Anda di halaman 1dari 69

MASALAH PENGUKURAN CHANNEL EXCHANGE RELATIONSHIP

ANTARA RITEL DAN PEMASOK, SEBUAH STUDI PENDAHULUAN

Anton Agus Setyawan, SE,MSi


Mahasiswa Program Doktor Ilmu Marketing UGM dan pengajar tetap
Jurusan Manajemen Fak Ekonomi Univ Muhammadiyah Surakarta
Fak Ekonomi Univ Muhammadiyah Surakarta
Jl A Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta 57102
Telp: 0271-717417 ext 421 dan 229 (office) 0271-780980 (home)
08156718444 (mobile)
e-mail: rmb_anton@yahoo.com, agussetyawan-a@lycos.com dan
anton_agus@ums.ac.id

Abstract
The issue of channel exchange relationship is emerges in study of marketing. This
phenomenon agrees with the fact that retail industries have growth very rapid in
Indonesia in the last decade. This paper explores the channel exchange relationship
between retail and their supplier. In this research, I use relationship marketing and
resource dependence as a framework to analyze the relationship between retail and
supplier. Gronroos (1994) defines relationship marketing in the following way, marketing
is Marketing is to establish, maintain, and enhance relationships with customers and
other partners, at a profit, so that the objectives of the parties involved are met. This is
achieved by a mutual exchange and fulfillment of promises. This definition is a key to
analyze the relationship of retailer and their supplier. We use the framework of
relationship marketing which contains of three construct, trust, commitment and
satisfaction. Also, the relationship of retailer-supplier has a problem of power imbalance.
So, I try to analyze this with resource dependence theory.
I use qualitative method in this research. The design of the research is case study
with multiple cases proposed by Yin (1994). In this case study, I use basic content
analysis as tool to analyze the phenomenon. Unit analysis of this research is company. I
use two cases in the different company, fuel retail and hypermarket. In order to gain
validity, I use multiple key person or informant to gain validity. The result shows, that in
the fuel company, relationship marketing is not the right framework because the
relationship between company and their supplier based on a strict contract. In fact, the
relationship of supplier and company in a fuel company is based on transaction cost
theory. In the hypermarket company, the relationship of supplier and retailer is based on
trust, commitment and satisfaction. Those three construct are the foundation of
relationship marketing

Keywords: relationship marketing, resource dependence, transaction cost theory.

MASALAH PENGUKURAN CHANNEL EXCHANGE RELATIONSHIP DALAM

1
Manufacturer

HUBUNGAN RELASIONAL ANTARA RITEL DAN MITRA BISNIS,

SEBUAH STUDI PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH

Pertumbuhan sektor perdagangan saat ini demikian pesat sehingga memerlukan

sebuah kajian dari aspek teori maupun strategis. Peterson dan Balasubramanian (2002)

menyatakan bahwa salah satu tantangan dalam ilmu manajemen pemasaran ritel pada

abad 21 adalah keterbatasan teori yang mampu menjelaskan fenomena-fenomena

kontemporer dalam disiplin ilmu ini. Selain itu, salah satu agenda riset manajemen

pemasaran ritel yang penting dalam abad 21 adalah bagaimana manajemen sebuah ritel

mengelola usahanya dan membuat keputusan-keputusan strategis (Peterson dan

Balasubramain, 2002).

Saluran distribusi (channel) adalah salah satu bagian penting dari proses

pemasaran perusahaan. Saluran distribusi menghubungkan antara perusahaan dengan

konsumen akhir. Hal ini menyebabkan saluran distribusi memegang peran penting bagi

pemasar. Menurut Berman dan Evans (2002), ada beberapa hal yang membuat industri

ritel penting untuk dipelajari, yaitu pertama, implikasi ritel dalam perekonomian global.

Penjualan ritel dan daya serap tenaga kerjanya menjadi kunci dalam perekonomian

global. Kedua, fungsi ritel dalam rantai distribusi. Ritel menjadi bagian terakhir dari

rantai distribusi. Dalam rantai distribusi, ritel berfungsi menjadi penghubung antara final

consumer, dengan manufacturer dan wholesaler. Fungsi retailer dalam rantai distribusi

dapat digambarkan sebagai berikut:

2
Sumber: Berman dan Evans, 2002, h. 9
Gambar 1. Rantai Distribusi
Ketiga, hubungan antara retailer dengan supplier. Retailer dan supplier

mempunyai cara pandang yang berbeda. Hal ini tentu saja perlu diatasi. Beberapa

masalah yang perlu diperhatikan dalam pola hubungan retailer dan supplier antara lain:

kontrol terhadap rantai distribusi, alokasi profit, jumlah retailer pesaing, lokasi, display

dan masalah promosi.

Berdasarkan data indikator ekonomi dari Bank Pembangunan Asia tahun 2006

maka sumbangan sektor perdagangan terhadap PDB Indonesia menduduki urutan

terbesar ke-2 setelah sektor industri pengolahan yang mencapai 28 persen. Sumbangan

sektor perdagangan terhadap PDB sejak tahun 1987 sampai tahun 2004 terus stabil pada

level 16 persen, sementara sektor pertanian terus mengalami penurunan dari 23 persen

pada tahun 1987 menjadi hanya 15 persen pada tahun 2004. Bisnis ritel Indonesia

menunjukkan adanya daya serap tenaga kerja yang tinggi. Saat ini industri ritel Indonesia

mampu menampung 18,9 juta angkatan kerja, nomor dua setelah industri pertanian (lihat

www.kppu.go.id). Selain itu dari, 22,7 juta jenis usaha di Indonesia hampir 10,3 juta atau

45 persen diantaranya adalah bisnis ritel. Hal ini memperkuat argumen perlunya lebih

banyak riset dalam sektor ini. Ritel adalah bagian dari sektor perdagangan. Maka

penelitian tentang ritel memberikan sumbangan yang berarti bagi perekonomian nasional.

Relasi antara lembaga saluran distribusi (ritel dan wholesaler) dengan produsen

maupun antar mereka sendiri adalah isu penelitian manajemen pemasaran ritel yang

menarik. Penelitian yang dilakukan Vinhas dan Anderson (2005) tentang konflik antara

3
produsen dengan saluran distribusi adalah salah satu penelitian tentang saluran distribusi

yang menarik. Penelitian ini menganalisis bagaimana perusahaan memutuskan untuk

menggunakan satu jenis saluran distribusi atau dua saluran distribusi atau bagaimana

melakukan kombinasi antara keduanya. Beberapa anteseden yang mempengaruhi

keputusan memilih saluran distribusi adalah heterogenitas pasar, pertumbuhan pasar,

variabililtas perilaku konsumen, standardisasi produk, ukuran pasar dan penjualan

perusahaan.

Tellefsen dan Thomas (2005) mengemukakan pentingnya komitmen

organisasional dalam relasi antar perusahaan. Beberapa anteseden yang mempengaruhi

komitmen organisasional antara lain komitmen personal, kepercayaan dan power.

Kondisi aktual di Indonesia terkait dengan hal ini adalah adanya eksploitasi pemasok oleh

peritel (besar). Berdasarkan laporan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

laporan tentang masalah dalam ritel adalah persaingan tidak sehat antar peritel yaitu

menguatnya peritel besar mutlinasional dan peritel tradisional semakin tersisih

(Kompas,20 Maret 2007). Pemerintah berusaha mengatasi masalah ini dengan menyusun

rencana Peraturan Pemerintah tentang Penataan dan Pembinaan Usaha Pasar Modern.

Paper ini menganalisis tentang pola hubungan antara ritel dan pemasok dalam

sebuah channel exchange relationship. Ada dua rerangka analisis yang digunakan dalam

paper ini yaitu rerangka relationship marketing dan power. Rerangka analisis

relationship marketing dipergunakan untuk menjelaskan faktor-faktor apa yang

mempengaruhi kelanggengan hubungan antara pemasok dan ritel. Rerangka analisis

power dengan pendekatan resource dependence theory. Hasil akhir dari paper ini adalah

sebuah model konseptual yang dilengkapi dengan beberapa proposisi.

4
PERTANYAAN PENELITIAN

Bagaimana pola hubungan antara perusahaan dengan pemasok mereka apakah sesuai

dengan rerangka relationship marketing ?

Bagaimana pola kontrol antara pemasok dan ritel apakah sesuai dengan rerangka

resource dependence?

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola hubungan antara perusahaan dengan

pemasok mereka dengan menggunakan rerangka analisis relationship marketing dan

resource dependence. Hasil akhir dari penelitian ini adalah sebuah model hubungan

perusahaan dengan pemasoknya.

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini bermanfaat sebagai sebuah studi pendahuluan bagi penelitian berikut yang

akan menganalisis hubungan perusahaan dan mitra bisnisnya.

TINJAUAN PUSTAKA

KONSEP RELATIONSHIP MARKETING

Konsep relationship marketing adalah sebuah paradigma yang berkembang pada

dekade 90-an sebagai akibat dari perkembangan industri. Ada tiga hal yang menyebabkan

munculnya konsep relationship marketing, yaitu: adanya interaksi dan pendekatan

jaringan dalam pemasaran industrial yang muncul di Eropa, munculnya manajemen

pemasaran bagi industri jasa dan ketertarikan yang kuat terhadap konsep customer

relationship economics.

5
Relationship marketing muncul sebagai jawaban atas ketiga hal diatas. Konsep ini

lahir dari bidang pemasaran jasa dan pemasaran industri. Gronroos (1994)

mendefinisikan relationship marketing sebagai pemasaran adalah untuk menjalin,

membina dan menjaga hubungan dengan konsumen dan mitra perusahaan, sebagai

sebuah hubungan yang saling menguntungkan, sehingga kepentingan masing-masing

pihak tetap terjaga. Beberapa elemen dasar dari relationship marketing adalah:

1. Konsep janji. Perusahaan yang mampu memenuhi janjinya sama dengan

mencapai kepuasan konsumen, pembelian kembali dari konsumen dan

keuntungan finansial dalam jangka panjang.

2. Kepercayaan. Kepercayaan didefinisikan Moorman sebagai kesediaan untuk

menggantungkan diri pada mitra yang bisa dipercaya. Definisi ini

mempunyai arti bahwa harus ada keyakinan bahwa mitra bisa dipercaya

sebagai hasil dari keahlian, konsistensi dan niat dari mitra. Kedua, definisi

ini melihat bahwa kepercayaan sebagai sebuah perilaku niat atau perilaku

yang merefleksikan kondisi menggantungkan diri pada mitra dan

melibatkan ketidakpastian dan kerentanan dari pihak yang dipercaya.

Definisi lain tentang relationship marketing dikemukakan oleh Berry (1983) yang

mendefinisikan relationship marketing sebagai menarik, mejaga dan dalam organisasi

multi layanan-meningkatkan hubungan dengan pelanggan. Konsep relationship

marketing dalam versi yang lain dikemukakan oleh Gummesson (1991) dengan definisi

relationship marketing sebagai membangun hubungan yang melibatkan pemberian

janji,menjaga hubungan berdasarkan janji yang ditepati, meningkatkan hubungan

mempunyai arti beberapa janji baru diberikan dengan syarat janji-janji yang lama telah

6
ditepati. Konsep relationship marketing ini merupakan sebuah hasil dari proses

transformasi dari hubungan bisnis antara dua perusahaan secara tradisional yaitu pembeli

dan penjual menjadi hubungan yang lebih strategis. Spekman dan Carraway (2006)

mendiskusikan tentang proses trnasformasi tersebut. Kedua penulis menyatakan ada

beberapa faktor yang penting sebagai syarat dari terjadinya proses transformasi tersebut.

Hal ini juga menjadi dasar teoritis yang kuat bagi relationship marketing. Proses transisi

itu dijelaskan dalam gambar 2:

Gambar 2 Proses Transisi dari Hubungan Kolaboratif menjadi


Hubungan Relasional
Facilitating capabilities adalah kompetensi inti yang diharapkan sukses dalam sebuah

hubungan kolaboratif. Konsep ini terdiri dari:

• Mindset, yaitu keinginan untuk mengatasi ketegangan antara penjual dan

pembeli.

• Struktur mengacu pada posisi terhormat masing-masinh pihak dalam sebuah

hubungan.

• Proses merefleksikan aspek dinamis dari pertukaran, secara spesifik perilaku dan

tindakan yang menjadikan kerjasama bisa dilakukan.

• Teknologi informasi berkaitan dengan fokus teknologi dalam kerjasama yang

7
menekankan pada keterhubungan eksternal dan keterkaitan internal. Sebagai

contoh penggunaan program ERP dan CRM dalam Supply Chain.

Drivers adalah faktor-faktor pendorong dari sebuah proses kerjasama, yang terdiri dari:

• System wide-thinking, yaitu sebuah sistem cara berpikir yang mengitegrasikan

empat faktor dari facilitating capabilities.

• Pengukuran kinerja, hal ini terkait dengan pemahaman tentang pengukuran

kinerja secara tradisional dengan perlunya pengukuran yang diperluas.

Pengukuran kinerja secara tradisional adalah dengan akuntansi dan laporan

keuangan.

Fundamental enabler adalah faktor-faktor mendasar yang memungkinkan terjadinya

sebuah hubungan relasional. Hal ini meliputi:

• Trust, merefleksikan sebuah kesediaan untuk menjadi bergantung, berdasarkan

harapan positif terhadap tindakan atau niat pihak lain.

• Fokus pada pelanggan adalah kesediaan untuk menyampaikan value kepada

pelanggan yang dilakukan kedua pihak.

Penelitian tentang relationship marketing dalam hubungan antara perusahaan (B2B)

sudah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan Kim dan Michell (1999) adalah salah

satu diantara penelitian tersebut. Penelitian ini menganalisis hubungan antara empat

perusahaan otomotif terkemuka Jepang yaitu Toyota, Nissan, Mitsubishi dan Honda

dengan para suppliernya dalam rerangka relationship marketing. Pabrik otomotif Jepang

mempunyai jaringan pemasok. Ada beberapa yang berafiliasi dengan pabrikan (Kankei

8
Kaisha) dan ada pula yang independen (Dokuritsu Kaisha). Berdasarkan kategori ini

maka di dalam industri otomotif Jepang ada tiga jenis pemasok. Jenis pertama, yang

merupakan bagian kecil, adalah pemasok yang mempunyai hubungan erat dengan pabrik.

Kedua, yang jumlahnya menengah adalah pemasok yang masuk dalam asosiasi pemasok

pabrikan yang bersangkutan dan ketiga, pemasok yang masuk dalam asosiasi pemasok.

Penelitian ini adalah sebuah penelitian pendahuluan sehingga analisis data yang

dilakukan hanya berdasarkan observasi terhadap laporan tahunan dari pabrik dan para

pemasoknya. Simpulan sementara menunjukkan ada perbedaan pemasok dalam empat

pabrikan otomotif terbesar di Jepang, yaitu berdasarkan ukuran, rata-rata penjualan,

jumlah karyawan, tingkat keuntungan dan prosentase pembagian keuntungan dengan

pabrikan.

Bonnemaizon et al (2007) melakukan sebuah riset kualitatif dengan tujuan untuk

mendeskripsikan masa depan perspektif relationship marketing. Penelitian ini

menggunakan pendekatan Delphi yang populer sejak tahun 60-an, yaitu sebuah

pendekatan kualitatif dengan tujuan menemukan konsensus diantara para ahli (praktisi

maupun akademisi) tentang sebuah konsep. Hasilnya, ada empat tema besar yang

menjadi arus utama dalam perkembangan relationship marketing di masa depan. Empat

tema besar itu adalah:

1. Filsafat tentang relationship marketing akan terus berkembang, namun tidak

akan menggantikan mass marketing. Perspetif ini mengalami perluasan dari

hubungan pelanggan secara sederhana menjadi sekumpulan hubungan

dengan jaringan pemain yang terkait dengan sebuah bisnis.

