Anda di halaman 1dari 11

Ciri-Ciri Masyarakat Madani

Dari Crayonpedia

Langsung ke: navigasi, cari

2. Kegiatan Belajar 2

a. Tujuan Kegiatan Belajar 2

Apabila telah mempelajari kegiatan belajar 1 dengan baik, maka pada akhir kegiatan belajar
dapat :
(1) Mendeskripsikan pengertian masyarakat madani
(2) Mengidentifikasikan ciri-ciri masyarakat madani
(3) Menjelaskan proses demokrasi menuju masyarakat madani.
(4) Menjelaskan upaya mengatasi kendala yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan
masyarakat madani

b. Uraian Materi 2

CIRI-CIRI MASYARAKAT MADANI


Istilah masyarakat madani dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil society pertama kali
dikemukan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis yang identik
dengan negara. Dalam perkembangannya istilah civil society dipahami sebagai organisasi-
organisasi masyarakat yang terutama bercirikan kesukarelaan dan kemandirian yang tinggi
berhadapan dengan negara serta keterikatan dengan nilai-nilai atau norma hukum yang dipatuhi
masyarakat.
Bangsa Indonesia berusaha untuk mencari bentuk masyarakat madani yang pada dasarnya adalah
masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius. Dalam kaitannya pembentukan masyarakat
madani di Indonesia, maka warga negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga
negara yang cerdas, demokratis, dan religius dengan bercirikan imtak, kritis argumentatif, dan
kreatif, berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat Bhineka
Tunggal Ika, berorganisasi secara sadar dan bertanggung jawab, memilih calon pemimpin secara
jujur-adil, menyikapi mass media secara kritis dan objektif, berani tampil dan kemasyarakatan
secara profesionalis,berani dan mampu menjadi saksi, memiliki pengertian kesejagatan, mampu
dan mau silih asah-asih-asuh antara sejawat, memahami daerah Indonesia saat ini, mengenal cita-
cita Indonesia di masa mendatang dan sebagainya.
Karakteristik masyarakat madani adalah sebagai berikut :

1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh
terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka
dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan
informasikan kepada publik.
2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga
muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi
dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan
kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan
menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui
penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi : (1) Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM)
                (2) Pers yang bebas
                (3) Supremasi hukum
                (4) Perguruan Tinggi
                (5) Partai politik
3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan
sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati
pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk
disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan
rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal
antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa,
intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki
kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan.
Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan
perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di
Indonesia diantaranya :
1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar
6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi
Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan jaman, pemberdayaan civil
society perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya sebagai berikut :

1. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan


pendidikan
2. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang “teraniaya”, tidak berdaya membela hak-hak dan
kepentingan mereka (masyarakat yang terkena pengangguran, kelompok buruh yang
digaji atau di PHK secara sepihak dan lain-lain)
3. Sebagai kontrol terhadap negara
4. Menjadi kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan (pressure group)
5. Masyarakat madani pada dasarnya merupakan suatu ruang yang terletak antara negara di
satu pihak dan masyarakat di pihak lain. Dalam ruang lingkup tersebut terdapat
sosialisasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun dari sebuah jaringan
hubungan di antara assosiasi tersebut, misalnya berupa perjanjian, koperasi, kalangan
bisnis, Rukun Warga, Rukun Tetangga, dan bentuk organisasi-organsasi lainnya.

c. Rangkuman Materi 2
1. Mayarakat madani (civil society) dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang beradab
dalam membangun, menjalani, dan mamaknai kehidupannya.
2. Masyarakat madani akan terwujud apabila suatu masyarakat telah menerapkan prinsip-
prinsip demokrasi dengan baik.
3. Karakteristik masyarakat madani adalah :

(1) Free public sphere (ruang publik yang bebas)


(2) Demokratisasi
(3) Toleransi
(4) Pluralisme
(5) Keadilan sosial (social justice)
(6) Partisipasi sosial
(7) Supremasi hukum

d. Penugasan
Buatlah kliping perorangan tentang peranan organisasi masyarakat LSM) dalam tugas
mengontrol kerja pemerintah, kemudian dianalis

