Anda di halaman 1dari 22

Presentasi Kasus

PRE EKLAMPSIA BERAT

Oleh :
Mutia Farah Fawziah D.F G0005130

Pembimbing :
Drs. Soetarno, Apt, SU

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Status Penderita
I. ANAMNESA
Tanggal 3 Agustus 2010
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SLTP
Alamat : Keronkidul RT 2/6 Wuryorejo Wonogiri
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Nama Suami : Tn. P
Pekerjaan : Wiraswasta
HPMT : 14 November 2009
HPL : 21 September 2010
UK : 37+3 minggu
Tanggal Masuk : 3 Agustus 2010
CM : 01021477
Berat Badan : 55 kg
Tinggi badan : 154 cm

B. Keluhan Utama
Tensi tinggi

1
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G1P0A0, 20 tahun, kiriman RSUD Sangiran dengan keterangan
G1P0A0 PEB dengan partial HELLP syndrome. Pasien merasa hamil 9
bulan lebih, kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, gerak janin masih
dirasakan, air ketuban belum dirasakan keluar, lendir darah (-), nyeri
kepala depan (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-), muntah (-), sesak
nafas (-), batuk (-). Dari RSUD Sangiran diberi terapi MgSO4 40% 8
gram dan Nifedipin 10 mg (Tekanan darah 180/110, hasil lab tidak
disertakan).

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat DM : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Sakit Jantung : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal

E. Riwayat Fertilitas
Baik

F. Riwayat Obstetri
Belum diketahui

G. Riwayat Ante Natal Care (ANC)


Teratur di bidan

H. Riwayat Haid
Menarche : 12 tahun
Lama menstruasi : 7 hari
Siklus menstruasi : 28 hari

I. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, 1 tahun dengan suami sekarang

2
J. Riwayat KB
Pasien tidak KB.

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Interna
Tanggal 3 Agustus 2010
Keadaan Umum : baik, compos mentis, gizi cukup
Tanda vital :
T : 160/110 mmHg Rr : 20 x/ menit
N : 88 x/ menit S : 36,7 0C
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
THT : Tonsil tidak membesar, pharing hiperemis (-)
Leher : Gld. thyroid tidak membesar, limfonodi tidak membesar
Thorax : Glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae
hiperpigmentasi (+)
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor / sonor
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), ST (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut > dinding dada,
stria gravidarum (+)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak membesar,
lien tidak membesar.

3
Perkusi : Timpani pada daerah bawah processus
xyphoideus, redup pada daerah uterus
Genital : Lendir darah (-), air ketuban (-)
Ekstremitas : Oedem Akral dingin
- - - -

+ + - -
B. Status Obstetri
Inspeksi
Kepala : Cloasma gravidarum (+)
Mata : Conjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Thoraks : Glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae
hiperpigmentasi (+)
Abdomen : Dinding perut > dinding dada, striae gravidarum (+)
Genetalia Eksterna : vulva/uretra tenang, lendir darah (-), peradangan
(-), tumor (-)
Palpasi
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uteri,
memanjang, punggung di kanan, presentasi kepala,
kepala masuk panggul < 1/3 bagian, TBJ = 2790 gram,
His (-), DJJ (+) 12-11-12/reg
Pemeriksaan Leopold :
I : Teraba tinggi fundus uteri setinggi tiga jari di bawah processus
xiphoideus, teraba bagian besar dan lunak di fundus, kesan bokong
II : Teraba bagian besar janin di sebelah kanan, kesan punggung,
bagian kecil di sebelah kiri
III : Teraba bagian besar dan keras, kesan kepala
IV : Bagian terendah janin masuk panggul < 1/3 bagian
Ekstremitas : Oedem (+) akral dingin (-)

4
Auskultasi
DJJ (+) 12-11-12/reg
Pemeriksaan Dalam (VT) :
V/U tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak,
mendatar,effacement 20%, pembukaan (-), kulit ketuban belum dapat
dinilai, preskep, kepala turun di Hodge II, penunjuk belum dapat dinilai,
AK (-), STLD (-), Bishop score : 5.

