Anda di halaman 1dari 2

Sesampainya di kos , setelah pulang makan dari warung, saya bertemu Ibu kos yang sedang duduk

di teras. Wajahnya sarat dengan makna, memendam begitu banyak emosi. Sepertinya beliau ingin
mengeluarkan semua isi hatinya, pikirku. Lalu kusapa beliau dengan hangat, Ibu kos juga
membalasnya. Perlu kuceritakan sedikit mengenai Ibu kosku, beliau bernama Ibu Suyudi. Beliau,
usianya sekarang menginjak 64 tahun. Garis-garis mewarnai mukanya, menunjukkan badannya yang
telah dimakan umur. Namun senyumnya begitu tulus dan menyentuh kalbu. Ibu Suyudi adalah salah
satu orang yang baik yang pernah kujumpai di dunia ini. Ibu yang hanya memiliki satu anak ini,
merupakan sosok ibu yang penyayang, penuh cinta kasih, lemah lembut dan berhati mulia. Saya
masih ingat ketika pada saat saya dan teman saya hendak mencari kos-kosan, dan tidak kunjung
dapat, hingga kami datang ke kos Ibu Suyudi. Setelah berbicara sejenak dan menjelaskan keadaan
teman saya yang malang ini, beliau langsung mengijinkan teman saya, Fendy menyewa kos itu dari
harga semula 6 juta menjadi 3 juta pertahun. Nilainya tidak menjadi masalah buat saya, tetapi alasan
beliau mengijinkan Fendy yang membuat saya sangat tersentuh. “Saya benar-benar tidak tega
melihat kamu, saya kembali teringat pada cerita Yesus Kristus yang tidak dapat penginapan dan lahir
di kandang domba”, tutur beliau, dan itu masih saya ingat sampai sekarang. Sungguh mulia hati
beliau, mungkin hanya bisa dihitung dengan jari saja orang seperti beliau yang saya temui di dunia
ini.

Lalu kami bercerita tentang masalah bencana alam yang akhir-akhir ini banyak terjadi di Indonesia.
Dari tsunami di Aceh sampai gunung Merapi di Jogja. Menurut beliau, sekarang orang-orang hanya
mementingkan diri sendiri, mencari keuntungan dengan mengeruk kekayaan alam dengan
berlebihan. “ Manusia sekarang betul-betul serakah!”kata beliau. Tidak pernah merasa puas, sudah
memiliki banyak tetapi tidak pernah merasa berkecukupan. Di dalam diri merasakan masih banyak
kekurangan, padahal harta sudah berlimpah. Begitulah manusia yang sangat rakus. “Menurut saya,
uang itu seperti sampah. Jika ia dikelola dengan baik, maka dapat dijadikan kompos. Tetapi bila ia
dibiarkan berserakan, tidak diurus dengan baik, dan tidak dibuang, maka ia akan menjadi sumber
penyakit bagi diri sendiri,” sambung beliau. Mendengar itu, saya merasa seperti disengat listrik 1000
volt. Benar-benar mengena di hati.

Beliau juga bercerita tentang desanya, daerah kaki gunung Kidul. “Gunung Kidul merupakan daerah
yang sangat indah. Bebatuan di sana sangat indah, begitu damai melihatnya. Tetapi sekarang daerah
itu dijadikan area penambangan batu kapur oleh pengusaha Jakarta. Bebatuan yang indah itu
dihancurkan, bahkan gunung-gunung kecil yang terbuat dari batuan kapur juga jadi korban
keserakahan manusia. Saya tidak habis pikir, tega sekali mereka menghancurkan dan merusak alam
yang begitu indah. Hanya demi uang mereka tega merusak anugerah Tuhan yang sangat indah itu.
Manusia sekarang benar-benar dibutakan oleh uang! Padahal kita, manusia adalah bagian dari alam
itu sendiri. Alam adalah keluarga kita, seharusnya manusia bisa mengasihi alam seperti mengasihi
saudara sendiri. Tetapi lihatlah, alam disiksa, alam begitu menderita sekarang. Maka tidak heran
banyak bencana datang berentetan. Seolah-olah bencana itu mengingatkan kita untuk kembali
kepada alam, tetapi manusia tidak menghiraukannya, malah semakin menjadi-jadi. Alam pun
membalasnya dengan bencana yang lebih dahsyat lagi. Alam ini maha adil bukan? Tetapi manusia
berkata, “Sepertinya Tuhan sedang murka dan marah besar.” Sesungguhnya Tuhan tidak pernah
marah, Tuhan itu maha pengasih. Lihat saja Tuhan menganugerahkan kita berkah alam yang sangat
melimpah. Sawah, gunung, sungai, hutan, samudera, dan masih banyak lagi kekayaan alam lainnya,
Tuhan berikan kepada kita dengan cuma-cuma. Tuhan tidak pernah meminta bayaran atas udara
yang telah kita hirup bukan?

Ironisnya, manusia sekarang sangat perhitungan, selalu bersaing dengan yang lain, ingin menjadi
yang nomor satu. Inilah dunia kita yang sekarang, yang penuh dengan persaingan, nafsu,
keserakahan. Kita lihat saja banyak terjadi perang yang menjatuhkan korban yang tidak sedikit
jumlahnya akibat keserakahan manusia yang ingin menguasai sumber daya alam negara lain. Kita
tidak pernah merasa cukup, selalu merasa kekurangan. Padahal sudah kaya, punya istri yang cantik
dan baik, sudah punya pekerjaan yang menjanjikan. Tetapi anehnya belum pernah merasa puas,
tidak pernah bahagia. Inilah manusia yang tidak tahu bersyukur. Lihatlah petani miskin yang hidup
sederhana di gubuk compang-camping. Namun ia selalu tersenyum sambil membawa cangkulnya. Ia
merasa bahagia karena bisa makan dan tidur nyenyak. Mengapa tidak mencontohi petani ini? Kapan
hati ini bisa bahagia jika kita tidak pernah bersyukur? Kita kaya, tapi hati kita miskin. Kita sehat,
tetapi jiwa kita sakit. Apakah bermakna hidup demikian?

Mari kita renungkan sejenak dan menginsafinya di dalam hati kita, bahwa sesungguhnya
kebahagiaan itu tidak usah kita cari di luar, tetapi kebahagiaan sejati itu bersumber dari hati nurani
kita sendiri. Mulailah hari dengan penuh syukur, berbagilah dengan orang yang kurang beruntung,
berbuatlah dengan menempatkan orang lain sebagai aku, contohilah alam yang maha pengasih dan
pemurah, yang memberi banyak tetapi diam seribu bahasa, seakan-akan tidak pernah melakukan
apa pun. Alam adalah keluarga kita, guru kita, serta kasih Tuhan itu sendiri.

Salam kasih.

Anda mungkin juga menyukai