Anda di halaman 1dari 10

dinsdag 24 augustus 2010

PERECANAAN KAWASAN WISATA NEGERI IMPIAN

"Negeri Khayal" memiliki potensi pariwisata yang beragam, dari keindahan alam, adat istiadat
dan keramah tamahan penduduknya hingga kesiapan sarana dan prasarana pendukungnya.
Melihat potensi tersebut pemerintah setempat mengundang konsultan terkondang dari "Negeri
Impian" untuk merencanakan pariwisata di kawasan tersebut. Singkat kata konsultan
menyelesaikan tugas perencanaan dengan baik. Seiring perjalanan waktu, dalam pelaksanaannya
penguasa setempat sering kali mengintervensi perencanaan yang sudah dibuat. Kawasan yang
mestinya dikonservasi dirubahnya menjadi kawasan villa mewah. Permukiman tradisional
digusurnya menjadi "amenity core" dengan argumentasi antara lain bahwa hal ini dapat
mendongkrak pemasukan "fulus" ke kas daerah.

Suatu saat anda diundang oleh "Universitas Halusinasi" untuk menjadi nara sumber dalam
seminar akademis untuk membahas fenomena tersebut diatas dari sudut pandang "Perencanaan
Pariwisata"

Coba paparkan materi apa yang anda akan paparkan menyikapi fenomena tersebut di atas
(tentunya menggunakan pendekatan ilmiah utamanya teori-teori perencanaan yang telah
didapatkan)

Penyelesaian :

Menyikapi fenomena tersebut, pendekatan ilmiah, khususnya teori-teori perencanaan yang


digunakan antara lain :

1. Proses Perencanaan Pembangunan Kawasan Wisata

Perencanaan (planning) adalah sebuah proses pengambilan keputusan yang menyangkut


masa depan dari suatu destinasi atau atraksi. Planning adalah proses yang bersifat dinamis untuk
menentukan tujuan, bersifat sistematis dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai, merupakan
implementasi dari berbagai alternatif pilihan dan evaluasi apakah pilihan tersebut berhasil.
Proses perencanaan menggambarkan lingkungan yang meliputi elemen-elemen : politik, fisik,
sosial, budaya dan ekonomi, sebagai komponen atau elemen yang saling berhubungan dan saling
tergantung, yang memerlukan berbagai pertimbangan (Paturusi, 2001).

Perencanaan adalah sesuatu proses penyusunan tindakan-tindakan yang mana tindakan


tersebut digambarkan dalam suatu tujuan (jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka
panjang) yang didasarkan kemampuan-kemampuan fisik, ekonomi, social budaya,dan tenaga
yang terbatas.

Perencanaan sebagai suatu alat atau cara harus memiliki 3 (tiga) kemampuan (the three
brains) yaitu:

1. Kemampuan melihat ke depan.

2. Kemampuan menganalisis.

3. Kemampuan melihat interaksi-interaksi, antara permasalahan.

Bila kita rinci pengertian perencanaan tersebut maka dalam batasan perencanaan terdapat
unsur: suatu pandangan jauh ke depan, merumuskan secara kongkret apa yang hendak dicapai
dengan menggunakan alat – alat secara efektif dan ekonomis dan menggunakan koordinasi
dalam pelaksanaan.

2. Pendekatan Perencanaan Pariwisata

A. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Metode Keterkaitan), yang meliputi;

1. Metode Makro-Meso-Mikro

2.Metode Partisipatif (participatory)

3.Metode Morfologi

B. Pendekatan Pengembangan Kawasan

1. Pendekatan Tipologi
2. Pendekatan Pembangunan Masyarakat

3. Pendekatan Ekowisata

4.Pendekatan Konservasi

3. Tahapan/Tingkatan Pembangunan Pariwisata

Daerah Tujuan Wisata (DTW) atau resort akan menuju suatu siklus evolusi yang sama dengan
siklus hidup sebuah produk. Secara sederhana jumlah pengunjung menggantikan penjualan
sebuah produk. Beberapa penulis menyatakan terdapat tiga tingkatan siklus hidup daerah
pariwisata yaitu; penemuan (discovery), inisiatif dan respon masyarakat lokal dan kelembagaan.
Konsep tingkatan atau tahapan siklus hidup terjadi dalam pembangunan pariwisata merupakan
salah satu permasalahan penting yang harus diantisipasi.