9
2. Penerapan pendekatan relationship marketing seperti customer relationship

marketing akan didukung dengan teknologi informasi yang canggih dan

basis data manajemen yang lebih “cerdas”. Keuntungan dari penerapan hal-

hal tersebut akan meningkatkan dan memudahkan pengukuran.

3. Pelanggan akan meningkatkan penolakan pada ”percobaan” perusahaan

untuk ”menciptakan” hubungan dan menjadi pihak yang memiliki kekuatan

dalam hubungan bisnis. Perusahaan akan belajar untuk mengatasi

pergeseran ini dalam sebuah perimbangan kekuatan dalam hubungan bisnis

dengan melibatkan konsumen dalam proses penciptaan nilai.

4. Pengalaman pelanggan, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari

masyarakat, akan menjadi aspek kunci dalam pendekatan hubungan. Dalam

proses menjalin hubungan, diperlukan usaha untuk mengumpulkan data

yang relevan dengan menggunakan pendekatan dalam ilmu sosial.

Perusahaan harus memperhatikan aspek emosional ini tanpa harus terlalu

intrusif dan kelebihan kontrol.

Menurut Boulding et al (2005), dalam perkembangannya konsep relationship

marketing juga diadopsi dalam industri consumer goods. Konsep relationship marketing

ini berubah menjadi customer relationship management (CRM). Beberapa hal yang

penting dalam perkembangan CRM adalah:

1. CRM adalah hasil dari evolusi yang terus-menerus dan integrasi dari ide-ide

pemasaran, data terbaru, teknologi dan bentuk organisasi.

10
2. Pembahasan mengenai CRM mulai mengerucut pada kesamaan definisi.

3. Perusahaan yang mengembangkan CRM terbukti mengalami peningkatan

kinerja.

4. Pada saat menentukan investasi CRM, keefektivan dari aktivitas CRM

tergantung pada integrasi CRM dengan a) proses yang sudah ada b)

kemampuan perusahaan.

5. Penerapan CRM yang efektif tidak selalu memerlukan analisis, konsep dan

teknologi yang canggih.

6. Inti dari CRM adalah konsep dari kreasi ganda tentang nilai.

Beberapa hal yang merupakan potensi kelemahann CRM dan hal-hal yang tidak

diketahui tentang isu tersebut adalah:

1. Penerapan CRM yang sukses memerlukan pertimbangan tentang

kepercayaan konsumen dan hak konsumen dari perusahaan.

2. Penerapan CRM yang sukses dalam perusahaan memerlukan pertimbangan

tentang isu keadilan konsumen.

3. Penggunaan matriks CRM secara tidak tepat dan tidak lengkap bisa

meningkatkan resiko bisnis inti perusahaan sehingga berpotensi

menimbulkan kesalahan jangka panjang.

4. Penerapan CRM yang sukses memerlukan pengetahuan tentang persaingan

dan reaksi kompetitif terhadap proses CRM.

5. Penerapan CRM yang efektif memerlukan koordinasi dari saluran distribusi,

11
teknologi, pelanggan dan karyawan.

Isu metode penelitian dalam riset CRM pada masa yang akan datang:

1. Penelitian tentang CRM harus berfokus pada interaksi antara sub-proses

atau interaksi antar proses bukan total sistem CRM.

2. Penelitian seharusnya menyediakan pembuktian konklusif dengan

mempertimbangkan dampak kausal dari aktivitas CRM.

3. Penelitian seharusnya mengakui bahwa perusahaan tidak memilih aktivitas

CRM dalam bentuk abstrak, melainkan mereka memilih aktivitas ini

berdasarkan respon pasar terhadap aktivitas ini bersama dengan faktor-

faktor lain, seperti keahlian dan kemampuan perusahaan.

4. Penelitian CRM seharusnya membahas tentang potensi heterogenitas dalam

perilaku konsumen.

5. Hasil penelitian seharusnya bisa digeneralisasi daripada sekedar

idiosinkratik pada domain penelitian yang dipilih.

PERSPEKTIF TEORI RESOURCE DEPENDENCE

Berdasarkan perspektif resource dependence kunci dari kemampuan bertahan

sebuah organisasi adalah kemampuannya untuk memperoleh dan mengelola sumber daya

(Pfeffer dan Salancik, 1978). Hal ini dapat diartikan bahwa faktor lingkungan merupakan

faktor yang menentukan kelangsungan hidup sebuah organisasi. Organisasi bukanlah

sebuah entitas yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, organisasi

12
memerlukan sumber daya dari lingkungan, oleh karena itu, ada hubungan saling

ketergantungan antara organisasi dengan elemen-elemen dalam lingkungan tersebut.

Saling ketergantungan ini membawa organisasi ke dalam sebuah proses saling

mempengaruhi (Pfeffer, 1982). Dalam ilmu politik misalnya, perilaku pemilih

dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti demografi dan dimensi sosioekonomi

dari sebuah masyarakat (Pfeffer dan Salancik,1978).

Pfeffer dan Salancik (1978) mengemukakan bahwa organisasi adalah sebuah

koalisi, manajemen selalu menghadapi kepentingan yang berbeda. Manajemen harus

berusaha menemukan solusi bagi perbedaan kepentingan yang menimbulkan konflik.

Manajemen harus selalu memahami bahwa yang menjadi struktur organisasi bukanlah

manusia, melainkan perilaku. Batasan dari organisasi dapat didefinisikan sebagai

pengaruh organisasi terhadap sebuah aktivitas dibandingkan pengaruh aktor sosial lain

terhadap aktivitas tersebut.

Keefektifan organisasional adalah pengukuran dari output organisasi dan aktivitas

berdasarkan kelompok atau individu dalam organisasi tersebut. Namun demikian ada

perbedaan kriteria tentang keefektifan. Apa yang disebut efektif bagi satu kelompok

karyawan bisa jadi dianggap tidak efektif oleh kelompok lain atau bahkan manajemen.

Keefektifan adalah sebuah evaluasi eksternal dari apa yang dilakukan organisasi,

sedangkan efisiensi adalah evaluasi internal dari jumlah sumber daya yang digunakan

organisasi dalam melakukan aktivitasnya.

Pada dasarnya semua organisasi berdasarkan pada ketergantungan. Karakteristik

ketergantungan digambarkan dari hubungan antar agen dalam organisasi. Ada dua jenis

ketergantungan yaitu ketergantungan hasil dan ketergantungan perilaku. Keduanya dapat

13
muncul secara bersamaan atau sendiri-sendiri. Konsep ketergantungan ini yang menjadi

dasar dari kontrol sosial terhadap organisasi. Kendala yang sering muncul dalam

organisasi adalah adanya asimetri dalam ketergantungan.

Pfeffer dan Salancik (1978) mengemukakan sangat penting bagi organisasi untuk

memahami bahwa tindakan dari organisasi ditentukan oleh lingkungan-repspeon

organisasi terhadap apa yang dipersepsikan dan dipercayai tentang dunia. Fakta bahwa

lingkungan berperan tidak berarti bahwa perbedaan karakteristik individu menjadi tidak

berarti. Proses peran dari lingkungan ditentukan oleh eksistensi organisasi dan struktur

informasional dari organisasi.

Organisasi selalu menghadapi sebuah lingkungan dari tuntutan yang berlawanan

yang didalamnya organisasi yang terlibat saling tergantung satu sama lain.

Ketergantungan ini menyebabkan manajemen dari organisasi bersangkutan mengalami

kesulitan karena ada beberapa konsekuensi dari tindakan yang harus dipertimbangkan.

Selain itu, organisasi seringkali berhadapan dengan organisasi eksternal yang kuat

sehingga menyebabkan permintaan menjadi tidak konsisten. Organisasi bisa saja

berusaha menghindari pengaruh dari organisasi eksternal dengan beberapa cara. Salah

satu cara yang dilakukan adalah dengan membatasi informasi.

Salah satu cara organisasi dalam merespon ketergantungan adalah dengan

menyerapnya. Perusahaan menyerap ketergantungan dengan melakukan merjer. Merjer

dilakukan perusahaan untuk mengatasi ketergantungan kompetitif. Usaha ini dilakukan

pada saat ketidakpastian kompetitif sangat besar-yaitu pada saat konsentrasi industri

berada pada tingkat yang moderat.

Pertimbangan lain dari keuntungan melakukan merjer adalah menjamin adanya

14
pertumbuhan organisasi. Pertumbuhan organisasi dan ukuran organisasi yang besar

meningkatkan kemampuan bertahan hidup organisasi. Keduanya menyebabkan organisasi

mempunyai kekuatan yang pasti diperhitungkan oleh lingkungan maupun pesaing.

Ukuran perusahaan berhubungan dengan stabilitas organisasi tetapi tidak terkait dengan

profitabilitas.

Organisasi memerlukan strategi untuk mengelola ketergantungan terhadap

lingkungan dan ketidakpastian. Strategi yang bisa ditempuh organisasi adalah

interlocking directorates, joint venture, kendala normatif dari aktivitas dan koordinasi

dengan struktur yang sentralistik, misalnya dengan membentuk asosiasi atau kartel.

Elemen utama dalam memilih straegi untuk memperoleh lingkungan yang

mendukung organisasi adalah dengan komunikasi. Komunikasi antar perusahaan adalah

prediktor yang utama dalam aktivitas antar perusahaan. Solusi untuk ketergantungan

dalam kenyataannya adalah sebuah tindakan untuk membangun ketergantungan baru.

Model dari Pfeffer dan Salancik (1978) yang menggambarkan proses adaptasi

organisasi terhadap lingkungannya memberikan penjelasan yang lebih baik dalam

menggambarkan hubungan organisasi dengan lingkungan. Model perubahan organisasi

tersebut adalah sebagai berikut:

15
Gambar 3. Model Adaptasi Organisasi Terhadap Kendala Lingkungan
Diadopsi dari Pfeffer dan Salancik (1978,h 229)

Model diatas menjelaskan bahwa lingkungan mempengaruhi organisasi melalui

pengaruh lingkungan terhadap distribusi kekuatan dalam organisasi. Pfeffer dan Salancik

(1978) memberikan argumen bahwa ada urut-urutan sebab-akibat yang didalamnya

kontingensi lingkungan mempengaruhi distribusi kekuatan internal. Distribusi kekuatan

internal mempengaruhi suksesi eksekutif melalui pelatihan, rerangka referensi dan

informasi. Suksesi eksekutif selanjutnya mempengaruhi perilaku organisasi. Selain itu,

suksesi eksekutif juga memberikan pengaruh terhadap lingkungan organisasi.

Perspektif teori resource dependence dipergunakan untuk menganalisis penggunaan

kekuatan masing-masing pihak dalam sebuah hubungan bisnis antara pemasok dan ritel.

Hal ini dikarenakan dalam perspektif teori ada saling ketergantungan antara dua pihak

yang menyebabkan salah satu atau kedua pihak menggunakan kekuatan untuk

mendapatkan kinerja strategis perusahaannya.

PERAN KEPUASAN DALAM HUBUNGAN RELASIONAL B2B

16
Dalam hubungan relasional antara dua perusahaan, maka pola yang terjadi adalah

hubungan antara konsumen dan pemasar. Kepuasan konsumen adalah tujuan pemasar

dalam hubungan relasional perusahaan. Kepuasan konsumen adalah respons afektif

terhadap sebuah situasi pembelian (Babin dan Griffin, 1998; Bagozzi et al, 1999 seperti

dikutip Bennet et al, 2005).

Penelitian yang dilakukan Gustafsson et al (2005) menunjukkan peran kepuasan

dalam mempengaruhi pembelian kembali. Selain itu dalam penelitian tersebut juga

terungkap bahwa kepuasan berpengaruh terhadap komitmen.Penelitian ini menggunakan

setting konsumen di industri telepon seluler dan internet.

Dalam konteks organisasi, kepuasan berarti sebuah organisasi dan mitranya saling

mempunyai perasaan positif. Hon dan Grundig (1999) mendefinisikan kepuasan dalam

sebuah hubungan sebagai tingkat dimana satu pihak merasa senang dengan pihak lain

karena harapannya terhadap hubungan tersebut terpenuhi. De Wulf et al. (2001)

mendefinisikan kepuasan sebuah hubungan sebagai perasaan afektif konsumen sebagai

hasil evaluasi keseluruhan dari hubungannya dengan organisasi lain.

Stafford dan Canary (1991) menekankan bahwa dari perspektif social exchange,

sebuah hubungan yang memuaskan adalah pada saat distribusi reward adil dan reward

hubungan lebih tinggi dari biaya untuk keluar dari hubungan tersebut. Kedua penulis itu

juga mengindikasikan bahwa persepsi dari perilaku menjaga hubungan dari mitra akan

meningkatkan kepuasan terhadap sebuah hubungan.

Penelitian yang dilakukan Ballester dan Aleman (2001) menunjukkan peran

kepuasan yang akan memperkuat kepercayaan pada merek. Kepuasan pada layanan

menunjukkan konsistensi sebuah perusahaan dalam memenuhi janjinya dan melindungi

17
serta mengutamakan kesejahteraan dan kepentingan individual (Ganes, 1994;

Selnes,1998 seperti dikutip Ballester dan Aleman 2001).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Tepeci (1999) mengemukakan pengaruh

langsung kepuasan terhadap loyalitas dengan setting hospitality industry. Melihat

pentingnya variabel kepuasan ini, penyedia jasa menjadikan pencapaian kepuasan

pelanggan sebagai tujuan utama perusahaan (Jones dan Saser seperti dikutip McDougall

dan Levesque, 2000). Banyak perusahaan melakukan pengukuran kepuasan dengan

menggunakan skala likert yang menyatakan tingkat kepuasan konsumen pada saat

kontak terakhir mereka dengan penyedia jasa (Tapeci, 1999; McDougall dan Levesque,

2000).

Huang dan Kiu (2006) melakukan studi eksplorasi relationship marketing dalam

industri pariwisata di Taiwan. Hasilnya ada dua faktor yang mempengaruhi loyalitas

pelanggan dalam memilih daerah wisata, yaitu kepuasan dan kepercayaan. Kepuasan

menjadi variabel mediasi antara loyalitas pelanggan dengan persepsi terhadap

keselamatan dan latar belakang budaya konsumen.

Studi yang dilakukan Gustafsson et al (2005) menyebutkan bahwa kepuasan selalu

menjadi variabel mediasi loyalitas sebagai perilaku niat. Namun demikian, Verhoef

(2003) berargumentasi bahwa data longitudinal yang mengkombinasikan pengukuran

survey dengan perilaku subsekuen seharusnya digunakan untuk menetapkan hubungan

kausal antara persepsi dengan perilaku.

Penelitian dari Rayruen dan Miller (2007) mengemukakan bahwa kepuasan adalah

sebuah dimensi dari konstruk yang lebih tinggi yaitu kualitas hubungan. Dalam penelitian

ini kualitas hubungan adalah kualitas pelayanan, kepercayaan, kepuasan dan komitmen.

