Perubahan konstitusi pada dasarnya oleh George Jellinek[1] dibagi menjadi dua, yaitu;
pertama, melalui prosedur formal (verfassungsanderung) dan kedua, melalui cara-cara
informal (verfassungswandlung).[2] Perubahan formal[3] adalah perubahan yang
mekanismenya telah diatur di dalam konstitusi suatu negara sedangkan perubahan di luar
ketentuan konstitusi disebut sebagai perubahan informal atau melalui kondisi yang disebut
Djokosutono secara onbewust (lambat-laun).[4] Menurut Soehardjo Sastrosoehardjo,
verfassungsanderung dimaknai sebagai bentuk perubahan yang sesungguhnya, di mana terjadi
perubahan terhadap pokok-pokok pikiran, asas-asas, bentuk negara, sistem pemerintahan dan
lainnya.[5] Semenara itu, verfassungswandlung adalah perubahan makna ataupun penafsiran
ketentuan dalam konstitusi yang tidak menyimpang dari ketentuan pokok serta asas-asas yang
termaktub di dalamnya.[6]
C.F. Strong membagi verfassunganderung ke dalam beberapa cara yang umumnya
ditentukan dalam konstitusi di pelbagai sistem ketatanegaraan. Cara-cara perubahan konstitusi
secara formal ‘ala’ Strong tersebut ialah:[7] (a) by the ordinary legislature but under certain
restrictions, perubahan melalui lembaga legislatif biasa tetapi melalui aturan-aturan tertentu,
misalnya oleh Indonesia; (b) by the people through a referendum, perubahan konstitusi yang
dilakukan dengan persetujuan rakyat (referendum) melalui pemungutan suara, terjadi misalnya
pada masa peralihan republik keempat Prancis menuju konstitusi republik kelima di bawah
pimpinan Jenderal Charles de Gaulle; (c) by a majority for all units of a federal state, sistem
yang menentukan perubahan konstitusinya melalui suara-suara pada negara-negara bagian
pada sebuah negara federal, terjadi misalnya pada Amerika Serikat; (d) by special convention,
konvensi yang dimaksudkan dalam bagian ini bukanlah sebuah kebiasaan (convention)
ketatanegaraan, melainkan adalah sebuah lembaga khusus (special convention).
Dalam literature-literatur ketatanegaraan modern pembahasan mengenai proses
perubahan formal dari konstitusi begitu banyak. Secara teori hukum tata negara, posisi
perubahan konstitusi melalui cara formal pun tidak menimbulkan banyak perbedaan pendapat.
Selama implementasi proses perubahan berkesesuaian dengan aturan dalam konstitusi, maka
pasal-pasal perubahan konstitusi berlaku tanpa banyak perdebatan. Walaupun perubahan
konstitusi tersebut masih menjadi perdebatan, namun perubahan konstitusi tetap legal.
Suasana berbeda akan ditemui dalam pembahasan perubahan konstitusi secara informal,
dikarenakan sifatnya yang accidental.
K.C. Wheare menyatakan bahwa perubahan konstitisi ada 4 (empat) metode, yang
berbeda dengan metode Strong, yaitu:[8] (a) some primary forces; (b) formal amendment; (c)
judicial interpretation; (d) usage and convention. Perbedaan cara perubahan konstitusi yang
dikemukakan oleh Strong dan Wheare tersebut terletak pada dua sudut pandang. Strong
melihat terjadinya perubahan konstitusi melalui proses yang ditentukan oleh konstitusi itu
sendiri, sedangkan Wheare membagi perubahan konstitusi berdasarkan kondisi atau situasi
yang menyebabkan terjadinya perubahan konstitusi. Strong juga membatasi perubahan
konstitusi tersebut kepada proses formal, namun tidak melihat kondisi luar biasa yang mungkin
saja dapat terjadi dalam perkembangan ketatanegaraan.
