Abstract
The issue of channel exchange relationship is emerges in study of marketing. This
phenomenon agrees with the fact that retail industries have growth very rapid in
Indonesia in the last decade. This paper explores the channel exchange relationship
between retail and their supplier. In this research, I use relationship marketing and
resource dependence as a framework to analyze the relationship between retail and
supplier. Gronroos (1994) defines relationship marketing in the following way, marketing
is Marketing is to establish, maintain, and enhance relationships with customers and
other partners, at a profit, so that the objectives of the parties involved are met. This is
achieved by a mutual exchange and fulfillment of promises. This definition is a key to
analyze the relationship of retailer and their supplier. We use the framework of
relationship marketing which contains of three construct, trust, commitment and
satisfaction. Also, the relationship of retailer-supplier has a problem of power imbalance.
So, I try to analyze this with resource dependence theory.
I use qualitative method in this research. The design of the research is case study
with multiple cases proposed by Yin (1994). In this case study, I use basic content
analysis as tool to analyze the phenomenon. Unit analysis of this research is company. I
use two cases in the different company, fuel retail and hypermarket. In order to gain
validity, I use multiple key person or informant to gain validity. The result shows, that in
the fuel company, relationship marketing is not the right framework because the
relationship between company and their supplier based on a strict contract. In fact, the
relationship of supplier and company in a fuel company is based on transaction cost
theory. In the hypermarket company, the relationship of supplier and retailer is based on
trust, commitment and satisfaction. Those three construct are the foundation of
relationship marketing
1
Manufacturer
sebuah kajian dari aspek teori maupun strategis. Peterson dan Balasubramanian (2002)
menyatakan bahwa salah satu tantangan dalam ilmu manajemen pemasaran ritel pada
kontemporer dalam disiplin ilmu ini. Selain itu, salah satu agenda riset manajemen
pemasaran ritel yang penting dalam abad 21 adalah bagaimana manajemen sebuah ritel
Balasubramain, 2002).
Saluran distribusi (channel) adalah salah satu bagian penting dari proses
konsumen akhir. Hal ini menyebabkan saluran distribusi memegang peran penting bagi
pemasar. Menurut Berman dan Evans (2002), ada beberapa hal yang membuat industri
ritel penting untuk dipelajari, yaitu pertama, implikasi ritel dalam perekonomian global.
Penjualan ritel dan daya serap tenaga kerjanya menjadi kunci dalam perekonomian
global. Kedua, fungsi ritel dalam rantai distribusi. Ritel menjadi bagian terakhir dari
rantai distribusi. Dalam rantai distribusi, ritel berfungsi menjadi penghubung antara final
consumer, dengan manufacturer dan wholesaler. Fungsi retailer dalam rantai distribusi
2
Sumber: Berman dan Evans, 2002, h. 9
Gambar 1. Rantai Distribusi
Ketiga, hubungan antara retailer dengan supplier. Retailer dan supplier
mempunyai cara pandang yang berbeda. Hal ini tentu saja perlu diatasi. Beberapa
masalah yang perlu diperhatikan dalam pola hubungan retailer dan supplier antara lain:
kontrol terhadap rantai distribusi, alokasi profit, jumlah retailer pesaing, lokasi, display
Berdasarkan data indikator ekonomi dari Bank Pembangunan Asia tahun 2006
terbesar ke-2 setelah sektor industri pengolahan yang mencapai 28 persen. Sumbangan
sektor perdagangan terhadap PDB sejak tahun 1987 sampai tahun 2004 terus stabil pada
level 16 persen, sementara sektor pertanian terus mengalami penurunan dari 23 persen
pada tahun 1987 menjadi hanya 15 persen pada tahun 2004. Bisnis ritel Indonesia
menunjukkan adanya daya serap tenaga kerja yang tinggi. Saat ini industri ritel Indonesia
mampu menampung 18,9 juta angkatan kerja, nomor dua setelah industri pertanian (lihat
www.kppu.go.id). Selain itu dari, 22,7 juta jenis usaha di Indonesia hampir 10,3 juta atau
45 persen diantaranya adalah bisnis ritel. Hal ini memperkuat argumen perlunya lebih
banyak riset dalam sektor ini. Ritel adalah bagian dari sektor perdagangan. Maka
penelitian tentang ritel memberikan sumbangan yang berarti bagi perekonomian nasional.
Relasi antara lembaga saluran distribusi (ritel dan wholesaler) dengan produsen
maupun antar mereka sendiri adalah isu penelitian manajemen pemasaran ritel yang
menarik. Penelitian yang dilakukan Vinhas dan Anderson (2005) tentang konflik antara
3
produsen dengan saluran distribusi adalah salah satu penelitian tentang saluran distribusi
menggunakan satu jenis saluran distribusi atau dua saluran distribusi atau bagaimana
perusahaan.
Kondisi aktual di Indonesia terkait dengan hal ini adalah adanya eksploitasi pemasok oleh
laporan tentang masalah dalam ritel adalah persaingan tidak sehat antar peritel yaitu
(Kompas,20 Maret 2007). Pemerintah berusaha mengatasi masalah ini dengan menyusun
rencana Peraturan Pemerintah tentang Penataan dan Pembinaan Usaha Pasar Modern.
Paper ini menganalisis tentang pola hubungan antara ritel dan pemasok dalam
sebuah channel exchange relationship. Ada dua rerangka analisis yang digunakan dalam
paper ini yaitu rerangka relationship marketing dan power. Rerangka analisis
power dengan pendekatan resource dependence theory. Hasil akhir dari paper ini adalah
4
PERTANYAAN PENELITIAN
Bagaimana pola hubungan antara perusahaan dengan pemasok mereka apakah sesuai
Bagaimana pola kontrol antara pemasok dan ritel apakah sesuai dengan rerangka
resource dependence?
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola hubungan antara perusahaan dengan
resource dependence. Hasil akhir dari penelitian ini adalah sebuah model hubungan
MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini bermanfaat sebagai sebuah studi pendahuluan bagi penelitian berikut yang
TINJAUAN PUSTAKA
dekade 90-an sebagai akibat dari perkembangan industri. Ada tiga hal yang menyebabkan
pemasaran bagi industri jasa dan ketertarikan yang kuat terhadap konsep customer
relationship economics.
5
Relationship marketing muncul sebagai jawaban atas ketiga hal diatas. Konsep ini
lahir dari bidang pemasaran jasa dan pemasaran industri. Gronroos (1994)
membina dan menjaga hubungan dengan konsumen dan mitra perusahaan, sebagai
pihak tetap terjaga. Beberapa elemen dasar dari relationship marketing adalah:
mempunyai arti bahwa harus ada keyakinan bahwa mitra bisa dipercaya
sebagai hasil dari keahlian, konsistensi dan niat dari mitra. Kedua, definisi
ini melihat bahwa kepercayaan sebagai sebuah perilaku niat atau perilaku
Definisi lain tentang relationship marketing dikemukakan oleh Berry (1983) yang
marketing dalam versi yang lain dikemukakan oleh Gummesson (1991) dengan definisi
mempunyai arti beberapa janji baru diberikan dengan syarat janji-janji yang lama telah
6
ditepati. Konsep relationship marketing ini merupakan sebuah hasil dari proses
transformasi dari hubungan bisnis antara dua perusahaan secara tradisional yaitu pembeli
dan penjual menjadi hubungan yang lebih strategis. Spekman dan Carraway (2006)
beberapa faktor yang penting sebagai syarat dari terjadinya proses transformasi tersebut.
Hal ini juga menjadi dasar teoritis yang kuat bagi relationship marketing. Proses transisi
pembeli.
hubungan.
• Proses merefleksikan aspek dinamis dari pertukaran, secara spesifik perilaku dan
7
menekankan pada keterhubungan eksternal dan keterkaitan internal. Sebagai
Drivers adalah faktor-faktor pendorong dari sebuah proses kerjasama, yang terdiri dari:
keuangan.
sudah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan Kim dan Michell (1999) adalah salah
satu diantara penelitian tersebut. Penelitian ini menganalisis hubungan antara empat
perusahaan otomotif terkemuka Jepang yaitu Toyota, Nissan, Mitsubishi dan Honda
dengan para suppliernya dalam rerangka relationship marketing. Pabrik otomotif Jepang
mempunyai jaringan pemasok. Ada beberapa yang berafiliasi dengan pabrikan (Kankei
8
Kaisha) dan ada pula yang independen (Dokuritsu Kaisha). Berdasarkan kategori ini
maka di dalam industri otomotif Jepang ada tiga jenis pemasok. Jenis pertama, yang
merupakan bagian kecil, adalah pemasok yang mempunyai hubungan erat dengan pabrik.
Kedua, yang jumlahnya menengah adalah pemasok yang masuk dalam asosiasi pemasok
pabrikan yang bersangkutan dan ketiga, pemasok yang masuk dalam asosiasi pemasok.
Penelitian ini adalah sebuah penelitian pendahuluan sehingga analisis data yang
dilakukan hanya berdasarkan observasi terhadap laporan tahunan dari pabrik dan para
pabrikan.
menggunakan pendekatan Delphi yang populer sejak tahun 60-an, yaitu sebuah
pendekatan kualitatif dengan tujuan menemukan konsensus diantara para ahli (praktisi
maupun akademisi) tentang sebuah konsep. Hasilnya, ada empat tema besar yang
menjadi arus utama dalam perkembangan relationship marketing di masa depan. Empat
9
2. Penerapan pendekatan relationship marketing seperti customer relationship
basis data manajemen yang lebih “cerdas”. Keuntungan dari penerapan hal-
marketing juga diadopsi dalam industri consumer goods. Konsep relationship marketing
ini berubah menjadi customer relationship management (CRM). Beberapa hal yang
1. CRM adalah hasil dari evolusi yang terus-menerus dan integrasi dari ide-ide
10
2. Pembahasan mengenai CRM mulai mengerucut pada kesamaan definisi.
kinerja.
kemampuan perusahaan.