18
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel kualitas hubungan mempunyai

pengaruh positif dengan loyalitas dan niat beli. Konstruk kualitas hubungan ini diperkuat

juga oleh penelitian dari Kaufman et al (2006) yang meneliti tentang adopsi produk baru

dalam proses peluncuran produk baru. Penelitian ini menggunakan setting konsumen 2

supermarket di AS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan

mempengaruhi pola hubungan pramuniaga dan pelanggan serta hubungan antar

perusahaan.

Penelitian yang dilakukan Bennet et al (2006) menguji pengaruh kepuasan terhadap

loyalitas produk dengan setting business to business. Kepuasan terhadap sebuah

hubungan bisnis terhadap loyalitas dengan dimediasi oleh pengalaman terhadap sebuah

hubungan. Pengalaman terhadap sebuah hubungan bisnis yang menimbulkan kepuasan

adalah pengalaman yang positif. Penelitian ini dilakukan dalam setting dalam perusahaan

UKM di Australia. Responden dalam penelitian ini adalah 1742 perusahaan UKM di

Australia.

KOMITMEN MASING-MASING PIHAK DALAM HUBUNGAN RELASIONAL

Komitmen dalam beberapa penelitian perilaku konsumen merupakan konstruk

pembentuk loyalitas (Wood, 2002;Fitzgibbon dan White,2005). Komitmen juga

merupakan bagian dari konsep Relationship marketing, sebuah konsep dalam menjamin

adanya hubungan jangka panjang dengan konsumen (Cooper et al, 2005). Konstruk

komitmen ini bermanfaat untuk menjelaskan tentang relationship marketing, yaitu

konsumen yang mempunyai komitmen pada merek lebih mudah diarahkan menjadi

konsumen yang loyal.

19
Praktik-praktik dalam pemasaran modern mengalami pergeseran dengan adanya

penekanan pemasar untuk membentuk adanya komitmen emosional antara penjual dan

konsumen yang lebih penting daripada adanya transaksi ekonomi (Cooper et al, 2005).

Perkembangan ini menunjukkan pentingnya konstruk komitmen dalam penelitian

perilaku konsumen. Komitmen adalah pelengkap psikologis konsumen, loyalitas,

mengenai kesejahteraan masa depan, identifikasi dan kebanggaan pada saat dikaitkan

dengan organisasi (Ekelund dan Sharma, 2001). Penelitian dari Ekelund dan Sharma

(2001) menunjukkan bahwa kepercayaan konsumen adalah anteseden dari komitmen.

Komitmen juga seringkali disebut sebagai bentuk awal dari loyalitas (Liljander, 1999).

Komitmen adalah merupakan hasil dari kepuasan konsumen dan juga kepuasan

karyawan.

Menurut Tellefsen dan Thomas (2005),komitmen mempunyai tiga elemen,

pertama, komitmen adalah sebuah proses terus menerus. Komitmen melibatkan

pemahaman secara implisit dan eksplisit bahwa mitra bisnis akan terus melakukan

kerjasama setelah transaksi dilakukan dan akan memasuki masalah-masalah yang tidak

teramalkan sebelumnya. Kedua, komitmen merefleksikan hasrat. Komitmen berdasarkan

pilihan personal dibandingkan dengan kewajiban legal. Mitra bisnis yang berkomitmen

terikat oleh persetujuan kontrak dalam jangka pendek, mereka memilih untuk

meneruskan hubungan bisnis tersebut setelah kontrak berakhir. Ketiga, komitmen

didorong oleh nilai. Mitra bisnis membentuk hubungan jangka panjang hanya jika mereka

percaya bahwa mereka akan mendapatkan kentungan jangka panjang dari perjanjian

tersebut.

Pada umumnya penelitian pemasaran menggunakan definisi operasional

20
komitmen afektif. Menurut Fullerton (2005), komitmen afektif berakar dari nilai yang

bersama-sama dipahami, identifikasi dan kasih sayang. Intinya, konsumen akan

mempercayai dan menikmati berbisnis dengan pemasar bila mereka secara afektif merasa

terikat dengan perusahaan. Dalam dunia pemasaran jasa, hubungan kepercayaan dan

persahabatan antara penata rambut dan kliennya adalah contoh dari komitmen afektif

(Price dan Arnould, 1999 dalam Fullerton, 2005). Konsumen juga mempunyai komitmen

afektif dengan merek yang dikonsumsinya. Hal ini dikarenakan konsumen selalu

mengidentifikasi dirinya dan melibatkan dirinya dengan merek yang dikonsumsinya

(Fournier, 1998 dalam Fullerton, 2005).

Saat ini mulai berkembang konsep lain sebagai bentuk dari komitmen yaitu

continuance commitment. Konstruk in berakar dari kelangkaan alternatif pilihan dan

biaya berpindah merek (Fullerton,2005). Seorang konsumen yang mempunyai

continuance commitment tidak akan berpindah pada penyedia jasa yang lain, karena biaya

berpindah merek mahal dan alternatif penyedia jasa hanya sedikit. Konsep ini juga bisa

digunakan dalam menjelaskan komitmen pada merek. Hal ini dikarenakan seorang

konsumen mengadopsi sebuah merek karena mereka mengidentifikasi diri mereka

dengan merek tersebut (Fullerton,2005).

Komitmen mempunyai orientasi waktu dan berkembang pada tahapan berikutnya

dari sebuah hubungan bisnis, setelah terjadinya kepuasan dari pelayanan pada waktu

lampau (Ramaseshan et al, 2006). Komitmen memerlukan pertimbangan anggota saluran

distribusi untuk menggunakan sumber daya ekonomi dan emosional yang diperlukan

untuk diinvestasikan dalam sebuah hubungan bisnis dalam jangka panjang (Dwyer et al,

1987) dan juga merefleksikan kesatuan dalam sebuah hubungan bisnis dengan karakter

21
identifikasi anggota saluran distribusi dan keterlibatan pada tujuan yang sama (Mohr dan

Nevin, 1990).

KEPERCAYAAN SEBAGAI PONDASI RELATIONSHIP MARKETING

Tulisan dari Spekman dan Carraway (2006) dan Gronroos (1994) menyatakan

bahwa komponen dasar relationship marketing adalah kepercayaan. Menurut Deutsch

(dalam Lau dan Lee, 2000),kepercayaan adalah harapan dari pihak-pihak dalam sebuah

transaksi dan resiko yang terkait dengan perkiraan dan perilaku terhadap harapan

tersebut. Brugha (1999) seperti dikutip Lau dan Lee (2000) menyatakan bahwa secara

sederhana kepercayaan adalah ekspresi dari perasaan. Perasaan tersebut mempunyai

dampak terhadap kognisi, afeksi dan perilaku.

Pembahasan tentang kepercayaan terkait dengan relationship marketing (Morgan

dan Hunt, 1994, Parasuraman, Zeithaml dan Berry, 1985). Beberapa penelitian yang

dilakukan oleh Ekelund dan Sharma (2001), Tezinde, Murphy, Nguyen dan Jenkinson

(2001) menyebutkan bahwa kepercayaan dan komitmen merupakan bagian terintegrasi

dari relationship marketing. Selanjutnya Bauer dalam Tezinde et al (2001)

mengambarkan keterkaitan antara kepercayaan, komitmen dan kepuasan dengan gambar

4.

22
Diadopsi dari Tezinde et al (2001).
Gambar 4 Model Relationship dari Bauer (1999)

Kepercayaan dan komitmen merupakan variabel mediasi dalam hubungan jangka

panjang antara perusahaan dengan konsumen (Morgan dan Hunt, 1994). Kepercayaan

dibagi menjadi dua yaitu kepercayaan organisasional dan kepercayaan personal (Ekelund

dan Sharma, 2001). Kepercayaan pada merek merupakan bagian dari kepercayaan

personal. Menurut Lewicki dan Bucker dalam Ekelund dan Sharma (2001) kepercayaan

personal dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Kepercayaan berbasis kalkulus. Kepercayaan jenis ini didorong oleh

keuntungan atau biaya kebohongan dimana kemajuan terjadi dengan

perlahan atau secara gradual. Jenis kepercayaan ini sangat rentan karena

sedikitnya saja kesalahan baik secara sengaja atau tidak akan menyebabkan

mitra kehilangan kepercayaan.

2. Kepercayaan berbasis pengetahuan. Kepercayaan jenis ini berdasarkan atas

prediktabilitas mitra. Proses kuncinya adalah komunikasi secara terus

menerus dan pembentukan pengetahuan bersama. Caranya adalah dengan

mengumpulkan data, saling memahami reaksi mitra dan saling mengamati

dalam beberapa situasi dan konteks.

3. Kepercayaan berbasis pemahaman. Kepercayaan jenis ini mengacu pada

kemampuan untuk mengenali dan memprediksi pilihan mitra.

Menurut Gurviez dan Korchia (2003) ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi

dari variabel kepercayaan. Pertama, kepercayaan dan komitmen merupakan variabel yang

terpenting dan strategis untuk menjaga hubungan jangka panjang antar partner industri

23
dan bisnis. Kedua, penjelasan dari variabel kepercayaan dan komitmen dalam hubungan

antara perusahaan dan konsumen, memberikan suplemen pada teori ekonomi khususnya

tentang biaya transaksi. Ketiga, kesulitan terbesar dalam mengkonsepsikan kepercayaan

adalah pada dasar kognitif maupun afektif. Beberapa faktor seperti merek, pengalaman

masa lalu dan sebagainya dapat mempengaruhi kepercayaan konsumen. Penelitian yang

dilakukan Tezinde et al (2001) membuktikan bahwa kepercayaan, komitmen dan

kepuasan akan mempengaruhi hubungan dengan konsumen dan loyalitas.

Menurut Crossby et al (1990), kepercayaan muncul pada saat konsumen

mengembangkan sikap saling memahami dengan penjual dan menjadi percaya bahwa si

penjual itu bisa dipercaya dan akan bertindak atas nama kepentingan konsumen.

Moorman et al (1993) berpikir bahwa kepercayaan adalah sejenis kesediaan dari mitra

transaksi, dimana masing-masing pihak saling percaya.

Morgan dan Hunt (1994) mencoba untuk menjelaskan kepercayaan melalui konsep

kepercayaan dan kehandalan. Mereka menyatakan bahwa kepercayaan adalah tingkat

kepercayaan yang dipersepsikan berdasarkan kehandalan dan kejujuran transaksi mitra

bisnis. Dalam penelitian relationship dengan konsumen yang relevan, kepercayaan

diperlakukan sebagai basis yang baik untuk membangun hubungan bisnis yang stabil

(Garbarino dan Johnson, 1999).

Kepercayaan merepresentasikan persepsi tentang kredibitlitas dan kebaikan dari

sebuah organisasi atau seorang individu (Doney & Canon, 1997). Selain itu, kepercayaan

merepresentasikan keyakinan bahwa pihak yang dipercaya akan membuat pernyataan

yang akurat, memenuhi janji dan bertindak sesuai dengan kepentingan pihak yang

mempercayai. (Moorman et al, 1993). Kepercayaan adalah unsur dasar dari hubungan

24
business to business. Kepercayaan adalah sarana bagi penjual dan pembeli untuk bekerja

sama dalam situasi yang kolaboratif, mengatasi konflik dan membangun kekuatan

masing-masing (Morgan&Hunt, 1994).

Dalam hubungan business to business, seorang pembeli melakukan evaluasi

terpisah terhadap kepercayaan pada perusahaan pemasok (Doney&Cannon, 1997). Oleh

karena itu, paper ini mendefinisikan kepercayaan organisasional sebagai persepsi tentang

kredibilitas dan kebaikan dari perusahaan pemasok. Selain itu, juga didefiinisikan bahwa

kepercayaan personal sebagai persepsi tentang kredibilitas dan kebaikan pihak yang

mewakili pemasok atau pramuniaga. Namun dalam penelitian ini, fokus kepercayaan

adalah kepercayaan organisasional. Hal ini dikarenakan keterkaitan kepercayaan

organisasional dan komitmen organisasional sudah baku dan banyak diteliti (Geyskens et

al, 1999). Morgan dan Hunt (1994) menyatakan bahwa kepercayaan mengimpilikasikan

sebuah rasa percaya dan aman dalam sebuah hubungan dan oleh karena itu, muncul

kesediaan yang kuat untuk menjaga hubungan dalam jangka panjang.

POWER ANTARA SALURAN DISTRIBUSI

Power adalah kemampuan suatu pihak untuk mempengaruhi pihak lain

(Ramaseshan et al, 2006; Kim, 2000; Butaney dan Wortzel, 1988). Penelitian dari

Ramaseshan et al, 2006) menguji peran coercive dan non-coercive power dalam pola

hubungan antara department store dengan tenant di RRC. Dasar teori yang digunakan

adalaj teori Resource Dependence dari Pfeffer dan Salancik (1987).

Artikel Cascario dan Piskorski (2005) membahas tentang beberapa hal yang

menyebabkan teori Resource Dependence dari Pfeffer dan Salancik (1987) tidak banyak

25
memilik bukti empirik. Teori Resource Dependence membahas tentang hubungan antara

dua organisasi yang terjadi karena ketergantungan sumber daya. Proposisi utama dari

teori ini adalah kemampuan bertahan hidup sebuah organisasi tergantung dari

kemampuannya untuk mempertahankan sumber daya kritis dari lingkungan eksternal.

Untuk mengurangi ketidakpastian dari kebutuhan akan sumber daya, sebuah organisasi

mencoba untuk merestrukturisasi ketergantungan mereka dengan beebrapa taktik.

Beberapa taktik yang digunakan adalah, pertama taktik unilateral, yaitu dengan

memotong jalur kendala sumber daya dengan mengurangi ketergantungan terhadap

sumber daya tertentu, mencari alternatif pemasok sumber daya atau membangun koalisi.

Taktik kedua adalah melakukan restrukturisasi ketergantungan secara langsung, misalnya

dengan kooptasi, yaitu mempengaruhi pihak lain untuk memberikan informasi, atau

melakukan merjer dan akuisisi.

Penulis artikel ini mengemukakan ada empat sumber ambiguitas dari teori Resource

Dependence, yaitu, pertama, diskusi tentang eliminasi kendala tidak membedakan antara

konstruk kekuatan dyadic yang muncul dari Exchange theory versi Emerson (1962), yang

menghasilkan dua dimensi teoritis yaitu ketidakseimbangan kekuatan atau perbedaan

kekuatan antara dua organisasi dan ketergantungan yang saling menguntungkan. Kedua,

teori resource dependence adalah teori yang normatif sekaligus positif, yang mana

preskripsi terkadang dianggap sama dengan prediksi. Ketiga, cakupan kondisi dari teori

ini ambigu. Keempat, meskipun teori resource dependence biasanya dyadic, pengujian

empirik dari eliminasi kendala berfokus pada satu organisasi dan mengabaikan

ketergantungan resiprokal.

Artikel ini memberikan dasar teoritis yang baik dalam hubungan relasional antara

26
penjual eceran dengan pemasok, yaitu masalah ketergantungan dan kekuatan. Adanya

konstruk power imbalance dan mutual dependence memberikan kemungkinan jawaban

bagi pertanyaan riset, bagaiman masing-masing pihak melakukan eliminasi kendala untuk

mengotimalkan kinerja masing-masing organisasi?

Dalam penelitian ini penggunaan power atau dalam literatur sering disebut dengan

strategi pengaruh (influence strategy) seringkali dipergunakan dalam hubungan antar

perusahaan. Strategi pengaruh dibagi menjadi dua yaitu coercive power dan non-coercive

power.Penggunaan coercive power oleh department store dilakukan dengan melakukan

tekanan pada penyewa untuk mencapai perilaku tertentu. Kegagalan penyewa untuk

mematuhi aturan tersebut bisa berakibat hukuman baginya. Penggunaan kekuatan

coercive ini misalnya dalam kampanye iklan, tingkat pelayanan pelanggan atau jam buka

toko.