Pada perubahan konstitusi secara informal, menurut K.C. Wheare, terdapat kekuatan-
kekuatan yang mampu menimbulkan perubahan konstitusi itu sendiri. Kekuatan itu sendiri
oleh Wheare dibagi menjadi dua, yaitu; pertama, kekuatan yang dapat menciptakan
berubahnya kondisi di suatu negara. Kekuatan itu memang tidak merubah kalimat-kalimat
dalam konstitusi secara eksplisit, namun kekuatan tersebut mampu menciptakan kondisi yang
dapat merubah makna atau kestabilan supremasi konstitusi. Kedua, kekuatan yang mampu
menciptakan kondisi sehingga terlaksananya perubahan konstitusi secara formal, melalui
interpretasi hakim dan melalui konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan.
Wheare juga menjelaskan mengenai beberapa kekuatan-kekuatan yang dapat merubah
konstitusi tersebut. Misalnya, dalam kondisi perang berkecamuk mendorong negara federal
cenderung menjadi negara kesatuan. Kewenangan-kewenangan negara bagian dalam masa
damai bisa berubah menjadi kewenangan negara federal dalam kondisi perang. Akibatnya,
kekuasaan menjadi sangat sentralistik yang merupakan ciri pokok negara kesatuan. Hal itu
menurut Wheare bukan dikarenakan berubahnya ketentuan dalam konstitusi, melainkan
kondisi tersebut menyebabkan pemerintah mengabaikan konstitusi demi kepentingan yang
lebih tinggi yaitu perlindungan negara.[9] Pengabaian konstitusi dalam kondisi tersebutlah
yang menyebabkan konstitusi telah berubah secara informal.
Peristiwa lainnya yang dapat memaksa terjadinya perubahan konstitusi secara informal adalah
melalui social force adalah revolusi, coup d’etat, putsch, convention, dan ditambahkan
Djokosoetono melalui interpretasi. Perubahan UUD 1945 melalui interpretasi tersebut juga
pernah terjadi pada masa Orde Baru bahkan Orde Lama. Harun Alrasid mengemukakan bahwa
hal itu terjadi akibat terdapatnya aturan lain, seperti Ketetapan (TAP) MPR, yang mengatur
mengenai hal-hal yang tidak jelas dipaparkan dalam pasal-pasal UUD 1945. Sependapat dengan
Harun Alrasid, Mohammad Fajrul Falaakh memberikan gambaran mengenai perubahan
konstitusi melalui praktik di luar ketentuan pasal-pasal konstitusi namun dapat diterima secara
luas pemberlakuannya. Fajrul Falaakh mencontohkan kondisi tersebut ketika terjadinya
perubahan sistem pemerintahaan presidensil menjadi parlementer ketika di awal kemerdekaan
Indonesia.[10]
Fajrul Falaakh juga menganggap MPR ketika pada masa Orde Baru dapat dengan mudah
melakukan perubahan konstitusi, baik melalui penafsiran maupun penambahan ketentuan asli.
[11] Perubahan konstitusi melalui tindakan hukum MPR tersebut menurut Harun Alrasid dapat
dilihat dari contoh-contoh sebagai berikut:[12]
1. Penambahan syarat umur pada calon Presiden pada TAP MPR,[13] sehingga terjadi
perubahan terhadap Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen), sehingga
bunyinya menjadi; “Presiden dan Wakil Presiden ialah orang Indonesia asli yang
berumur sekurang-kurangnya 40 tahun.”
2. MPR melalui TAP MPR No. I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib yang juga
mengatur mengenai proses pengambilan keputusan telah menyebabkan terjadinya
perubahan makna teks Pasal 2 Ayat (3) UUD 1945 (sebelum amandemen) menjadi,
“Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan cara musyawarah
untuk mufakat atau pemungutan suara dengan mengutamakan cara pertama.”
3. Dalam hal berkaitan dengan kewenangan MPR untuk memberhentikan Presiden telah
pula merubah Pasal 8 UUD 1945 (sebelum perubahan) menjadi berbunyi sebagai
berikut; “Jika Presiden mangkat, berhenti, tidak dapat melakukan kewajiban, atau
diberhentikan, maka ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”.
