"Negeri Khayal" memiliki potensi pariwisata yang beragam, dari keindahan alam, adat istiadat
dan keramah tamahan penduduknya hingga kesiapan sarana dan prasarana pendukungnya.
Melihat potensi tersebut pemerintah setempat mengundang konsultan terkondang dari "Negeri
Impian" untuk merencanakan pariwisata di kawasan tersebut. Singkat kata konsultan
menyelesaikan tugas perencanaan dengan baik. Seiring perjalanan waktu, dalam pelaksanaannya
penguasa setempat sering kali mengintervensi perencanaan yang sudah dibuat. Kawasan yang
mestinya dikonservasi dirubahnya menjadi kawasan villa mewah. Permukiman tradisional
digusurnya menjadi "amenity core" dengan argumentasi antara lain bahwa hal ini dapat
mendongkrak pemasukan "fulus" ke kas daerah.
Suatu saat anda diundang oleh "Universitas Halusinasi" untuk menjadi nara sumber dalam
seminar akademis untuk membahas fenomena tersebut diatas dari sudut pandang "Perencanaan
Pariwisata"
Coba paparkan materi apa yang anda akan paparkan menyikapi fenomena tersebut di atas
(tentunya menggunakan pendekatan ilmiah utamanya teori-teori perencanaan yang telah
didapatkan)
Penyelesaian :
Perencanaan sebagai suatu alat atau cara harus memiliki 3 (tiga) kemampuan (the three
brains) yaitu:
2. Kemampuan menganalisis.
Bila kita rinci pengertian perencanaan tersebut maka dalam batasan perencanaan terdapat
unsur: suatu pandangan jauh ke depan, merumuskan secara kongkret apa yang hendak dicapai
dengan menggunakan alat – alat secara efektif dan ekonomis dan menggunakan koordinasi
dalam pelaksanaan.
1. Metode Makro-Meso-Mikro
3.Metode Morfologi
1. Pendekatan Tipologi
2. Pendekatan Pembangunan Masyarakat
3. Pendekatan Ekowisata
4.Pendekatan Konservasi
Daerah Tujuan Wisata (DTW) atau resort akan menuju suatu siklus evolusi yang sama dengan
siklus hidup sebuah produk. Secara sederhana jumlah pengunjung menggantikan penjualan
sebuah produk. Beberapa penulis menyatakan terdapat tiga tingkatan siklus hidup daerah
pariwisata yaitu; penemuan (discovery), inisiatif dan respon masyarakat lokal dan kelembagaan.
Konsep tingkatan atau tahapan siklus hidup terjadi dalam pembangunan pariwisata merupakan
salah satu permasalahan penting yang harus diantisipasi.
Sifat kepariwisataan yang multi bidang (multifacet) dari kepariwisataan ini membawa
konsekuensi bahwa kepariwisataan akan menimbulkan pengaruh ke seluruh sektor ekonomi
lainnya. Oleh karena itu, setiap satuan moneter yang dikeluarkan oleh wisatawan akan
menciptakan dampak pengganda ini antara lain berupa:
1. Sales Multiplier
Peningkatan dalam pengeluaran wisatawan akan menciptakan tambahan pendapatan bagi dunia
usaha
2. Output Multiplier
Peningkatan pengeluaran wisatawan akan berdampak pada barang dan jasa yang diproduksi
masyarakat
3. Income Multiplier
5. Employment Multiplier
Keterangan :
1. Future Generation, yaitu generasi yang akan datang yang perlu diperhatikan kecukupan
sumber daya untuk memperoleh kehidupan yang berimbang
2. Tourism Resources, yaitu sumber daya pariwisata yang dikelola dengan memperhatikan
keempat factor lainnya : future generation, equity, partnership, dan carrying capacity
3. Equity, yaitu sikap perencana dan pengelola yang dituntut selalu memperhatikan unsur
keadilan untuk mencapai pembangunan yang berkesinambungan di waktu yang akan datang.