III.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 3 Agustus 2010
Urinalisa
Protein : +2

Lab Darah
Hb : 13,6 g/dl Na : 140 mmol/L
Hct : 38 % K : 3,8 mmol/L
AE : 4,15. 106 /μL Cl : 109 mmol/L
AL : 7,8. 103 /μL Albumin : 3,4 mg/d
AT : 162. 103 /μL
Gol darah :O SGOT : 25 ug/dl
GDS : 84 mg/dl SGPT : 17 ug/dl
Ureum : 17 mg/dl LDH : 499 ug/dl
Kreatinin : 0,5 mg/dl
HbsAg : (-)

USG
Tampak janin tunggal, intra uteri, memanjang, presentasi kepala, punggung
kanan, DJJ (+), dengan fetal biometri :
BPD : 90 mm AC : 326 mm
FL : 70 mm EFBW : 2710 gram

5
Plasenta berinsersi di corpus sampai ke SBR tidak menutupi OUE. Air
ketuban kesan cukup. Tak tampak jelas kelainan kongenital mayor.
Kesan : saat ini janin dalam keadaan baik

IV. KESIMPULAN
Seorang G1P0A0, 20 tahun, dengan riwayat fertilitas baik, riwayat
obstetric belum diketahui, teraba janin tunggal, intra uterin, presentasi kepala,
punggung kanan, kepala masuk panggul < 1/3 bagian, taksiran berat janin
2700 gram, DJJ (+), His (-), portio lunak mendatar, kulit ketuban dan
penunjuk belum dapat dinilai, kepala turun di Hodge II, AK (-), STLD (-).
Tensi 160/110. Protein urin : +2.

V. DIAGNOSIS
PEB pada primigravida hamil aterm belum dalam persalinan

VI. PROGNOSIS
jelek

VII. TERAPI
- Rencana terminasi kehamilan : SCTP emergency
- Protap PEB :- O2 3L/menit
- Inf RL 12 tpm
- Nifedipin 10 mg bila TD > 180/110 mmHg
- Inj MgSO4 40% 4 g/6jam bila syarat terpenuhi
- Pasang DCBC
- EKG
- NST

VIII. PENULISAN RESEP


R/ Ringer Laktat Infuse flabot No.II
Cum Infus set No.I

6
Abbocath No.20 No.I
Triway No.I
IV 3000 No.I
∫imm
R/Dower catheter No.16 No.I
Cum urine bag No.I
Aquabidest flac No.I
Spuit cc 10 No.I
∫imm
R/ Injeksi Magnesium Sulfat 40% flacon No.II
cum disposable syringe cc 10 No.IV

∫imm

R/Nifedipin tab mg 10 No.V

∫prn

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. PRE EKLAMPSIA
1. Definisi
Pre eklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang
didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu. (POGI, 2005). Dulu, pre
eklampsia didefinisikan sebagai penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,
edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Namun kini
edema tungkai tidak dipakai lagi sebagai kriteria hipertensi kecuali
edema anaserka. Penyakit ini terjadi pada triwulan ke 3 kehamilan tetapi
dapat juga terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa (Sarwono,
2008; POGI,2005)
Pada kasus yang diabaikan atau yang lebih jarang terjadi, pada
kasus hipertensi karena kehamilan yang fulminan dapat terjadi
eklampsia. Bentuk serangan kejangnya ada kejang ‘grand mal’ dan
dapat timbul pertama kali sebelum, selama, atau setelah persalinan.
Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik. Tanda-tanda dari kejang
tonik ialah dengan dimulainya gerakan kejang berupa twitching dari
otot-otot muka khususnya sekitar mulut, yang beberapa detik kemudian
disusul kontraksi otot-otot tubuh yang menegang, sehingga seluruh
tubuh menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah penderita mengalami
distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan fleksi, tangan menggenggam,
kedua tungkai dalam posisi inverse. Semua otot tubuh pada saat ini
dalam keadaan kontraksi tonik. Keadaan ini berlangsung 15-30 detik.
Kejang tonik segera disusul dengan kejang klonik. Kejang klonik
dimulai dengan terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutup kembali
dengan kuat disertai pula dengan terbuka dan tertutupnya kelopak mata.
kemudian disusul dengan kontraksi intermiten pada otot-otot muka dan