4. Dalam hal kekosongan hukum mengenai pengisian jabatan Wakil Presiden telah
menyebabkan terjadinya perubahan UUD 1945 menjadi berbunyi seperti berikut ini;
“Jika Wakil Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibanya, atas
permintaan Presiden dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, MPR mengadakan sidang
istimewa untuk memilih Wakil Presiden baru yang memegang jabatannya selama sisa
masa jabatan Wakil Presiden yang digantikannya”.
5. Kemudian Harun Alrasid memberikan contoh telah terjadinya perubahan konstitusi pada
masa Orde Lama yang berkaitan dengan masuknya Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI) yang sebelumnya bernama Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) ke
dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sebelumnya bernama
Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) sehinga perubahan tersebut menyebabkan
Pasal 10 UUD menjadi berbunyi sebagai berikut; “Presiden memegang kekuasaan yang
tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara”.
Menurut Harun Alrasid sesungguhnya masih terdapat beberapa perubahan lain namun
kelima contoh tersebut telah cukup membuktikan bahwa telah terjadi perubahan UUD di luar
ketentuan perubahan yang diatur oleh UUD 1945 itu sendiri.[14] Dari kesimpulan Harun
Alrasid tersebut diatas, nyatalah bahwa perubahan konstitusi tidak dapat tidak pasti akan
terjadi. Pensakralan UUD 1945 selama masa Orde Lama maupun Orde Baru mengakibatkan
dilakukannya perubahan secara ‘sembunyi-sembunyi’ demi perkembangan kondisi ataupun
kepentingan penguasa ketika itu melalui pelbagai cara (contohnya, melalui TAP MPR).
Jika ditinjau suasana ketatanegaraan Indonesia pasca perubahan UUD 1945, juga
terdapat kemungkinan perubahan informal konstitusi, terutama sebagaimana telah
dikemukakan oleh Djokosoetono dan Wheare di atas, yaitu melalui interpretasi hakim.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) membuka ruang terjadi interpretasi konstitusi oleh para
hakim. Penafsiran oleh lembaga judicial tersebut diberikan melalui kewenangan pengujian
produk hukum (toetsingrecht). Toetsingrecht oleh lembaga peradilan (judicial review) sendiri
menimbulkan perdebatan panjang bagi para pakar hukum tata negara dipelbagai negara.
Judicial Review sebagai Kekuasaan Peradilan
Setelah kasus Marbury Vs. Madison,[15] pelbagai perdebatan mengenai judicial review dan
lembaga apakah yang patut melakukan review terus terjadi. Michel Allen dan Brian Thompson
memberikan pemahaman mengenai kekuasaan pengujian (review) tidak hanya dimiliki oleh
lembaga peradilan tetapi juga lembaga legislatif (misalnya house of lord di Inggris) dalam upaya
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan pembentukan perundang-undangan.
Selengkapnya Allen dan Thompson berpendapat sebagai berikut:[16]
The power of judicial review may be defined as the jurisdiction of the superior courts
(the high court, the court of appeal and the house of lord) to review the acts, decisions
and omissions of public authorities in order to establish whether they have exceeded or
abused their powers.
Dalam istilah hukum di Indonesia kewenangan pengujian tersebut dikenal dengan
istilah toetsingrecht yang dipopulerkan oleh Sri Soemantri.[17] Dari pandangan Allen dan
Thompson di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis toetsingrecht, yaitu; (a)
toetsingrecht yang merupakan kewenangan peradilan atau dikenal dengan judicial review; (b)
toetsingrecht yang merupakan kewenangan legislatif atau legislative review; dan (c)
toetsingrecht yang merupakan kewenangan eksekutif atau executive review.