5. Penerapan CRM yang efektif tidak selalu memerlukan analisis, konsep dan
6. Inti dari CRM adalah konsep dari kreasi ganda tentang nilai.
Beberapa hal yang merupakan potensi kelemahann CRM dan hal-hal yang tidak
3. Penggunaan matriks CRM secara tidak tepat dan tidak lengkap bisa
11
teknologi, pelanggan dan karyawan.
Isu metode penelitian dalam riset CRM pada masa yang akan datang:
perilaku konsumen.
sebuah organisasi adalah kemampuannya untuk memperoleh dan mengelola sumber daya
(Pfeffer dan Salancik, 1978). Hal ini dapat diartikan bahwa faktor lingkungan merupakan
12
memerlukan sumber daya dari lingkungan, oleh karena itu, ada hubungan saling
Manajemen harus selalu memahami bahwa yang menjadi struktur organisasi bukanlah
pengaruh organisasi terhadap sebuah aktivitas dibandingkan pengaruh aktor sosial lain
berdasarkan kelompok atau individu dalam organisasi tersebut. Namun demikian ada
perbedaan kriteria tentang keefektifan. Apa yang disebut efektif bagi satu kelompok
karyawan bisa jadi dianggap tidak efektif oleh kelompok lain atau bahkan manajemen.
Keefektifan adalah sebuah evaluasi eksternal dari apa yang dilakukan organisasi,
sedangkan efisiensi adalah evaluasi internal dari jumlah sumber daya yang digunakan
ketergantungan digambarkan dari hubungan antar agen dalam organisasi. Ada dua jenis
13
muncul secara bersamaan atau sendiri-sendiri. Konsep ketergantungan ini yang menjadi
dasar dari kontrol sosial terhadap organisasi. Kendala yang sering muncul dalam
Pfeffer dan Salancik (1978) mengemukakan sangat penting bagi organisasi untuk
organisasi terhadap apa yang dipersepsikan dan dipercayai tentang dunia. Fakta bahwa
lingkungan berperan tidak berarti bahwa perbedaan karakteristik individu menjadi tidak
berarti. Proses peran dari lingkungan ditentukan oleh eksistensi organisasi dan struktur
yang didalamnya organisasi yang terlibat saling tergantung satu sama lain.
kesulitan karena ada beberapa konsekuensi dari tindakan yang harus dipertimbangkan.
Selain itu, organisasi seringkali berhadapan dengan organisasi eksternal yang kuat
berusaha menghindari pengaruh dari organisasi eksternal dengan beberapa cara. Salah
pada saat ketidakpastian kompetitif sangat besar-yaitu pada saat konsentrasi industri
14
pertumbuhan organisasi. Pertumbuhan organisasi dan ukuran organisasi yang besar
Ukuran perusahaan berhubungan dengan stabilitas organisasi tetapi tidak terkait dengan
profitabilitas.
interlocking directorates, joint venture, kendala normatif dari aktivitas dan koordinasi
dengan struktur yang sentralistik, misalnya dengan membentuk asosiasi atau kartel.
prediktor yang utama dalam aktivitas antar perusahaan. Solusi untuk ketergantungan
Model dari Pfeffer dan Salancik (1978) yang menggambarkan proses adaptasi
15
Gambar 3. Model Adaptasi Organisasi Terhadap Kendala Lingkungan
Diadopsi dari Pfeffer dan Salancik (1978,h 229)
pengaruh lingkungan terhadap distribusi kekuatan dalam organisasi. Pfeffer dan Salancik
kekuatan masing-masing pihak dalam sebuah hubungan bisnis antara pemasok dan ritel.
Hal ini dikarenakan dalam perspektif teori ada saling ketergantungan antara dua pihak
yang menyebabkan salah satu atau kedua pihak menggunakan kekuatan untuk
16
Dalam hubungan relasional antara dua perusahaan, maka pola yang terjadi adalah
hubungan antara konsumen dan pemasar. Kepuasan konsumen adalah tujuan pemasar
terhadap sebuah situasi pembelian (Babin dan Griffin, 1998; Bagozzi et al, 1999 seperti
dalam mempengaruhi pembelian kembali. Selain itu dalam penelitian tersebut juga
Dalam konteks organisasi, kepuasan berarti sebuah organisasi dan mitranya saling
mempunyai perasaan positif. Hon dan Grundig (1999) mendefinisikan kepuasan dalam
sebuah hubungan sebagai tingkat dimana satu pihak merasa senang dengan pihak lain
Stafford dan Canary (1991) menekankan bahwa dari perspektif social exchange,
sebuah hubungan yang memuaskan adalah pada saat distribusi reward adil dan reward
hubungan lebih tinggi dari biaya untuk keluar dari hubungan tersebut. Kedua penulis itu
juga mengindikasikan bahwa persepsi dari perilaku menjaga hubungan dari mitra akan
kepuasan yang akan memperkuat kepercayaan pada merek. Kepuasan pada layanan
17
serta mengutamakan kesejahteraan dan kepentingan individual (Ganes, 1994;
pelanggan sebagai tujuan utama perusahaan (Jones dan Saser seperti dikutip McDougall
menggunakan skala likert yang menyatakan tingkat kepuasan konsumen pada saat
kontak terakhir mereka dengan penyedia jasa (Tapeci, 1999; McDougall dan Levesque,
2000).
Huang dan Kiu (2006) melakukan studi eksplorasi relationship marketing dalam
industri pariwisata di Taiwan. Hasilnya ada dua faktor yang mempengaruhi loyalitas
pelanggan dalam memilih daerah wisata, yaitu kepuasan dan kepercayaan. Kepuasan
menjadi variabel mediasi loyalitas sebagai perilaku niat. Namun demikian, Verhoef
Penelitian dari Rayruen dan Miller (2007) mengemukakan bahwa kepuasan adalah
sebuah dimensi dari konstruk yang lebih tinggi yaitu kualitas hubungan. Dalam penelitian
ini kualitas hubungan adalah kualitas pelayanan, kepercayaan, kepuasan dan komitmen.
18
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel kualitas hubungan mempunyai
pengaruh positif dengan loyalitas dan niat beli. Konstruk kualitas hubungan ini diperkuat
juga oleh penelitian dari Kaufman et al (2006) yang meneliti tentang adopsi produk baru
dalam proses peluncuran produk baru. Penelitian ini menggunakan setting konsumen 2
perusahaan.
hubungan bisnis terhadap loyalitas dengan dimediasi oleh pengalaman terhadap sebuah
adalah pengalaman yang positif. Penelitian ini dilakukan dalam setting dalam perusahaan
UKM di Australia. Responden dalam penelitian ini adalah 1742 perusahaan UKM di
Australia.
merupakan bagian dari konsep Relationship marketing, sebuah konsep dalam menjamin
adanya hubungan jangka panjang dengan konsumen (Cooper et al, 2005). Konstruk
konsumen yang mempunyai komitmen pada merek lebih mudah diarahkan menjadi
19
Praktik-praktik dalam pemasaran modern mengalami pergeseran dengan adanya
penekanan pemasar untuk membentuk adanya komitmen emosional antara penjual dan
konsumen yang lebih penting daripada adanya transaksi ekonomi (Cooper et al, 2005).
mengenai kesejahteraan masa depan, identifikasi dan kebanggaan pada saat dikaitkan
dengan organisasi (Ekelund dan Sharma, 2001). Penelitian dari Ekelund dan Sharma
Komitmen juga seringkali disebut sebagai bentuk awal dari loyalitas (Liljander, 1999).
Komitmen adalah merupakan hasil dari kepuasan konsumen dan juga kepuasan
karyawan.
pemahaman secara implisit dan eksplisit bahwa mitra bisnis akan terus melakukan
kerjasama setelah transaksi dilakukan dan akan memasuki masalah-masalah yang tidak
pilihan personal dibandingkan dengan kewajiban legal. Mitra bisnis yang berkomitmen
terikat oleh persetujuan kontrak dalam jangka pendek, mereka memilih untuk
didorong oleh nilai. Mitra bisnis membentuk hubungan jangka panjang hanya jika mereka
percaya bahwa mereka akan mendapatkan kentungan jangka panjang dari perjanjian
tersebut.
20
komitmen afektif. Menurut Fullerton (2005), komitmen afektif berakar dari nilai yang
mempercayai dan menikmati berbisnis dengan pemasar bila mereka secara afektif merasa
terikat dengan perusahaan. Dalam dunia pemasaran jasa, hubungan kepercayaan dan
persahabatan antara penata rambut dan kliennya adalah contoh dari komitmen afektif
(Price dan Arnould, 1999 dalam Fullerton, 2005). Konsumen juga mempunyai komitmen
afektif dengan merek yang dikonsumsinya. Hal ini dikarenakan konsumen selalu
Saat ini mulai berkembang konsep lain sebagai bentuk dari komitmen yaitu
continuance commitment tidak akan berpindah pada penyedia jasa yang lain, karena biaya
berpindah merek mahal dan alternatif penyedia jasa hanya sedikit. Konsep ini juga bisa
digunakan dalam menjelaskan komitmen pada merek. Hal ini dikarenakan seorang
dari sebuah hubungan bisnis, setelah terjadinya kepuasan dari pelayanan pada waktu
distribusi untuk menggunakan sumber daya ekonomi dan emosional yang diperlukan
untuk diinvestasikan dalam sebuah hubungan bisnis dalam jangka panjang (Dwyer et al,
1987) dan juga merefleksikan kesatuan dalam sebuah hubungan bisnis dengan karakter
21
identifikasi anggota saluran distribusi dan keterlibatan pada tujuan yang sama (Mohr dan
Nevin, 1990).
Tulisan dari Spekman dan Carraway (2006) dan Gronroos (1994) menyatakan
(dalam Lau dan Lee, 2000),kepercayaan adalah harapan dari pihak-pihak dalam sebuah
transaksi dan resiko yang terkait dengan perkiraan dan perilaku terhadap harapan
tersebut. Brugha (1999) seperti dikutip Lau dan Lee (2000) menyatakan bahwa secara
dan Hunt, 1994, Parasuraman, Zeithaml dan Berry, 1985). Beberapa penelitian yang
dilakukan oleh Ekelund dan Sharma (2001), Tezinde, Murphy, Nguyen dan Jenkinson
4.
22
Diadopsi dari Tezinde et al (2001).