8
otot-otot seluruh tubuh. Kejang karena eklampsia dapat muncul kembali
pada saat postpartum. Sering selama beberapa jam sampai beberapa hari
post partum. Diuresis (> 4 L/ hari) diyakini sebagai indikator klinis yang
paling akurat dari pulihnya preeklampsia atau eklampsia, tetapi hal ini
tidak menjamin tidak berulangnya kejang. Dapat pula terjadi eklampsia
postpartum lanjut (kejang eklamptik yang berkembang > 48 jam
postpartum, namun < 4 minggu postpartum) pada 25% kasus postpartum
dan > 16% dari seluruh kasus eklampsia (Cunningham, 1995;
Pangemanan, 2002; Sarwono, 2008).
Eklampsia yang terjadi dalam kehamilan menyebabkan kelainan
pada susunan saraf. Penyebab eklampsia adalah kurangnya cairan darah
ke otak akibat vasospasme, hipoksik otak atau edema otak (Rustam
Mochtar, 1998).
PEB dapat menjadi impending eklampsia. Impending eklampsia
ditandai dengan adanya hiperrefleksi. Gejala subyektif dari pasien yaitu
jika pasien merasa kepalanya pusing, muntah, atau adanya nyeri
epigastrik (Turn bull, 1995).
2. Etiologi
Penyebab pre eklampsia sampai sekarang belum diketahui pasti.
Banyak teori yang dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, tetapi tidak satupun teori tersebut dianggap mutlak benar.
Teori-toeri yang sekarang banyak dianut adalah teori kelainan
vaskularisasi plasenta, teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan
disfungsi endotel, teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin, teori
adaptasi kardiovaskulatori genetic, teori defisiensi gizi, dan teori
inflamasi. (Sarwono,2008 ).
Vasospasme merupakan dasar patofisiologi pre eklampsia dan
eklampsia. Konsep ini yang pertama kali diajukan oleh Volhard (1918)
(Cunningham, et al., 1995).
Sekarang ini tiga hipotesis menempati penyelidikan utama,
hipotesis pertama menghubungkan pre eklampsia dengan faktor

9
imunologi (ketidakcocokan berlebihan antara ibu dengan anak),
hipotesis kedua menghubungkan sindrom prostalglandin yang
menimbulkan ketidakseimbangan diantara vasodilator PG2 dan
prostasiklin serta rangkaian vasokonstriktor PGF dan tromboksan,
hipotesis ketiga menghubungkan pre eklampsia dengan iskhemii
uteroplasenta (Neville, dkk., 2001).
Rupanya tidak hanya satu faktor melainkan banyak faktor yang
menyebabkan pre eklampsia dan eklampsia. Diantara faktor-faktor yang
ditemukan seringkali sukar ditentukan mana yang sebab dan mana yang
akibat (Sarwono, 2002).
Faktor risiko yang meningkatkan terjadinya preeclampsia antara
lain (POGI, 2005):
1. Risiko yang berhubungan dengan partner laki
a. Primigravida
b. Primipaternity
c. Umur yang ekstrim: terlalu muda atau terlalu tua untuk kehamilan
d. Partner laki yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil
dan mengalami preeclampsia
e. Pemaparan terbatas pada sperma
f. Inseminasi donor dan donor oocyte
2. Risiko yang berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu dan
riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat pernah preeclampsia
b. Hipertensi kronik
c. Penyakit ginjal
d. Obesitas
e. Diabetes gestasional, DM tipe I
f. Antiphospolipid antibodies dan hiperhomosisteinemia
3. Riwayat yang berhubungan dengan kehamilan
a. mola hidatidosa
b. kehamilan multiple