Penggunaan non-coercive power oleh department store dilakukan memberikan

bantuan atau bahkan reward kepada mitra bisnis/penyewa bila mampu mencapai hal yang

disepakati. Penggunaan non-coercive power ini terkait dengan tata cara saling berbagi

informasi antara department store dengan penyewa.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Kim (2000) menguji adanya efek moderasi dari

dyadic kepercayaan dan dyadic dari kontinuitas hubungan. Kedua variabel ini

dihipotesiskan memoderasi keputusan perusahaan menggunakan coercive power atau

non-coercive power.

Penelitian dari Butaney dan Wortzel (1988) menguji peran power dari perusahaan

dalam hubungan realsional dengan mitranya. Penelitian ini mengidentifikasi karakteristik

power yang dimiliki pasar konsumen maupun manufacturer sebagaimana keduanya

27
mempengaruhi kebutuhan anggota saluran distribusi dan kemampuan mereka untuk

menggunakan power. Tulisan dari El-Ansery dan Stern (1972) adalah model awal dari

power anggota saluran distribusi. Model mereka melihat power sebagai fungsi dari 1)

tingkat pada saat kepuasan terhadap tujuan dua anggota saluran distribusi saling

dependen 2) Basis atau sumber daya relatif dari power setiap anggota saluran distribusi.

Porter (1980) menyatakan bahwa kelompok pabrik kuat pada saat 1) industri

didominasi oleh beberapa perusahaan besar 2) pabrikan telah menyusun switching cost

untuk pelanggan 3) produk adalah sebuah bagian penting dari produk akhir konsumen

atau proses produksi. Adapun industri konsumen mempunyai power jika 1) mereka

membeli produk dalam volume yang besar 2) switching cost rendah 3) mereka

mempunyai informasi pasar yang luas.

Penelitian ini mengambil sampel 83 perusahaan distributor dari perusahaan yang

memproduksi komponen elektronik. Distributor power menurut El Ansary dan Stern

(1972) mempunyai definisi operasional yaitu kemampuan dari saluran distribusi untuk

mengontrol variabel strategi pemasaran dari pihak distributor lain pada saluran yang

sama dengan tingkat distribusi yang berbeda, maka dalam penelitian ini distributor

power adalah tingkat kebebasan distributor untuk membuat keputusan pemasaran tentang

produk dari pabrikan. Customer market power (CMP) adalah karakteristik konsumen

yang mempunyai potensi mempengaruhi kekuatan konsumen dalam pasar. Manufacturer

market power (MMP) adalah karakteristik pabrikan yang mempunyai potensi

mempengaruhi kekuatan pabrikan dalam pasar. Alat analisis dalam penelitian ini adalah

regresi.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kekuatan distributor kecil jika:

28
• Dari sisi konsumen biaya pindah merek konsumen dipersepsikan rendah.

• Dari sisi pabrikan kompetisi bukan merupakan ancaman

• Struktur industri terkonsentrasi.

Sebaliknya kekuatan distributor besar jika:

• Biaya pindah merek tinggi.

• Kompetisi industri kuat.

• Penjualan dari industri relatif sama terdistribusi di antara pabrikan.

Implikasi manajerial dari penelitian ini adalah, kekuatan atau tanggung jawab distributor

terhadap keputusan pemasaran tinggi jika:

• Dalam kondisi pasar yang kompetitif.

• Kemampuan distributor dalam melayani rendah dan konsumen yang

mempersepsikan biaya pindah merek tinggi tersebar.

Penelitian yang dilakukan Kim (2000) membahas tentang proses power-influence

antar perusahaan. Penelitian ini menekankan pembahasan tentang hal tersebut dengan

mengajukan beberapa hal yaitu:

a. Adanya efek moderasi dari channel climate dalam proses power-influence

antar perusahaan.

b. Pengaruh utama dari strategi pengaruh terhadap bagian dari hubungan

pertukaran yaitu solidaritas dari kedua perusahaan.

Penelitian ini menggunakan sampel dyad dengan beberapa alasan teoritis, yaitu channel

climate bisa diukur dengan lebih baik. Secara khusus penulis menyatakan bahwa channel

climate menjadi efek moderasi bagi

29
a. Hubungan antara asimetri kekuatan antar perusahaan dan penggunaan strategi

pengaruh.

b. Hubungan resiprokal dari strategi pengaruh.

Variabel yang diuji dalam penelitian ini adalah dyadic trust, dyadic relationship

continuity, interfirm power asymmetry, coercive influence strategies, non-coercive

influence strategies dan dyadic solidarity. Model dalam penelitian ini ada 3 yaitu:

A.Efek moderasi dari Channel Climate dalam penggunaan Strategi Pengaruh.

B. Efek moderasi dari channel climate terhadap resiprokal dari strategi pengaruh.

30
a. Penggunaan Strategi Pengaruh dan Solidaritas dyadic.

Sampel dalam penelitian ini adalah 945 distributor yang diminta menuliskan siapa

supplier mereka. Dari jumlah itu hanya 276 yang menjadi sampel terakhir.Berdasarkan

responden distributor ini maka muncul 155 suplier yang menjadi sampel supplier. Dari

jumlah ini hanya 67 yang bisa digunakan untuk analisis data. Pengujian validitas dan

reliabilitas menunjukkan bahwa semua konstruk valid dan reliable. Analisis yang

digunakan untuk melakukan pengujian hipotesis adalah analisis regresi dengan variabel

moderasi. Temua-temuan dalam penelitian ini adalah asimetri kekuatan antar perusahaan

mempunyai pengaruh negative terhadap bahkan lemah terhadap penggunaan pengaruh

koersif. Penelitian ini memberikan beberapa pemahaman baru dalam analisis hubungan

pertukaran antar perusahaan (supplier-distributor). Keunggulan penelitian ini adalah

31
menggunakan unit analisis dyad sehingga kondisi dinamis dari hubungan perusahaan bisa

dianalisis dengan baik.

LOYALITAS SEBAGAI HASIL AKHIR DARI RELATIONSHIP MARKETING

Loyalitas terbagi menjadi dua dimensi yaitu atitudinal loyalty dan behavioral

loyalty (Day, 1969). Attitudinal loyalty terdiri dari loyalitas pada merek, perilaku niat

untuk melakukan pembelian kembali dan komitmen pada merek (Baldinger dan

Robinson, 1996). Behavioral loyalty didefinisikan sebagai kecenderungan konsumen

untuk melakukan pembelian kembali sebuah merek yang direfleksikan dengan perilaku

yang bisa diukur dan dampaknya terhadap penjualan (Hammond et al, 1996).

Menurut Assael (1998), ada beberapa keterbatasan dalam

mengidentifikasiloyalitas pada merek dengan pendekatan perilaku. Pertama,

mengukurloyalitas pada merek dengan persepsi masa lalu akan menyebabkan terjadinya

bias. Kedua, pembelian yang dilakukan konsumen belum tentu merefleksikan perubahan.

Ketiga,loyalitas pada merek lebuh merupakan fungsi dari konsep yang multidimensional

daripada sebuah bagian dari perilaku masa lalu.

Menurut Jacoby dan Chestnut (dalam Dharmmesta, 1999) loyalitas dikategorikan

dalam empat kelompok, yaitu:

1. Loyalitas merek fokal yang sesungguhnya (true focal brand loyalty), yaitu

loyalitas pada merek tertentu yang menjadi minatnya.

2. Loyalitas merek ganda yang sesungguhnya (true multibrand loyalty).

3. Pembelian ulang (repeat purchasing) merek fokal dari non loyal.

4. Pembelian secara kebetulan (happenstance purchasing) merek fokal dan

32
non loyal merek lain.

Menurut Dharmmesta (1999), ada empat tahap loyalitas berdasarkan pendekatan

attitudinal dan behavioral. Keempat tahap tersebut adalah kognitif, afektif , konatif dan

loyalitas tindakan. Tahap loyalitas kognitif menggunakan basis informasi yang secara

memaksa menunjuk pada satu merek atas merek lainnya. Loyalitas yang terjadi hanya

berdasarkan kognisi saja. Sebagai contoh, loyalitas terhadap produk-produk low

involvement, misalnya tissue pembersih wajah. Seseorang yang memerlukan tissue

pembersih akan membeli merek tertentu karena hanya merek itu yang ia tahu. Pada saat

akan membeli merek tissue tersebut di sebuah toko dan ternyata tidak tersedia, maka ia

akan menerima bila ditawarkan padanya merek lain, daripada harus berpindah toko untuk

membeli merek yang sama. Tahap kedua, yaitu loyalitas afektif didasari dari pemikiran

bahwa sikap merupakan fungsi dari kognisi (pengharapan) pada periode awal pembelian

(masa pra konsumsi) dan merupakan fungsi dari sikap sebelumnya ditambah dengan

kepuasan pada periode berikutnya (masa konsumsi). Loyalitas pada tahap ini sulit

berubah karena loyalitasnya sudah masuk ke dalam benak konsumen sebagai sebuah

afek. Loyalitas afektif muncul sebagai akibat dari kepuasan, meskipun demikian belum

menjamin adanya loyalitas karena masih ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan

yaitu pembelian kembali (Dharmmesta, 1999).

Loyalitas tahap ketiga adalah loyalitas konatif. Konasi menunjukkan suatu niat atau

komitmen untuk melakukan sesuatu ke arah tujuan tertentu. Oleh karena itu, loyalitas

konatif mencakup komitmen mendalam dari konsumen untuk melakukan pembelian.

Loyalitas tahap konatif ini mengalami pengembangan menjadi perilaku atau tindakan

atau kontrol tindakan. Dalam runtutan kontrol tindakan, niat yang diikuti motivasi,

33
merupakan kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak dan pada keinginan untuk

mengatasi hambatan untuk mencapai tindakan tersebut (Dharmmesta, 1999).

Wood (2006) menulis tentang berbagai pengukuran loyalitas. Artikel ini membahas

berbagai jenis metode pengukuran loyalitas konsumen. Penerapan metode pengukuran

loyalitas ini digunakan dalam sektor penjualan eceran. Pengukuran loyalitas adalah sama

dengan mengidentifikasi siapa konsumen perusahaan, selera dan pilihan mereka, serta

siapa konsumen yang paling berharga bagi perusahaan dan mengusahakan agar mereka

tetap bertahan menjadi konsumen perusahaan.

Beberapa model pengukuran loyalitas adalah The Drichlet Model, The Hofmeyr

Conversion Model, The RED Matrix Model, The Enis-Paul Index Model, Reicheld

Loyalty Effect Model dan The Retention Rate Model. Prinsip dari model-model ini pada

dasarnya sama, namun model-model ini juga membawa pada kesalahan interpretasi dari

konsep loyalitas.

Dalam kesimpulannya, pembatasan antara loyalitas pemasaran dan data base

pemasaran adalah sesuatu yang salah. Skema loyalitas adalah metode untuk

mengumpulkan informasi tentang konsumen, yang menjadi dasar penentuan strategi, dan

bisa diterapkan dalam segmen yang berbeda. Tulisan dari Wood (2006) merupakan artikel

yang membahas loyalitas dari sisi aplikasi. Ada beberapa model skema loyalitas yang

dibahas dan masing-masing ternyata mempunyai resiko misinterpretasi loyalitas. Contoh

yang diberikan dalam penelitian ini tentang loyalitas dalam konteks B2B (Business to

Business) menjelaskan bahwa perilaku konsumen bisnis hampir sama dengan konsumen

dalam consumer industry.

Penelitian dari Bennet et al (2005) menguji pengaruh kepuasan terhadap loyalitas

34
epuasan Konsumen Loyalitas Konsumen Tingkat Keuntungan

dengan setting business to business. Penelitian ini mengggunakan sampel perusahaan

kecil-menengah di Australia. Hasil penelitian ini menunjukkan loyalitas dari konsumen

dipengaruhi oleh kepuasan dan keterlibatan konsumen terhadap kategori produk tersebut.

Penelitian yang dilakukan Hallowell (1996) menguji pengaruh kepuasan pelanggan

terhadap tingkat keuntungan perusahaan pada bank di AS. Hasilnya menunjukkan bahwa

hubungan antara kepuasan konsumen dan tingkat keuntungan perusahaan dimediasi oleh

loyalitas konsumen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengilustrasikan hubungan antara

tingkat keuntungan dengan kepuasan konsumen dan loyalitas. Pandangan Nordic School

menyatakan bahwa kepuasan konsumen berhubungan dengan loyalitas konsumen dan

akhirnya akan menyebabkan adannya peningkatan keuntungan perusahaan. Model yang

diuji dalam penelitian ini adalah:

Penelitian ini menggunakan setting perbankan. Sampel yang diambil adalah 12.000

konsumen bank dari 59 kantor cabang. Unit analisis dari penelitian ini adalah kantor

cabang bank. Sehingga variasi kepuasan konsumen dan loyalitas konsumen yang

diharapkan adalah pada tingkat kantor cabang. Variabel kontrol dalam penelitian ini

adalah demografi (penghasilan rumah tangga) atau pengalaman (pengalaman konsumen

berhubungan dengan bank).

Hasil penelitian empirik dari paper ini menunjukkan bahwa kepuasan konsumen

mempengaruhi loyalitas konsumen, dan loyalitas konsumen berpengaruh positif terhadap

35
tingkat keuntungan perusahaan. Penelitian ini memperkuat salah satu teori dalam

relationship marketing, yaitu bahwa kepuasan memberikan pengaruh positif terhadap

loyalitas. Pada saat loyalitas konsumen terbentuk maka tingkat keuntungan perusahaan

meningkat.

Penelitian yang dilakukan Rauyruen dan Miller (2007) menganalisis pengaruh

kualitas hubungan terhadap loyalitas pelanggan. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa

anteseden dari loyalitas dalam hubungan relasional adalah kualitas hubungan itu sendiri.

Dimensi dari kualitas hubungan adalah kualitas pelayanan, kepercayaan, komitmen dan

kepuasan. Penelitian ini menggunakan setting hubungan business to business dari

perusahaan kecil-menengah yang bergerak dalam bidang transportasi di Australia. Dalam

penelitian ini diduga relationship quality mempengaruhi loyalitas pelanggan dalam

konteks business to business (B2B). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan

bagaimana kualitas hubungan mempengaruhi loyalitas dalam konteks B2B. Penelitian ini

menggunakan setting bisnis kecil-menengah di Australia yang bergerak di bidang jasa

pengiriman.

Penelitian ini memproposisikan loyalitas konsumen sebagai sebuah konsep

komposit yang mengkombinasikan behavioral loyalty (niat beli) dan attitudinal loyalty.

Dalam penelitian ini behavioral loyalty didefinisikan sebagai kesediaan konsumen

perusahaan untuk melakukan pembelian kembali dari jasa layanan yang disediakan

perusahaan serta bersedia untuk menjaga hubungan dengan penyedia jasa/pemasok.

Attitudinal loyalty didefinisikan sebagai tingkat kasih sayang psikologis konsumen dan

sikap bersedia membela penyedia jasa/pemasok.