Gambar 4 Model Relationship dari Bauer (1999)
panjang antara perusahaan dengan konsumen (Morgan dan Hunt, 1994). Kepercayaan
dibagi menjadi dua yaitu kepercayaan organisasional dan kepercayaan personal (Ekelund
dan Sharma, 2001). Kepercayaan pada merek merupakan bagian dari kepercayaan
personal. Menurut Lewicki dan Bucker dalam Ekelund dan Sharma (2001) kepercayaan
perlahan atau secara gradual. Jenis kepercayaan ini sangat rentan karena
sedikitnya saja kesalahan baik secara sengaja atau tidak akan menyebabkan
Menurut Gurviez dan Korchia (2003) ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi
dari variabel kepercayaan. Pertama, kepercayaan dan komitmen merupakan variabel yang
terpenting dan strategis untuk menjaga hubungan jangka panjang antar partner industri
23
dan bisnis. Kedua, penjelasan dari variabel kepercayaan dan komitmen dalam hubungan
antara perusahaan dan konsumen, memberikan suplemen pada teori ekonomi khususnya
adalah pada dasar kognitif maupun afektif. Beberapa faktor seperti merek, pengalaman
masa lalu dan sebagainya dapat mempengaruhi kepercayaan konsumen. Penelitian yang
mengembangkan sikap saling memahami dengan penjual dan menjadi percaya bahwa si
penjual itu bisa dipercaya dan akan bertindak atas nama kepentingan konsumen.
Moorman et al (1993) berpikir bahwa kepercayaan adalah sejenis kesediaan dari mitra
Morgan dan Hunt (1994) mencoba untuk menjelaskan kepercayaan melalui konsep
diperlakukan sebagai basis yang baik untuk membangun hubungan bisnis yang stabil
sebuah organisasi atau seorang individu (Doney & Canon, 1997). Selain itu, kepercayaan
yang akurat, memenuhi janji dan bertindak sesuai dengan kepentingan pihak yang
mempercayai. (Moorman et al, 1993). Kepercayaan adalah unsur dasar dari hubungan
24
business to business. Kepercayaan adalah sarana bagi penjual dan pembeli untuk bekerja
sama dalam situasi yang kolaboratif, mengatasi konflik dan membangun kekuatan
karena itu, paper ini mendefinisikan kepercayaan organisasional sebagai persepsi tentang
kredibilitas dan kebaikan dari perusahaan pemasok. Selain itu, juga didefiinisikan bahwa
kepercayaan personal sebagai persepsi tentang kredibilitas dan kebaikan pihak yang
mewakili pemasok atau pramuniaga. Namun dalam penelitian ini, fokus kepercayaan
organisasional dan komitmen organisasional sudah baku dan banyak diteliti (Geyskens et
al, 1999). Morgan dan Hunt (1994) menyatakan bahwa kepercayaan mengimpilikasikan
sebuah rasa percaya dan aman dalam sebuah hubungan dan oleh karena itu, muncul
(Ramaseshan et al, 2006; Kim, 2000; Butaney dan Wortzel, 1988). Penelitian dari
Ramaseshan et al, 2006) menguji peran coercive dan non-coercive power dalam pola
hubungan antara department store dengan tenant di RRC. Dasar teori yang digunakan
Artikel Cascario dan Piskorski (2005) membahas tentang beberapa hal yang
menyebabkan teori Resource Dependence dari Pfeffer dan Salancik (1987) tidak banyak
25
memilik bukti empirik. Teori Resource Dependence membahas tentang hubungan antara
dua organisasi yang terjadi karena ketergantungan sumber daya. Proposisi utama dari
teori ini adalah kemampuan bertahan hidup sebuah organisasi tergantung dari
Untuk mengurangi ketidakpastian dari kebutuhan akan sumber daya, sebuah organisasi
Beberapa taktik yang digunakan adalah, pertama taktik unilateral, yaitu dengan
sumber daya tertentu, mencari alternatif pemasok sumber daya atau membangun koalisi.
dengan kooptasi, yaitu mempengaruhi pihak lain untuk memberikan informasi, atau
Penulis artikel ini mengemukakan ada empat sumber ambiguitas dari teori Resource
Dependence, yaitu, pertama, diskusi tentang eliminasi kendala tidak membedakan antara
konstruk kekuatan dyadic yang muncul dari Exchange theory versi Emerson (1962), yang
kekuatan antara dua organisasi dan ketergantungan yang saling menguntungkan. Kedua,
teori resource dependence adalah teori yang normatif sekaligus positif, yang mana
preskripsi terkadang dianggap sama dengan prediksi. Ketiga, cakupan kondisi dari teori
ini ambigu. Keempat, meskipun teori resource dependence biasanya dyadic, pengujian
empirik dari eliminasi kendala berfokus pada satu organisasi dan mengabaikan
ketergantungan resiprokal.
Artikel ini memberikan dasar teoritis yang baik dalam hubungan relasional antara
26
penjual eceran dengan pemasok, yaitu masalah ketergantungan dan kekuatan. Adanya
bagi pertanyaan riset, bagaiman masing-masing pihak melakukan eliminasi kendala untuk
Dalam penelitian ini penggunaan power atau dalam literatur sering disebut dengan
perusahaan. Strategi pengaruh dibagi menjadi dua yaitu coercive power dan non-coercive
tekanan pada penyewa untuk mencapai perilaku tertentu. Kegagalan penyewa untuk
coercive ini misalnya dalam kampanye iklan, tingkat pelayanan pelanggan atau jam buka
toko.
bantuan atau bahkan reward kepada mitra bisnis/penyewa bila mampu mencapai hal yang
disepakati. Penggunaan non-coercive power ini terkait dengan tata cara saling berbagi
Penelitian lain yang dilakukan oleh Kim (2000) menguji adanya efek moderasi dari
dyadic kepercayaan dan dyadic dari kontinuitas hubungan. Kedua variabel ini
non-coercive power.
Penelitian dari Butaney dan Wortzel (1988) menguji peran power dari perusahaan
27
mempengaruhi kebutuhan anggota saluran distribusi dan kemampuan mereka untuk
menggunakan power. Tulisan dari El-Ansery dan Stern (1972) adalah model awal dari
power anggota saluran distribusi. Model mereka melihat power sebagai fungsi dari 1)
tingkat pada saat kepuasan terhadap tujuan dua anggota saluran distribusi saling
dependen 2) Basis atau sumber daya relatif dari power setiap anggota saluran distribusi.
Porter (1980) menyatakan bahwa kelompok pabrik kuat pada saat 1) industri
didominasi oleh beberapa perusahaan besar 2) pabrikan telah menyusun switching cost
untuk pelanggan 3) produk adalah sebuah bagian penting dari produk akhir konsumen
atau proses produksi. Adapun industri konsumen mempunyai power jika 1) mereka
membeli produk dalam volume yang besar 2) switching cost rendah 3) mereka
(1972) mempunyai definisi operasional yaitu kemampuan dari saluran distribusi untuk
mengontrol variabel strategi pemasaran dari pihak distributor lain pada saluran yang
sama dengan tingkat distribusi yang berbeda, maka dalam penelitian ini distributor
power adalah tingkat kebebasan distributor untuk membuat keputusan pemasaran tentang
produk dari pabrikan. Customer market power (CMP) adalah karakteristik konsumen
mempengaruhi kekuatan pabrikan dalam pasar. Alat analisis dalam penelitian ini adalah
regresi.
28
• Dari sisi konsumen biaya pindah merek konsumen dipersepsikan rendah.
Implikasi manajerial dari penelitian ini adalah, kekuatan atau tanggung jawab distributor
antar perusahaan. Penelitian ini menekankan pembahasan tentang hal tersebut dengan
antar perusahaan.
Penelitian ini menggunakan sampel dyad dengan beberapa alasan teoritis, yaitu channel
climate bisa diukur dengan lebih baik. Secara khusus penulis menyatakan bahwa channel
29
a. Hubungan antara asimetri kekuatan antar perusahaan dan penggunaan strategi
pengaruh.
Variabel yang diuji dalam penelitian ini adalah dyadic trust, dyadic relationship
influence strategies dan dyadic solidarity. Model dalam penelitian ini ada 3 yaitu:
B. Efek moderasi dari channel climate terhadap resiprokal dari strategi pengaruh.
30
a. Penggunaan Strategi Pengaruh dan Solidaritas dyadic.
Sampel dalam penelitian ini adalah 945 distributor yang diminta menuliskan siapa
supplier mereka. Dari jumlah itu hanya 276 yang menjadi sampel terakhir.Berdasarkan
responden distributor ini maka muncul 155 suplier yang menjadi sampel supplier. Dari
jumlah ini hanya 67 yang bisa digunakan untuk analisis data. Pengujian validitas dan
reliabilitas menunjukkan bahwa semua konstruk valid dan reliable. Analisis yang
digunakan untuk melakukan pengujian hipotesis adalah analisis regresi dengan variabel
moderasi. Temua-temuan dalam penelitian ini adalah asimetri kekuatan antar perusahaan
koersif. Penelitian ini memberikan beberapa pemahaman baru dalam analisis hubungan
31
menggunakan unit analisis dyad sehingga kondisi dinamis dari hubungan perusahaan bisa
Loyalitas terbagi menjadi dua dimensi yaitu atitudinal loyalty dan behavioral
loyalty (Day, 1969). Attitudinal loyalty terdiri dari loyalitas pada merek, perilaku niat
untuk melakukan pembelian kembali dan komitmen pada merek (Baldinger dan
untuk melakukan pembelian kembali sebuah merek yang direfleksikan dengan perilaku
yang bisa diukur dan dampaknya terhadap penjualan (Hammond et al, 1996).
mengukurloyalitas pada merek dengan persepsi masa lalu akan menyebabkan terjadinya
bias. Kedua, pembelian yang dilakukan konsumen belum tentu merefleksikan perubahan.