4. Multiplier Efek Kawasan Wisata

Sifat kepariwisataan yang multi bidang (multifacet) dari kepariwisataan ini membawa
konsekuensi bahwa kepariwisataan akan menimbulkan pengaruh ke seluruh sektor ekonomi
lainnya. Oleh karena itu, setiap satuan moneter yang dikeluarkan oleh wisatawan akan
menciptakan dampak pengganda ini antara lain berupa:
1. Sales Multiplier

Peningkatan dalam pengeluaran wisatawan akan menciptakan tambahan pendapatan bagi dunia
usaha

2. Output Multiplier

Peningkatan pengeluaran wisatawan akan berdampak pada barang dan jasa yang diproduksi
masyarakat

3. Income Multiplier

Peningkatan pengeluaran wisatawan akan menciptakan tambahan pendapatan masyarakat


4. Government Revenue Multiplier

Tambahan pengeluaran wisatawan akan meningkatkan pendapatan pemerintah

5. Employment Multiplier

Kenaikan dalam pengeluaran wisatawan akan meningkatkan jumlah kesempatan kerja

5. Perencanaan Kawasan Wisata yang Berkelanjutan

Perencanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan (P3B) dilakukan dengan mengelola sumber


daya pariwisata (Tourism Resources) yang tersebar diseluruh wilayah tanah air. Sebelum suatu
rencana akan dilakukan, untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan mutlak kiranya terlebih
dahulu dilakukan pendekatan pada pemuka adat setempat (A.Yoeti, 2008:253), perlu dilakukan
penjelasan dengan melakukan sosialisasi manfaat dan keuntungan proyek bagi penduduk
setempat . Verseci dalam A.Yoeti (2008 : 253) perencanaan strategis pembangunan pariwisata
berkelanjutan memberikan kerangka kerja sebagai berikut :

Keterangan :

1. Future Generation, yaitu generasi yang akan datang yang perlu diperhatikan kecukupan
sumber daya untuk memperoleh kehidupan yang berimbang

2. Tourism Resources, yaitu sumber daya pariwisata yang dikelola dengan memperhatikan
keempat factor lainnya : future generation, equity, partnership, dan carrying capacity

3. Equity, yaitu sikap perencana dan pengelola yang dituntut selalu memperhatikan unsur
keadilan untuk mencapai pembangunan yang berkesinambungan di waktu yang akan datang.

4. Carrying Capacity, yaitu kemampuan suatu kawasan untuk menampung kunjungan wisatawan
dan semua permasalahan yang terjadi sebagai akibat kunjungan wisatawan ini.
5. Partnership, yaitu kemitraan yang perlu diciptakan antara generasi sekarang dengan generasi
yang akan datang.

6. Ecotourism sebagai Alat dalam Perencanaan Kawasan Wisata berkelanjutan

Ecotourism atau eko-wisata atau pariwisata ekologi di sub-kategorikan dari pariwisata


berkelanjutan (sustainable tourism) atau salah satu segmen pasar dari pariwisata berbasis
lingkungan alam (Daud, 2009). Pariwisata berbasis lingkungan alam (pariwisata hutan/pariwisata
bahari) hanya merupakan aktivitas kunjungan ke tempat alamiah seperti melihat burung di hutan
atau biota unik lainnya pada ekosistem pesisir (seperti rekreasi SCUBA diving). Sedangkan
`ecotourism' memberi keuntungan bagi lingkungan, budaya, dan ekonomi komunitas lokal
seperti mengamati burung atau biota unik lainnya dengan `guide' orang lokal, tinggal bersama
penduduk lokal atau pondokan alami (eco-lodge) yang disediakan penduduk masyarakat dan
memberi kontribusi ekonomi bagi penduduk local (eco-charge). Haruslah dibedakan antara
konsep dari `ecotourism' (wisata ekologi) dan `sustainable tourism' (pariwisata berkelanjutan),
dimana pengertian `ecotourism' merujuk pada segmen dari sektor pariwisata, sedangkan prinsip
`sustainability' diterapkan pada segala tipe aktivitas, operasi, pembuatan/pendirian dan proyek
pariwisata termasuk bentuk yang konvensional maupun alternatif.