4. Carrying Capacity, yaitu kemampuan suatu kawasan untuk menampung kunjungan wisatawan
dan semua permasalahan yang terjadi sebagai akibat kunjungan wisatawan ini.
5. Partnership, yaitu kemitraan yang perlu diciptakan antara generasi sekarang dengan generasi
yang akan datang.
1. Berdasar atas bentuk pariwisata alam dengan motivasi utama turis adalah untuk pengamatan
dan mengapresiasi serta menghargai alam sama seperti budaya tradisional dalam kesatuan
daerah alami, seperti kesatuan ekosistem pulau.
2. Berisi pendidikan dan interpretasi mengenai obyek alam yang dijadikan target (misalnya pada
objek alam ekosistem hutan, gunung, pulau atau ekosistem pesisir dan laut).
3. Secara umum memiliki kelompok kecil turis yang diorganisasi oleh sekelompok kecil
specialist dan bisnisnya dimiliki dan dijalankan orang lokal. Operator dari luar negeri dengan
berbagai ukuran juga diatur, dioperasikan dan/atau dipasarkan dalam kelompok-kelompok
kecil yang tentunya bekerjasama dengan penduduk setempat
4. Seminim mungkin mengurangi dampak negatif pada lingkungan alam dan sosial-budaya lokal.
3. Membagi keuntungan yang sama dari pengembangan `ecotourism' dengan komunitas dan
penduduk lokal/asli, seperti dengan cara menerima persetujuan penduduk lokal dan
partisipasi penuh dalam perencanaan dan pengelolaan usaha/bisnis `ecotourism'.
Dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik, `ecotourism' telah terbukti menjadi alat
yang efektif bagi konservasi jangka panjang bagi keanekaragaman hayati di samping usaha-
usaha lainnya. Bagaimanapun `ecotourism' telah bergerak maju bagi industri pariwisata di negara
pesisir seperti di Malaysia, Australia, beberapa Negara Afrika, Meksiko, Jepang, Maldive dan
Negara-negara di Karibia.
Beberapa penyimpangan dari tujuan `sustainable way' dan 'ecotourism' itu sendiri sering
terjadi hanya karena mengejar keuntungan ekonomi semata. Banyak praktisi pariwisata
mengklaim dan membesar-besarkan kerjasamanya dalam perencanaan dengan menjamin dan
mendukung keberlanjutan kelestarian lingkungan, namun pada kenyataanya mengancam budaya,
perekonomian dan sumberdaya masyarakat lokal.
Beberapa kritik untuk eco-tourism seperti ini dikenal sebagai `eco-façade' dalam praktek
eksploitasi sumberdaya. Eco-tourism juga kedengarannya `ramah', namun yang sering menerima
dampak serius adalah pengambilalihan teritorial `alami' dari Taman Nasional, Cagar Alam atau
daerah perlindungan lainnya yang dipaketkan bagi `ecotourist' sebagai pilihan utama tanpa
alternatif produk sendiri. Seperti halnya aktifitas wisata pesisir dan laut ; skin/SCUBA diving
yang mengantungkan obyek wisata alamnya hanya pada `diving-diving point' yang memang
secara alamiah telah ada. Ironisnya, banyak operator-operator diving menggunakan daerah
konservasi seperti di Taman Nasional Bunaken sebagai ajang pelatihan selam. Di mana,
penyelam-penyelam rekreasi ini menggunakan sumberdaya alam yang telah ada tersebut untuk
aktivitas latihan atau `pre-dive' bagi penyelam pemula.