MASYARAKAT MADANI: AKTUALISASI PROFESIONALISME


COMMUNITY WORKERS DALAM MEWUJUDKAN
MASYARAKAT YANG BERKEADILAN
 

DR. EDI SUHARTO MSC

PENGANTAR

Ketika mahasiswa memberikan judul orasi ilmiah: “Aktualisasi Profesionalisme


Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Yang Berkeadilan”. Ada
dua kata yang langsung masuk ke pusat kesadaran saya: yakni mengenai kata
community workers dan kedua mengenai kata masyarakat madani yang berkeadilan.
Mengapa istilah community workers tidak dicarikan padanannya dalam bahasa
Indonesia? Mengapa istilah masyarakat madani harus disertai dengan kata “yang
berkeadilan”? 

Saya mencoba memahami. Soal community workers, saya yakin, mahasiswa bukannya
tidak mengetahui terjemahan community workers yang secara harafiah bisa di-
Indonesiakan menjadi para pekerja (sosial) masyarakat. Namun saya juga tahu bahwa
istilah pekerja sosial masyarakat telah mengalami erosi dan degradasi makna. Saya
yakin mahasiswa keberatan dengan istilah itu karena pekerja sosial masyarakat bisa
menunjuk pada para pekerja sosial volunteer sebagai kontraposisi dari pekerja sosial
profesional.
 

Lantas bagaimana soal masyarakat madani yang berkeadilan? Apakah jika istilah
“masyarakat madani” tanpa tambahan kata sifat “yang berkeadilan” memiliki arti yang
berbeda atau setidaknya tidak sesuai dengan arti “masyarakat madani” yang sejati?
Untuk soal ini saya mencoba menerka-nerka. Mungkin mahasiswa tahu bahwa ternyata
makna masyarakat madani bisa merosot menjadi sebuah makna masyarakat lain yang
tidak sejalan dengan visi dan misi civil society. Atau mungkin mahasiswa ingin
menunjukkan sebuah makna baru dari istilah masyarakat madani?

Yang ingin saya tunjukkan dari paparan di atas adalah bahwa memang masih banyak
tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pekerja sosial, khususnya community workers,
dalam mengaktualisasikan jati dirinya. Apalagi tantangan-tantangan dalam kaitannya
dengan tujuan profesionalismenya, yakni mewujudkan masyarakat madani. Tantangan-
tantangan tersebut masih belum beranjak dari persoalan epistemologi. Dengan sedikit
modifikasi pada judulnya, sebagian besar dari makalah ini ingin mencoba menyingkap
tirai itu. Kemudian akan mencoba mengusulkan sebuah pandangan baru, yang oleh
Anthony Gidden disebut sebagai “Jalan Ketiga”.

DUA PARADIGMA

Untuk memahami akar pengertian masyarakat madani ada baiknya, kita tengok secara
sepintas dua paradigma besar yang menjadi dasar perdebatan mengenai masyarakat
madani, yaitu Demokrasi Sosial Klasik dan Neoliberalisme (lihat Giddens, 2000: 8-17).

1. Demokrasi Sosial Klasik.

Demokrasi Sosial Klasik atau Demokrasi Sosial Gaya Lama memandang pasar bebas
sebagai sesuatu yang menghasilkan banyak dampak negatif. Faham ini percaya bahwa
semua ini dapat diatasi lewat intervensi negara terhadap pasar. Negara memiliki
kewajiban untuk menyediakan segala yang tidak bisa diberikan oleh pasar. Intervensi
pemerintah dalam perekonomian dan sektor-sektor kemasyarakatan adalah mutlak
diperlukan. Kekuatan publik dalam masyarakat demokratis adalah representasi dari
kehendak kolektif. Secara ringkas, Giddens (2000:8) memberikan ciri-ciri Demokrasi
Sosial Klasik:

 Keterlibatan negara yang cukup luas dalam kehidupan ekonomi dan sosial.
 Negara mendominasi masyarakat madani
 Kolektivisme.
 Manajemen permintaan Keynesian dan korporatisme.
 Peran pasar yang dibatasi: ekonomi sosial atau campuran.
 Pemberdayaan sumber daya manusia secara maksimal.
 Egalitarianisme yang kuat.
 Negara kesejahteraan (welfare state) yang komprehensif: melindungi warga
negara “sejak lahir sampai mati”.
 Modernisasi linear.
 Kesadaran ekologis yang rendah.
 Internasionalisme.
 Termasuk dalam dunia dwikutub (bipolar).

