatas
1. Gandu 110 78 154 76 81 1441 130 133 191 338 391 466
2. Ketringan 160 128 339 274 231 286 300 385 557 617 1376 387
3. Sale 79 342 287 150 275 166 111 1021 389 590 373 196
4. Rendeng 92 95 142 58 53 1213 387 203 259 101 124 97
5. Pakis 34 36 137 25 74 229 54 109 118 167 518 174
6. Tegaldow 174 182 400 204 206 3853 386 327 522 1107 1030 1399
o
7. Ketodan 21 40 218 24 43 7 148 1481 66 174 216 104
8. Lemah 174 182 400 204 206 3853 54 101 119 200 649 174
Putih
9. Dadaban 34 79 232 220 162 1426 367 268 419 486 521 210
10. Sambong 29 114 277 100 75 1414 56 104 249 381 162 127
11. Lodan 379 389 388 365 396 1856 388 396 504 693 621 208
Kulon
12. Lodan 314 229 432 220 162 1826 367 268 419 486 521 380
Wetan
13. Soko Gng 75 125 131 98 101 31 15 35 79 45 30 19
14. Sido 65 117 498 147 168 5306 313 205 873 2019 1670 741
Mukti
Jumlah 174 213 403 216 223 2290 307 503 47 740 820
4682
0 6 5 5 3 7 6 6 64 4 2
Sumber : Studi Dampak Sosial, 2010
Dari sebaran data tabel di atas dapat diketahui bahwa usia diatas
19 tahun adalah yang paling besar, dimana pada usia demikian inilah
usia produktif seseorang untuk mendapatkan pekerjaan.

d. Berdasarkan Tingkat Pendidikan Umum dan Pendidikan


Khusus.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk


mewujudkan seseorang secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Data pendidikan dibutuhkan mengingat didalam


berinteraksi dengan masyarakat desa hutan Perhutani harus
memahami karakter masyarakat berdasarkan latar belakang
pendidikan masyarakat setempat, sehingga pendekatan yang
dilakukan Perhutani kepada masyarakat tepat. Pertimbangannya
adalah : pertama, Masyarakat dengan pendidikan yang tinggi

Studi Dampak Sosial 2010 19


cenderung lebih cepat, tepat dan hati-hati dalam mengambil
keputusan. Kedua, Orang dengan pendidikan yang rendah
cenderung lebih mudah diberi masukan/ nasihat/ motivasi daripada
orang yang berpendidikan tinggi, karena orang dengan pendidikan
tinggi cenderung merasa dirinya lebih baik dan berpikir bahwa
orang lain tidak bisa mengatur atau menasehatinya. Hal ini
dikarenakan orang yang berpendidikan tinggi pada umumnya
melihat siapa yang berbicara bukan apa yang dikatakan oleh orang
itu.

Berdasarkan hasil penilaian Studi Dampak Sosial yang


dilakukan diketahui bahwa untuk ke-14 desa sampling, latar
belakang pendidikannya mayoritas mengambil pendidikan umum
daripada pendidikan khusus. Jalur pendidikan umum terbesar pada
jenjang pendidikan SD, yaitu sebesar 13482 (58,5 %) selanjutnya
dikuti jenjang pendidikan SMP yaitu sebesar 4970 (21,6 %). Pada
jalur pendidkan khusus mayoritas penduduk mengambil pendidikan
madrasah yaitu sebesar 607 (52,2%), selanjutnya pendidikan
pondok pesantren yaitu sebesar 431 (37,3 %). Berikut Tabel III. 7
yang menunjukkan keseluruhan dari kondisi tersebut.

Studi Dampak Sosial 2010 20


Tabel III. 7
Kependudukan berdasarkan Tingkat Pendidikan Umum dan Pendidikan
Khusus.

Tkt. Pendidikan Umum Tkt. Pendidikan Khusus


pon Mad Pen SLB Kurs Lain
Di pes rasa d. us/K -lain
No Desa SM SM
Tk SD /D SI h Kea etra
P U
3 gam mpil
aan an
1. Gandu 13 900 200 30 3 2 10 8 100 - - -
2. Ketringa 73 611 121 68 13 25 15 - - - - -
n
3. Sale 329 116 162 120 93 73 - - - - - -
7 9 5
4. Rendeng 42 115 58 13 5 8 - - - - - -
5. Pakis 12 640 198 10 8 - - 168 - - - -
6. Tegaldo 52 205 351 41 14 8 46 - - - 7 -
wo 6
7. Ketodan 43 102 79 67 4 3 - - - - - -
8. Lemah 33 778 128 17 2 1 - - - - - -
Putih
9. Dadaban 346 890 593 45 5 5 - - - - - -
10. Sambong 38 119 65 57 2 2 - - - - - -
11. Lodan 90 102 575 157 - 5 25 - - - -
Kulon 0
12. Lodan 125 105 270 205 20 13 360 255 - - - -
Wetan 0
13. Soko Gng 42 210 40 15 4 2 150 - - - -
14. Sido 498 382 663 487 11 17 - 1 12 - - -
Mukti 4 0
Jumlah 173 134 497 241 28
164 431 607 112 0 7 -
6 82 0 7 3
% 58, 21, 10, 1, 37, 52,
7,5 5 6 5 2 0,7 3 5 9,7 0,0 0,6
Sumber : Studi Dampak Sosial, 2010

Dari data tabel di atas penduduk yang mengambil pendidikan


umum untuk tingkat/ jenjang SI yang paling rendah yaitu sebesar
164 (0,7 %). Sedangkan pada pendidikan khusus adalah
pendidikan kursus atau keterampilan yaitu sebanyak 7 orang (0,6
%).

2. Mata Pencaharian.

Terkadang, sesuatu yang selalu kita lihat setiap saat justru


selalu luput dari perhatian kita. Kita tidak pernah serius
memperhatikan potensi apa yang ada di sekitar desa hutan. Jika kita
meluangkan waktu sejenak dan mengamati dengan serius apa yang

Studi Dampak Sosial 2010 21


”dimiliki” desa hutan KPH Kebonharjo, kita akan terkejut dan
menemukan ”harta karun” yang terpendam. Ternyata desa hutan
memiliki sumberdaya tersembunyi yang berlimpah ruah. Tidak saja
aksesibilitas terhadap lahan, beragam komoditas dan potensi
sumberdaya manusia, namun juga peluang untuk pengembangan
ekonomi kreatif, terbuka sangat lebar.
Dengan adanya potensi lingkungan hidup yang ada di
sekitarnya, penduduk yang ada di sekitar hutan selain ada yang
bermata pencaharian sebagai pegawai/karyawan swasta, pedagang/
wiraswasta, mereka juga bermata pencaharian melalui aktivitas
kedalam hutan seperti : bercocok tanam, mengambil rencek,
mengambil daun, maupun mengambil hasil hutan lainnya. Berikut ini
gambaran desa terkait jumlah penduduk berdasarkan profesi diluar
hutan, dan berdasarkan pekerjaan di dalam hutan :

a. Berdasarkan Profesi (Pekerjaan).