Berbagai aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat lokalpun telah diganti dengan aktivitas
pariwisata. Pekerjaan yang ada hubungannya dengan pariwista memonopoli komunitas lokal dan
masyarakat lokal sering hanya dibayar dengan gaji rendah sebagai `guide', buruh, penjaja
makanan dan souvenir, dan hal inipun tidak berlangsung sepanjang tahun. Yang diuntungkan
sama seperti pariwisata konvensional lainnya yaitu jasa penerbangan luar negeri, operator wisata
dan pengembang yang terkait yang umumnya datang dari negara maju. Mega-resorts, termasuk
hotel yang `lux', condominium (daerah yg dikuasai dan diperlakukan sebagai milik sendiri), dan
shopping centres (Mall) meningkat pembangunannya dalam daerah perlindungan dengan
mengatasnamakan `ecotourism'. Hal ini merupakan `eco-terrorism', dan mengancam ekosistem
dan lingkungan seperti pembangunan daratan buatan atau marina (reklamasi) yang jelas
memusnahkan kehidupan tumbuhan dan organisme di dalamnya. Demikian pula pengrusakan
budaya lokal yang sering terjadi seiring dengan kerusakan ekosistem lingkungan.
Pariwisata sangat tergantung pada lingkungan, maka tidak mengherankan berbagai macam
usaha dari organisasi pariwisata dunia dan juga organisasi lingkungan mendengung-dengungkan
mengenai pembangunan yang berkelanjutan. Badan dunia pun seperti PBB di tahun 2002 telah
menerima usulan dan menjadikan tahun tersebut sebagai tahun bagi `Ecotourism' (International
Year of Ecotourism), hal ini juga sebagai wujud usaha perlindungan lingkungan.
Memang, pemanfaatan ekosistem yang berkelanjutan tidak hanya berhenti dan bergantung
dari usaha-usaha yang telah dilakukan tersebut. Kesadaran secara menyeluruh dari masyarakat,
`yang berkepentingan' dan teristimewa pemerintah untuk lebih menghargai lingkungannya akan
memberi nilai bagi keberlangsungan pembangunan itu sendiri.
Seperti yang dikatakan oleh Butler 1980, bahwa terdapat enam tingkatan atau tahapan dalam
pembangunan pariwisata. Ke enam tahapan tersebut adalah :
2. Keterlibatan, Pada tahapan ini, inisiatif masyarakat lokal menyediakan fasilitas wisatawan,
kemudian promosi daerah wisata dimulai dengan dibantu keterlibatan pemerintah.
Hasilnya terjadi peningkatan jumlah wisatawan. Musim wisatawan dan mungkin
tekanan pada publik untuk menyediakan infrastruktur.
3. Pengembangan dan Pembangunan,Pada tahapan ini jumlah wisatawan yang datang meningkat
tajam. Pada musim puncak wisatawan bisa menyamai, bahkan melebihi jumlah
penduduk lokal. Investor luar berdatangan memperbaharui fasilitas. Sejalan dengan
meningkatnya jumlah dan popularitas daerah pariwisata, masalah-masalah rusaknya
fasilitas mulai terjadi. Perencanaan dan kontrol secara Nasional dan Regional menjadi
dibutuhkan, bukan hanya untuk memecahkan masalah yang terjadi, tetapi juga untuk
pemasaran internasional.
4. Konsolidasi dan InterelasiPada tahapan ini, tingkat pertumbuhan sudah mulau menurun
walaupun total jumlah wisatawan masih relatif meningkat. Daerah pariwisata belum
berpengalaman mengatasi masalah dan kecenderungan terjadinya monopoli sangat kuat.
5. Kestabilan, Pada tahapan ini, ulah wisatawan yang datang pada musim puncak wisatawan
sudah tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan pariwisata. Ini disadari bahwa
kunjungan ulangan wisatawan dan pemanfaatan bisnis dan komponen-komponen lain
pendukungnya adalah dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah wisatawan yang
berkunjung. Daerah tujuan wisata mungkin mengalami masalah-masalah lingkungan,
sosial dan ekonomi.
Daftar Pustaka
Paturusi, Samsul A. (2001). Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pariwisata, Materi kuliah
Perencanaan Kawasan Pariwisata Program Magister (S2) Kajian Pariwisata,
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar.