Anda di halaman 1dari 5

Banyak tingkah guru dalam menanggapi jawaban anak.

Ada yang dengan gamblang dan


jelas menjelaskan kepada muridnya, karena memang dia telah mengetahui jawabannya, “Begini
anak-anak, jadi yang dimaksud dengan…”. Ketika seorang anak bertanya tentang suatu hal yang
terlalu susah atau tentang suatu hal yang terlalu jauh dari materi, atau ketika seorang guru tidak
mengetahui jawaban tersebut, beragamlah jawaban mereka. Ada yang jujur bahwa dia belum
mengetahuinya (tapi jarang), “Maaf ibu belum mengetahui jawabannya, mungkin dari kalian ada
yang sudah tahu?” ada yang gengsi terus menjawab “Emmm…emmm” terus nglantur ngomong
ngga jelas juga banyak, dan ironisnya lagi bahwa banyak juga yang marah, bahwa apa yang
ditanyakan oleh murid itu terlalu jauh…”Itu materi besok waktu kamu di SMP, jangan
ditanyakan sekarang.” Apakah kita bisa menjamin besok ia akan diterangkan waktu SMP sesuai
dengan keinginannya, mengapa seorang guru tidak berusaha untuk mencari dan terus
berkembang.. Apakah itu seorang guru yang bisa membuka cakrawala berpikir anak? Bisa-bisa
anak merasa bosan dan kreatifitasnya akan terpendam “Lha biasanya tanya kaya gini aja ngga
dijawab..” Ketika anak mulai menanyakan suatu hal yang belum diketahui dari gurunya, berarti
ia anak yang cerdas yang selalu kritis terhadap permasalahan. Di sinilah Tut Wuri Handayani
berlaku, kita selalu mendorong siswa untuk berkembang, mengikuti perkembangan mereka,
biarkan mereka lari jauh, dan pantaulah mereka dari belakang, lalu berilah rambu untuk
mereka…

Ketika seorang anak berpikir kritis, maka akan timbul suatu pola berpikir kreatif. Ia
belajar karena butuh. Bukan karena disuruh. Berikan anak stimulus agar ia mau dan mampu
berpikir kritis, kreatif, dan problem solver. Berikan anak permasalahan lalu biarkanlah anak
menyelesaikan masalah yang diberikan guru tersebut, maka dengan sendirinya anak akan
menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan kreatifitas maupun pengetahuan yang dimiliki
anak masing-masing.

Memacu Anak Berpikir Kritis

Dalam pembelajaran kritis para pendidik harus bekerja dengan berdasarkan pengalaman
anak didik dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran ini pendidik harus memperlakukan
mereka sebagai orang dewasa, sebagaimana diungkapkan bahwa dalam pendidikan kritis
pendekatan menggunakan andragogi bukan pedagogi yaitu pendekatan pendidikan orang dewasa
merupakan pendekatan yang menempatkan peserta didik sebagai orang dewasa, maka
konsekuensinya adalah menempatkam murid pada sebagai subjek dari sisitem pendidikan. Murid
sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah,
memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar
menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru
adalah sebagai fasilitator dan bukan menggurui.

Pendidik tidak menuruti segala kemauan peserta didik sehingga proses pembelajaran
cenderung menjadikan peserta didik sebagai raja dan pendidik sebagai pesuruh sebagaimana
banyak dikritik oleh banyak kalangan tetapi antara keduanya harus terjalin hubungan dialogis,
guru tetap mempunyai peran besar untuk membantu mereka dalam peroses pembelajaran, dan
etika serta moralitas antara keduanya harus tetap ditegakkan.

Dalam praksis pembelajaran kritis harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan
dialektisnya yang ajeg, yakni pendidik, peserta didik, dan realitas dunia. Yang pertama dan
kedua adalah subjek yang sadar, sementara yang ketiga adala h objek yang tersadari. Antara
pendidik dan peserta didik memiliki hubungan dialektis yang sejajar. Keduanya saling belajar
satu sama lain. Dalam proses ini, pendidik mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh
peserta didik dan pertimbangan pendidik diuji kembali setelah dipertemukan dengan
pertimbangan peserta didik. Jadi hubungan keduanya menjadi subjek-subjek, bukan subjek-
objek. Objek mereka adalah masalah yang dihadapi. Dengan proses tersebut, maka terciptalah
suasana dialogis yang bersifat inter subjek untuk memahami suatu objek secara bersama.

Memacu Anak Berpikir Kreatif

Anak pada usia 3,5 - 5,5 tahun perlu mendapatkan rangsangan berpikir konseptual yang
memadai dari lingkungannya. Anak merupakan masa eksplorasi. Pada masa ini anak sedang
mengalami perkembangan kemampuan berpikir yang sangat cepat. Ia membutuhkan sebanyak
mungkin informasi yang ada di lingkungan sekitar agar perkembangan kemampuan berpikirnya
semakin cepat. Merangsang anak berpikir konseptual akan sangat bermanfaat bagi
perkembangan kepribadian akan di masa depan.
Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir konseptual lebih mampu mengenali dan
mengelompokkan informasi-informasi, sehingga informasi yang kompleks menjadi lebih
sederhana dipahami. Inilah yang dimaksudkan dengan organisasi informasi.
Keuntungan berikutnya, sudah barang tentu anak cenderung akan tumbuh menjadi orang yang
memiliki kemampuan berpikir inovatif. Kematangan konseptual membawa anak kelak mampu
berpikir besar. Hal-hal yang di mata orang lain tidak bermakna terkadang sukar dimengerti bagi
dia justru mendatangkan ide-ide segar yang kreatif. Merangsang anak usia 4 tahun untuk berpikir
tinggi (konseptual) bisa dilakukan dengan berbagai cara. Setidaknya ada tiga cara yang dapat
dipakai oleh orang tua dalam memacu kemampuan berpikir anak, yang saya uraikan di bawah
ini.

Definisi Teoritikal

Definisi teoritikal dapat juga disebut definisi makna atau definisi pengertian. Orangtua dapat
menanyakan kepada si kecil apakah arti sayang? Apakah yang dimaksud dengan dingin? Atau,
apakah yang dimaksud dengan bola?

Menanyakan definisi makna akan merangsang si kecil untuk menemukan prinsip-prinsip dasar
dari setiap hal. la belajar menemukan kekhasan dari benda-benda yang ada di sekitarnya.
Merangsang anak berpikir konseptual dengan menanyakan definisi makna, merupakan cara yang
paling sulit. Kesulitan ini terletak pada bagaimana kita mengemas pertanyaan agar mudah
dicerna anak.

Definisi Fungsional

Orang tua dapat memberikan sentuhan pendidikan dengan menunjukkan manfaat benda-benda
yang ada di sekitarnya. Ini tidak hanya bermanfaat untuk memacu kemampuan berpikir anak,
juga bermanfaat untuk memberikan sentuhan perasaan dan kasih sayang.
Definisi manfaat memiliki muatan afeksi yang lebih tinggi dibanding definisi makna, sehingga
membuka pintu kesadaran melalui definisi manfaat akan efektif. Orang tua dapat memberikan
sentuhan kesadaran lingkungan, kesadaran kesetiakawanan sosial, bahkan kesadaran spiritual.
Orang tua dapat menanamkan keimanan dan kesadaran spiritual dengan menunjukkan bahwa
alam semesta, termasuk objek-objek yang tampak sepele, merupakan bukti keagungan Tuhan
yang sangat tinggi nilainya. Semuanya merupakan ciptaan Tuhan yang sangat berguna bagi
manusia.

Definisi Operasional

Bisa juga disebut definisi penerapan. Kata-kata sifat biasanya lebih mudah ditanyakan definisi
penerapannya daripada definisi makna. Anak lebih mudah untuk berpikir tentang apa yang bisa
dilakukan ketika sakit daripada arti dari sakit itu sendiri.

Anak yang terbiasa memahami definisi penerapan, akan terdorong untuk berpikir kreatif.
Ia akan terangsang untuk melakukan hal-hal baru yang orisinal. Kemampuan berpikir besar
dengan menghasilkan ide-ide segar, dimulai dari sini. Tetapi ini tidak bisa dipisahkan dari dari
definisi manfaat.

Pada dasarnya, semua anak kreatif. Guru hanya perlu menyediakan lingkungan yang benar untuk
membebaskan seluruh potensi kreatifnya. Guru diharapkan memberikan stimulasi pada anak
sehingga terjadi proses pembelajaran yang berpusat pada anak. Stimulasi dapat diberikan dengan
cara memberikan kesempatan pada anak untuk menjadi kreatif. Biarkan anak dengan bebas
melakukan, memegang, menggambar, membentuk, ataupun membuat dengan caranya sendiri
dan menguraikan pengalamannya sendiri. Bebaskan daya kreatif anak dengan membiarkan anak
menuangkan imajinasinya. Ketika anak mengembangkan keterampilan kreatif, maka anak
tersebut juga dapat menghasilkan ide-ide yang inovatif dan jalan keluar dalam menyelesaikan
masalah serta meningkatkan kemampuan dalam mengingat sesuatu. Suatu cara yang mampu
menyalakan percikan-percikan kreativitas anak usia dini adalah dengan membebaskan anak
menuangkan pikirannya.

Memacu Anak Sebagai Problem Solver

Jadikanlah pembelajaran yang berbasis masalah, yang artinya bahwa tiap siswa diberikan suatu
permasalahan yang dapat menggugah pola pikir anak sehingga menyebabkan anak selalu
tergugah dan ingin selalu tahu. Libatkanlah siswa dalam proses pembelajaran, yang artinya
mereka diharapkan “alami” apa yang mereka pelajari. Sehingga melalui masalah-masalah yang
diajukan oleh guru, menjadikan anak pandai memecahkan masalah.

Anda mungkin juga menyukai