`Ecotourism' mutlak memperhatikan pemeliharaan lingkungan alam (conservation), bukan


sebaliknya mengubah keaslian alam sehingga menganggu keseimbangan alam. Pemahaman
pariwisata ekologi adalah untuk menyokong atau menopang keseimbangan hubungan antara
manusia dengan lingkungan alamnya. Kualifikasi aktivitas dalam ecotourism senantiasa
berorientasi terhadap cara-cara pengembangan dan pemeliharaan keutuhan alam yang
berkelanjutan.

United Nations of Environment Programme (UNEP) telah merangkum karakteristik umum


mengenai `ecotoursim' yaitu :

1. Berdasar atas bentuk pariwisata alam dengan motivasi utama turis adalah untuk pengamatan
dan mengapresiasi serta menghargai alam sama seperti budaya tradisional dalam kesatuan
daerah alami, seperti kesatuan ekosistem pulau.
2. Berisi pendidikan dan interpretasi mengenai obyek alam yang dijadikan target (misalnya pada
objek alam ekosistem hutan, gunung, pulau atau ekosistem pesisir dan laut).

3. Secara umum memiliki kelompok kecil turis yang diorganisasi oleh sekelompok kecil
specialist dan bisnisnya dimiliki dan dijalankan orang lokal. Operator dari luar negeri dengan
berbagai ukuran juga diatur, dioperasikan dan/atau dipasarkan dalam kelompok-kelompok
kecil yang tentunya bekerjasama dengan penduduk setempat

4. Seminim mungkin mengurangi dampak negatif pada lingkungan alam dan sosial-budaya lokal.

5. Mendukung perlindungan daerah alam.

Sebagai sarana pengembangan, `ecotourism' dapat memajukan 3 tujuan utama dari


konvensi keanekaragaman biologi (Convention on Biological Diversity), yaitu:

1. Melestarikan keanekaragaman biologi (dan budaya), dengan penguatan sistem pengelolaan


daerah yang dilindungi (public/private) dan meningkatkan nilai suatu ekosistem

2. Mempromosikan pemanfaatan keanekaragaman berkelanjutan, dengan pemerataan


pendapatan, pekerjaan dan kesempatan berusaha dalam bidang `ecotourism' dan jaringan
usahanya ; dan

3. Membagi keuntungan yang sama dari pengembangan `ecotourism' dengan komunitas dan
penduduk lokal/asli, seperti dengan cara menerima persetujuan penduduk lokal dan
partisipasi penuh dalam perencanaan dan pengelolaan usaha/bisnis `ecotourism'.

Dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik, `ecotourism' telah terbukti menjadi alat
yang efektif bagi konservasi jangka panjang bagi keanekaragaman hayati di samping usaha-
usaha lainnya. Bagaimanapun `ecotourism' telah bergerak maju bagi industri pariwisata di negara
pesisir seperti di Malaysia, Australia, beberapa Negara Afrika, Meksiko, Jepang, Maldive dan
Negara-negara di Karibia.

Bagi keberlangsungan aktivitas `ecotourism' diperlukan pengaturan yang pantas dan


penanganan khusus seperti pengaturan pada ekosistem yang asli dan dilindungi (Taman Nasional
atau Cagar Alam). Karena dampak dari `ecotourism' itu sendiri akan lebih parah dari batasan
pariwisata pada umumnya . Hal ini termasuk pengalaman belajar/interpretasi operator
`ecotourism', pengaturan jumlah kelompok turis dalam skala kecil, dan sensitivitas terhadap
ketegangan dengan pemilik dan penghuni komunitas setempat khususnya masyarakat lokal.

Beberapa penyimpangan dari tujuan `sustainable way' dan 'ecotourism' itu sendiri sering
terjadi hanya karena mengejar keuntungan ekonomi semata. Banyak praktisi pariwisata
mengklaim dan membesar-besarkan kerjasamanya dalam perencanaan dengan menjamin dan
mendukung keberlanjutan kelestarian lingkungan, namun pada kenyataanya mengancam budaya,
perekonomian dan sumberdaya masyarakat lokal.