Ketiga,loyalitas pada merek lebuh merupakan fungsi dari konsep yang multidimensional
1. Loyalitas merek fokal yang sesungguhnya (true focal brand loyalty), yaitu
32
non loyal merek lain.
attitudinal dan behavioral. Keempat tahap tersebut adalah kognitif, afektif , konatif dan
loyalitas tindakan. Tahap loyalitas kognitif menggunakan basis informasi yang secara
memaksa menunjuk pada satu merek atas merek lainnya. Loyalitas yang terjadi hanya
pembersih akan membeli merek tertentu karena hanya merek itu yang ia tahu. Pada saat
akan membeli merek tissue tersebut di sebuah toko dan ternyata tidak tersedia, maka ia
akan menerima bila ditawarkan padanya merek lain, daripada harus berpindah toko untuk
membeli merek yang sama. Tahap kedua, yaitu loyalitas afektif didasari dari pemikiran
bahwa sikap merupakan fungsi dari kognisi (pengharapan) pada periode awal pembelian
(masa pra konsumsi) dan merupakan fungsi dari sikap sebelumnya ditambah dengan
kepuasan pada periode berikutnya (masa konsumsi). Loyalitas pada tahap ini sulit
berubah karena loyalitasnya sudah masuk ke dalam benak konsumen sebagai sebuah
afek. Loyalitas afektif muncul sebagai akibat dari kepuasan, meskipun demikian belum
menjamin adanya loyalitas karena masih ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan
Loyalitas tahap ketiga adalah loyalitas konatif. Konasi menunjukkan suatu niat atau
komitmen untuk melakukan sesuatu ke arah tujuan tertentu. Oleh karena itu, loyalitas
Loyalitas tahap konatif ini mengalami pengembangan menjadi perilaku atau tindakan
atau kontrol tindakan. Dalam runtutan kontrol tindakan, niat yang diikuti motivasi,
33
merupakan kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak dan pada keinginan untuk
Wood (2006) menulis tentang berbagai pengukuran loyalitas. Artikel ini membahas
loyalitas ini digunakan dalam sektor penjualan eceran. Pengukuran loyalitas adalah sama
dengan mengidentifikasi siapa konsumen perusahaan, selera dan pilihan mereka, serta
siapa konsumen yang paling berharga bagi perusahaan dan mengusahakan agar mereka
Beberapa model pengukuran loyalitas adalah The Drichlet Model, The Hofmeyr
Conversion Model, The RED Matrix Model, The Enis-Paul Index Model, Reicheld
Loyalty Effect Model dan The Retention Rate Model. Prinsip dari model-model ini pada
dasarnya sama, namun model-model ini juga membawa pada kesalahan interpretasi dari
konsep loyalitas.
pemasaran adalah sesuatu yang salah. Skema loyalitas adalah metode untuk
mengumpulkan informasi tentang konsumen, yang menjadi dasar penentuan strategi, dan
bisa diterapkan dalam segmen yang berbeda. Tulisan dari Wood (2006) merupakan artikel
yang membahas loyalitas dari sisi aplikasi. Ada beberapa model skema loyalitas yang
yang diberikan dalam penelitian ini tentang loyalitas dalam konteks B2B (Business to
Business) menjelaskan bahwa perilaku konsumen bisnis hampir sama dengan konsumen
34
epuasan Konsumen Loyalitas Konsumen Tingkat Keuntungan
dipengaruhi oleh kepuasan dan keterlibatan konsumen terhadap kategori produk tersebut.
terhadap tingkat keuntungan perusahaan pada bank di AS. Hasilnya menunjukkan bahwa
hubungan antara kepuasan konsumen dan tingkat keuntungan perusahaan dimediasi oleh
loyalitas konsumen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengilustrasikan hubungan antara
tingkat keuntungan dengan kepuasan konsumen dan loyalitas. Pandangan Nordic School
Penelitian ini menggunakan setting perbankan. Sampel yang diambil adalah 12.000
konsumen bank dari 59 kantor cabang. Unit analisis dari penelitian ini adalah kantor
cabang bank. Sehingga variasi kepuasan konsumen dan loyalitas konsumen yang
diharapkan adalah pada tingkat kantor cabang. Variabel kontrol dalam penelitian ini
Hasil penelitian empirik dari paper ini menunjukkan bahwa kepuasan konsumen
35
tingkat keuntungan perusahaan. Penelitian ini memperkuat salah satu teori dalam
loyalitas. Pada saat loyalitas konsumen terbentuk maka tingkat keuntungan perusahaan
meningkat.
kualitas hubungan terhadap loyalitas pelanggan. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa
anteseden dari loyalitas dalam hubungan relasional adalah kualitas hubungan itu sendiri.
Dimensi dari kualitas hubungan adalah kualitas pelayanan, kepercayaan, komitmen dan
bagaimana kualitas hubungan mempengaruhi loyalitas dalam konteks B2B. Penelitian ini
pengiriman.
komposit yang mengkombinasikan behavioral loyalty (niat beli) dan attitudinal loyalty.
perusahaan untuk melakukan pembelian kembali dari jasa layanan yang disediakan
Attitudinal loyalty didefinisikan sebagai tingkat kasih sayang psikologis konsumen dan
Kepercayaan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu kepercayaan terhadap
36
karyawan perusahaan pemasok dan kepercayaan terhadap perusahaan pemasok secara
keseluruhan. Komitmen yang diteliti dalam penelitian ini juga terdiri dari dua bagian
yaitu komitmen afekif dan komitmen kalkulatif. Hal ini diwujudkan dalam komitmen
melalui surat dan online. Dengan menggunakan surat diperoleh kuesioner lengkap 52 dari
500 kuesioner yang didistribusikan. Secara online diperoleh kuesioner lengkap 254 dari
4000 yang didistribusikan. Alat analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
Hasil studi empirik dalam penelitian ini menyarankan hanya ada dua dimensi dari
relationship quality yang memengaruhi niat beli, yaitu kepuasan dan persepsi terhadap
relationship quality yang mempengaruhi loyalitas dalam konteks B2B. Namun demikian,
dari empat dimensi relationship yaitu kepercayaan, komitmen, kepuasan dan persepsi
terhadap kualitas pelayanan hanya 2 dimensi yaitu kepuasan dan persepsi terhadap
kualitas pelayanan yang bisa menjelaskan loyalitas. Hal ini dikarenakan pengujian empat
dimensi sebagai first order kurang dijelaskan secara statistik. Tidak mengherankan bila
memuaskan.
Penelitian Fitzgibbon dan White (2005) membahas tentang loyalitas dalam strategi
37
CRM. Hasil penelitian dengan menggunakan metode kualitatif memberikan simpulan
bahwa loyalitas bukan hal yang dianggap penting dalam strategi CRM. Selain itu, strategi
CRM dalam perusahaan tidak dimanfaatkan dengan optimal. Masalah penelitian yang
menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah untuk memahami pengembangan
konsep attitudinal loyalty dalam formulasi CRM. Penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh pemahaman tentang strategi, tujuan dan sasaran dari CRM dalam
tawaran penjualan dan pelayanan. CRM adalah membangun hubungan secara efektif
dengan konsumen dengan memahami mereka secara lebih baik. Mengelola CRM
memerlukan penyimpanan informasi secara detail dan spesifik, seperti produk yang
dibeli, waktu dan tanggal pembelian, metode pembelian, permintaan pelayanan, keluhan
atau layanan yang diukur dengan pembelian kembali dan komitmen atitudinal. Loyalitas
terdiri dari dua bentuk, yaitu: loyalitas keperilakuan yang muncul pada saat konsumen
melakukan pembelian berulang namun tidak menyukai merek tertentu, hal ini terjadi
karena kenyamanan, kebiasaan atau halangan untuk berubah terlalu besar. Loyalitas sikap
adalah predisposisi konsumen terhadap sebuah merek karena proses psikologis. Hal ini
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan studi kasus
38
dengan 25 kasus yang menjadi subyek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Perantara ini adalah para penasehat keuangan. Temuan penting dalam penelitian ini
adalah CRM dalam lembaga mereka mengalami masalah kualitas informasi yang buruk,
penggunaan CRM tidak optimal dan strategi CRM kurang. Temuan yang terkait dengan
loyalitas adalah bahwa hal ini tidak dimanfaatkan secara strategis oleh perusahaan.
Perusahaan hanya menganggap bahwa loyalitas adalah hasil dari sebuah program
pelayanan kepada pelanggan, dan bila pelanggan akan berganti jasa lembaga keuangan,
adanya keunggulan kompetitif yang diperoleh dua pihak dengan adanya hubungan
persaingan bisnis. Teori Resource Base menyebutkan bahwa sumber dari keunggulan
kompetitif perusahaan adalah sumber daya yang berbeda atau unggul yang sulit ditiru
Percy (1995) menulis sebuah artikel yang menarik tentang perlunya keselarasan
antara pemasaran dan strategi pemasaran. Hal ini terkait dengan bagaimana pendekatan
dari dua hal itu dan cara pengajarannya. Artikel ini ditujukan bagi para pengajar
manajemen dan bisnis di bidang pemasaran untuk menyesuaikan cara pengajaran dan
pendekatan untuk memahami isu-isu tersebut. Artikel ini juga ditujukan bagi para praktisi
39
agar mereka lebih mampu mengimplementasikan pemasaran dan strategi pemasaran atau
menyesuaikan keduanya.
dalam pemasaran: positioning, ekuitas merek, kualitas pelayanan dan segmentasi serta
berbagai pembahasan lainnya. Namun demikian, isu-isu tersebut bermuara pada ide dasar
bahwa pemasaran adalah spesialisasi fungsional yang sebaiknya dikerjakan oleh seorang
spesialis. Hal ini tentu saja salah, karena pemasaran sebenarnya adalah usaha dari seluruh
bagian dari perusahaan, tidak hanya tanggung jawab departemen pemasaran saja. Di sisi
lain perkembangan kuliah bisnis dan strategi lebih kompleks daripada sebelumnya.
Secara umum ada tiga jenis pendekatan dalam pengajaran bisnis yaitu pendekatan kasus,
Artikel ini mengklasifikasi isu dalam pemasaran dan strategi yang perlu menjadi
bahan diskusi, yaitu tingkat pengambilan keputusan organisasional dan fokus perhatian
• Strategi bisnis/pasar: Isu utama dalam hal ini terkait dengan positioning
40
terkait dengan aspek teknis dan profesional dari pengelolaan operasional
Artikel ini memberikan ide baru tentang pembahasan manajemen strategi dan
Sumbangan utama artikel ini adalah memberikan pemahaman tentang posisi manajemen
dengan berbagai fungsi lain dalam perusahaan yang mempunyai arah strategis.