Kepercayaan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu kepercayaan terhadap

36
karyawan perusahaan pemasok dan kepercayaan terhadap perusahaan pemasok secara

keseluruhan. Komitmen yang diteliti dalam penelitian ini juga terdiri dari dua bagian

yaitu komitmen afekif dan komitmen kalkulatif. Hal ini diwujudkan dalam komitmen

terhadap karyawan perusahaan pemasok dan komitmen terhadap perusahaan pemasok

secara keseluruhan. Konsep kepuasan dalam penelitian adalah kepuasan secara

keseluruhan yang didefinisikan mempengaruhi attitudinal maupun behavioral loyalty.

Penelitian ini menggunakan desain survey dengan metode pengumpulan data

melalui surat dan online. Dengan menggunakan surat diperoleh kuesioner lengkap 52 dari

500 kuesioner yang didistribusikan. Secara online diperoleh kuesioner lengkap 254 dari

4000 yang didistribusikan. Alat analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

Structural Equation Model (SEM).

Hasil studi empirik dalam penelitian ini menyarankan hanya ada dua dimensi dari

relationship quality yang memengaruhi niat beli, yaitu kepuasan dan persepsi terhadap

kualitas pelayanan. Sementara, kepercayaan dan komitmen tidak berpengaruh terhadap

loyalitas. Penelitian ini memproposisikan sebuah konstruk second order yaitu

relationship quality yang mempengaruhi loyalitas dalam konteks B2B. Namun demikian,

dari empat dimensi relationship yaitu kepercayaan, komitmen, kepuasan dan persepsi

terhadap kualitas pelayanan hanya 2 dimensi yaitu kepuasan dan persepsi terhadap

kualitas pelayanan yang bisa menjelaskan loyalitas. Hal ini dikarenakan pengujian empat

dimensi sebagai first order kurang dijelaskan secara statistik. Tidak mengherankan bila

pengujian secara substantif (konstruk ke konstruk) tidak memberikan hasil yang

memuaskan.

Penelitian Fitzgibbon dan White (2005) membahas tentang loyalitas dalam strategi

37
CRM. Hasil penelitian dengan menggunakan metode kualitatif memberikan simpulan

bahwa loyalitas bukan hal yang dianggap penting dalam strategi CRM. Selain itu, strategi

CRM dalam perusahaan tidak dimanfaatkan dengan optimal. Masalah penelitian yang

menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah untuk memahami pengembangan

konsep attitudinal loyalty dalam formulasi CRM. Penelitian ini bertujuan untuk

memperoleh pemahaman tentang strategi, tujuan dan sasaran dari CRM dalam

perusahaan jasa keuangan.

CRM adalah sebuah pendekatan berdasarkan data yang menyebabkan perusahaan

mampu mengukur kebutuhan konsumen dan keuntungan potensial dan menyesuaikan

tawaran penjualan dan pelayanan. CRM adalah membangun hubungan secara efektif

dengan konsumen dengan memahami mereka secara lebih baik. Mengelola CRM

memerlukan penyimpanan informasi secara detail dan spesifik, seperti produk yang

dibeli, waktu dan tanggal pembelian, metode pembelian, permintaan pelayanan, keluhan

dan informasi demografi.

Loyalitas didefinisikan sebagai komitmen dari konsumen terhadap sebuah produk

atau layanan yang diukur dengan pembelian kembali dan komitmen atitudinal. Loyalitas

terdiri dari dua bentuk, yaitu: loyalitas keperilakuan yang muncul pada saat konsumen

melakukan pembelian berulang namun tidak menyukai merek tertentu, hal ini terjadi

karena kenyamanan, kebiasaan atau halangan untuk berubah terlalu besar. Loyalitas sikap

adalah predisposisi konsumen terhadap sebuah merek karena proses psikologis. Hal ini

termasuk preferensi dan komitmen terhadap sebuah merek.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan studi kasus

pendekatan multicase. Metode pengumpulan data adalah dengan in-depth interview

38
dengan 25 kasus yang menjadi subyek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

ada beberapa perantara yang menghubungkan lembaga keungan dengan konsumennya.

Perantara ini adalah para penasehat keuangan. Temuan penting dalam penelitian ini

adalah CRM dalam lembaga mereka mengalami masalah kualitas informasi yang buruk,

penggunaan CRM tidak optimal dan strategi CRM kurang. Temuan yang terkait dengan

loyalitas adalah bahwa hal ini tidak dimanfaatkan secara strategis oleh perusahaan.

Perusahaan hanya menganggap bahwa loyalitas adalah hasil dari sebuah program

pelayanan kepada pelanggan, dan bila pelanggan akan berganti jasa lembaga keuangan,

maka perusahaan memberikan insentif agar pelanggan tetap tinggal.

KINERJA STRATEGIS PERUSAHAAN DALAM HUBUNGAN RELASIONAL

Alasan utama perusahaan melakukan hubungan relasional dengan mitranya adalah

demi peningkatan kinerja perusahaan. Peningkatan kinerja yang dimaksudkan adalah

adanya keunggulan kompetitif yang diperoleh dua pihak dengan adanya hubungan

relasional tersebut. Keunggulan kompetitif tersebut berguna sebagai alat memenangkan

persaingan bisnis. Teori Resource Base menyebutkan bahwa sumber dari keunggulan

kompetitif perusahaan adalah sumber daya yang berbeda atau unggul yang sulit ditiru

(Tence, 1980; Wernerfelt, 1984 dan Barney, 1981).

Percy (1995) menulis sebuah artikel yang menarik tentang perlunya keselarasan

antara pemasaran dan strategi pemasaran. Hal ini terkait dengan bagaimana pendekatan

dari dua hal itu dan cara pengajarannya. Artikel ini ditujukan bagi para pengajar

manajemen dan bisnis di bidang pemasaran untuk menyesuaikan cara pengajaran dan

pendekatan untuk memahami isu-isu tersebut. Artikel ini juga ditujukan bagi para praktisi

39
agar mereka lebih mampu mengimplementasikan pemasaran dan strategi pemasaran atau

menyesuaikan keduanya.

Dalam beberapa tahun terakhir ada kecenderungan pembahasan tentang strategi

dalam pemasaran: positioning, ekuitas merek, kualitas pelayanan dan segmentasi serta

berbagai pembahasan lainnya. Namun demikian, isu-isu tersebut bermuara pada ide dasar

bahwa pemasaran adalah spesialisasi fungsional yang sebaiknya dikerjakan oleh seorang

spesialis. Hal ini tentu saja salah, karena pemasaran sebenarnya adalah usaha dari seluruh

bagian dari perusahaan, tidak hanya tanggung jawab departemen pemasaran saja. Di sisi

lain perkembangan kuliah bisnis dan strategi lebih kompleks daripada sebelumnya.

Secara umum ada tiga jenis pendekatan dalam pengajaran bisnis yaitu pendekatan kasus,

pendekatan analisis teknis dan pendekatan Financial Times.

Artikel ini mengklasifikasi isu dalam pemasaran dan strategi yang perlu menjadi

bahan diskusi, yaitu tingkat pengambilan keputusan organisasional dan fokus perhatian

manajemen. Komponen dari model dalam artikel ini adalah:

• Keputusan portfolio dan investasi perusahaan: isu ini terkait dengan

portfolio perusahaan-keseimbangan dan implikasi finansial dari bisnis

perusahaan yang bersangkutan.

• Strategi bisnis/pasar: Isu utama dalam hal ini terkait dengan positioning

kompetitif dan strategi pada tingkat SBU.

• Perencanaan dan manajemen operasional: isu utama dalam komponen ini

adalah spesialisasi internal dalam perusahaan, apakah arahnya menuju pada

fungsional, profesional dan teknologi atau produksi dan operasi.

• Perencanaan dan manajemen pemasaran: Isu utama dalam komponen ini

40
terkait dengan aspek teknis dan profesional dari pengelolaan operasional

pemasaran dan program penjualan.

Artikel ini memberikan ide baru tentang pembahasan manajemen strategi dan

manajemen pemasaran. Dalam artikel ini disebutkan tentang 4 komponen dengan

masing-masing interaksinya untuk fungsi aplikasi dan pengajaran manajemen.

Sumbangan utama artikel ini adalah memberikan pemahaman tentang posisi manajemen

pemasaran dalam manajemen strategi dan bagaimana kombinasi antara pemasaran

dengan berbagai fungsi lain dalam perusahaan yang mempunyai arah strategis.

Penelitian Ruiz (2000) membahas tentang hubungan pemasok dan penjual eceran

baik pada satu penjual eceran maupun ketika pemasok itu melakukan mobilitas melayani

penjual eceran lainnya. Studi ini menggunakan pendekatan kognitif. Analisis mendasar

dalam penelitian ini menggunakan kerangka Galbraith dengan menggunakan interaksi

bilateral (penawaran dan permintaan) yang mempengaruhi mobilitas perusahaan klien

diantara pemasok mereka.

Tujuan penelitian ini adalah memperluas analisis individual dari sektor pemasok

pada sektor penjual eceran. Dalam konsep grup, McGee dan Thomas (1986) dan

Galbraith et al (1994) seperti dikutip Ruiz (2000), mengidentifikasi halangan penawaran

dan mobilitas permintaan sebagai elemen yang mencegah pergerakan antara kelompok

strategis. Halangan tersebut antara lain, diferensiasi produk dan loyalitas, adalah fungsi

dari preferensi dan pilihan dari industri konsumen, sementara skala ekonomis dan

permintaan modal mengandung halangan yang membatasi industri pemasok.

Metodologi penelitian yang dilakukan dalam penelitian terdiri dari beberapa tahap:

formasi dari kelompok strategis dalam sektor produksi industri rotan Spanyol, identifikasi

41
dari kelompok distribusi dan analisis hubungan produsen-penjual eceran. Industri ini

dipilih karena terkonsentrasi di satu wilayah geografis tertentu yaitu di Valencia.

Berdasarkan analisis kualitatif , tahun 1992 sektor ini mengalami krisis yang

menyebabkan penurunan permintaan.

Berdasarkan hasil wawancara dari 21 perusahaan besar di industri rotan ini, maka

bisa diidentifikasi 54 dimensi strategis. Namun demikian dari kategori-kategori tersebut

ternyata hanya satu yang disepakati oleh responden yaitu kualitas produk. Hasil ini

menunjukkan bahwa masing-masing eksekutif dalam perusahaan itu mempunyai persepsi

yang berbeda tentang strategi kunci perusahaan mereka.

Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan ada 8 kategori dari variabel

kompetitif perusahaan rotan yaitu: kualitas produk dan desain, ukuran perusahaan,

pelayanan pada klien, kebijakan penjualan, organisasi perusahaan, strategi pembelian dan

lingkup geografis. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dikombinasikan

dengan metode kuantitatif yaitu ANOVA dan cluster analysis. Artikel ini memberikan

hasil yang menarik tentang variabel strategis dalam perusahaan rotan. Hal yang menarik

dalam penelitian ini adalah penggunaan metode penelitian kualitatif untuk melakukan

eksploratori.

Penelitian yang dilakukan Johnson (1999) dengan setting industri besar di AS

menguji peran integrasi strategis terhadap kinerja strategis perusahaan. Penelitian ini

menjelaskan bahwa anteseden dari integrasi strategis adalah dependensi, umur hubungan,

harapan kontinuitas, fleksibilitas dan kualitas hubungan. Selanjutnya integrasi strategis

menjadi variabel mediasi hubungan antara masing-masing anteseden dengan variabel

kinerja strategis. Dalam model tersebut variabel ketidakpastian menjadi moderator antara

42
hubungan masing-masing anteseden dengan variabel integrasi strategis dan hubungan

antara integrasi strategis dengan kinerja strategis.

Sampel penelitian ini diambil dari direktori bisnis di AS dengan total sampel 637

perusahaan. Dari 637 perusahaan hanya 400 yang bersedia menjadi responden.

Selanjutnya dari 400 perusahaan tersebut ada 177 perusahaan yang mengisi kuesioner

dengan benar yang berarti tingkat respon sebesar 44%. Analisis data dengan

menggunakan Structural Equation Model (SEM) dan CFA sebagai metode penguji

validitas. Hasil pengujian validitas menunjukkan bahwa semua konstruk valid dan

reliabel. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan hanya kualitas hubungan yang tidak

menunjukkan hubungan signifikan dengan integrasi strategis.

Rosenbloom (2007) mendiskusikan tentang peluang dan tantangan dari strategi

pemasaran dengan multichannel. Beberapa hal yang dikemukakan oleh penulis sebagai

isu yang menarik dalam multichannel strategy adalah:

Strategi multichannel dan e-commerce Perkembangan internet ternyata juga

berimplikasi pada perkembangan strategi pemasaran multichannel. Internet dan teknologi

informasi sebenarnya mengurangi halangan informasi, sebuah hal yang menjadi kunci

bisnis pemasaran channel. Namun demikian ada beberapa hal yang menarik untuk diteliti

terkait dengan hal ini. Misalnya, perlukah perusahaan menawarkan semua produknya

secara online?Jika tidak bagaimana mencapai keseimbangan antara distribusi dengan

online dan konvensional?

Mencapai lebih banyak konsumen dengan strategi multichannel. Perusahaan

mempunyai anggapan bahwa dengan membuka lebih banyak saluran distribusi maka bisa

meraih lebih banyak konsumen. Padahal bisa jadi peningkatan jumlah konsumen dari

43
sebuah saluran distribusi terjadi dengan pengorbanan berupa penurunan jumlah

konsumen saluran distribusi lainnya. Hal ini disebut dengan channel cannibalization.

Menemukan kombinasi channel yang optimal.Pembahasan yang menarik dalam isu

ini adalah menentukan channel portofolio. Konsep ini mengacu pada konsep portofolio

dalam keuangan. Hal ini berarti bagaimana menentukan kombinasi channel yang paling

optimal bagi perusahaan.

Sinergi dan strategi multichannel.Pembahasan tentang sinergi antar channel terkait

dengan bagaimana memperluas jaringan distribusi yang memperluas akses pada

konsumen sekaligus juga menurunkan biaya distribusi. Selain itu, masing-masing saluran

distribusi bersinergi dalam mengatasi masalah bersama dalam rangka mencapai

keunggulan kompetitif bersama.

Aliansi strategi dan strategi multichannel Aliansi strategis antar saluran distribusi

terjadi jika antar mereka mempunyai tujuan jangka panjang yang sama dan memerlukan

input modal dan manajemen yang signifikan. Dasar dari sebuah hubungan aliansi

strategis adalah kepercayaan, komitmen dan kerjasama antar anggota aliansi.

Keunggulan kompetitif dan strategi multichannel Kombinasi berapa jumlah

channel yang diperlukan mempunyai tujuan jangka panjang yaitu keunggulan kompetitif

dalam jangka panjang.

Rantai suplai dan strategi mutlichannel. Mengelola rantai suplai dalam lingkungan

multichannel yang kompleks dengan tujuan pelayanan yang berkualitas bagi pelanggan

sekaligus menurunkan biaya distribusi adalah sebuah pertanyaan riset yang menarik. Hal

ini perlu dijawab dengan penelitian yang lebih dalam.

Konflik dan strategi mutichannel. Kendala utama dalam membangun sebuah

44
Dependensi
Umur hubungan
Harapan kontinuitas Integrasi Strategis Kinerja

integrasi strategis dalam mutlichannel adalah adanya konflik antar channel. Beberapa

channel mempunyai pemahaman bahwa strategi multichannel adalah zero sum game,

yaitu pada saat satu perusahaan memperoleh konsumen maka perusahaan lain kehilangan

konsumen. Hal ini bisa menjadi tema penelitian yang menarik.

Kepemimpinan channel dan strategi multichannel. Penelitian tentang isu ini terkait

dengan perlunya manajer channel untuk mengatur strategi multichannel.