Jumlah penduduk ke 14 desa dengan mata pencaharian


berdasarkan pekerjaan (profesinya) yaitu terdiri dari : kelompok
pegawai (PNS, TNI/Polri, Swasta), dagang / wiraswasta, tani,
tukang, buruh tani, pensiunan, nelayan, dan jasa, terdiskripsikan
pada Tabel III.8. berikut ini :

Tabel III. 8
Kependudukan berdasarkan Profesi (Pekerjaan)

Mata Pencaharian
No Desa Pegaw Dagang/ Tani Tuka Buru Pens Nel Jas Jumlah
ai Wiraswa ng h iunan aya a
sta Tani n
1. Gandu 58 15 300 20 155 2 0 7 557
2. Ketringa 49 5 3457 78 8 0 0 15 3612
n
3. Sale 1246 326 508 7 727 0 0 0 2814
4. Rendeng 264 6 272 15 523 0 11 1091
5. Pakis 3 30 600 17 1 0 1 652
6. Tegaldo 25 73 3120 24 61 5 0 14 3322
wo
7. Ketodan 120 67 553 102 753 7 0 0 1602
8. Lemah 18 32 632 53 97 15 1 0 848

Studi Dampak Sosial 2010 22


Putih
9. Dadaban 8 0 255 31 460 0 0 66 820
10. Sambong 18 0 878 425 56 0 0 51 1428
11. Lodan 10 142 930 57 1379 1 0 6 2525
Kulon
12. Lodan 105 254 746 140 865 10 16 15 2151
Wetan
13. Soko Gng 38 30 400 33 20 0 0 3 524
14. Sido 362 81 715 32 1360 26 136 2712
Mukti
Jumlah 2324 1061 13366 1034 6464 67 17 325 24658
Prosentase
(%) 9,4 4,3 54,2 4,2 26,2 0,3 0,1 1,3
Sumber : Studi Dampak Sosial, 2010
Dari Tabel tersebut di atas terlihat bahwa profesi sebagai petani
dan buruh tani, merupakan mata pencaharian yang paling banyak
digeluti oleh penduduk di 14 desa sampling. Penduduk yang
bermata pencaharian sebagai petani adalah 13.366 (54,2% dari
total 24.658) dan sebagai buruh tani adalah 6.464 (26,2% dari total
24.658). Gambaran tersebut di atas memperlihatkan bahwa
penduduk yang menggantungkan mata pencaharian di sektor
pertanian tergolong tinggi.

b. Berdasarkan Mata Pencaharian di Dalam Hutan.

Penduduk yang mata pencaharian dalam kawasan hutan selain


mengolah lahan, juga terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan perhutani
seperti pekerjaan tanaman, pemeliharaan, tebangan, persemaian.
Jumlah penduduk yang mata pencahariannya terlibat aktivitas
dalam hutan dari 14 Desa Sampling, tertinggi di Desa Tegaldowo
sebanyak 2008 (29%) dan terendah di Desa Lemah Putih (1 %).
Berikut Tabel III.9. yang mendiskripsikan hal tersebut di atas :

Studi Dampak Sosial 2010 23


Tabel III.9

Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Dalam Hutan.

%
Prosentas Jml pdd.
Jumlah Rata-
No. Desa e / desa Yg Yg
Penduduk rata yg
terlibat terlibat
terlibat
1. Gandu 1910 75% 1433 20,9
2. Ketringan 5040 15% 756 11,0
3. Sale 4663 5% 233 3,4
4. Rendeng 1358 5% 68 1,0
5. Pakis 1279 7,50% 96 1,4
6. Tegaldowo 5019 40% 2008 29,3
7. Ketodan 2046 5% 102 1,5
Lemah
8. 1094 1% 11
Putih 0,2
9. Dadaban 3455 3% 104 1,5
10. Sambong 2009 1% 20 0,3
Lodan
11. 3773 30% 1132
Kulon 16,5
Lodan
12. 3183 25% 796
Wetan 11,6
13. Soko Gng 2910 1% 29 0,4
14. Sido Mukti 6301 1% 63 0,9
Jumlah 44040 6850
Sumber : Studi Dampak Sosial, 2010

Dari tabel di atas, diketahui dalam satu desa ternyata ada yang
mayoritas penduduknya terlibat dalam pekerjaan hutan mencapai
75 % (Gandu dan Pakis). Tetapi juga sebaliknya terdapat desa
yang penduduknya minim keterlibatan dalam kawasan hutan yaitu
desa Lemah Putih, Soko Gunung, dan Sido Mukti (1 %).

3. Fasilitas Ekonomi.

Terdapat hubungan yang erat antara ketersediaan fasilitas


layanan sosial ekonomi dengan variabel demografis. Semakin besar
jumlah penduduk dan kepadatan penduduk, maka ketersediaan
fasilitas sosial ekonomi semakin besar. Sebaliknya semakin besar luas
wilayah dan proporsi penduduk miskin, maka ketersediaan fasilitas

Studi Dampak Sosial 2010 24


sosial ekonomi semakin tinggi. Pertumbuhan penduduk tidak memiliki
hubungan dengan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi. Selain itu
terdapat perbedaan nyata ketersediaan fasilitas sosial ekonomi, antara
desa-desa di daerah dataran dengan perbukitan maupun menurut
tipologi desa urban dan desa rural. Ketersediaan fasilitas di desa urban
dan dataran jauh lebih tinggi dibanding desa rural dan perbukitan.
Kaitannya Fasilitas Ekonomi ke 14 desa sampling tergambar sebagai
berikut :
Tabel III. 10
Fasilitas Ekonomi

Fasilitas Ekonomi
No Desa
Pasar Warung Toko KUA Bank USP
1. Gandu 10 9
2. Ketringan 1 9 11
3. Sale 1 5 9 1 3
4. Rendeng 4 6
5. Pakis 3 10 2
6. Tegaldowo 1 28 54
7. Ketodan 4 7
8. Lemah
10 4
Putih
9. Dadaban 5 6
10. Sambong 4 5
11. Lodan
10 15
Kulon
12. Lodan
1 9 10 1 1
Wetan
13. Soko Gng 7 4
14. Sido Mukti 1 36 45 2
Jumlah 5 144 191 2 6 6
Sumber : Studi Dampak Sosial, 2010

Dari Tabel III. 10 di atas tergambar bahwa untuk jumlah fasilitas


ekonomi yang berupa warung dan toko terbanyak yaitu 144 warung
dan 181 toko. Pada desa Tegaldowo adalah desa yang terbanyak
untuk fasilitas warung dan tokonya, yaitu masing-masing berjumlah 28
warung dan 54 toko.