Penelitian Ruiz (2000) membahas tentang hubungan pemasok dan penjual eceran
baik pada satu penjual eceran maupun ketika pemasok itu melakukan mobilitas melayani
penjual eceran lainnya. Studi ini menggunakan pendekatan kognitif. Analisis mendasar
Tujuan penelitian ini adalah memperluas analisis individual dari sektor pemasok
pada sektor penjual eceran. Dalam konsep grup, McGee dan Thomas (1986) dan
dan mobilitas permintaan sebagai elemen yang mencegah pergerakan antara kelompok
strategis. Halangan tersebut antara lain, diferensiasi produk dan loyalitas, adalah fungsi
dari preferensi dan pilihan dari industri konsumen, sementara skala ekonomis dan
Metodologi penelitian yang dilakukan dalam penelitian terdiri dari beberapa tahap:
formasi dari kelompok strategis dalam sektor produksi industri rotan Spanyol, identifikasi
41
dari kelompok distribusi dan analisis hubungan produsen-penjual eceran. Industri ini
Berdasarkan analisis kualitatif , tahun 1992 sektor ini mengalami krisis yang
Berdasarkan hasil wawancara dari 21 perusahaan besar di industri rotan ini, maka
ternyata hanya satu yang disepakati oleh responden yaitu kualitas produk. Hasil ini
Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan ada 8 kategori dari variabel
kompetitif perusahaan rotan yaitu: kualitas produk dan desain, ukuran perusahaan,
pelayanan pada klien, kebijakan penjualan, organisasi perusahaan, strategi pembelian dan
dengan metode kuantitatif yaitu ANOVA dan cluster analysis. Artikel ini memberikan
hasil yang menarik tentang variabel strategis dalam perusahaan rotan. Hal yang menarik
dalam penelitian ini adalah penggunaan metode penelitian kualitatif untuk melakukan
eksploratori.
menguji peran integrasi strategis terhadap kinerja strategis perusahaan. Penelitian ini
menjelaskan bahwa anteseden dari integrasi strategis adalah dependensi, umur hubungan,
kinerja strategis. Dalam model tersebut variabel ketidakpastian menjadi moderator antara
42
hubungan masing-masing anteseden dengan variabel integrasi strategis dan hubungan
Sampel penelitian ini diambil dari direktori bisnis di AS dengan total sampel 637
perusahaan. Dari 637 perusahaan hanya 400 yang bersedia menjadi responden.
Selanjutnya dari 400 perusahaan tersebut ada 177 perusahaan yang mengisi kuesioner
dengan benar yang berarti tingkat respon sebesar 44%. Analisis data dengan
menggunakan Structural Equation Model (SEM) dan CFA sebagai metode penguji
validitas. Hasil pengujian validitas menunjukkan bahwa semua konstruk valid dan
reliabel. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan hanya kualitas hubungan yang tidak
pemasaran dengan multichannel. Beberapa hal yang dikemukakan oleh penulis sebagai
informasi sebenarnya mengurangi halangan informasi, sebuah hal yang menjadi kunci
bisnis pemasaran channel. Namun demikian ada beberapa hal yang menarik untuk diteliti
terkait dengan hal ini. Misalnya, perlukah perusahaan menawarkan semua produknya
mempunyai anggapan bahwa dengan membuka lebih banyak saluran distribusi maka bisa
meraih lebih banyak konsumen. Padahal bisa jadi peningkatan jumlah konsumen dari
43
sebuah saluran distribusi terjadi dengan pengorbanan berupa penurunan jumlah
konsumen saluran distribusi lainnya. Hal ini disebut dengan channel cannibalization.
ini adalah menentukan channel portofolio. Konsep ini mengacu pada konsep portofolio
dalam keuangan. Hal ini berarti bagaimana menentukan kombinasi channel yang paling
konsumen sekaligus juga menurunkan biaya distribusi. Selain itu, masing-masing saluran
Aliansi strategi dan strategi multichannel Aliansi strategis antar saluran distribusi
terjadi jika antar mereka mempunyai tujuan jangka panjang yang sama dan memerlukan
input modal dan manajemen yang signifikan. Dasar dari sebuah hubungan aliansi
channel yang diperlukan mempunyai tujuan jangka panjang yaitu keunggulan kompetitif
Rantai suplai dan strategi mutlichannel. Mengelola rantai suplai dalam lingkungan
multichannel yang kompleks dengan tujuan pelayanan yang berkualitas bagi pelanggan
sekaligus menurunkan biaya distribusi adalah sebuah pertanyaan riset yang menarik. Hal
44
Dependensi
Umur hubungan
Harapan kontinuitas Integrasi Strategis Kinerja
integrasi strategis dalam mutlichannel adalah adanya konflik antar channel. Beberapa
channel mempunyai pemahaman bahwa strategi multichannel adalah zero sum game,
yaitu pada saat satu perusahaan memperoleh konsumen maka perusahaan lain kehilangan
Kepemimpinan channel dan strategi multichannel. Penelitian tentang isu ini terkait
melalui konsep integrasi strategis. Beberapa faktor dari integrasi strategis distributor dari
Pada tingkat paling dasar integrasi strategis terjadi pada saat hubungan pertukaran
semakin penting. Konsep integrasi strategis dalam penelitian ini mengandung arti sebuah
keterlibatan progresif antara dua perusahaan yang meliputi penggunaan secara bersama
sumber daya, saling meningkatkan kemampuan, dan saling mendukung posisi kompetitif.
Sebagai tambahan, hasil dari sebuah integrasi strategis adalah peningkatan kinerja
Anteseden dari integrasi strategis dapat digambarkan dalam model penelitian ini:
45
Fleksibilitas Ketidakpastian
Kualitas hubungan
anteseden dengan variabel kinerja strategis. Dalam model tersebut variabel ketidakpastian
Sampel penelitian ini diambil dari direktori bisnis di AS dengan total sampel 637
perusahaan. Dari 637 perusahaan hanya 400 yang bersedia menjadi responden.
Selanjutnya dari 400 perusahaan tersebut ada 177 perusahaan yang mengisi kuesioner
dengan benar yang berarti tingkat respon sebesar 44%. Analisis data dengan
menggunakan Structural Equation Model (SEM) dan CFA sebagai metode penguji
validitas. Hasil pengujian validitas menunjukkan bahwa semua konstruk valid dan
reliabel. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan hanya kualitas hubungan yang tidak
masukan yang berarti dalam hubungan antar perusahaan. Integrasi strategis diperlukan
pada saat hubungan pertukaran mencapai tingkatan tertentu. Namun demikian kegagalan
variabel kualitas hubungan dalam menjelaskan integrasi strategis menjadi catatan khusus
46
METODE PENELITIAN
kualitatif. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian dengan studi kasus. Studi
kasus dalam penelitian ini mengacu pada studi kasus seperti yang disarankan Yin (1994)
dan Kohlbacher (2005) yaitu holistic case study. Dalam desain holistic case study maka,
dilakukan studi kasus pada lebih dari satu perusahaan dengan melihat aspek yang lebih
luas.
Yin (1994) menyatakan bahwa dalam sebuah penelitian studi kasus, maka jumlah
responden tidak penting, yang lebih penting adalah kedalaman analisis dari sebuah
fenomena. Penelitian ini menggunakan desain multi kasus, desain ini dianggap lebih
robust dibandingkan dengan desain single case (Yin, 1994). Kasus yang menjadi subyek
Unit Analisis
Unit analisis dari penelitian ini adalah perusahaan. Namun demikian, key person
yang menjadi sumber informasi adalah pemilik perusahaan atau manajer perusahaan yang
Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah indepth interview
dan focus group discussion. Proses ini ditambah dengan pengumpulan sumber-sumber
Pengujian Validitas
47
menggunakan metode sumber informasi (key person) lebih dari satu dari sebuah
perusahaan. Metode ini mengacu pada pengujian validitas dalam penelitian kualitatif
yang disarankan oleh Kirk dan Miller (1986) dan Neuman (2000). Neuman (2000) dan
Kirk dan Miller (1986) menyatakan bahwa pengujian reliabilitas dalam penelitian
penelitian kualitatif dengan studi kasus sangat sulit, sehingga hal ini tidak harus
dilakukan.
Alat Analisis
Alat analisis dalam penelitian ini adalah content analysis. Pendekatan content
analysis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah conventional content analysis,
seperti dikemukakan oleh Hsieh dan Shannon (2005). Pendekatan ini biasanya
Menurut Mayring (2000) ada beberapa prosedur dari content analysis, yaitu:
• Aturan analisis.
• Penyusunan kategori.
ANALISIS DATA
dan foccus group discussion. Ada dua perusahaan yang menjadi subyek penelitian.
Perusahaan pertama adalah PT Medco Energi Pratama Indonesia (MEPI). Perusahaan ini
48
adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekplorasi dan penjualan minyak dan
Assalam (GA) di Solo. Pilihan terhadap kedua perusahaan ini dilandasi dengan
PT MEPI mempunyai karyawan tetap sebanyak 1000 orang. Bisnis inti perusahaan
ini adalah eksplorasi dan penjualan minyak dan gas. Konsumen perusahaan ini adalah
perusahaan besar lain dan juga konsumen akhir. Peneliti melakukan foccus group
discussion (FGD) dengan jajaran manajemen yaitu satu orang manajer produksi, yaitu
bapak TP dan satu orang dari staf manajemen sumber daya manusia yaitu ibu DR. Proses
FGD difasilitasi oleh sebuah perusahaan konsultan di Yogyakarta dan dilakukan pada
tanggal 23 Mei 2007 jam 08.00 -12.00 WIB dan diselenggarakan di sebuah hotel bintang
lima di Yogyakarta.
Bapak TP sebagai manajer produksi adalah pihak yang bertanggung jawab atas
pemasok di perusahaan dengan nilai proyek Rp 300 juta sampai dengan Rp 50 milyar.