Penelitian Johnson (1999), menganalisis peran strategis hubungan antar perusahaan

melalui konsep integrasi strategis. Beberapa faktor dari integrasi strategis distributor dari

hubungan mereka dengan supplier adalah dependensi, fleksibilitas, kualitas hubungan,

harapan kontinuitas dan umur hubungan.

Pada tingkat paling dasar integrasi strategis terjadi pada saat hubungan pertukaran

semakin penting. Konsep integrasi strategis dalam penelitian ini mengandung arti sebuah

keterlibatan progresif antara dua perusahaan yang meliputi penggunaan secara bersama

sumber daya, saling meningkatkan kemampuan, dan saling mendukung posisi kompetitif.

Sebagai tambahan, hasil dari sebuah integrasi strategis adalah peningkatan kinerja

strategis masing-masing perusahaan.

Anteseden dari integrasi strategis dapat digambarkan dalam model penelitian ini:

45
Fleksibilitas Ketidakpastian
Kualitas hubungan

Model diatas menjelaskan bahwa anteseden dari integrasi strategis adalah

dependensi, umur hubungan, harapan kontinuitas, fleksibilitas dan kualitas hubungan.

Selanjutnya integrasi strategis menjadi variabel mediasi hubungan antara masing-masing

anteseden dengan variabel kinerja strategis. Dalam model tersebut variabel ketidakpastian

menjadi moderator antara hubungan masing-masing anteseden dengan variabel integrasi

strategis dan hubungan antara integrasi strategis dengan kinerja strategis.

Sampel penelitian ini diambil dari direktori bisnis di AS dengan total sampel 637

perusahaan. Dari 637 perusahaan hanya 400 yang bersedia menjadi responden.

Selanjutnya dari 400 perusahaan tersebut ada 177 perusahaan yang mengisi kuesioner

dengan benar yang berarti tingkat respon sebesar 44%. Analisis data dengan

menggunakan Structural Equation Model (SEM) dan CFA sebagai metode penguji

validitas. Hasil pengujian validitas menunjukkan bahwa semua konstruk valid dan

reliabel. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan hanya kualitas hubungan yang tidak

menunjukkan hubungan signifikan dengan integrasi strategis. Penelitian ini memberikan

masukan yang berarti dalam hubungan antar perusahaan. Integrasi strategis diperlukan

pada saat hubungan pertukaran mencapai tingkatan tertentu. Namun demikian kegagalan

variabel kualitas hubungan dalam menjelaskan integrasi strategis menjadi catatan khusus

dalam penelitian ini.

46
METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah sebuah penelitian eksploratori yang menggunakan desain

kualitatif. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian dengan studi kasus. Studi

kasus dalam penelitian ini mengacu pada studi kasus seperti yang disarankan Yin (1994)

dan Kohlbacher (2005) yaitu holistic case study. Dalam desain holistic case study maka,

dilakukan studi kasus pada lebih dari satu perusahaan dengan melihat aspek yang lebih

luas.

Yin (1994) menyatakan bahwa dalam sebuah penelitian studi kasus, maka jumlah

responden tidak penting, yang lebih penting adalah kedalaman analisis dari sebuah

fenomena. Penelitian ini menggunakan desain multi kasus, desain ini dianggap lebih

robust dibandingkan dengan desain single case (Yin, 1994). Kasus yang menjadi subyek

penelitian ini adalah perusahaan migas dan supermarket.

Unit Analisis

Unit analisis dari penelitian ini adalah perusahaan. Namun demikian, key person

yang menjadi sumber informasi adalah pemilik perusahaan atau manajer perusahaan yang

memahami operasional perusahaan yang terkait dengan pemasok.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah indepth interview

dan focus group discussion. Proses ini ditambah dengan pengumpulan sumber-sumber

informasi yang lain, misalnya data-data laporan dalam perusahaan.

Pengujian Validitas

Pengujian validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

47
menggunakan metode sumber informasi (key person) lebih dari satu dari sebuah

perusahaan. Metode ini mengacu pada pengujian validitas dalam penelitian kualitatif

yang disarankan oleh Kirk dan Miller (1986) dan Neuman (2000). Neuman (2000) dan

Kirk dan Miller (1986) menyatakan bahwa pengujian reliabilitas dalam penelitian

kualitatif sebenarnya bisa dilakukan, namun demikan konsistensi internal dalam

penelitian kualitatif dengan studi kasus sangat sulit, sehingga hal ini tidak harus

dilakukan.

Alat Analisis

Alat analisis dalam penelitian ini adalah content analysis. Pendekatan content

analysis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah conventional content analysis,

seperti dikemukakan oleh Hsieh dan Shannon (2005). Pendekatan ini biasanya

dipergunakan untuk mendeskripsikan sebuah fenomena. Dalam pendekatan ini, peneliti

membiarkan data memunculkan sebuah ide baru.

Menurut Mayring (2000) ada beberapa prosedur dari content analysis, yaitu:

• Penyesuaian materi dengan model.

• Aturan analisis.

• Penyusunan kategori.

• Kriteria validitas dan reliabilitas.

ANALISIS DATA

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dengan indepth interview

dan foccus group discussion. Ada dua perusahaan yang menjadi subyek penelitian.

Perusahaan pertama adalah PT Medco Energi Pratama Indonesia (MEPI). Perusahaan ini

48
adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekplorasi dan penjualan minyak dan

gas yang berkedudukan di Palembang. Perusahaan kedua adalah Supermarket Goro

Assalam (GA) di Solo. Pilihan terhadap kedua perusahaan ini dilandasi dengan

pertimbangan bidang bisnis yang mereka tekuni dan ukuran perusahaan.

PT Medco Energi Pratama Indonesia

PT MEPI mempunyai karyawan tetap sebanyak 1000 orang. Bisnis inti perusahaan

ini adalah eksplorasi dan penjualan minyak dan gas. Konsumen perusahaan ini adalah

perusahaan besar lain dan juga konsumen akhir. Peneliti melakukan foccus group

discussion (FGD) dengan jajaran manajemen yaitu satu orang manajer produksi, yaitu

bapak TP dan satu orang dari staf manajemen sumber daya manusia yaitu ibu DR. Proses

FGD difasilitasi oleh sebuah perusahaan konsultan di Yogyakarta dan dilakukan pada

tanggal 23 Mei 2007 jam 08.00 -12.00 WIB dan diselenggarakan di sebuah hotel bintang

lima di Yogyakarta.

Bapak TP sebagai manajer produksi adalah pihak yang bertanggung jawab atas

pemasok di perusahaan dengan nilai proyek Rp 300 juta sampai dengan Rp 50 milyar.

Adapun ibu DR adalah staf manajemen SDM yang bertanggung jawab atas pemasok jasa

bagi perusahaan dengan nilai proyek antara Rp 500 juta sampai dengan Rp 1,5 milyar.

FGD mendiskusikan tentang hubungan perusahaan dengan para pemasok.

Penawaran terhadap suatu pekerjaan pemasok biasanya diumumkan melalui media

massa baik cetak maupun elektronik. Cara lain adalah dengan melihat situs Medco Energi

pada tawaran procurement, selanjutnya perusahaan yang tertarik bisa mengajukan

penawaran. Apabila sudah dianggap cukup MEPI akan melakukan tender secara terbuka.

49
Syarat untuk menjadi pemasok bagi perusahaan ini adalah:

• Berbadan hukum yang jelas.

• Berpengalaman dalam bidangnya.

• Mempunyai kantor cabang di sekitar lokasi perusahaan.

• Mempunyai kondisi keuangan yang baik dan layak untuk menangani proyek.

• Mempunyai NPWP

Pemasok terbesar PT MEPI adalah beberapa koperasi di wilayah Riau untuk memasok

peralatan. PT Al Has juga salah satu pemasok terbesar, perusahaan ini bergerak di bidang

transportasi.

Pertanyaan yang diajukan oleh peneliti lebih bersifat menstimuli proses diskusi dan

selanjutnya dianalisis dengan kerangka analisis relationship marketing dan resource

dependence. Peneliti melakukan analisis berdasarkan rerangka teori yang dikemukakan di

dalam kajian teori:

1. Kepuasan perusahaan terhadap pemasok. Dalam berhubungan dengan para

pemasoknya PT MEPI terikat dengan aturan kontrak yang diatur dalam UU

Migas tahun 2001. Aturan tersebut menyebutkan bahwa proses tender yang

dilakukan bersifat terbuka, hal ini ternyata mempunyai konsekuensi bahwa

perusahaan cenderung tidak akan memenangkan satu perusahaan dalam tender

selama dua periode berturut-turut. Artinya meskipun perusahaan puas dengan

kinerja pemasok, namun mereka tidak akan serta merta memenangkan

pemasok tersebut untuk pekerjaan berikutnya, hal ini karena ada kekhawatiran

muncul tuduhan KKN. Bapak TP menyatakan masalah kepuasan terhadap

pemasok dengan pernyataan berikut:

50
“Pemasok yang bekerja dengan baik dan mampu memenuhi permintaan perusahaa
ternyata tidak menjamin akan diperpanjang kontraknya. Artinya meskipun
perusahaan puas dengan pekerjaan pemasok, namun bisa jadi dalam kontrak
berikutnya perusahaan tidak memenangkan tender bila harga yang mereka
tawarkan terlalu tinggi. Hal ini berarti perusahaan memang menerapkan prinsip
efisiensi. Perusahaan tidak berani untuk memenangkan pemasok yang sama
karena ada pasal dalam UU Migas dan peraturan dalam BP Migas melarang hal
itu. Hal ini dikarenakan praktek seperti itu bisa dikategorikan KKN. Hanya ada
satu perusahaan pemasok yang pernah menang tender selama 3 kali berturut-turut
yaitu PT Rio Muda Jasa Sarana yang mengelola transportasi”

2. Power dalam hubungan relasional. Perusahaan mempunyai kekuatan untuk

menekan pemasok dengan perjanjian kontrak ada dan mereka bisa

memberikan sanksi yang serius jika pemasok tidak bisa memenuhi

pekerjaannya. Sanksi yang serius bisa berupa pemutusan kontrak secara

sepihak dari perusahaan. Bapak TP menyatakan masalah power perusahaan ini

dengan pernyataan:

”Pemasok yang melanggar kontrak akan mendapatkan sanksi dari perusahaan


mulai dari peringatan sampai dengan pemutusan kontrak. Namun demikian,
perusahaan baru melakukan pemutusan kontrak bila kesalahan yang dilakukan
pemasok sudah sulit diperbaiki”.

3. Kepercayaan pada pemasok. PT MEPI menggantikan fungsi kepercayaan pada

pemasok dengan mekanisme kontrak legal. Kepercayaan perusahan

diwujudkan dengan kontrak yang luwes. Format kontrak di PT MEPI

termasuk yang paling luwes dibandingkan dengan perusahaan migas lain,

sebagai contoh tebal kontrak di perusahaan hanya sekitar 30 halaman, padahal

perusahaan migas lain bisa mencapai 100-200 lembar. Bapak TP

mengemukakan tentang masalah kepercayaan ini sebagai berikut:

“Kontrak dari perusahaan dengan pemasok biasanya hanya berkisar 30 lembar


dan berisi hal-hal yang bersifat umum saja. Hal ini berbeda dengan perusahaan
migas lain karena biasanya kontrak dengan pemasok sangat mendetail.

51
Perusahaan mengambil kebijakan kontrak seperti itu karena mereka percaya
dengan pemasok dan kontrak yang terlalu detail biasanya malah sulit
dilaksanakan”.

4. Komitmen dalam hubungan relasional. Perusahaan menilai komitmen

pemasok dari kualitas kerja mereka apakah sesuai dengan kontrak atau tidak.

Perusahaan juga mempunyai anggapan bahwa pemasok mereka adalah mitra

sehingga jika perusahaan pemasok berkembang mereka juga merasa

diuntungkan. Bapak TP memberikan pernyataan berikut:

”Pemasok bagi perusahaan kami adalah mitra karena tanpa mereka perusahaan
juga mengalami kerepotan. Perusahaan berusaha agar setelah masa kontrak selesai
pemasok juga mendapatkan keuntungan, kami berkepentingan terhadap kondisi
perusahaan pemasok, karena pada saat perusahaan pemasok tumbuh dan
berkembang maka perusahaan kami pasti terkena dampaknya”.

5. Loyalitas pada pemasok. Loyalitas tidak tercermin dalam hubungan antara

pemasok dan perusahaan dalam hubungan bisnis mereka, karena UU Migas

tahun 2001 mengatur kontrak kerja antar perusahaan secara ketat, sehingga

hubungan kontrak yang terlalu lama bisa dicurigai, selain itu PT MEPI

memenangkan peserta tender berdasarkan harga yang paling murah. Bahkan

dalam sejarah hubungan perusahaan dengan pemasok rata-rata hanya satu kali

masa kontrak, atau jika menang dua kali atau lebih tidak akan berturut-turut.

Ibu DR memberikan pernyataan berikut:

”Masa kontrak perusahaan dengan pemasok antara 20-24 bulan. Namun rata-rata
kontrak yang dilakukan hanya mencapai 20 atau 22 bulan. Hal ini dilakukan
untuk menghindari kewajiban mematuhi UU No 13/2003 tentang
ketenagakerjaan, yaitu kewajiban untuk memberikan pesangon pada karyawan
outsourcing sebesar 3 kali gaji. Mekanisme kontrak antara perusahaan dengan
pemasok sangat rigid karena perusahaan dan pemasok harus mematuhi aturan-
aturan detail yang ditetapkan oleh BP Migas dan UU Migas No 22 tahun 2001.
Regulasi ini menyebabkan aturan-aturan dalam kontrak migas sangat ketat untuk
mencegah adanya KKN”.

52
6. Kinerja strategis perusahaan. Keputusan perusahaan menjaga hubungan dengan

pemasok adalah efisiensi. Istilah efisiensi dalam operasional perusahaan adalah

penawaran harga yang paling murah. Para pemasok baik untuk pekerjaan produksi

maupun administrasi harus memenuhi prinsip ini jika mereka ingin memenangkan

tender, dengan catatan, pemenang tender dalam satu periode belum tentu

memenangkan tender berikutnya meskipun perusahaan puas dengan hasil kerja

mereka.

PT Goro Assalam Surakarta

Perusahaan ini adalah sebuah hypermarket yang berlokasi di Pabelan Kartasura.

Perusahaan ini merupakan bagian dari Goro Jakarta yang bekerja sama dalam bentuk

perseroan terbatas dengan grup bisnis Tiga Serangkai dan pondok pesantren moderen

Assalam. Perusahaan ini adalah sebuah hypermarket dengan bisnis utama penjualan

eceran dan menyewakan tempat. Perusahaan ini membuka bisnisnya di Surakarta tahun

2001. Peneliti menggunakan metode pengumpulan data dengan indepth interview.

Subyek penelitian adalah pihak manajemen perusahaan yaitu bagian pembelian. Adapun

pihak yang mewakili PT Goro dalam wawancara adalah bapak PS sebagai manajer

pembelian dan bapak AB sebagai staf administrasi pembelian.

Proses melakukan interview dilakukan oleh peneliti dengan mengajukan

permohonan kepada perusahaan yaitu supermarket Goro Assalam Solo. Syarat pengajuan

yaitu dengan surat permohonan yang ditandatangani atasan peneliti dan outline

penelitian. Peneliti mengajukan permohonan pada tanggal 15 Juni 2007 dan mendapatkan

ijin dari GM Goro Assalam Solo pada tanggal 21 Juni 2007.