Di Amerika perdebatan ide mengenai judicial review tidak hanya terletak pada lembaga
pelaksana kewenangan judicial review undang-undang semata tetapi juga terhadap substansi
ide bahkan sejarah lahirnya. Menurut Leonard W. Levy, persoalan legitimasi tentu saja bermula
dari fakta bahwa para penyusun Konstitusi (Amerika) lupa menentukan agar Mahkamah Agung
(Supreme Court) Amerika diberi wewenang untuk menjalankan judicial review sejak awal
pembentukan konstitusi. Jika mereka memang ingin agar pengadilan memiliki wewenang itu,
mengapa wewenang itu tidak diberikan (sejak 1787-ketika konstitusi Amerika disusun).[18]
Hal yang berbeda terjadi di Indonesia. Ketika para penyusun konstitusi (framers of
constitution) Indonesia menyusun sendi-sendi bernegara dalam Undang-Undang Dasar 1945,
ide pengujian konstitusional telah pernah diperdebatkan dalam sidang BPUPKI (Badan Pekerja
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Moh. Yamin mengusulkan agar terdapat
sebuah mekanisme pengujian keabsahan isi UU terhadap konstitusi, adat dan syari’ah oleh
lembaga tertinggi kehakiman.[19] Yamin mengemukakan mengenai lembaga tersebut sebagai
berikut:[20]
“Mahkamah inilah (Mahkamah Agung: penulis) yang setinggi-tingginya, sehingga dalam
membanding undang-undang, maka balai Agung inilah yang akan memutuskan apakah
sejalan dengan hukum adat, syariah dan undang-undang dasar”.
Namun ide Yamin tersebut dibantah oleh Soepomo yang menganggap bahwa belum
pernah ada konsesus di antara ahli-ahli tata negara tentang judicial review, di samping para
ahli hukum Indonesia belum memiliki pengalaman mengenai proses judicial review.[21]
Menurut Todung Mulya Lubis, pandangan Soepomo tersebut dikarenakan anggota framers of
constitusion itu tidak membaca mengenai perdebatan sengit kasus Marbury Vs. Madison pada
the Supreme Court Amerika Serikat.[22] Namun, sesungguhnya Soepomo bukannya tidak
mengetahui tentang konsep review by the judicial body tersebut, berikut selengkapnya
ungkapan Soepomo[23] pada rapat BPUPKI:
“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa
para ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal
ini, dan Tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia dan
Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan special,
constitutioneelhof, -sesuatu pengadilan spesifik- yang melulu mengerjakan konstitusi.
Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus
menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya
kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu”.
Dari uraian tersebut Soepomo menyadari betul keberadaan lembaga peradilan yang
memiliki kewenangan uji konstitusionalitas, nampaknya dari perdebatan yang ada sepertinya
Soepomo masih meragukan efektifitas uji konstitusionalitas oleh sebuah lembaga peradilan,
sedangkan ketika itu terdapat lembaga MPR sebagai representasi tertinggi dari rakyat.
Pernyataan eksplisit Soepomo tentang keterbatasan ahli pada waktu itu terkesan tidak masuk
akal, dikarenakan pada masa itu banyak founding fathers yang ahli hukum, misalnya Moh.
Yamin yang ahli konstitusi dan ketatanegaraan Asia serta Soepomo sendiri yang juga bergelar
‘misteerunderrechten’. Kemungkinannya adalah Soepomo khawatir jika ke depan terjadi
pertikaian pemahaman konstitusi antara MPR dan MA sebagai penafsir konstitusi. Pada
perspektif tersebut Soepomo mungkin terpengaruh diskusi mengenai kewenangan lembaga
peradilan dalam menentukan keabsahan sebuah perundang-undangan.
Ide yang menempatkan lembaga yudikatif sebagai lembaga yang menentukan apakah
sebuah produk perundang-undangan layak diberlakukan atau tidak memang masih
menimbulkan pelbagai perdebatan. H. L. A. Hart mengemukakan bahwa paham “a supreme
tribunal has the last word in saying what the law is” akan menjadi terbantahkan jika putusan
pengadilan tersebut adalah putusan yang salah. Putusan salah yang menghapuskan kekuatan
hukum dari peraturan perundang-undangan legislatif tidak dapat dipertanggung-jawabkan
secara hukum dikarenakan tidak terdapat hak dan kewajiban sebagai konsekuensi dari
kesalahan tersebut.