10
c. infeksi saluran kencing pada kehamilan
d. hydrops fetalis

3. Patofisiologi
Pada pre eklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan
retensi garam dan air. Jika semua arteriolae pada tubuh mengalami
spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi
kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi jaringan tetap tercukupi.
Sedangkan kenaikan berat badan dan oedem yang disebabkan oleh
penimbunan air yang berlebihan dalam ruang interstisial belum diketahui
sebabnya, mungkin karena retensi garam dan air. Proteinuria dapat
disebabkan oleh perubahan fungsi ginjal berupa menurunnya aliran darah
ke ginjal akibat hipovolemia sehingga terjadi oligouria bahkan anuria,
spasme arteriolae menyebabkan perubahan pada glomerulus berupa
kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas
membrane basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan
proteinuria (Rustam Mochtar, 1998; Sarwono, 2008).
Hipertensi merupakan tanda terpenting guna menegakkan
diagnosis hipertensi dalam kehamilan. Tekanan diastolik menggambarkan
resistensi perifer, sedangkan tekanan sistolik menggambarkan besaran
curah jantung.
Pada preeclampsia peningkatan reaktivitas vascular dimulai umur
kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi dideteksi umumnya pada trimester
II. Tekanan darah pada preeclampsia bersifat labil dan mengikuti irama
sirkadian normal. Tekanan darah menjadi normal beberapa hari pasca
persalinan, kecuali beberapa kasus preeclampsia berat kembalinya tekanan
darah dapat terjadi 2-4 minggu pasca persalinan.
Proteinuria terjadi akibat perubahan fungsi ginjal. Bila proteinuria
timbul sebelum hipertensi, umumnya merupakan penyakit ginjal. Bila
proteinuria timbul tanpa hipertensi, maka dapat dipertimbangkan sebagai

11
penyulit kehamilan. Bila proteinuria timbul tanpa kenaikan tekanan darah
diastolic > 90 mmHg, umumnya ditemukan infeksi saluran kencing atau
anemia (Sarwono, 2008).
4. Frekuensi
Untuk tiap negara berbeda karena banyak faktor yang
mempengaruhinya; jumlah primigravida, kedaan sosial ekonomi,
perbedaan dalam penentuan diagnosa. Dalam kepustakaan frekuensi di
lapangan berkisar antara 3-10%.
Pada primigravida frekuensi pre eklampsia lebih tinggi bila
dibandingkan dengan multigravida terutama primigravida muda, DM
Tipe I, Diabetes gestasional, Mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops
fetalis, umur lebih dari 35 tahun, obesitas, riwayat pernah eklampsia,
hipertensi kronik, dan penyakit ginjal, merupakan faktor predisposisi
untuk terjadinya pre eklampsia (Sarwono, 2002).
5. Klasifikasi
Pre eklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Pre eklampsia ringan
Kriteria diagnostik :
 Tekanan darah  140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang;
atau kenaikan sistolik  30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik
 15 mmHg.
 Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan
dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
 Proteinuria kuantitatif  0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada
urin kateter atau mid stream
 Oedema : lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria
diagnostik kecuali anasarka.
b. Pre eklampsia berat
Pre eklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:
1. Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110
mmHg atau lebih

12
2. Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam
3. Oliguria, air kencing kurang dari atau sama dengan 400 cc dalam
24 jam.
4. Kenaikan kreatinin serum
5. Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan
abdomen
6. Terjadi oedema paru-paru dan sianosis
7. Terjadi kelainan serebral dan gangguan penglihatan
8. Terjadi gangguan fungsi hepar
9. Hemolisis mikroangiopatik
10. Trombositopenia (< 100.000 sel/mm3)
11. Sindroma Hellp. (POGI, 2005; Sarwono, 2008; Rustam Mochtar,
1998)
6. Diagnosis
Diagnosis pre eklampsia didasarkan atas adanya hipertensi dan
proteinuria.(POGI, 2005)
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran.
Dengan adanya tanda dan gejala pre eklampsia yang disusul oleh
serangan kejang, maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan.
(Budiono, 1999)
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah
gejala-gejala oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan
obyektif. Gejala subyektif antara lain : nyeri kepala, gangguan visual dan
nyeri epigastrium. Sedangkan gejala obyektif antara lain : hiperreflexia,
eksitasi motorik dan sianosis. (M. Dikman Angsar, 1995)
7. Pencegahan
Yang dimaksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah
terjadinya pre eklampsia pada wanita hamil yang mempunyai resiko
terjadinya pre eklampsia.(POGI,2005)
Penerangan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam
pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring di tempat tidur,

13
namun pekerjaan sehari-hari perlu dikurangi dan dianjurkan lebih
banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak,
karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan
perlu dianjurkan. Mengenal secara dini preeklamsi dan segera merawat
penderita tanpa memberikan diuretik dan obat antihipertensi. Memang
merupakan kemajuan dari pemeriksaan antenatal yang baik (Sarwono,
2002).