Adapun ibu DR adalah staf manajemen SDM yang bertanggung jawab atas pemasok jasa
bagi perusahaan dengan nilai proyek antara Rp 500 juta sampai dengan Rp 1,5 milyar.
massa baik cetak maupun elektronik. Cara lain adalah dengan melihat situs Medco Energi
penawaran. Apabila sudah dianggap cukup MEPI akan melakukan tender secara terbuka.
49
Syarat untuk menjadi pemasok bagi perusahaan ini adalah:
• Mempunyai kondisi keuangan yang baik dan layak untuk menangani proyek.
• Mempunyai NPWP
Pemasok terbesar PT MEPI adalah beberapa koperasi di wilayah Riau untuk memasok
peralatan. PT Al Has juga salah satu pemasok terbesar, perusahaan ini bergerak di bidang
transportasi.
Pertanyaan yang diajukan oleh peneliti lebih bersifat menstimuli proses diskusi dan
Migas tahun 2001. Aturan tersebut menyebutkan bahwa proses tender yang
pemasok tersebut untuk pekerjaan berikutnya, hal ini karena ada kekhawatiran
50
“Pemasok yang bekerja dengan baik dan mampu memenuhi permintaan perusahaa
ternyata tidak menjamin akan diperpanjang kontraknya. Artinya meskipun
perusahaan puas dengan pekerjaan pemasok, namun bisa jadi dalam kontrak
berikutnya perusahaan tidak memenangkan tender bila harga yang mereka
tawarkan terlalu tinggi. Hal ini berarti perusahaan memang menerapkan prinsip
efisiensi. Perusahaan tidak berani untuk memenangkan pemasok yang sama
karena ada pasal dalam UU Migas dan peraturan dalam BP Migas melarang hal
itu. Hal ini dikarenakan praktek seperti itu bisa dikategorikan KKN. Hanya ada
satu perusahaan pemasok yang pernah menang tender selama 3 kali berturut-turut
yaitu PT Rio Muda Jasa Sarana yang mengelola transportasi”
dengan pernyataan:
51
Perusahaan mengambil kebijakan kontrak seperti itu karena mereka percaya
dengan pemasok dan kontrak yang terlalu detail biasanya malah sulit
dilaksanakan”.
pemasok dari kualitas kerja mereka apakah sesuai dengan kontrak atau tidak.
”Pemasok bagi perusahaan kami adalah mitra karena tanpa mereka perusahaan
juga mengalami kerepotan. Perusahaan berusaha agar setelah masa kontrak selesai
pemasok juga mendapatkan keuntungan, kami berkepentingan terhadap kondisi
perusahaan pemasok, karena pada saat perusahaan pemasok tumbuh dan
berkembang maka perusahaan kami pasti terkena dampaknya”.
tahun 2001 mengatur kontrak kerja antar perusahaan secara ketat, sehingga
hubungan kontrak yang terlalu lama bisa dicurigai, selain itu PT MEPI
dalam sejarah hubungan perusahaan dengan pemasok rata-rata hanya satu kali
masa kontrak, atau jika menang dua kali atau lebih tidak akan berturut-turut.
”Masa kontrak perusahaan dengan pemasok antara 20-24 bulan. Namun rata-rata
kontrak yang dilakukan hanya mencapai 20 atau 22 bulan. Hal ini dilakukan
untuk menghindari kewajiban mematuhi UU No 13/2003 tentang
ketenagakerjaan, yaitu kewajiban untuk memberikan pesangon pada karyawan
outsourcing sebesar 3 kali gaji. Mekanisme kontrak antara perusahaan dengan
pemasok sangat rigid karena perusahaan dan pemasok harus mematuhi aturan-
aturan detail yang ditetapkan oleh BP Migas dan UU Migas No 22 tahun 2001.
Regulasi ini menyebabkan aturan-aturan dalam kontrak migas sangat ketat untuk
mencegah adanya KKN”.
52
6. Kinerja strategis perusahaan. Keputusan perusahaan menjaga hubungan dengan
penawaran harga yang paling murah. Para pemasok baik untuk pekerjaan produksi
maupun administrasi harus memenuhi prinsip ini jika mereka ingin memenangkan
tender, dengan catatan, pemenang tender dalam satu periode belum tentu
mereka.
Perusahaan ini merupakan bagian dari Goro Jakarta yang bekerja sama dalam bentuk
perseroan terbatas dengan grup bisnis Tiga Serangkai dan pondok pesantren moderen
Assalam. Perusahaan ini adalah sebuah hypermarket dengan bisnis utama penjualan
eceran dan menyewakan tempat. Perusahaan ini membuka bisnisnya di Surakarta tahun
Subyek penelitian adalah pihak manajemen perusahaan yaitu bagian pembelian. Adapun
pihak yang mewakili PT Goro dalam wawancara adalah bapak PS sebagai manajer
permohonan kepada perusahaan yaitu supermarket Goro Assalam Solo. Syarat pengajuan
yaitu dengan surat permohonan yang ditandatangani atasan peneliti dan outline
penelitian. Peneliti mengajukan permohonan pada tanggal 15 Juni 2007 dan mendapatkan
53
Prosedur untuk mengajukan permohonan sebagai pemasok di PT Goro harus
melalui uji kelayakan. Uji kelayakan yang dilakukan perusahaan adalah melihat produk
perusahaan dan harga. Dari sekitar 200 pemasok yang ada di Goro Assalam, tiga pemasok
besar perusahaan ini adalah Unilever, Indomarco dan Wings. Ada beberapa persyaratan
Para supplier yang paling lama menjadi supplier perusahaan sudah bertahan selama
6 tahun yaitu sejak 2001, pada saat Goro Assalam Surakarta berdiri, namun demikian
untuk Goro Jakarta mereka sudah menjadi pemasok semenjak tahun 1995 berarti sudah
jadwal setiap bulan. Evaluasi yang dilakukan perusahaan terhadap para pemasok
dilakukan setiap 3 bulan. Dalam evaluasi tersebut perusahaan melihat tingkat penjualan
item produk pemasok, jika dinilai penjualannya bagus maka hubungan bisnis dilanjutkan,
sebaliknya jika penjualan rendah maka pemasok diminta menarik barang bersangkutan.
pelayanan pemasok pada perusahaan. Wujud pelayanan itu adalah tepat waktu
54
pelayanan pemasok juga muncul dari tingkat penjualan pemasok yang dianggap
”Kepuasan kami dengan pemasok kami tunjukkan dengan lamanya hubungan bisnis
dengan pemasok, jika hubungan bisnis sudah mencapai lebih dari 5 tahun maka sudah
pasti dua pihak puas”.
Perusahaan juga menyatakan pada pemasok tentang kepuasan mereka atas pelayanan
ucapan pada pemasok. Namun hal ini dianggap tidak efektif karena kartu diberikan
pada pramuniaga dan bukan pemilik atau manajer perusahaan pemasok. Informasi ini
”Kita memberikan kartu ucapan pada pemasok dengan isi ”Kami tidak menerima
bingkisan apapun dari anda, karena kami puas dengan pelayanan anda”.Tetapi, hal
seperti ini tidak cukup karena hanya diserahkan pada salesman, padahal seharusnya
diberikan pada principal”.
penataan ruang dan harga. Pada saat muncul masalah dalam hubungan bisnis,
”Kami melihat dulu masalahnya apa, misalnya jika pemasok tidak mampu memenuhi
pasokan kami menanyakan masalahnya apa, jika karena masalah pengangkutan atau
55
kapasitas produksi maka kami bisa mengerti, namun jika karena perusahaan sudah
bangkrut atau tidak mampu berproduksi maka baru kami memutuskan menghentikan
hubungan bisnis dengan pemasok. Perusahaan melakukan evaluasi setiap 3 bulan
untuk masing-masing pemasok”.
peluang negosiasi dengan pemasok jika ada masalah yang terjadi. Hanya ada
beberapa hal yang berada di atas kontrol penuh dari pihak hypermarket yaitu
masalah ini:
”Kami tidak pernah memaksa pemasok untuk mengikuti keinginan kami, kecuali
yang terkait dengan kesepakatan awal, bahkan kalau mereka tidak bisa mengikuti
kesepakatan awal kami membuka diri untuk negosiasi ulang. Misalnya jika ada
perubahan harga kami bersedia melakukan perubahan harga asal masih masuk dalam
tingkat keuntungan kami”.
dan pemasok terjadi dengan tidak adanya kontrak legal antara keduanya.
kontrak, yang ada hanya perjanjian pembayaran tanpa adanya batas waktu.
56
hypermarket memenuhi pembayaran setiap bulan. Bapak PS memberikan
”Tidak ada kontrak yang harus ditandatangani dalam hubungan Goro Assalam dengan
para pemasoknya. Hubungan kami berdasarkan kepercayaan dan saling
membutuhkan”.
5. Kepercayaan antara Goro Assalam dan pemasok terjadi karena selama ini
memang tidak ada konflik yang serius antara perusahaan dan pemasok. Selain
itu hubungan antar individu, yaitu bagian pembelian dan para pramuniaga
dengan pemasok. Hal ini menarik karena faktor hubungan antar individu
”Selama saya di perusahaan ini, hampir semua konflik dengan pemasok bisa diatasi
dengan negosiasi, belum pernah terjadi pemogokan pemasok”.
hypermarket dengan pemasok sangat penting karena tidak ada kontrak legal.
karena tidak ada masalah dalam hubungan tersebut. Hal ini terjadi karena
keduanya selalu menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan
masing-masing. Komitmen dalam hubungan bisnis pemasok dan ritel juga terjadi
57
pernyataan yang terkait dengan hal tersebut:
”Kami percaya bahwa pemasok akan selalu menjaga komitmen mereka dalam
perjanjian yang telah disepakati dan selama dua pihak sama-sama senang tidak ada
masalah”.