Charles L. Black bahkan menganggap bahwa keputusan Supreme Court Amerika Serikat
dalam kasus Marbury Vs. Madison adalah kesalahpahaman dalam melihat fungsi lembaga
yudikatif. Black menyatakan bahwa fungsi utama dari pengadilan adalah memberikan
keabsahan (validation), bukan membatalkan keabsahan (invalidation) UU yang dibuat
kekuasaan negara. Black memahami bahwa antara legislatif sebagai pembuat UU dan
pemerintah sebagai pelaksana UU akan menimbulkan perbedaan pemahaman menafsirkan
makna dari UU. Sehingga kedua lembaga (legislatif dan eksekutif) membutuhkan suatu
interpretasi UU yang memiliki ukuran baku dan absah. Di sinilah letak fungsi pengadilan
(yudikatif) yang mampu memberikan keabsahan interpretasi UU, bukan membatalkan
keabsahan itu sendiri. Hal itu sesuai dengan pandangan Montesquieu bahwa kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif sejajar (horizontal) dan masing-masing wajib merujuk kepada
ketentuan yang lebih tinggi, yaitu konstitusi (vertikal).[24] Bahkan Jaakko Husa mengkritik
perspektif Amerika yang beranggapan bahwa judicial review adalah cara yang paling
dibutuhkan untuk menegakkan paham konstitusionalisme.[25] Padahal akibat pemahaman
seperti itu, menurut Husa, menimbulkan persoalan terhadap legitimasi politik (legislatif
maupun eksekutif).[26]
Kritik yang lebih tajam telah lebih dulu dikemukakan oleh Montesquieu dan Immanual
Kant, bahwa hakim bukanlah subjek hukum yang mandiri dan dapat menentukan hukum
sesuka hatinya, melainkan hakim hanyalah corong atau perpanjangan lidah dari undang-
undang (bouche de la loi).[27] Logemann juga mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada
kehendak para pembuat undang-undang[28] walaupun penafsiran hukum adalah kewajiban
hukum dari hakim. Oleh karena itu, sebagai corong/pelaksana undang-undang adalah mustahil
hakim dapat menghapuskan sebuah undang-undang. Lino A. Graglia mengemukakan bahwa
fungsi hakim hanyalah menjalankan hukum (to apply the law) bukan membuat hukum (not to
make the law). [29] Charles L. Black memaparkan mengenai hal itu sebagai berikut:[30]
“The prime and most necessary function of the Court has been that of validation, not
that of invalidation. What a government of limited powers needs, at the beginning and
forever, is some means of satisfying the people that it has taken all steps humanly
possible to stay within its powers.”
Pandangan-pandangan mengenai kewenangan lembaga peradilan untuk ‘menilai’ cacat
hukum produk legislasi lainnya tetap saja masih menimbulkan perdebatan dan tanda tanya.
Pertanyaan ilmiah (ilmu hukum) yang seringkali mengemuka pasca putusan Marshall dalam
kasus Maarbury Vs. Madison sebagai berikut:[31]
a. Apakah memang ide judicial review itu tepat untuk dipraktikan? Haruskan 9 hakim
yang tidak dipilih rakyat (sebagai pemegang kedaulatan) memiliki wewenang untuk
menyatakan apa yang harus dilakukan oleh lembaga perwakilan yang dipilih langsung
oleh rakyat?
b. Apakah peradilan akan lebih mudah untuk menghalangi setiap konsensus dengan
prinsip-prinsip kuno yang mereka anut atau untuk mencegah kelemahan politik dari
kekuasaan mayoritas yang seringkali bertindak oppresif (menekan)?
c. Apakah hakim, terlindungi dengan jabatan seumur hidup (prinsip ‘during good
behavior’ yang dianut untuk masa jabatan hakim di Amerika) dan digambarkan secara
umum berasal dari golongan terdidik, lebih mudah untuk merefleksi dan lebih mampu
menghilangkan antusiasme dibandingkan dengan jalannya kewenangan legislatif?
d. Apakah Marbury beranggapan bahwa anggota legislatif ataupun pejabat lembaga
eksekutif tidak memiliki pertanggungjawaban untuk menilai konstitusionalitas dari
tindakan mereka sendiri?
e. Bisakah kita memiliki sebuah sistem pemerintahan yang dapat berjalan dengan baik
tanpa adanya proses judicial review?