Beberapa kritik untuk eco-tourism seperti ini dikenal sebagai `eco-façade' dalam praktek
eksploitasi sumberdaya. Eco-tourism juga kedengarannya `ramah', namun yang sering menerima
dampak serius adalah pengambilalihan teritorial `alami' dari Taman Nasional, Cagar Alam atau
daerah perlindungan lainnya yang dipaketkan bagi `ecotourist' sebagai pilihan utama tanpa
alternatif produk sendiri. Seperti halnya aktifitas wisata pesisir dan laut ; skin/SCUBA diving
yang mengantungkan obyek wisata alamnya hanya pada `diving-diving point' yang memang
secara alamiah telah ada. Ironisnya, banyak operator-operator diving menggunakan daerah
konservasi seperti di Taman Nasional Bunaken sebagai ajang pelatihan selam. Di mana,
penyelam-penyelam rekreasi ini menggunakan sumberdaya alam yang telah ada tersebut untuk
aktivitas latihan atau `pre-dive' bagi penyelam pemula.

Berbagai aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat lokalpun telah diganti dengan aktivitas
pariwisata. Pekerjaan yang ada hubungannya dengan pariwista memonopoli komunitas lokal dan
masyarakat lokal sering hanya dibayar dengan gaji rendah sebagai `guide', buruh, penjaja
makanan dan souvenir, dan hal inipun tidak berlangsung sepanjang tahun. Yang diuntungkan
sama seperti pariwisata konvensional lainnya yaitu jasa penerbangan luar negeri, operator wisata
dan pengembang yang terkait yang umumnya datang dari negara maju. Mega-resorts, termasuk
hotel yang `lux', condominium (daerah yg dikuasai dan diperlakukan sebagai milik sendiri), dan
shopping centres (Mall) meningkat pembangunannya dalam daerah perlindungan dengan
mengatasnamakan `ecotourism'. Hal ini merupakan `eco-terrorism', dan mengancam ekosistem
dan lingkungan seperti pembangunan daratan buatan atau marina (reklamasi) yang jelas
memusnahkan kehidupan tumbuhan dan organisme di dalamnya. Demikian pula pengrusakan
budaya lokal yang sering terjadi seiring dengan kerusakan ekosistem lingkungan.

Memang, industri pariwisata dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat dan


perekonomian negara, sekaligus berpotensi memproteksi lingkungan. Namun lebih dari itu,
pariwisata dan aktivitas pembangunan lainnya dapat menjadi kekuatan besar yang merusak
sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk manusia di dalamnya

Pariwisata sangat tergantung pada lingkungan, maka tidak mengherankan berbagai macam
usaha dari organisasi pariwisata dunia dan juga organisasi lingkungan mendengung-dengungkan
mengenai pembangunan yang berkelanjutan. Badan dunia pun seperti PBB di tahun 2002 telah
menerima usulan dan menjadikan tahun tersebut sebagai tahun bagi `Ecotourism' (International
Year of Ecotourism), hal ini juga sebagai wujud usaha perlindungan lingkungan.

Memang, pemanfaatan ekosistem yang berkelanjutan tidak hanya berhenti dan bergantung
dari usaha-usaha yang telah dilakukan tersebut. Kesadaran secara menyeluruh dari masyarakat,
`yang berkepentingan' dan teristimewa pemerintah untuk lebih menghargai lingkungannya akan
memberi nilai bagi keberlangsungan pembangunan itu sendiri.

Seperti yang dikatakan oleh Butler 1980, bahwa terdapat enam tingkatan atau tahapan dalam
pembangunan pariwisata. Ke enam tahapan tersebut adalah :

1. Eksplorasi (pertumbuhan spontan dan penjajakan)


Pada tahapan ini jumlah wisatawan petualang relatif kecil. Mereka cenderung
dihadapkan pada keindahan alam dan budaya yang masih alami di daerah tujuan wisata.
Di samping jumlah wisatawan yang kecil, juga ditambah dengan fasilitas dan
kemudahan yang kurang baik. Pada tahapan ini atraksi di daerah wisata belum berubah
oleh pariwisata dan kontak dengan masyarakat lokal akan tinggi.