7. Loyalitas terhadap pemasok. Loyalitas dalam hubungan peritel dan pemasok bisa
dilihat dari jumlah pemasok yang mundur dari perjanjian bisnis dalam kurun
waktu 5 tahun terakhir. Menurut bapak PS hanya sekitar 1 persen pemasok yang
saling diuntungkan maka hubungan bisnis terus berlanjut. Selain itu, informasi
yang menyatakan bahwa tidak ada masalah serius antara pemasok dan ritel
mengindikasikan bahwa ada loyalitas dalam hubungan antara pemasok dan ritel.
diukur dari tingkat keuntungan perusahaan yang diperoleh dari hubungan bisnis
PEMBAHASAN
Berdasarkan content analysis yang dilakukan peneliti, maka ada dua jenis kondisi
yang berbeda dalam hubungan bisnis antara pemasok dan peritel. Dalam perusahaan
migas maka ada kecenderungan rerangka relationship marketing tidak sesuai dengan pola
58
yang muncul adalah pola transaction cost.
organisasi. Konsep yang berlaku dalam perspektif ini adalah organisasi sebagai mediator
antara beberapa kelompok yang ada di dalam organisasi (Ulrich dan Barney, 1984).
tata kelola (pasar, birokrasi dan klan). Ketiga, memahami karakteristik transaksi.
untuk mendapatkan biaya transaksi yang lebih rendah. Secara ringkas, perspektif efisiensi
untuk menentukan kondisi pada saat bentuk alternatif tata kelola akan memediasi
Berdasarkan perspektif ini maka hubungan bisnis dalam perusahaam migas lebih
tepat dianalisis dalam rerangka transaction cost. Hal ini dapat dilihat dari, pertama,
persyaratan utama hubungan bisnis adalah efisiensi yang bisa dicapai perusahaan dan
pemasok. Kedua, dalam pola hubungan bisnis diatur dengan undang-undang yang ketat,
yaitu UU Migas No 22 tahun 2001, yang mengatur kontrak bisnis dalam perusahaan
migas. Dalam perspektif transaction cost hal ini disebut dengan tata kelola (governance).
Heide dan John (1988) melakukan riset konflik antara saluran distribusi dengan
perspektif transaction cost analysis (TCA). Pertanyaan mendasar dalam analisis ini
adalah pada kondisi apa transaksi dapat dilakukan dengan efisien dalam keterbatasan
perusahaan, termasuk kontrol birokrasi dan koordinasi. Kesulitan utama dalam penerapan
teori TCA adalah bahwa teori ini dalam beberapa aspeknya tidak lengkap. Hasil empirik
59
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa untuk mempercepat pengembalian investasi itu,
mitra mereka. Agensi yang mengurangi ketergantungan dengan cara ini berusaha
Pola hubungan bisnis dalam perusahaan penjualan eceran ternyata sesuai dengan
rerangka analisis relationship marketing. Hubungan bisnis antara pemasok dan peritel
dalam perusahaan ini tidak didasari kontrak legal yang kaku, melainkan sebuah prinsip
saling percaya. Saling percaya ini terjadi karena kedua pihak bisa memenuhi janji
mereka. Hal ini sesuai dengan konsep relationship marketing dari Gronroos (1994) yang
menyatakan bahwa konsep ini didasari dari sebuah konsep janji dan pemenuhan terhadap
janji tersebut.
kepuasan muncul dalam pola hubungan bisnis antara pemasok dan ritel dalam perusahaan
penjualan eceran. Hasil akhir dari sebuah hubungan bisnis adalah loyalitas yang ditandai
dengan lamanya hubungan bisnis dan minimnya konflik antara perusahaan dan pemasok.
Hubungan bisnis antara pemasok besar dan peritel rata-rata telah berlangsung selama 5
tahun. Dari total pemasok yang berjumlah 200 perusahaan atau unit usaha hanya 1
persen yang mengundurkan diri, hal ini juga mengindikasikan adanya loyalitas dalam
Kinerja strategis dari hubungan bisnis antara peritel dan pemasok menjadi alasan
mengapa sebuah hubungan bisnis berlangsung lama. Ukuran kinerja dari sebuah
hubungan bisnis adalah tingkat penjualan produk dari pemasok. Tingkat penjualan
mempunyai dampak berganda bagi pemasok dan peritel. Namun demikian, untuk tennant
60
atau penyewa maka ukuran kinerjanya adalah uang sewa. Simpulan awal untuk kinerja
mekanisme kontrol dalam hubungan bisnis antara pemasok dan peritel. Pada perusahaan
migas mekanisme kontrol yang digunakan adalah dengan coercive power atau kekuatan
yang bersifat memaksa. Hal ini dilakukan melalui kontrak legal, sehingga perusahaan
bisa memaksa pemasok untuk mengikuti keinginan mereka. Hal ini dilakukan terutama
untuk memenuhi persyaratan keselamatan dalam perusahaan migas yang menjadi ukuran
dilakukan dengan kerjasama dan negosiasi ulang beberapa kesepakatan awal. Perusahaan
bersedia untuk melakukan negosiasi dalam berbagai aspek hubungan bisnis, bahkan
sampai dengan negosiasi ulang harga. Proses kontrol dilakukan dengan tidak
SIMPULAN
Penelitian ini adalah sebuah studi pendahuluan dengan tujuan melakukan analisis
terhadap hubungan bisnis antara pemasok dan peritel dengan rerangka relationship
marketing dan resource dependence. Penelitian ini menggunakan desain studi kasus
dengan holistic case study. Dalam setting perusahaan migas maka perusahaan bekerja
dengan perspektif transaction cost yang menekankan pentingnya efisiensi dan tata kelola
61
Perspektif relationship marketing bisa digunakan untuk melakukan analisis
hubungan bisnis dalam perusahaan penjualan eceran. Dalam setting hypermarket maka
prinsip dasar relationship marketing yaitu kepercayaan dan komitmen menjadi dasar
hubungan bisnis antara pemasok dan ritel. Beberapa konstruk yang muncul dalam
hubungan bisnis pemasok dan ritel dalam rerangka relationship marketing adalah
Rerangka resource dependence muncul dalam pola hubungan bisnis pemasok dan
ritel dalam dua setting perusahaan yaitu migas dan penjualan eceran. Ada perbedaan
mendasar dari konsep power yang digunakan dalam dua perusahaan tersebut. Dalam
perusahaan migas yang menggunakan rerangka transaction cost, konsep power yang
dipergunakan adalah coercive power dengan menggunakan kontrak legal yang kaku.
62
DAFTAR PUSTAKA
Assael, Henry (1998).Consumer Behavior and Marketing Action. 6 th Ed., New York
South Western College Publishing.
Baldinger A.L dan Rubinson J (1996), “Brand Loyalty: The Link Between Attitude and
Behavior, Journal of Advertising Research, h 22-34.
Ballester, Elena Delagado dan Jose Luis Munuera-Aleman (2001), “Brand trust in the
Context of Consumer Loyalty,” European Journal of Marketing, Vol. 35 No.
11/12. pp 1238-1258.
Barney J.B (1991),”Firm Resources and Sustained Competitive Advantage”, Journal of
Management Vol 17 h 99-120.
Bennet, Rebekah, Charmine E.J Hartel dan Janet R McColl-Kennedy (2005),”Experience
as a Moderator of Involvement and Satisfaction on Brand Loyalty in a Business to
Business Setting 02-314R”, Industrial Marketing Management Vol 34 h 97-107.
Berman, Barry dan Joel R. Evans (2002). Retail Management A. Strategic Approach.
Prentice Hall.New Jersey.
63
Berry, L.L. (1983) “Relationship Marketing” dalam : (Eds.) Berry, L.L., Shostack, G.L.
and Upah, G.D. “Emerging Perspectives on Services Marketing” Chicago,
American Marketing Association, h . 25-28
Bonnemaizon, Audrey, Bernard Cova dan Marie-Calude Louyot (2007),”Relationship
Marketing in 2015: A Delphi Approach, European Management Journal Vol 25
No 1 h 50-59.
Boulding, William, Richard Staelin, Michael Ehret dan Wesley J Johnston (2005), A
Customer Relationship Management Roadmap: What is Known, Potential Pitfalls
And Where To Go, Journal of Marketing Vol 69, h 155-166.
Butaney, Gul dan Lawrence H Wortzel (1988), “Distributor Power Versus Manufacturer
Power: The Customer Role”, Journal of Marketing, Vol 52 h 52-63.
Cascario , Tiziana dan Mikolaj Jan Piskorski, (2005), “Power Imbalance Mutual
Dependence and Constraint Absorption: A Closer Look at Resource Dependence
Theory”, Administrative Science Quarterly Vol 50, h 167-199
Cooper, Marjorie J, Nancy Upton dan Samuel Seaman (2005), Customer Relationship
Management: A Comparative Analysis of Family and Non-family Business
Practices, Journal of Small Business Management, Vol 43 No 3 h 242-256.
Crosby, L.A., Kenneth R. E., and Cowles, D. (1990) ‘Relationship quality in services
selling: An interpersonal influence perspective’, Journal of Marketing, 54:3 h 68-
81.
Day, G S (1969), “A Two Dimensional Concept of Brand Loyalty”, Journal of
Advertising Research Vol 9 No 23 h 29-35.
De Wulf, K. D., Odekerken-Schro¨ der, G. & Lacobucci, D. (2001) “Investments in
consumer relationships: a cross-country and cross-industry exploration”, Journal
of Marketing, Vol 65 h . 33–50.
Dharmmesta, Basu S. (1999).” Loyalitas Pelanggan: Sebuah Kajian Konseptual Sebagai
Panduan Bagi Peneliti,” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 14 No.3. pp
73-78.
Doney, Patricia M., & Cannon, Joseph P. (1997). “An examination of trust in buyer–seller
relationships”. Journal of Marketing, 61(2) h 35– 51.
Dyer, J.H. and H. Singh (1998). "The Relational View: Cooperative Strategy and Sources
64
of Interorganizational Competitive Advantage," Academy of Management
Review, 23 (4) h 660–679.
Ekelund, Christer dan Deo D. Sharma (2001), “The Impact of Trust on Relationship
Commitment: A Study of Standardized Products in a Mature Industrial Market,”
Laporan Penelitian Tidak Dipublikasikan.