Studi Dampak Sosial 2010 25


B A B IV
HASIL STUDI DAMPAK SOSIAL

A. Perekonomian Desa

Penduduk yang tersebar pada wilayah-wilayah desa sekitar hutan


di wilayah KPH Kebonharjo adalah mayoritas masyarakat agraris.
Sebaran pemukiman penduduk cenderung terkonsentrasi pada wilayah-
wilayah yang menjadi tempat bagi warga masyarakat menggantungkan
mata pencaharian mereka, misalnya sekitar hutan, ladang, dan sawah dan
juga pada tepi-tepi jalan raya yang menghubungkan antara satu Desa
atau Kecamatan dengan tempat-tempat lainnya.

Selain menggantungkan mata pencaharian mereka pada sektor


pertanian, sebagian penduduk yang bermukim di wilayah sekitar hutan
KPH Kebonharjo juga berprofesi sebagai Karyawan, PNS, TNI, Polri,
Pedagang, Tukang dan lain-lain. Dengan demikian klasifikasi sumber-
sumber ekonomi masyarakat desa hutan berasal dari pendapatan yang
berbasis lahan dan pendapatan yang berasal dari masing-masing profesi.

Perum Perhutani KPH Kebonharjo dengan kegiatan utama kelola


ekologi, sosial, maupun ekonomi memiliki kepedulian untuk mengetahui
terhadap manfaat dari pengelolaan hutan yang dikelolanya. Apakah
pengelolaannya telah memberikan manfaat secara ekonomi, dirasakan
kontribusinya kepada masyarakat desa hutan ataukah sebaliknya yang
belum dirasakan kontribusinya oleh masyarakat. Berikut data kontribusi
pengelolaan hutan, dan potret penduduk yang aktifitas atau mata
pencahariannya terkait dengan hutan dan diluar hutan (berdasarkan
profesi) di 14 desa yang menjadi fokus Studi Dampak Sosial di wilayah
KPH Kebonharjo berikut ini.

Studi Dampak Sosial 2010 26


1. Kontribusi Pengelolaan Hutan Terhadap Pendapatan Rata-Rata
Masyarakat per Tahun.

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan


lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya
tidak dapat dipisahkan. Sedangkan yang dimaksud dengan
sumberdaya hutan adalah benda hayati, non hayati dan jasa yang
terdapat di dalam hutan yang telah diketahui nilai pasar, kegunaan dan
teknologi pemanfaatannya. Hutan merupakan suatu areal yang di atas
permukaan tanahnya ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan dari berbagai
ukuran terdiri dari tanaman tinggi dan tanaman rendah sampai rumput-
rumputan yang kesemuanya tumbuh secara alami, berbagai jenis
tumbuhannya itu merupakan sumber penghasil kayu dan hasil-hasil
hutan lainnya,

Berbagai potensi hutan yang berupa jenis tanaman tegakan,


tanaman hijauan ternak, lahan (andil), dan potensi lain yang ada
selama ini telah termanfaatkan oleh masyarakat melalui aktivitas mata
pencahariannya. Masyarakat berinteraksi dengan hutan untuk
mengambil rencek, mengambil daun pohon jati baik untuk kebutuhan
sendiri maupun untuk dijual, mengambil hijauan pakan ternak, maupun
menggarap lahan (andil), merupakan aktivitas keseharian masyarakat
yang dari turun temurun sudah dilakukan. Tetapi rutinitas keseharian
ini terkadang kurang disadari bahwa mereka telah memperoleh
tambahan pendapatan / manfaat dari pengelolaan hutan.

a. Sektor Hutan.

Pendapatan masyarakat desa hutan yang berasal dari


hutan dibedakan menjadi dua, yaitu pertama, pendapatan dari
aktivitasnya merencek, mengambil daun, dan mengambil hijauan
ternak. Kedua, pendapatan masyarakat yang diperoleh dengan
cara menyanggem.

Kegiatan menyanggem andil, dimanfaatkan masyarakat


untuk menanam tanaman polowijo, seperti jagung, ketela pohon,

Studi Dampak Sosial 2010 27


padi gogo, maupun yang lainnya. Sedangkan khusus pada hutan
lindung pemanfaatan hutan dimanfaatkan untuk tanaman
holtikultura. Berikut ini nilai manfaat sektor hutan bagi pendapatan
masyarakat desa hutan dalam satu tahun.

1) Kontribusi Hasil Rencek, Daun, dan Hijauan Ternak.

Identifikasi pendapatan ke-14 desa yang berhubungan dengan


sumber-sumber pendapatan masyarakat sekitar hutan baik yang
berasal dari hutan per tahun adalah sebagaimana ditunjukkan
Tabel IV. 1. berikut ini :
Tabel IV.1
Pendapatan Desa Berdasarkan Hasil Hutan Yang Berasal
dari Rencek, Daun, dan Hijauan Ternak.

Sumber pendapatan
Jumlah
No Desa Hijauan
Rencek % Daun % % pendapatan
Ternak
1. Gandu 64.5 903.375.0 967.901.7
6,7 0
26.786 - 00 93,3 86
2. Ketringan 480.8 2.019.618. 2.503.246.0
19,2 2.766.600
61.429 0 000 80,7 29
3. Sale 266.9 84.096.0 351.328.1
76,0 260.714
71.429 0 00 23,9 43
4. Rendeng 1.687.176. 100, 1.687.176.0
0,0 0
- - 000 0 00
5. Pakis 280.1 210.075.7 490.176.7
57,1 0
01.000 - 50 42,9 50
6. Tegaldow 8.8 106.329.5 115.202.2
7,7 0
o 72.629 - 81 92,3 09
7. Ketodan 110.7 10.466.0 121.999.5
90,8 782.143
51.429 1 10 8,6 81
8. Lemah 18.2 438.000.0 456.250.0
4,0 0
Putih 50.000 - 00 96,0 00
9. Dadaban 182.5 127.020.0 309.520.0
59,0
00.000 - 00 41,0 00
10. Sambong 438.000.0 100, 438.000.0
0,0 0
- - 00 0 00
11. Lodan 102.2 536.550.0 648.135.7
15,8 9.385.714
Kulon 00.000 1 00 82,8 14
12. Lodan 180.6 21.900.00 271.012.5 473.587.5
38,2
Wetan 75.000 0 5 00 57,2 00
13. Soko Gng 386.2 12.874.07 1.784.346. 2.183.442.5
17,7
22.143 1 1 300 81,7 14
14. Sido 257.6 120.231.0 541.039.5 918.908.3
28,0
Mukti 37.857 00 13 00 58,9 57
Jumlah 2.339.5 9.157.104. 11.664.874.5
6,7
69.700 641 84
Prosentase 20,06
1,44 78,50
Kolektif
Sumber : Studi Dampak Sosial, 2010

Studi Dampak Sosial 2010 28


Pendapatan rata-rata per desa dalam satu tahun dari
kontribusi hasil rencek, daun, dan hijauan ternak terbesar ada di
desa ketringan yaitu sebesar Rp. 2.503.246.029,-, sedangkan
yang paling rendah adalah di desa Tegaldowo yaitu sebesar
Rp. 115.202.209,-.