2. Neoliberalisme

Neoliberalisme dikenal juga dengan Thatcherisme (Margaret Thatcher adalah mantan


PM Inggris yang sangat setia mengikuti faham neoliberalisme semasa berkuasa).
Apabila Demokrasi Sosial Klasik cenderung pro pemerintah, maka ciri utama
Neoliberalisme adalah memusuhi pemerintah. Edmund Burke, pelopor konsevatisme di
Inggris, menyatakan dengan jelas ketidaksukaannya kepada negara. Jika perluasan
perannya terlalu jauh dapat mematikan kebebasan dan kemandirian. Pemerintahan
Reagan dan Thatcher mendasarkan diri pada gagasan ini dan menganut skeptisisme
liberal klasik mengenai peran negara. Intinya peran negara tidak dibenarkan secara
ekonomis dan harus digantikan oleh superior pasar. Menuut Giddens (2000:9):Ciri-ciri
Neoliberalisme adalah: 

 Pemerintah minimal.
 Msyarakat madani yang otonom
 Fundamentalisme pasar.
 Otoritarianisme moral dan individualisme ekonomi yang kuat.
 Kemudahan pasar tenaga kerja.
 Penerimaan ketidaksamaan.
 Nasionalisme tradisional.
 Negara kesejahteraan sebagai jaring pengaman
 Modernisasi linear.
 Kesadaran ekologis yang rendah.
 Teori realis tentang tatanan internasional.
 Termasuk dalam dunia dwikutub.

  

MASYARAKAT MADANI
 

Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau
sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia
berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat
militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan
untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of
government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa
karakteristik masyarakat madani, diantaranya:

1.      Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam


masyarakat  melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.

2.      Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi


dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.

3.      Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara


dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.

4.      Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena


keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-
masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.

5.      Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim


totaliter.

6.      Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu 


mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.

7.      Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial


dengan berbagai ragam perspektif.

Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah
sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-
kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya
bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di
wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali
jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair
yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus.
Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai
masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi
masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerinthana demokratis
yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil
yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sbb:
 

1.   Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.

2.   Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital)
yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan
dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok. 

3.   Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain 
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.

4.   Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga 


swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama
dan  kebijakan publik dapat dikembangkan.

5.   Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling 
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.

6.   Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga


ekonomi,  hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.

7.   Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan


kemasyarakatan  yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar
mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.

Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon.
Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang
tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak
azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai
dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-
rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah
entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:

1.   Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe


pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi
kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-
mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan
keadilan sosial. 

2.   Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara


berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap
minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan
kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk
mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara
integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata
Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan,
pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.” 

      Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu
kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi
oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior
dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual,
organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap
dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala
kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok
tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu
lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan
terhadap lembaga lainnya.

3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan


terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise.
Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian
dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau
sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam
masyarakat.

Sementara itu komunalisme adalah perasaan superioritas yang berlebihan terhadap


kelompoknya sendiri dan memandang kelompok lain sebagai lawan yang harus
diwaspadai dan kalau perlu dibinasakan.