53
Prosedur untuk mengajukan permohonan sebagai pemasok di PT Goro harus

melalui uji kelayakan. Uji kelayakan yang dilakukan perusahaan adalah melihat produk

yang ditawarkan mulai dari kemasannya, kualitas barangnya, perusahaan pemasok,NPWP

perusahaan dan harga. Dari sekitar 200 pemasok yang ada di Goro Assalam, tiga pemasok

besar perusahaan ini adalah Unilever, Indomarco dan Wings. Ada beberapa persyaratan

untuk menjadi pemasok di supermarket Goro, yaitu:

• Barang yang ditawarkan harus memenuhi persyaratan perusahaan, seperti:

bar code, kadaluarsa, kualitas yang baik dan terjamin pasokannya.

• Perusahaan pemasok harus jelas,misalnya: kantornya dimana, nomor telepon

dan nomor rekening serta NPWP.

Para supplier yang paling lama menjadi supplier perusahaan sudah bertahan selama

6 tahun yaitu sejak 2001, pada saat Goro Assalam Surakarta berdiri, namun demikian

untuk Goro Jakarta mereka sudah menjadi pemasok semenjak tahun 1995 berarti sudah

mencapai 12 tahun. Perusahaan melakukan pembayaran bagi para pemasok dengan

jadwal setiap bulan. Evaluasi yang dilakukan perusahaan terhadap para pemasok

dilakukan setiap 3 bulan. Dalam evaluasi tersebut perusahaan melihat tingkat penjualan

item produk pemasok, jika dinilai penjualannya bagus maka hubungan bisnis dilanjutkan,

sebaliknya jika penjualan rendah maka pemasok diminta menarik barang bersangkutan.

Selanjutnya proses analisis dilakukan dengan menggunakan rerangka analisis

relationship marketing dan resource dependence:

1. Kepuasan pada pemasok. Kepuasan perusahaan pada pemasok ditentukan oleh

pelayanan pemasok pada perusahaan. Wujud pelayanan itu adalah tepat waktu

dalam pengiriman dan jumlah yang sesuai permintaan. Kepuasan terhadap

54
pelayanan pemasok juga muncul dari tingkat penjualan pemasok yang dianggap

menguntungkan Goro Assalam. Perusahaan juga menganggap bahwa lamanya

waktu hubungan bisnis mengindikasikan adanya kepuasan kedua pihak. Bapak PS

memberikan pernyataan yang terkait dengan kepuasan perusahaan pada pemasok:

”Kepuasan kami dengan pemasok kami tunjukkan dengan lamanya hubungan bisnis
dengan pemasok, jika hubungan bisnis sudah mencapai lebih dari 5 tahun maka sudah
pasti dua pihak puas”.

Perusahaan juga menyatakan pada pemasok tentang kepuasan mereka atas pelayanan

yang diberikan pemasok. Pernyataan ini diwujudkan dengan memberikan kartu

ucapan pada pemasok. Namun hal ini dianggap tidak efektif karena kartu diberikan

pada pramuniaga dan bukan pemilik atau manajer perusahaan pemasok. Informasi ini

diambil dari pernyataan bapak AB:

”Kita memberikan kartu ucapan pada pemasok dengan isi ”Kami tidak menerima
bingkisan apapun dari anda, karena kami puas dengan pelayanan anda”.Tetapi, hal
seperti ini tidak cukup karena hanya diserahkan pada salesman, padahal seharusnya
diberikan pada principal”.

2. Power dalam hubungan bisnis. Perusahaan tidak melakukan kontrol yang

kuat terhadap pemasok. Perusahaan hanya memberlakukan ketentuan dalam

penataan ruang dan harga. Pada saat muncul masalah dalam hubungan bisnis,

maka pemasok dan perusahaan mendiskusikan atau re-negosiasi hubungan

bisnis. Perusahaan tidak pernah memberikan sanksi kepada pemasok.

Pemutusan hubungan dengan pemasok dilakukan pada saat masalahnya sangat

serius misalnya perusahaan bangkrut atau tutup. Bapak PS memberikan

pernyataan terkait dengan masalah power ini sebagai berikut:

”Kami melihat dulu masalahnya apa, misalnya jika pemasok tidak mampu memenuhi
pasokan kami menanyakan masalahnya apa, jika karena masalah pengangkutan atau

55
kapasitas produksi maka kami bisa mengerti, namun jika karena perusahaan sudah
bangkrut atau tidak mampu berproduksi maka baru kami memutuskan menghentikan
hubungan bisnis dengan pemasok. Perusahaan melakukan evaluasi setiap 3 bulan
untuk masing-masing pemasok”.

Bapak AB memberikan pernyataan yang serupa dengan bapak PS:


”Kalau distributor bermasalah sangat serius, maka kami akan mencari pemasok lain
yang lebih baik, tetapi biasanya kita ajak berdiskusi dulu, masalah yang serius adalah
perusahaan mereka memang bangkrut atau tutup”.

3. Hypermarket Goro Assalam tidak pernah memaksakan kepentingannya pada

pemasok kecuali dengan cara yang positif. Perusahaan selalu membuka

peluang negosiasi dengan pemasok jika ada masalah yang terjadi. Hanya ada

beberapa hal yang berada di atas kontrol penuh dari pihak hypermarket yaitu

penataan barang dan harga. Bapak PS memberikan pernyataan terkait dengan

masalah ini:

”Kami tidak pernah memaksa pemasok untuk mengikuti keinginan kami, kecuali
yang terkait dengan kesepakatan awal, bahkan kalau mereka tidak bisa mengikuti
kesepakatan awal kami membuka diri untuk negosiasi ulang. Misalnya jika ada
perubahan harga kami bersedia melakukan perubahan harga asal masih masuk dalam
tingkat keuntungan kami”.

4. Kepercayaan pada pemasok. Kepercayaan yang terjadi antara hypermarket

dan pemasok terjadi dengan tidak adanya kontrak legal antara keduanya.

Hubungan bisnis antara hypermarket dengan tennant juga tanpa adanya

kontrak, yang ada hanya perjanjian pembayaran tanpa adanya batas waktu.

Perusahaan merasa tidak perlu melakukan kontrak legal dengan pemasok

karena keduanya saling percaya dan saling membutuhkan. Menurut

perusahaan hal ini terjadi karena masing-masing pihak memenuhi kewajiban

masing-masing, yaitu pemasok memenuhi standar kualitas dan pihak

56
hypermarket memenuhi pembayaran setiap bulan. Bapak PS memberikan

pernyataan yang terkait hal ini:

”Tidak ada kontrak yang harus ditandatangani dalam hubungan Goro Assalam dengan
para pemasoknya. Hubungan kami berdasarkan kepercayaan dan saling
membutuhkan”.

5. Kepercayaan antara Goro Assalam dan pemasok terjadi karena selama ini

memang tidak ada konflik yang serius antara perusahaan dan pemasok. Selain

itu hubungan antar individu, yaitu bagian pembelian dan para pramuniaga

perusahaan pemasok menyebabkan adanya saling percaya antara perusahaan

dengan pemasok. Hal ini menarik karena faktor hubungan antar individu

ternyata berperan dalam sebuah hubungan bisnis. Bapak AB memberikan

pernyataan terkait dengan hal ini:

”Selama saya di perusahaan ini, hampir semua konflik dengan pemasok bisa diatasi
dengan negosiasi, belum pernah terjadi pemogokan pemasok”.

Bapak PS memberikan pernyataan terkait dengan hubungan antar individu:


”Tidak ada jaminan bahwa kalau kenal dengan individu terus bisa menjadi pemasok,
namun kalau sudah menjadi pemasok maka hubungan dengan personal bisa
mempengaruhi hubungan dengan pemasok kami”.

6. Komitmen dalam hubungan relasional. Komitmen dalam hubungan antar

hypermarket dengan pemasok sangat penting karena tidak ada kontrak legal.

Komitmen antara perusahaan dan pemasok dalam menjaga hubungan muncul

karena tidak ada masalah dalam hubungan tersebut. Hal ini terjadi karena

keduanya selalu menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan

masing-masing. Komitmen dalam hubungan bisnis pemasok dan ritel juga terjadi

karena kepentingan kedua pihak sama-sama terpenuhi. Bapak PS memberikan

57
pernyataan yang terkait dengan hal tersebut:

”Kami percaya bahwa pemasok akan selalu menjaga komitmen mereka dalam
perjanjian yang telah disepakati dan selama dua pihak sama-sama senang tidak ada
masalah”.

Bapak AB memberikan pernyataan terkait dengan hal tersebut:


”Selama kedua pihak saling diuntungkan dengan hubungan bisnis maka kami yakin
mereka mempunyai komitmen kuat terhadap perusahaan kami”.

7. Loyalitas terhadap pemasok. Loyalitas dalam hubungan peritel dan pemasok bisa

dilihat dari jumlah pemasok yang mundur dari perjanjian bisnis dalam kurun

waktu 5 tahun terakhir. Menurut bapak PS hanya sekitar 1 persen pemasok yang

mengundurkan diri dan bapak AB menambahkan bahwa selama kedua pihak

saling diuntungkan maka hubungan bisnis terus berlanjut. Selain itu, informasi

yang menyatakan bahwa tidak ada masalah serius antara pemasok dan ritel

mengindikasikan bahwa ada loyalitas dalam hubungan antara pemasok dan ritel.

8. Kinerja strategis antara perusahaan dan pemasok. Kinerja strategis perusahaan

diukur dari tingkat keuntungan perusahaan yang diperoleh dari hubungan bisnis

antara peritel dan pemasok. Hypermarket Goro Assalam mengevaluasi penjualan

perusahaan pemasok setiap 3 bulan, apabila penjualan dinilai rendah maka

hubungan bisnis dievaluasi atau diakhiri.

PEMBAHASAN

Berdasarkan content analysis yang dilakukan peneliti, maka ada dua jenis kondisi

yang berbeda dalam hubungan bisnis antara pemasok dan peritel. Dalam perusahaan

migas maka ada kecenderungan rerangka relationship marketing tidak sesuai dengan pola

hubungan pemasok dan perusahaan. Karakteristik hubungan bisnis pemasok perusahaan

58
yang muncul adalah pola transaction cost.

Perspektif transaction cost atau efisiensi menekankan perlunya efisiensi dalam

organisasi. Konsep yang berlaku dalam perspektif ini adalah organisasi sebagai mediator

antara beberapa kelompok yang ada di dalam organisasi (Ulrich dan Barney, 1984).

Beberapa asumsi yang mendasari perspektif transaction cost adalah pertama,

mempelajari transaksi antar organisasi. Kedua, mengidentifikasi alternatif mekanisme

tata kelola (pasar, birokrasi dan klan). Ketiga, memahami karakteristik transaksi.

Keempat, menyesuaikan antara mekanisme tata kelola dengan karakteristik transaksi

untuk mendapatkan biaya transaksi yang lebih rendah. Secara ringkas, perspektif efisiensi

menyesuaikan antara karakteristik transaksi dengan alternatif mekanisme tata kelola

untuk menentukan kondisi pada saat bentuk alternatif tata kelola akan memediasi

pertukaran secara adil dan efisien.

Berdasarkan perspektif ini maka hubungan bisnis dalam perusahaam migas lebih

tepat dianalisis dalam rerangka transaction cost. Hal ini dapat dilihat dari, pertama,

persyaratan utama hubungan bisnis adalah efisiensi yang bisa dicapai perusahaan dan

pemasok. Kedua, dalam pola hubungan bisnis diatur dengan undang-undang yang ketat,

yaitu UU Migas No 22 tahun 2001, yang mengatur kontrak bisnis dalam perusahaan

migas. Dalam perspektif transaction cost hal ini disebut dengan tata kelola (governance).

Heide dan John (1988) melakukan riset konflik antara saluran distribusi dengan

perspektif transaction cost analysis (TCA). Pertanyaan mendasar dalam analisis ini

adalah pada kondisi apa transaksi dapat dilakukan dengan efisien dalam keterbatasan

perusahaan, termasuk kontrol birokrasi dan koordinasi. Kesulitan utama dalam penerapan

teori TCA adalah bahwa teori ini dalam beberapa aspeknya tidak lengkap. Hasil empirik

59
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa untuk mempercepat pengembalian investasi itu,

saluran distribusi berusaha meningkatkan tingkat ketergantian perusahaan manufaktur

mitra mereka. Agensi yang mengurangi ketergantungan dengan cara ini berusaha

meningkatkan kinerja mereka dalam situasi aset spesifik tingkat tinggi.

Pola hubungan bisnis dalam perusahaan penjualan eceran ternyata sesuai dengan

rerangka analisis relationship marketing. Hubungan bisnis antara pemasok dan peritel

dalam perusahaan ini tidak didasari kontrak legal yang kaku, melainkan sebuah prinsip

saling percaya. Saling percaya ini terjadi karena kedua pihak bisa memenuhi janji

mereka. Hal ini sesuai dengan konsep relationship marketing dari Gronroos (1994) yang

menyatakan bahwa konsep ini didasari dari sebuah konsep janji dan pemenuhan terhadap

janji tersebut.

Konsep relationship marketing yang didasari dari kepercayaan, komitmen, dan

kepuasan muncul dalam pola hubungan bisnis antara pemasok dan ritel dalam perusahaan

penjualan eceran. Hasil akhir dari sebuah hubungan bisnis adalah loyalitas yang ditandai

dengan lamanya hubungan bisnis dan minimnya konflik antara perusahaan dan pemasok.

Hubungan bisnis antara pemasok besar dan peritel rata-rata telah berlangsung selama 5

tahun. Dari total pemasok yang berjumlah 200 perusahaan atau unit usaha hanya 1

persen yang mengundurkan diri, hal ini juga mengindikasikan adanya loyalitas dalam

hubungan bisnis antar ritel dan pemasok.

Kinerja strategis dari hubungan bisnis antara peritel dan pemasok menjadi alasan

mengapa sebuah hubungan bisnis berlangsung lama. Ukuran kinerja dari sebuah

hubungan bisnis adalah tingkat penjualan produk dari pemasok. Tingkat penjualan

mempunyai dampak berganda bagi pemasok dan peritel. Namun demikian, untuk tennant

60
atau penyewa maka ukuran kinerjanya adalah uang sewa. Simpulan awal untuk kinerja

adalah tingkat penjualan.

Perspektif resource dependence bisa digunakan dalam penggunaan power dan

mekanisme kontrol dalam hubungan bisnis antara pemasok dan peritel. Pada perusahaan

migas mekanisme kontrol yang digunakan adalah dengan coercive power atau kekuatan

yang bersifat memaksa. Hal ini dilakukan melalui kontrak legal, sehingga perusahaan

bisa memaksa pemasok untuk mengikuti keinginan mereka. Hal ini dilakukan terutama

untuk memenuhi persyaratan keselamatan dalam perusahaan migas yang menjadi ukuran

kinerja di perusahaan tersebut.

Pada perusahaan hypermarket maka penggunaan power perusahaan menggunakan

non-coercive power. Penggunaan non-coercive power dalam perusahaan hypermarket

dilakukan dengan kerjasama dan negosiasi ulang beberapa kesepakatan awal. Perusahaan

bersedia untuk melakukan negosiasi dalam berbagai aspek hubungan bisnis, bahkan

sampai dengan negosiasi ulang harga. Proses kontrol dilakukan dengan tidak

memaksakan kehendak pada pemasok.