Sedangkan untuk pendapatan rata-rata per orang


terbesar di desa Rendeng sebesar Rp. 4.382.275,- (12,69%)
sebanyak 385 orang, berarti hampir sama dengan
pendapatan per orang di desa Sambong sebesar Rp.
4.380.000,- (12,69 %), dan terendah di desa Sale sebesar Rp.
1.051.881, - (3,05 %) sebanyak 334 orang.

Berikut Tabel IV.2. yang mendeskripsikan secara keseluruhan


pendapatan rata-rata per orang tersebut diatas.

Tabel IV. 2
Pendapatan Rata-Rata Masyarakat Pengambil Rencek, Daun, dan
Hijauan Ternak per Tahun.

Pendapatan Jmlh Pendapatan


No Desa %
Desa/ Th pengambil /org
1. Gandu 967.901.786 578 1.674.571 4,85
2. Ketringan 2.503.246.029 1.399 1.789.311 5,18
3. Sale 351.328.143 334 1.051.881 3,05
4. Rendeng 1.687.176.000 385 4.382.275 12,69
5. Pakis 490.176.750 122 4.017.842 11,64
6. Tegaldowo 115.202.209 45 2.560.049 7,42
7. Ketodan 121.999.581 112 1.089.282 3,16
8. Lemah Putih 456.250.000 205 2.225.610 6,45
9. Dadaban 309.520.000 108 2.865.926 8,30
10. Sambong 438.000.000 100 4.380.000 12,69
11. Lodan Kulon 648.135.714 297 2.182.275 6,32
12. Lodan Wetan 473.587.500 151 3.136.341 9,09
13. Soko Gng 2.183.442.514 1.597 1.367.215 3,96
14. Sido Mukti 918.908.357 511 1.798.255 5,21

Jumlah 11.664.874.584 5.941 34.520.833

Sumber : Studi Dampak Sosial, 2010

Studi Dampak Sosial 2010 29


2) Kontribusi Sebagai Pesanggem.

Salah satu upaya Perhutani untuk memberikan peluang


masyarakat dalam pengelolaan hutan adalah melalui kegiatan
Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan (PLDT) dan juga
pemanfaatan lahan di dalam hutan melalui sistem Tumpang Sari
berdasarkan aturan kesepakatan antara Perhutani dan
pesanggem. Oleh masyarakat pesanggem, andil dalam petak
pangkuan dimanfaatkan untuk penanaman jagung, ketela
pohon, padi gogo, dan cabe. Pada status hutan Lindung (desa
Dadaban dan Pakis), dimanfaatkan masyarakat untuk menanam
tanaman holtikultura seperti Nangka, durian, ace, mlinjo, dan
pisang. Bahkan pada desa Pakis hasil panen pisang per bulan
mencapai 40 ton. Berikut Tabel IV. 3. yang menjelaskan
pendapatan masyarakat dari hasil sebagai pesanggem.

Tabel IV. 3
Pendapatan Masyarakat Dari Sebagai Pesanggem.

Jenis Tanaman
Jumlah/th/H
No Desa Ketela Padi
Jagung Lain-lain a.
Pohon Gogo
1. Gandu 4.000.000 400.000 0 0 4.400.000
2. Ketringan 11.200.000 2.400.000 0 0 13.600.000
3. Sale 2.160.000 2.100.000 8.000.000 2.000.000 14.260.000
4. Rendeng 1.800.000 0 8.000.000 1.200.000 11.000.000
5. Pakis 1.360.000 0 0 100.000.000 101.360.000
6. Tegaldowo 9.750.000 900.000 8.800.000 6.300.000 25.750.000
7. Ketodan 3.200.000 1.500.000 0 0 4.700.000
8. Lemah Putih 1.700.000 360.000 0 0 2.060.000
9. Dadaban 0 0 0 12.000.000 12.000.000
10. Sambong 0 0 0 800.000 800.000
11. Lodan Kulon 16.000.000 4.800.000 7.500.000 7.500.000 35.800.000
12. Lodan Wetan 17.500.000 9.600.000 0 0 27.100.000
13. Soko Gng 1.200.000 210.000 340.000 1.400.000 3.150.000
14. Sido Mukti 3.400.000 500.000 1.320.000 0 5.220.000
Jumlah 73.270.000 22.770.000 33.960.000 131.200.000 261.200.000
Prosentase 28,1 8,7 13,0 50,2
Sumber : Studi Dampak Sosial, 2010

Studi Dampak Sosial 2010 30


Jenis tanaman yang pada umumnya dibudidayakan
oleh para petani sebagai tanaman sela di lahan tanaman
utama (jati), antara lain; jagung, padi, kacang tanah dan cabe.

Dari data tabel di atas dapat diketahui hasil kontribusi


hutan kepada masyarakat petani hutan / tahun / ha. dari hasil
menyanggem sebesar Rp. 261.200.000,-. Jenis tanaman yang
memberikan kontribusi terbesar adalah tanaman Lain-lain
diantaranya adalah tanaman Nangka, durian, ace, mlinjo,
pisang, dan kacang tanah yaitu sebesar Rp. 131.000.000,-
(50,2 %). Sedangkan kontribusi terendah adalah untuk
tanaman Ketela Pohon sebesar 22.770.000,-/th/Ha. (8,7 %).
Pesanggem yang terlibat dalam pengolahan lahan secara
tumpangsari di lahan Perhutani, diatur melalui kontrak lahan
selama 2 tahun dan rata-rata mengolah lahan seluas 0,25
Ha/Org.

b. Sektor Non Hutan

Pendapatan masyarakat ke-14 desa sampling selain dari


menyanggem, mereka juga memiliki lahan garapan sendiri diluar
hutan yang berupa sawah ataupun tegalan. Ada pula mereka yang
memiliki pendapatan dari profesi yang lain sebagai mata
pencahariannya, seperti Pegawai, pedagang, atau penyedia jasa
lainnya. Tabel III. 4. berikut ini yang menjelaskan rata-rata
pendapatan / bulan dari profesi di luar hutan.