AGENDA JALAN KETIGA

Bagaimana mewujudkan masyarakat madani yang berkeadilan. Agenda Jalan Ketiga


dapat dijadikan pedoman oleh para community workers dalam menjalankan tugas-tugas
profesionalnya di masyarakat. Dalam garis besar agenda itu mencakup dua hal, yaitu:
Politik Jalan Ketiga dan Program Jalan Ketiga (Giddens, 2000: 76-80):

Politik Jalan Ketiga:

 Persamaan
 Perlindungan atas mereka yang lemah.
 Kebebasan sebagai otonomi.
 Tak ada hak tanpa tanggungjawab.
 Tak ada otoritas tanpa demokrasi.
 Pluralisme kosmopolitan.
 Konservatisme filosofis.
 Program Jalan Ketiga:
 Negara demokratis baru (negara tanpa musuh).
 Masyarakat madani yang aktif.
 Keluarga demokratis.
 Ekonomi campuran baru.
 Kesamaan sebagai inklusi.
 Kesejahteraan positif.
 Negara berinvestasi sosial (social investemnt state).
 Bangsa kosmopolitan.
 Demokrasi kosmopolitan
 Startegi untuk menjalankan Agenda Jalan Ketiga meliputi empat hal (lihat
Blakeley dan Suggate, 1997):

1. Membangun masyarakat dalam membantu pencapaian tujuan-tujuan pemerintah.


Peningkatan investasi-investasi sosial dan pendistribusian pelayanan-pelayanan
sosial dasar yang lebih luas dan adil.

2. Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Strategi ini


meliputi desentralisasi pembuatan keputusan dan peningkatan program-program
pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat
dalam merealisasikan kepentingan-kepentingannya. 

3. Peningkatan masyarakat dan perlindungan hak azasi manusia, kebebasan


berorganisasi dan menyatakan pendapat, penetapan struktur-struktur hukum bagi
lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

4. Peningkatan partisipasi masyarakat. Strategi ini ditujukan untuk memberikan


kesempatan pada masyarakat agar dapat memberikan masukan bagi perumusan
kebijakan dan praktek-praktek pemerintahan yang menjamin konsultasi dan
pengakuan hakiki terhadap fungsi-fungsi organisasi-organisasi lokal.

Sejatinya, agenda utama bagi para community workers dalam mewujudkan masyarakat
yang berkeadilan adalah mengetahui visi dan makna yang sesungguhnya dari
community workers dan masyarakat madani. Seperti kata adagium: visi tanpa aksi
adalah mimpi, sedangkan aksi tanpa visi adalah kegiatan sehar-hari.

CATATAN
 

1. Makalah disajikan pada Orasi Ilmiah dalam Pembentukan HIMA Jurusan


Pengembangan Sosial Masyarakat (PSM) STKS Bandung, Senin 21 Oktober 2002.

2.   Penulis, yang lahir di Jatiwangi, Majalengka tanggal 6 Nopember 1965, adalah staf
pengajar STKS dan UNPAS Bandung. Setelah menamatkan Sarjana Pekerjaan
Sosial di STKS Bandung tahun 1990, penulis melanjutkan studi S2 di Asian Institute
of Technology (AIT) Bangkok dan memperoleh MSc pada tahun 1994. Pada tahun
2002 belum lama ini, penulis baru saja kembali dari New Zealand setelah
memperoleh PhD dari Massey University. Area of interest-nya antara lain: Poverty,
The Urban Informal Sector, Community Development, Social Work Research, Social
Planning dan Social Policy.

BAHAN BACAAN

Bahmueller, CF (1997), The Role of Civil Society in the Promotion and Maintenance of
Constitutional Liberal Democracy, http:civnet.org/civitas/panam/papers/ bahm.htm. 

Blakeley, Roger dan Diana Suggate (1997), “Public Policy Development”, dalam David
Robinson, Social Capital and Policy Development, Victoria: Institute of Policy Studies,
hal. 80 - 100.

DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992), Social Work: An Empowering
Profession, Boston: Allyn and Bacon.

Giddens, Anthony (2000), Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama

Kleden, Ignas (2000), “Epistemologi Kekerasan di Indonesia”, dalam Indonesia di


Persimpangan Kekuasaan: Dominasi Kekerasan atas Dialog Publik, Jakarta: The Go-
East Institute, hal.1-7.

Anda mungkin juga menyukai