SIMPULAN

Penelitian ini adalah sebuah studi pendahuluan dengan tujuan melakukan analisis

terhadap hubungan bisnis antara pemasok dan peritel dengan rerangka relationship

marketing dan resource dependence. Penelitian ini menggunakan desain studi kasus

dengan holistic case study. Dalam setting perusahaan migas maka perusahaan bekerja

dengan perspektif transaction cost yang menekankan pentingnya efisiensi dan tata kelola

dalam hubungan bisnis.

61
Perspektif relationship marketing bisa digunakan untuk melakukan analisis

hubungan bisnis dalam perusahaan penjualan eceran. Dalam setting hypermarket maka

prinsip dasar relationship marketing yaitu kepercayaan dan komitmen menjadi dasar

hubungan bisnis antara pemasok dan ritel. Beberapa konstruk yang muncul dalam

hubungan bisnis pemasok dan ritel dalam rerangka relationship marketing adalah

kepuasan, loyalitas dan kinerja strategis.

Rerangka resource dependence muncul dalam pola hubungan bisnis pemasok dan

ritel dalam dua setting perusahaan yaitu migas dan penjualan eceran. Ada perbedaan

mendasar dari konsep power yang digunakan dalam dua perusahaan tersebut. Dalam

perusahaan migas yang menggunakan rerangka transaction cost, konsep power yang

dipergunakan adalah coercive power dengan menggunakan kontrak legal yang kaku.

Perusahaaan penjualan eceran yang menggunakan perspektif relationship marketing

menggunakan non-coercive power yang berupa kesediaan melakukan negosiasi ulang

dalam hubungan pemasok dan ritel.

62
DAFTAR PUSTAKA

Assael, Henry (1998).Consumer Behavior and Marketing Action. 6 th Ed., New York
South Western College Publishing.
Baldinger A.L dan Rubinson J (1996), “Brand Loyalty: The Link Between Attitude and
Behavior, Journal of Advertising Research, h 22-34.
Ballester, Elena Delagado dan Jose Luis Munuera-Aleman (2001), “Brand trust in the
Context of Consumer Loyalty,” European Journal of Marketing, Vol. 35 No.
11/12. pp 1238-1258.
Barney J.B (1991),”Firm Resources and Sustained Competitive Advantage”, Journal of
Management Vol 17 h 99-120.
Bennet, Rebekah, Charmine E.J Hartel dan Janet R McColl-Kennedy (2005),”Experience
as a Moderator of Involvement and Satisfaction on Brand Loyalty in a Business to
Business Setting 02-314R”, Industrial Marketing Management Vol 34 h 97-107.
Berman, Barry dan Joel R. Evans (2002). Retail Management A. Strategic Approach.
Prentice Hall.New Jersey.

63
Berry, L.L. (1983) “Relationship Marketing” dalam : (Eds.) Berry, L.L., Shostack, G.L.
and Upah, G.D. “Emerging Perspectives on Services Marketing” Chicago,
American Marketing Association, h . 25-28
Bonnemaizon, Audrey, Bernard Cova dan Marie-Calude Louyot (2007),”Relationship
Marketing in 2015: A Delphi Approach, European Management Journal Vol 25
No 1 h 50-59.
Boulding, William, Richard Staelin, Michael Ehret dan Wesley J Johnston (2005), A
Customer Relationship Management Roadmap: What is Known, Potential Pitfalls
And Where To Go, Journal of Marketing Vol 69, h 155-166.
Butaney, Gul dan Lawrence H Wortzel (1988), “Distributor Power Versus Manufacturer
Power: The Customer Role”, Journal of Marketing, Vol 52 h 52-63.
Cascario , Tiziana dan Mikolaj Jan Piskorski, (2005), “Power Imbalance Mutual
Dependence and Constraint Absorption: A Closer Look at Resource Dependence
Theory”, Administrative Science Quarterly Vol 50, h 167-199
Cooper, Marjorie J, Nancy Upton dan Samuel Seaman (2005), Customer Relationship
Management: A Comparative Analysis of Family and Non-family Business
Practices, Journal of Small Business Management, Vol 43 No 3 h 242-256.
Crosby, L.A., Kenneth R. E., and Cowles, D. (1990) ‘Relationship quality in services
selling: An interpersonal influence perspective’, Journal of Marketing, 54:3 h 68-
81.
Day, G S (1969), “A Two Dimensional Concept of Brand Loyalty”, Journal of
Advertising Research Vol 9 No 23 h 29-35.
De Wulf, K. D., Odekerken-Schro¨ der, G. & Lacobucci, D. (2001) “Investments in
consumer relationships: a cross-country and cross-industry exploration”, Journal
of Marketing, Vol 65 h . 33–50.
Dharmmesta, Basu S. (1999).” Loyalitas Pelanggan: Sebuah Kajian Konseptual Sebagai
Panduan Bagi Peneliti,” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 14 No.3. pp
73-78.
Doney, Patricia M., & Cannon, Joseph P. (1997). “An examination of trust in buyer–seller
relationships”. Journal of Marketing, 61(2) h 35– 51.
Dyer, J.H. and H. Singh (1998). "The Relational View: Cooperative Strategy and Sources

64
of Interorganizational Competitive Advantage," Academy of Management
Review, 23 (4) h 660–679.
Ekelund, Christer dan Deo D. Sharma (2001), “The Impact of Trust on Relationship
Commitment: A Study of Standardized Products in a Mature Industrial Market,”
Laporan Penelitian Tidak Dipublikasikan.
Ekelund, Christer dan Deo D. Sharma (2001), “The Impact of Trust on Relationship
Commitment: A Study of Standardized Products in a Mature Industrial Market,”
Laporan Penelitian Tidak Dipublikasikan.
El Ansery, Adel dan Louis W Stern (1972), “Power Measurement in the Distribution
Channel,” Journal of Marketing Research Vol 9 h 47-52.
Fitzgibbon, Christopher dan Lesley White (2005), The Role of Attitudinal Loyalty in the
Development of Customer Relationship Management Strategy within Service
Firms, Journal of Financial Service Marketing, Vol 9 No 3 h 214-230.
Fulerton, Gordon (2005), The Impact of Brand Commitment on Loyalty to Retail Service
Brands, Canadian Journal of Administrative Science, Vol 22 h 97-110.
Garbarino, E. and Johnson, M.S. (1999) ‘The Different Roles of Satisfaction, Trust, and
Commitment in Customer Relationships’, Journal of Marketing, 63:2 h 70-87.
Geyskens, Inge, Steenkamp, Jan-Benedict E.M., & Kumar, Nirmalya (1999). ”A meta-
analysis of satisfaction in marketing channel relationships”. Journal of
Marketing Research, 36(2) h 223– 238.
Gonroos, Christian (1994), “From Marketing Mix To Relationship Marketing: Towards a
Paradigm Shift in Marketing”, Management Decision, Vol 32 No 2 h 4-20.
Gummesson, E. (1991a) “Marketing Orientation Revisited: The Crucial Role of the Part-
Time Marketer” European Journal of Marketing; Vol. 25, No 2 h .60-75
Gurviez, Patricia dan Michael Korchia (2003). “ Test of a Consumer-Brand Relationship
Model Including Trust and Three Consequences,” Makalah Seminar dalam 30th
International Research Seminar in Marketing, 11-13 Juni.
Gustafsson, Anders , Michael D. Johnson dan Inger Roos (2005),”The Effects of
Customer Satisfaction, Relationship Commitment Dimensions, and Triggers on
Customer Retention” Journal of Marketing Vol 69 h 210-218.
Hallowell, Roger (1996),”The Relationship of Customer Satisfaction, Customer Loyalty

65
and Profitability: An Empirical Study”, International Journal of Service Industry
Management Vol 7 No 4 h 27-42.
Hammond K, East R dan Ehrenberg A (1996), Buying More and Buying Longer:
Concepts and Application of Customer Loyalty, London, London Business
School.
Heide, Jan B dan George John (1988), The Role Of Dependence Balancing In
Safeguarding Transaction-Specific Assets In Conventional Channels, Journal of
Marketing Vol 52, h 20-35
Heide, Jan B dan George John (1988), The Role Of Dependence Balancing In
Safeguarding Transaction-Specific Assets In Conventional Channels, Journal of
Marketing Vol 52, h 20-35
Hon, L. C. & Grunig, J. E. (1999), Guidelines for Measuring Relationships in Public
Relations (Gainesville, FL: The Institute for Public Relations).
Hsieh, Hsiu-Fang dan Sarah E Shannon (2005), Three Aproach to Quantitative Content
Analysis, Qualitative Health Research, Vol 15 No.9 h 1277-1288.
Huang, Heng-Hsiang dan Chou-Kang Chiu (2006), Exploring Customer Satisfaction,
Trust and Destination Loyalty in Tourism, The Journal of American
Academy of Business, Vol. 10 , No. 1 h 156-159.
Johnson, Jean L (1999),”Strategic Integration in Industrial Distribution Channels:
Managing The Interfirm Relationship as a Strategic Asset”, Journal of The
Academy of Marketing Science, Vol 27 No 1 h 4-18.
Kaufman, Peter, Satish Jayachandrin dan Randall L. Rose (2006), The Role of Relational
Embeddedness in Retail Buyers’ Selection of New Products, Journal of
Marketing Research Vol. XLIII h 580–587.
Kim, Jai Beom dan Paul Michell (1999), “Relationship Marketing in Japan: The Buyer-
Supplier Relationship of Four Automakers”, Journal of Business and Industrial
Marketing Vol 14 No 2 h 118-129.
Kim, Keysuk, (2000), “On Interfirm Power, Channel Climate and Solidarity in Industrial
Distributor-Supplier Dyads”, Journal of The Academy of Marketing Science,
Volume 28 No 3, h 388-405.
Kirk, Jerome dan Marc L Miller (1986), Reliability and Validity In Qualitative Research,

66
Sage Publications, London.
Kohlbacher, Florian (2005), The Use of Qualitative Content Analysis in Case Study
Research, Forum: Qualitative Social Research, Vol 7 No 1 Januari.
Kompas, 20 Maret 2007 halaman Ekonomi dan Bisnis
Laporan Tahunan Bank Pembangunan Asia, 2006.
Lau, Geok Theng dan Sook Han Lee (2000). “Consumer’s Trust in a Brand and the Link
to Brand Loyalty,”. Journal of Market Focused Management. 4, pp 341-370.
Liljander, Veronica (1999), The Importance of Internal Relationship Marketing for
External Relationship Success, dalam Thorsten Hennig-Thurau and Ursula
Hansen, Eds., Relationship Marketing: Gaining Competitive Advantage through
Customer Satisfaction and Customer Retention, Springer Verlag: Berlin, 159-192.
Mayring, Phillip (2000), Qualititative Content Analysis, Forum: Qualitative Social
Research, Vol 1 No. 2 Juni.
McDougall, Gordon H.G dan Terrence Levesque (2000), Customer Satisfaction with
Services: Putting Perceived Value into The Equation, Journal of Services
Marketing, Vol. 14 No. 5, pp 392-410.
Mohr, J. and J.R. Nevin (1990). "Communication Strategies in Marketing Channels: A
Theoretical Perspective," Journal of Marketing, 54 (October) h 36–51
Moorman, C., Desphande, R. and Zaltman, G. (1993) ‘Factors affecting trust in market
research relationships’, Journal of Marketing, 57:1 h 81-101.
Morgan, R.M. and Shelby D.H. (1994) ‘The commitment-trust theory of relationship
marketing’, Journal of Marketing, 58:3, h 20-38.
Neuman, W Lawrence (2000), Social Research Methods, Qualitative and Quantitative
Methods 4th ed, Allyn and Bacon, Boston.
Parasuraman, A, Valerie A. Zeithaml dan Leonard Berry, (1985) “ A Conceptual Model of
Service Quality and its Implications for Future Research,” Journal of Marketing,
Vol. 9, Fall,pp 120-145.
Percy, Nigel F, (1995),”Marketing And Strategy Fit Together”, Management Decision Vol
33 No 1, h 42-47.
Peterson, Robert A dan Sridhar Balasubramain (2002), “Retailing In The 21st Century:
Reflections and Prologue To Research”, Journal of Retailing 78 h 9-16.

67
Pfeffer J & Salancik, G.R, (1978),The External Control of Organizations, A Resource
Dependence Perspective, New York, Stratford Press Inc.
Pfeffer,J. (1982),Organizations and Organization Theory, London, Pitman Books
Limited.
Porter, Michael E (1980), Competitive Strategy, New York, The Free Press.
Ramaseshan, B , Leslie C Yip dan Jae H Pae (2006), “Power, Satisfaction and
Relationship Commitment in Chinese Store-Tenant Relationship and Their Impact
on Performance” Journal of Retailing Vol 82 No 1 h 63-70.
Rauyruen Papassapa dan Kenneth E. Miller (2007),”Relationship quality as a predictor of
B2B customer loyalty”, Journal of Business Research 60 h 21–31.
Schwab, D.P (1978), Construct Validity in Organizational Behavior, dalam B Staw dan L
Cummings (Eds), Research in Organizational Behavior, 3-43, Greenwich, CT,
JAI Press.
Spekman Robert E dan Robert Carraway (2006), “Making The Transition to
Collaborative Buyer-Seller Relationsgip: An Emerging Framework”, Industrial
Marketing Management 35 h 10-19.
Stafford, L. & Canary, D. J. (1991),”Maintenance strategies and romantic relationship
type, gender and relational characteristics”, Journal of Social and Personal
Relationships, Vol 8, h 217–242.
Tellefsen , Thomas dan Gloria Penn Thomas (2005),”The antecedents and consequences
of organizational and personal commitment in business service relationships”,
Industrial Marketing Management Vol 34 h 23– 37.
Tence D.J (1980), “Economics of Scope and The Scope of Enterprise”, Journal of
Economic Behavior and Organization Vol 1 h 223-247.
Tepeci, Mustafa (1999).” Increasing Barnd Loyalty in the Hospitality Industry,”
International Journal of Contemporary Hospitality Management, Vol. 11 No. 5,
pp 223-229.
Tezinde, Tito, Jamie Murphy, Don Thi Hong, Chau Nguyen dan Cameron Jenkinson
(2001), “ Cookies: Walking the Fine Line Between Love and Hate,” Makalah
dalam 4th Western Australian Workshop on Information System Research
(WAWISR 2001).

68
Ulrich, David & Barney, J.B, Perspectives in Organizations: Resource Dependence,
Efficiency and Population, Academy of Management Review, 1984, 9, 471-480.
Verhoef, Peter C. (2003), “Understanding the Effect of Customer Relationship
Management Efforts on Customer Retention and Customer Share Development,”
Journal of Marketing, Vol 67, h 30–45.
Vinhas, Alberto Sa dan Erin Anderson (2005), How Potential Conflict Drives Channel
Structure: Concurrent (Direct and Indirect) Channels, Journal Of Marketing
Research Vol XLII h 507-515.
Wernefelt B (1984), “A Resource Based View of The Firm”, Strategic Management
Journal Vol 5 h 171-180.
Wood Lisa M (2002), Dimensions of Brand Purchasing Behavior: Consumers in the 18-
24 age Groups, Journal of Consumer Behavior, Vol 4 No 1 h 9-24.
Wood, Andy (2006),” Loyalty-What Can It Really Tell You?”, Data Base Marketing and
Customer Strategy Management Vol 13 No 1 h 55-63.
Yin, Robert K (1994), Case Study Research, Design and Methods, Sage Publications,
London.

69

Anda mungkin juga menyukai