Studi Dampak Sosial 2010 31


Tabel IV. 4
Pendapatan Profesi di Luar Hutan.
Jenis Profesi Jumlah
No Desa Pdpt/org/
PNS TNI/Polri Pedagang Pengrajin
bln/desa
1 Gandu 2.500.000 3.500.000 500.000 250.000 6.750.000
2 Ketringan 3.000.000 3.000.000 2.000.000 1.750.000 9.750.000
3 Sale 2.000.000 3.500.000 900.000 - 6.400.000
4 Rendeng 2.000.000 - 750.000 - 2.750.000
5 Pakis 3.700.000 - 1.200.000 300.000 5.200.000
6 Tegaldowo 2.000.000 2.700.000 2.500.000 - 7.200.000
7 Ketodan 2.000.000 2.000.000 750.000 - 4.750.000
8 Lemah Putih 2.000.000 - 750.000 - 2.750.000
9 Dadaban 2.000.000 - 2.000.000 500.000 4.500.000
10 Sambong 2.500.000 2.500.000 1.500.000 1.400.000 7.900.000
11 Lodan Kulon 1.050.000 - 900.000 1.150.000 3.100.000
12 Lodan Wetan 2.500.000 2.500.000 1.200.000 900.000 7.100.000
13 Soko Gng 2.000.000 2.000.000 1.000.000 700.000 5.700.000
14 Sido Mukti 3.000.000 3.500.000 750.000 1.500.000 8.750.000
Jumlah 32.250.000 25.200.000 16.700.000 8.450.000 82.600.000
Sumber : Studi Dampak Sosial, 2010

B. Kelembagaan

Desa hutan ditandai dengan ciri masyarakatnya yang homogen


dan eratnya ikatan-ikatan kekerabatan yang bersifat informal serta masih
mengakarnya jalinan solidaritas diantara sesama penduduknya.
Disamping itu, dijumpai juga ikatan-ikatan formal dalam suatu lembaga
yang merupakan wahana bagi warga masyarakat desa untuk berinteraksi,
menyalurkan pendapat/aspirasi dan bekerjasama dengan pihak-pihak
lainnya.
Dari pengamatan desa-desa sampling dijumpai beberapa
lembaga yang memungkinkan bagi warga masyarakat untuk menjalin
kerjasama dalam suatu ikatan formal. Pada masyarakat desa hutan,
terutama mereka yang mempunyai kegiatan terkait dengan pengelolaan
hutan, lembaga-lembaga tersebut, antara lain: Kelompok Tani Hutan
(KTH), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan Badan Pengawas
Desa (BPD).
Berdasarkan SK Direksi NO.136/KPTS/Dir/2001 tentang Sistem
Pengelolaan Hutan Bersama masyarakat (PHBM) yang dilandasi oleh
prinsip berbagi peran dan tanggungjawab serta hak dengan Masyarakat

Studi Dampak Sosial 2010 32


Desa Hutan (MDH) dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders)
secara proporsional dalam pengelolan sumberdaya hutan, maka dibentuk
forum/lembaga di masing-masing desa. Melalui lembaga tersebut
diharapkan dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap
keberadaan serta kelestarian fungsi dan manfaat Sumber Daya Hutan.
Sejak tahun 2002, di desa-desa yang kawasan hutannya termasuk dalam
lingkup pengelolaan Perhutani, telah terbentuk lembaga formal yang lebih
dikenal sebagai Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

Dari 14 Desa yang dijadikan sampling pada Studi Dampak Sosial


2010, hingga saat ini semuanya telah terbentuk LMDH dan ternotariskan.
Berbagai program kerjasama antara LMDH dan Perhutani yang diatur
dalam suatu Perjanjian Kerjasama (PKS), telah diimplementasikan hingga
saat ini. Program tersebut adalah :

1. Pemberdayaan LMDH.

2. Pengembangan kapasitas masyarakat.

3. PKBL

4. Bantuan sosial (didalamnya termasuk pendidikan, kesehatan,


keagamaan, tanggap darurat/bencana)

5. Penyerapan tenaga kerja dan penyediaan cadangan pangan.

Melalui kerjasama tersebut diharapkan agar masyarakat memperoleh


manfaat dan mampu untuk membantu peningkatan kesejahteraan mereka,
serta terwujudnya harmonisasi hubungan antara Perhutani dan
masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah hutan. LMDH yang telah
terbentuk di KPH Kebonharjo. Tabel IV. 5.berikut ini tentang data
pendirian LMDH.

Studi Dampak Sosial 2010 33


Tabel IV.5
Daftar Pendirian 14 LMDH.
Perjanjian
Notaris Pendirian
Kerjasama
No Desa Nama LMDH
(Notaris)
No Tanggal No Tanggal
19 JANUARI 31 JANUARI
1. Gandu Gunung Lestari 39 97
2007 2007
2. Ketringan Wana Sejahtera 325 3 JANUARI 2004 6 3 JANUARI 2004
Reksa wana
3. Sale 6 23-Des-02 14 31-Des-02
Kumala
4. Rendeng Sobo Wono 32 07-Jan-08 67 15-Mar-08
15
5. Pakis Ngudi Lestari 152 24 MEI 2006 24 MEI 2006
9
4 OKTOBER 15 NOPEMBER
6. Tegaldowo Giri Wana Lestari 34 33
2007 2007
4 OKTOBER
7. Ketodan Sumber Gedhe 32 38 15-Nop-07
2007
Lemah 4 OKTOBER 15 NOPEMBER
8. Wana Lestari 30 35
Putih 2007 2007
Argo Puro 5 DESEMBER 31 JANUARI
9. Dadaban 1 96
Rengganis 2006 2007
22 DESEMBER
10. Sambong Sumber Rejeki 15 16 3 JANUARI 2004
2003
Lodan 15
11. Wono rahayu 151 24-Mei-06 24-Mei-06
Kulon 6
Lodan
12. Sido Dadi 4 06-Des-03 9 03-Jan-04
Wetan
4 OKTOBER 15 NOPEMBER
13. Soko Gng Towo Bangau 33 37
2007 2007
14. Sido Mukti Wono Mukti 25 07-Jan-08 70 15-Mar-08
Sumber : Studi Dampak Sosial, 2010

Adanya lembaga / wadah masyarakat desa hutan untuk menyampaikan


keluhan / keinginannya kepada Perusahaan sangat berpengaruh positif
terhadap pengelolaa hutan dan masyarakat mendapatkan manfaat dari
hasil pengelolaan diantaranya dengan adanya bagi hasil produksi.
Dari dana bagi hasil yang diterima LMDH oleh Paguyuban LMDH KPH
Kebonharjo dikoordinir untuk dilaksanakan subsidi silang bagi Lembaga
yang tidak mendapatkan bagi hasil produksi. Tabel IV. 6. berikut ini
menggambarkan realisasi sharing kepada LMDH sampai dengan tahun
2009.
Tabel IV. 6
Realisasi Bagi Hasil Kepada Masyarakat di KPH Kebonharjo s/d 2009

N BKPH Kayu Non Kayu


o
1. Gayam 520.092.219

Studi Dampak Sosial 2010 34


2. Tawaran 506.678.156
3. Sale 1.542.429.870
4. Tuder 506.678.156
5. Ngandang 558.522.706
6. Karas 21.098.000
7. Gunung Lasem - -
Total 3.634.401.1 21.098.000
07
Sumber: Laporan Tahunan KPH Kebonharjo 2009
Sedangkan distribusi sharing kepada 14 desa yang masuk dalam Studi
Dampak Sosial 2010 ini adalah sebagai berikut :

Tabel IV. 7
Realisasi Bagi Hasil Kepada 14 LMDH Tahun 2009.