2. Keterlibatan, Pada tahapan ini, inisiatif masyarakat lokal menyediakan fasilitas wisatawan,
kemudian promosi daerah wisata dimulai dengan dibantu keterlibatan pemerintah.
Hasilnya terjadi peningkatan jumlah wisatawan. Musim wisatawan dan mungkin
tekanan pada publik untuk menyediakan infrastruktur.
3. Pengembangan dan Pembangunan,Pada tahapan ini jumlah wisatawan yang datang meningkat
tajam. Pada musim puncak wisatawan bisa menyamai, bahkan melebihi jumlah
penduduk lokal. Investor luar berdatangan memperbaharui fasilitas. Sejalan dengan
meningkatnya jumlah dan popularitas daerah pariwisata, masalah-masalah rusaknya
fasilitas mulai terjadi. Perencanaan dan kontrol secara Nasional dan Regional menjadi
dibutuhkan, bukan hanya untuk memecahkan masalah yang terjadi, tetapi juga untuk
pemasaran internasional.

4. Konsolidasi dan InterelasiPada tahapan ini, tingkat pertumbuhan sudah mulau menurun
walaupun total jumlah wisatawan masih relatif meningkat. Daerah pariwisata belum
berpengalaman mengatasi masalah dan kecenderungan terjadinya monopoli sangat kuat.

5. Kestabilan, Pada tahapan ini, ulah wisatawan yang datang pada musim puncak wisatawan
sudah tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan pariwisata. Ini disadari bahwa
kunjungan ulangan wisatawan dan pemanfaatan bisnis dan komponen-komponen lain
pendukungnya adalah dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah wisatawan yang
berkunjung. Daerah tujuan wisata mungkin mengalami masalah-masalah lingkungan,
sosial dan ekonomi.

6. Penurunan kualitas (Decline) atau Kelahiran Baru (Rejuvenation).


Pada tahapan ini, pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang diketahui semula
dan menjadi "resort" baru. "Resort" menjadi tergantung pada sebuah daerah tangkapan
secara geografi lebih kecil untuk perjalanan harian dan kunjungan berakhir pekan.
Kepemilikan berpeluang kuat untuk berubah, dan fasilitas-fasilitas pariwisata seperti
akomodasi akan berubah pemanfaatannya. Akhirnya pengambil kebijakan mengakui
tingkatan ini dan memutuskan untuk dikembangkan sebagai "kelahiran baru".
Selanjutnya terjadi kebijaksanaan baru dalam berbagai bidang seperti pemanfaatan,
pemasaran, saluran distribusi, dan meninjau kembali posisi daerah tujuan wisata
tersebut.
Relevansi tahapan tersebut di atas dalam konsep pembangunan pariwisata adalah bahwa
setiap tahapan/tingkatan pembangunan mempunyai karakter yang berlainan, yang
memerlukan perlakuan perencanaan yang berbeda pula. Bali misalnya yang telah berada
pada tahapan "stagnation" oleh karenanya masalah-masalah evaluasi daya dukung
(carrying capacity) memerlukan pencermatan kembali, di samping masalah manajerial
lainnya yang secara keseluruhan perlu dituangkan dalam re-evaluasi tata ruangnya.
Konsekuensi dari adanya perbedaan karakteristik dalam pembangunan atau
perkembangan pariwisata menuntut seorang perencana pariwisata untuk selalu
mencermati bentuk keterkaitan antara komponen kepariwisataan dengan karakteristik
komponen lingkungan untuk menentukan lingkup pekerjaan.

Daftar Pustaka

Daud,Pahlano,JR. (2009). Pariwisata dan Perubahan Lingkungan. http://mukhtar-


api.blogspot.com/2009/06/pariwisata-dan-perubahan-lingkungan.html

Paturusi, Samsul A. (2001). Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pariwisata, Materi kuliah
Perencanaan Kawasan Pariwisata Program Magister (S2) Kajian Pariwisata,
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar.

Yoeti,Oka.A.(2008) Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Pradnya Paramita : Jakarta

Posted by I MADE BAYU WISNAWA.,A.PAR.,MM

Anda mungkin juga menyukai