Ekelund, Christer dan Deo D. Sharma (2001), “The Impact of Trust on Relationship
Commitment: A Study of Standardized Products in a Mature Industrial Market,”
Laporan Penelitian Tidak Dipublikasikan.
El Ansery, Adel dan Louis W Stern (1972), “Power Measurement in the Distribution
Channel,” Journal of Marketing Research Vol 9 h 47-52.
Fitzgibbon, Christopher dan Lesley White (2005), The Role of Attitudinal Loyalty in the
Development of Customer Relationship Management Strategy within Service
Firms, Journal of Financial Service Marketing, Vol 9 No 3 h 214-230.
Fulerton, Gordon (2005), The Impact of Brand Commitment on Loyalty to Retail Service
Brands, Canadian Journal of Administrative Science, Vol 22 h 97-110.
Garbarino, E. and Johnson, M.S. (1999) ‘The Different Roles of Satisfaction, Trust, and
Commitment in Customer Relationships’, Journal of Marketing, 63:2 h 70-87.
Geyskens, Inge, Steenkamp, Jan-Benedict E.M., & Kumar, Nirmalya (1999). ”A meta-
analysis of satisfaction in marketing channel relationships”. Journal of
Marketing Research, 36(2) h 223– 238.
Gonroos, Christian (1994), “From Marketing Mix To Relationship Marketing: Towards a
Paradigm Shift in Marketing”, Management Decision, Vol 32 No 2 h 4-20.
Gummesson, E. (1991a) “Marketing Orientation Revisited: The Crucial Role of the Part-
Time Marketer” European Journal of Marketing; Vol. 25, No 2 h .60-75
Gurviez, Patricia dan Michael Korchia (2003). “ Test of a Consumer-Brand Relationship
Model Including Trust and Three Consequences,” Makalah Seminar dalam 30th
International Research Seminar in Marketing, 11-13 Juni.
Gustafsson, Anders , Michael D. Johnson dan Inger Roos (2005),”The Effects of
Customer Satisfaction, Relationship Commitment Dimensions, and Triggers on
Customer Retention” Journal of Marketing Vol 69 h 210-218.
Hallowell, Roger (1996),”The Relationship of Customer Satisfaction, Customer Loyalty
65
and Profitability: An Empirical Study”, International Journal of Service Industry
Management Vol 7 No 4 h 27-42.
Hammond K, East R dan Ehrenberg A (1996), Buying More and Buying Longer:
Concepts and Application of Customer Loyalty, London, London Business
School.
Heide, Jan B dan George John (1988), The Role Of Dependence Balancing In
Safeguarding Transaction-Specific Assets In Conventional Channels, Journal of
Marketing Vol 52, h 20-35
Heide, Jan B dan George John (1988), The Role Of Dependence Balancing In
Safeguarding Transaction-Specific Assets In Conventional Channels, Journal of
Marketing Vol 52, h 20-35
Hon, L. C. & Grunig, J. E. (1999), Guidelines for Measuring Relationships in Public
Relations (Gainesville, FL: The Institute for Public Relations).
Hsieh, Hsiu-Fang dan Sarah E Shannon (2005), Three Aproach to Quantitative Content
Analysis, Qualitative Health Research, Vol 15 No.9 h 1277-1288.
Huang, Heng-Hsiang dan Chou-Kang Chiu (2006), Exploring Customer Satisfaction,
Trust and Destination Loyalty in Tourism, The Journal of American
Academy of Business, Vol. 10 , No. 1 h 156-159.
Johnson, Jean L (1999),”Strategic Integration in Industrial Distribution Channels:
Managing The Interfirm Relationship as a Strategic Asset”, Journal of The
Academy of Marketing Science, Vol 27 No 1 h 4-18.
Kaufman, Peter, Satish Jayachandrin dan Randall L. Rose (2006), The Role of Relational
Embeddedness in Retail Buyers’ Selection of New Products, Journal of
Marketing Research Vol. XLIII h 580–587.
Kim, Jai Beom dan Paul Michell (1999), “Relationship Marketing in Japan: The Buyer-
Supplier Relationship of Four Automakers”, Journal of Business and Industrial
Marketing Vol 14 No 2 h 118-129.
Kim, Keysuk, (2000), “On Interfirm Power, Channel Climate and Solidarity in Industrial
Distributor-Supplier Dyads”, Journal of The Academy of Marketing Science,
Volume 28 No 3, h 388-405.
Kirk, Jerome dan Marc L Miller (1986), Reliability and Validity In Qualitative Research,
66
Sage Publications, London.
Kohlbacher, Florian (2005), The Use of Qualitative Content Analysis in Case Study
Research, Forum: Qualitative Social Research, Vol 7 No 1 Januari.
Kompas, 20 Maret 2007 halaman Ekonomi dan Bisnis
Laporan Tahunan Bank Pembangunan Asia, 2006.
Lau, Geok Theng dan Sook Han Lee (2000). “Consumer’s Trust in a Brand and the Link
to Brand Loyalty,”. Journal of Market Focused Management. 4, pp 341-370.
Liljander, Veronica (1999), The Importance of Internal Relationship Marketing for
External Relationship Success, dalam Thorsten Hennig-Thurau and Ursula
Hansen, Eds., Relationship Marketing: Gaining Competitive Advantage through
Customer Satisfaction and Customer Retention, Springer Verlag: Berlin, 159-192.
Mayring, Phillip (2000), Qualititative Content Analysis, Forum: Qualitative Social
Research, Vol 1 No. 2 Juni.
McDougall, Gordon H.G dan Terrence Levesque (2000), Customer Satisfaction with
Services: Putting Perceived Value into The Equation, Journal of Services
Marketing, Vol. 14 No. 5, pp 392-410.
Mohr, J. and J.R. Nevin (1990). "Communication Strategies in Marketing Channels: A
Theoretical Perspective," Journal of Marketing, 54 (October) h 36–51
Moorman, C., Desphande, R. and Zaltman, G. (1993) ‘Factors affecting trust in market
research relationships’, Journal of Marketing, 57:1 h 81-101.
Morgan, R.M. and Shelby D.H. (1994) ‘The commitment-trust theory of relationship
marketing’, Journal of Marketing, 58:3, h 20-38.
Neuman, W Lawrence (2000), Social Research Methods, Qualitative and Quantitative
Methods 4th ed, Allyn and Bacon, Boston.
Parasuraman, A, Valerie A. Zeithaml dan Leonard Berry, (1985) “ A Conceptual Model of
Service Quality and its Implications for Future Research,” Journal of Marketing,
Vol. 9, Fall,pp 120-145.
Percy, Nigel F, (1995),”Marketing And Strategy Fit Together”, Management Decision Vol
33 No 1, h 42-47.
Peterson, Robert A dan Sridhar Balasubramain (2002), “Retailing In The 21st Century:
Reflections and Prologue To Research”, Journal of Retailing 78 h 9-16.
67
Pfeffer J & Salancik, G.R, (1978),The External Control of Organizations, A Resource
Dependence Perspective, New York, Stratford Press Inc.
Pfeffer,J. (1982),Organizations and Organization Theory, London, Pitman Books
Limited.
Porter, Michael E (1980), Competitive Strategy, New York, The Free Press.
Ramaseshan, B , Leslie C Yip dan Jae H Pae (2006), “Power, Satisfaction and
Relationship Commitment in Chinese Store-Tenant Relationship and Their Impact
on Performance” Journal of Retailing Vol 82 No 1 h 63-70.
Rauyruen Papassapa dan Kenneth E. Miller (2007),”Relationship quality as a predictor of
B2B customer loyalty”, Journal of Business Research 60 h 21–31.
Schwab, D.P (1978), Construct Validity in Organizational Behavior, dalam B Staw dan L
Cummings (Eds), Research in Organizational Behavior, 3-43, Greenwich, CT,
JAI Press.
Spekman Robert E dan Robert Carraway (2006), “Making The Transition to
Collaborative Buyer-Seller Relationsgip: An Emerging Framework”, Industrial
Marketing Management 35 h 10-19.
Stafford, L. & Canary, D. J. (1991),”Maintenance strategies and romantic relationship
type, gender and relational characteristics”, Journal of Social and Personal
Relationships, Vol 8, h 217–242.
Tellefsen , Thomas dan Gloria Penn Thomas (2005),”The antecedents and consequences
of organizational and personal commitment in business service relationships”,
Industrial Marketing Management Vol 34 h 23– 37.
Tence D.J (1980), “Economics of Scope and The Scope of Enterprise”, Journal of
Economic Behavior and Organization Vol 1 h 223-247.
Tepeci, Mustafa (1999).” Increasing Barnd Loyalty in the Hospitality Industry,”
International Journal of Contemporary Hospitality Management, Vol. 11 No. 5,
pp 223-229.
Tezinde, Tito, Jamie Murphy, Don Thi Hong, Chau Nguyen dan Cameron Jenkinson
(2001), “ Cookies: Walking the Fine Line Between Love and Hate,” Makalah
dalam 4th Western Australian Workshop on Information System Research
(WAWISR 2001).
68
Ulrich, David & Barney, J.B, Perspectives in Organizations: Resource Dependence,
Efficiency and Population, Academy of Management Review, 1984, 9, 471-480.
Verhoef, Peter C. (2003), “Understanding the Effect of Customer Relationship
Management Efforts on Customer Retention and Customer Share Development,”
Journal of Marketing, Vol 67, h 30–45.
Vinhas, Alberto Sa dan Erin Anderson (2005), How Potential Conflict Drives Channel
Structure: Concurrent (Direct and Indirect) Channels, Journal Of Marketing
Research Vol XLII h 507-515.
Wernefelt B (1984), “A Resource Based View of The Firm”, Strategic Management
Journal Vol 5 h 171-180.
Wood Lisa M (2002), Dimensions of Brand Purchasing Behavior: Consumers in the 18-
24 age Groups, Journal of Consumer Behavior, Vol 4 No 1 h 9-24.
Wood, Andy (2006),” Loyalty-What Can It Really Tell You?”, Data Base Marketing and
Customer Strategy Management Vol 13 No 1 h 55-63.
Yin, Robert K (1994), Case Study Research, Design and Methods, Sage Publications,
London.
69