No Desa Nama LMDH Sharing Kayu Subsidi Silang

1. Gandu Gunung Lestari - 950.000


2. Ketringan Wana Sejahtera 44.542.79 800.000
5
3. Sale Reksa wana 939.173.48 -
Kumala 4
4. Rendeng Sobo Wono - 400.000
5. Pakis Ngudi Lestari - 800.000
6. Tegaldowo Giri Wana Lestari - 800.000
7. Ketodan Sumber Gedhe - 800.000
8. Lemah Wana Lestari - 800.000
Putih
9. Dadaban Argo Puro - 800.000
Rengganis
10. Sambong Sumber Rejeki - 950.000
11. Lodan Wono rahayu 4.168.62 800.000
Kulon 0
12. Lodan Sido Dadi - 950.000
Wetan
13. Soko Gng Towo Bangau 685.55 400.000
2
14. Sido Mukti Wono Mukti 1.193.67 400.000
2
Sumber : Studi Dampak Sosial, 2010

Dari penerimaan sharing sampai dengan tahun 2009 terbesar


diterima LMDH Reksa Wana Kumala sebesar Rp. 939.173.484,-.
Sedangkan untuk LMDH yang tidak menerima sharing mulai sharing tahun
2007 diberikan subsisdi silang. Dalam merealisasikan dana sharing yang
diterima LMDH, sesuai arahan Perum Perhutani KPH Kebonharjo,

Studi Dampak Sosial 2010 35


diharapkan LMDH penerima dana sharing dapat mengalokasikan 30 – 40
% untuk usaha produktif LMDH. Berikut Tabel IV. 8 yang menggambarkan
perkembangan usaha produktif ke 14 desa sampling.

Tabel IV. 8
Data Usaha Produktif 14 LMDH Tahun 2010.

No Desa Nama LMDH Usaha Produktif Keterangan


1. Gandu Gunung Lestari - -
2. Ketringan Wana Sejahtera - -
3. Sale Reksa wana Warung Kayu Pemanfaatan
Kumala sharing produksi
Angkutan Hasil Hutan
Angkutan Umum
Ternak lele
Budidaya Porang
Budidaya Jarak Pagar
Persemaian
Koperasi
4. Rendeng Sobo Wono - -
5. Pakis Ngudi Lestari - -
6. Tegaldowo Giri Wana Lestari - -
7. Ketodan Sumber Gedhe Ternak Kambing 1 ekor
8. Lemah Wana Lestari Tanaman Randu Belum memberkan
Putih manfaat kpd LMDh
9. Dadaban Argo Puro - -
Rengganis
10. Sambong Sumber Rejeki - -
11. Lodan Wono rahayu Pembuatan emping mlinjo Macet (pailit)
Kulon
12. Lodan Sido Dadi - -
Wetan
13. Soko Gng Towo Bangau - -
14. Sido Mukti Wono Mukti - -
Sumber : Laporan Kelola Sosial, 2010

C. Ketenagakerjaan

Studi Dampak Sosial 2010 36


Keterlibatan langsung Masyarakat Desa Hutan (MDH) pada
kegiatan-kegiatan Unit Manajemen, antara lain penggarapan lahan
(pembersihan, pembuatan lubang), tanaman (tumpangsari),
pemeliharaan, tebangan dan lain sebagainya. Profesi sebagai petani dan
buruh tani, merupakan jenis mata pencaharian yang terkait langsung
dengan aktifitas di hutan. Sedangkan profesi yang tidak terkait langsung
dengan aktivitas di hutan, antara lain Karyawan (PNS, TNI Polri, Swasta)
dan jasa.

Berikut gambaran warga desa hutan yang terserap sebagai


tenaga kerja (Persemaian, Tanaman, Pemeliharaan dan Tebangan) di
KPH Kebonharjo sampai dengan bulan Juni 2010.

Tabel IV. 9
Jumlah Penduduk Desa yang terserap
Sebagai Tenaga Kerja di KPH Kebonharjo sd Bulan Juni 2010

No
Sumber: Laporan Kelola Sosial sd bulan Juni 2010.

1
Dari tabel tersebut di atas terlihat bahwa sampai dengan bulan Juni 2010
di wilayah KPH Kebonharjo tenaga yang terserap dibidang produksi
persemaian, tanaman, pemeliharaan, tebangan sebanyak 2.967 orang,

1 Penyerapan
Dari tabel diatas dapat juga terlihat penyerapan tenaga kerja wanita
(gender) sebanyak 2.550 orang (54%) dari total tenaga kerja sebanyak
4.736 orang.

Studi Dampak Sosial 2010 - Pengelol 37


D. Budaya

Desa mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama


lain diantara unsur-unsurnya, yang sebenarnya desa masih dianggap
sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan
kebudayaan asli seperti tolong menolong, keguyuban, persaudaraan,
gotong royong, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat , kesenian
kehidupan moral susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yang jelas.

Budaya ke 14 desa yang masuk dalam Studi Dampak Sosial 2010


ini tidak jauh berbeda dengan budaya masyarakat pedesaan di Jawa yang
lainnya, terutama yang bermukim disekitar wilayah hutan, hal ini ditandai
dengan kehidupan masyarakat yang homogen dan banyak
menggantungkan mata pencaharian mereka pada sektor pertanian dan
hutan guna pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Corak budaya Jawa dalam
interaksi sosial kehidupan sehari-hari pada masyarakat desa hutan yang
bermukim di sekitar wilayah KPH Kebonharjo, termanifestasikan dalam
berbagai aktifitas sosial kemasyarakatan. Dalam hal bercocok tanam
misalnya, masih dijumpai tradisi masyarakat yang melakukan syukuran di
ladang manakala akan memulai panen, ritual tersebut dikenal dengan
istilah “sedekah bumi” yaitu sebagai tanda rasa syukur atas hasil ladang
(panen) yang mereka peroleh. Kebiasaan-kebiasaan lain yang juga masih
dijumpai dalam aktifitas sosial masyarakat desa yaitu “ketok tular”, berupa
penyampaian pesan atau informasi lisan dari seseorang ke pihak yang
lainnya.

Kebudayaan di pedesaan biasanya bercirikan adanya


perkembangannya lambat, homogen, dan dijaga oleh penduduknya. Hal
ini bertolak belakang dengan di perkotaan yang cenderung heterogen dan
mengalami perubahan yang cepat. Masyarakat daerah perkotaan atau
desa pinggiran kota biasanya lebih berpikir logis, tidak banyak
memasukkan hal-hal yang bersifat mistis dalam kehidupan sehari-harinya.
Tidak sebagaimana yang ada di desa-desa masih terdapatnya situs atau

Studi Dampak Sosial 2010 38


tempat-tempat yang “dikhususkan” dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat setempat. Mereka meyakini adanya intervensi kekuatan “roh
penunggu” pada tempat-tempat tertentu yang bisa mempengaruhi baik
buruknya nasib seseorang. Pada Tabel IV. 8 berikut ini terdiskripsikan
situs atau tempat-tempat yang dijadikan ritual masyarakat.

Tabel IV. 10
Data Situs Studi Dampak Sosial 2010

No Desa Nama Situs Keterangan


1. Pakis Jati Kusumo, Tanggul Digunakan
Rasi, Maka Sumari ritual, tetapi
(dimafaatkan luar daerah) masyarakat
luar daerah.
2. Lemah Putih Sendang Bojo. Dipakai ritual
sedekah
bumi.
3. Dadaban Makam Doro, Gua Belum
Rengganis, Pertapaan terawat.
Mbah Deleh.
Sumber : Identifikasi Situs Budaya dan Ekologil, 2008

E. Sengketa (Konflik)

Konflik merupakan suatu perbedaan cara pandang. Bentuknya bisa


berupa keluhan sampai pada tingkat kekerasan dan perang. Penyebab
konflik dalam Studi Dampak Sosial ini dibagi menjadi tiga kategori,
berdasarkan informasi dan kerangka acuan di lapangan. Penentuan
kategori didasarkan pada perbedaan jenis kegiatan yang memicu terjadinya
konflik yaitu sebagai berikut:

1. Perambahan hutan (Lahan).


Adalah kegiatan pembukaan lahan pada kawasan hutan yang
bermasalah karena adanya perbedaan penafsiran mengenai

Studi Dampak Sosial 2010 39


kewenangan dalam pengelolaannya. Pada ke 14 desa tidak
ditemukan kejadian terkait dengan sengketa lahan.
2. Pencurian kayu.
Adalah penebangan kayu secara ilegal yang dilakukan oleh
masyarakat/perusahaan di lokasi yang bukan miliknya, sehingga
menimbulkan konflik dengan pihak lain yang merasa dirugikan.
Dalam Studi Dampak Sosial ini diperoleh informasi bahwa telah
terjadi pencurian kayu oleh masyarakat didesa Lodan Wetan,
Ketringan dan Sale. Pada kejadian tersebut telah dilakukan
penyelesaian secara kekeluargaan sesuai SOP Resolusi Konflik.
Berikut gambaran tentang intensitas pencurian kayu jati di KPH
Kebonharjo tahun 2009.

Tabel IV. 11

Data Pencurian Kayu di Desa Sampling sd Bulan Juni 2010


Pohon
No. LMDH Desa Kejadian Kerugian
Hilang (tgk)

1 Wana Sejahtera Ketringan 1 5 582.000


2 Reksa Wana Kumala Sale 1 3 540.000
3 Sido Dadi Lodan Wetan 1 2 20.000
Jumlah 10 1.142.000

Sumber : Laporan monitoring gangguan keamanan sd bulan Juni 2010

3. Batas.
Adalah perbedaan penafsiran mengenai batas-batas pengelolaan/
kepemilikan lahan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
Pada ke 14 desa sampling tidak ditemukan kejadian terkait dengan
sengketa batas.

F. Persepsi Msyarakat

Berdasarkan hasil studi dampak sosial yang dilakukan pada empat belas
desa sampling dalam wilayah KPH Kebonharjo, diperoleh gambaran yang
bervariasi tentang persepsi MDH terhadap Perhutani. Informan ditentukan
secara sengaja (purpossive) dengan memilih orang-orang yang dipandang
sebagai representasi dari warga masyarakat desa hutan. Dari setiap desa

Studi Dampak Sosial 2010 40


dipilih informan yaitu Kepala Desa, Tokoh Masyarakat/LMDH dan
Pesanggem.

Secara umum jawaban-jawaban yang muncul dari studi tersebut adalah:

a. Setuju dengan keberadaan Perhutani karena selama ini telah


membantu masyarakat melalui kegiatan PLDT, PKBL, bantuan alat-
alat pertanian dan baju kaos kepada KTH dan program-program
lainnya.

b. Setuju tetapi sebaiknya MDH diberi sedikit kelonggaran dalam


pengelolaan lahan, terutama dari kalangan pesanggem yang
menginginkan adanya perpanjangan waktu penggarapan lahan yang
hanya berlangsung dua tahun.

c. Kurang setuju, dengan alasan yang umumnya bersifat subyektif karena


dilatari oleh kesenjangan informasi antara MDH dengan Perhutani,
misalnya kurang setuju dengan pola bagi hasil/production sharing yang
diterapkan oleh Perhutani.

Tidak ditemukan jawaban-jawaban yang secara tegas menolak


keberadaan Perhutani yang mengelola hutan di sekitar tempat
bermukimnya Masyarakat Desa Hutan (MDH).

G. Pendidikan

Sebagaimana gambaran pada Tabel III. 6. bahwa berdasarkan


usia pendidikan diketahui untuk usia pendidikan yang paling tinggi adalah
usia pendidikan 19 th keatas, yaitu sebesar 22.907, dan yang terendah
adalah usia pendidikan 00-03 th yang sebesar 1.740. Sedangkan untuk
usia kelompok tenaga kerja pada ke-14 desa sampling adalah yang paling
besar adalah usia 41-56 th yaitu sebesar 8.202, dan yang paling rendah
usia 10-14 th yaitu sebesar 3.076.

Walaupun KPH Kebonharjo telah menjalankan program


kepedulian pendidikan terhadap anak-anak Sekolah Dasar terutama yang
berdekatan dengan hutan wilayah KPH Kebonharjo dengan memberikan

Studi Dampak Sosial 2010 41


bantuan berupa buku tulis dan tas sekolah, namun untuk ke 14 desa
sampling belum mendapatkan bantuan serupa di tahun 2009.

H. Kesehatan

Pada desa yang telah dilaksanakan sampling, tingkat kesehatan


masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh program yang sudah
dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat merasa sangat diuntungkan
dengan keberadaan Polindes, Bidan desa dan Posyandu disetiap desa,
sehingga berpengaruh pada minimnya tingkat mortalitas utamanya pada
ibu dan bayi. Untuk mendapatkan sumber air bersih, masyarakat
mendapatkannya dari sumur, sendang ataupun mata air. Pada waktu
kemarau ternyata kondisi sumber mata air masih stabil (baik).

Indikator kesehatan yang menyangkut keberadaan MCK adalah


variatif untuk ke 14 desa, mayoritas kondisi MCK baik rata-rata 70 %
keatas ada pada desa Lemah Putih, Dadaban, Sambong, Lodan wetan,
Lodan Kulon, dan Sido Mukti. Sedangkan kondisi kurang dari 70 %
masing-masing pada desa gandu, Rendeng, Pakis, dan Tegaldowo (data
terlampir).

I. Temuan-Temuan

Temuan-temuan pada waktu melaksanakan Studi Dampak Sosial


dilapangan adalah :

1. Proses diskusi antara pihak fasilitator dengan masyarakat


berjalan lancar, dan menimbulkan keakraban yang erat, seolah-olah
tidak ada sekat pemisah antara kedua pihak.
2. Bahwa dalam proses diskusi tertangkap pertanyaan-pertanyaan
yang ada di form menyangkut penghitungan nilai rencek, daun,
maupun hijauan ternak dalam bentuk penghitungan uang merupakan
suatu hal yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Studi Dampak Sosial 2010 42


3. Terdapat adanya harapan besar dari masyarakat agar LMDH
lebih diberdayakan, sehingga masyarakat dapat lebih merasakan dari
keberadaan LMDH.
4. Masih adanya persepsi dalam masyarakat bahwa sharing ada
hanya untuk status hutan produksi saja (kayu), sedangkan panen/
hasil dalam bentuk holtikultura dianggap bukan merupakan sharing.
5. Masih adanya lembaga yang belum memiliki visi dan pembagian
kerja dalam kepengurusan yang jelas.

BAB V
Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

1. Interaksi masyarakat dengan hutan yang mengelilinginya sangat


tinggi, terbukti dengan adanya desa yang mayoritas penduduknya terlibat
dalam pekerjaan hutan hingga mencapai 75 % (Gandu dan Pakis).
2. Profesi sebagai petani dan buruh tani, merupakan mata
pencaharian yang paling banyak digeluti oleh penduduk di 14 desa sampling.
Penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani adalah 13.366 (54,2%
dari total 24.658) dan sebagai buruh tani adalah 6.464 (26,2% dari total
24.658).
3. Pendapatan rata-rata per desa dalam satu tahun dari kontribusi
hasil rencek, daun, dan hijauan makanan ternak terbesar ada di desa
Ketringan yaitu sebesar Rp. 2.503.246.029,-, sedangkan yang paling rendah
adalah di desa Tegaldowo yaitu sebesar Rp. 115.202.209,-.

4. Pendapatan rata-rata per orang terbesar di desa Rendeng yaitu


sebesar Rp. 4.382.275,- (12,69%) per tahun, sebanyak 385 orang, berarti
hampir sama dengan pendapatan per orang di desa Sambong sebesar Rp.
4.380.000,- (12,69 %) per tahun, dan terendah di desa Sale sebesar Rp.
1.051.881, - (3,05 %) per tahun sebanyak 334 orang.

Studi Dampak Sosial 2010 43


5. Kontribusi hutan kepada masyarakat petani hutan / tahun / ha. Ke
14 desa sampling dari hasil menyanggem sebesar Rp. 261.200.000,-. Jenis
tanaman yang memberikan kontribusi terbesar adalah tanaman Lain-lain (di
Desa wil. Hutan Lindung) diantaranya adalah tanaman Nangka, durian, ace,
mlinjo, pisang, dan kacang tanah yaitu sebesar Rp. 131.000.000,-
(50,2 %). Sedangkan kontribusi terendah adalahuntuk tanaman Ketela Pohon
sebesar 22.770.000,-/th/Ha. (8,7 %).

6. Usaha produktif yang didirikan di 14 desa sampling (LMDH) masih


relatif sedikit, yaitu 3 LMDH (Reksa Wana Kumala, Sumber Gedhe, dan
Wana Lestari) dari 14 LMDH.

7. Sharing produksi kayu masih merupakan ikon PHBM (faktor


motivasi utama), merupakan modal utama dalam lembaga untuk membiayai
operasional lembaga, dan sekaligus modal utama untuk mendirikan usaha
produktif lembaga.

8. Interaksi rutin antara perhutani dengan masyarakat (LMDH) masih


pada hal penyerapan tenaga kerja. Pekerjaan yang menyerap tenaga kerja
masyarakat seperti pekarjaan penanaman, pemeliharan, tebangan, dan
adanya aktivitas pengamanan hutan.

9. Dalam hal budaya masih adanya sistem kegotong-royongan, dan pemujaan


(ritual) pada tempat-tempat tertentu (situs) dalam kehidupan masyarakat
sekitar hutan.

10. Dalam bidang pendidikan dan kesehatan, program yang dijalankan KPH
Kebonharjo belum menyentuh semua desa yang ada di sekitar hutan.

Rekomendasi

1. Perlunya secara khusus dilakukan training kepengurusan LMDH.


2. Mengingat banyaknya LMDH yang dibina, maka perlu dilakukan secara
periodik koordinasi dan pembinaan secara konkrit terkait kebutuhan-
kebutuhan LMDH di wilayah KPH Kebonharjo.
3. Perlu review dan pelaksanaan kembali terkait pelatihan keterampilan yang
benar-benar dibutuhkan masyarakat, dan sesuai dengan potensi wilayah.

Studi Dampak Sosial 2010 44


4. Perlunya meningkatkan pendapatan masyarakat dari hutan, Perhutani harus
selalu memberikan motifasi kepada masyarakat / LMDH guna membuka
peluang usaha dengan memanfaatkan potensi sumberdaya hutan Misalnya :
menanam empon-empon, PLDT, HMT.
5. Pehutani agar meningkatkan harmonisasi hubungan dengan lembaga –
lembaga di desa guna memudahkan informasi peluang pekerjaan dan
kemungkinan menjalin kerjasama pengelolaan hutan.
6. Mengumumkan setiap ada peluang pekerjaan kepada masyarakat tanpa
membedakan gender sesuai dengan kemampuan.
7. Perhutani memberikan akses kepada masyarakat untuk menggunakan lahan /
kawasan untuk kebutuhan masyarakat utamanya dalam hal budaya
masyarakat.
8. Perhutani harus selalu melakukan monev terhadap kawasan – kawasan yang
digarap oleh pesanggem, utamanya kawasan KPS, sehingga permasalahan
atau konflik mengenai penggarapan liar dapat diketahui dan diatasi secara
dini.
9. Untuk membangun persepsi masyarakat tentang pengelolaan hutan yang
dilakukan oleh Perhutani, sebaiknya Perhutani selalu melakukan pendekatan
dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar hutan tentang kaidah – kaidah
pengelolaan hutan, dan melibatkan mereka dalam pengelolaan hutan.
10. Perlu adanya komitmen dari Perusahaan, bahwa program kesehatan dan
pendidikan akan ditingkatkan dan dilakukan secara rutin setiap tahun, agar
manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh mayarakat desa hutan KPH
Kebonharjo.

Studi Dampak Sosial 2010 45

Anda mungkin juga menyukai