8. Diagnosis Banding
- Hipertensi gestasional
- Hipertensi menahun superimposed preeclampsia
- Penyakit ginjal
- Epilepsi
9. Penanganan
Prinsip penatalaksanaan pre eklampsia berat adalah mencegah
timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan
intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi
dengan selamat (Sarwono, 2008).
Pada pre eklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu
pengeluaran trofoblast. Pada pre eklampsia berat, penundaan merupakan
tindakan yang salah. Karena pre eklampsia sendiri bisa membunuh janin
(Cunningham, et al., 1995).
PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna, dan
kemudian ditentukan jenis perawatan / tindakannya. Perawatannya dapat
meliputi :
a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri setelah
mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.
Indikasi :
Bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini
1). Ibu :
a). Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :

14
- Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,
terjadi kenaikan darah yang persisten
- Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,
terjadi kenaikan desakan darah yang persisten
b). Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c). Gangguan fungsi hepar
d). Gangguan fungsi ginjal
e). Dicurigai terjadi solutio plasenta
f). Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan
2). Janin :
a). Umur kehamilan lebih dari 37 minggu
b). Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari NST
nonreaktif dan profil biofisik abnormal)
c). Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat
(IUGR berat) berdasarkan pemeriksaan USG
d). Timbulnya oligohidramnion
3). Laboratorium :
Trombositopenia progresif yang menjurus ke HELLP syndrome
(POGI, 2005).
Pengobatan Medisinal (POGI, 2005, Sastrawinata, 2005, Sarwono,
2008):
1). Segera masuk rumah sakit
2). Tirah baring ke kiri secara intermiten
3). Ringer Dextrose 5% jumlah tetesan <125 cc/jam atau Infus
Dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse
Ringer Laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.
4). Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan
terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis
lanjutan.
Cara pemberian:
Magnesium sulfat regimen

15
 Loading dose: initial dose
4 gram MgSO4: intravena, (40% dalam 10 cc) selama 15
menit atau
8 gram MgSO4 40% (20 cc) IM, 4 g bokong kanan, 4 g
bokong kiri
 Maintenance dose:
Diberikan 4 gram MgSO4 40% IM setiap 6 jam sekali
setelah dosis awal.
 Syarat-syarat pemberian MgSO4:
 Harus tersedia antidotum, yaitu Kalsium glukonas
10 % (1 gram dalam 10 cc)
 Frekuensi pernapasan > 16 kali permenit
 Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya > 100 cc:
0,5 cc/kgBB/jam
 Refleks patella positif
 Magnesium sulfat dihentikan apabila
 Ada tanda-tanda intoksikasi
 Setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setelah
kejang terakhir
 Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
 Dosis terapeutik 4-7 mEq/L
 Hilangnya reflex tendon 10 mEq/L
 Terhentinya pernapasan 15 mEq/L
 Terhentinya jantung > 30 mEq/L
Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka
diberikan salah satu obat berikut:
 100 mg IV sodium thiopental
 10 mg IV diazepam
 250 mg IV sodium amobarbital
 Phenytoin

16
 Dosis awal 1000 mg IV
 16,7 mg/menit/1 jam
 500 g oral setelah 10 jam dosis awal dalam 14 jam
5). Anti hipertensi
 Diberikan bila tensi ≥ 180/110 atau MAP > 126
 Anti hipertensi lini pertama
 Jenis obat: Nifedipine : 10-20 mg oral diulangi
setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam.
 Nifedipine tidak dibenarkan diberikan dibawah
mukosa lidah (sublingual) karena efek vasodilatasi
sangat cepat, sehingga hanya boleh diberikan per
oral.
 Desakan darah diturunkan bertahap:
o Penurunan awal 25 % dari desakan sistolik
o Desakan darah diturunkan mencapai
<160/105 atau MAP< 125
 Anti hipertensi lini kedua
 Sodium nitroprusside: 0,25 mikrogram iv/kg/menit,
infuse; ditingkatkan 0,25 mikrogram iv/kg/5 menit
Jenis obat yang diberikan di Amerika adalah hidralazin
(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator
langsung pada arteriole yang menimbulkan reflex takikardia,
peningkatan cardiac output, sehingga memperbaiki perfusi
uteroplasenter. Obat-obat yang tersedia dalam bentuk suntikan di
Indonesia ialah Klonidin (Catapres). Satu ampul mengandung
0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan
garam faali atau larutan air untuk suntikan.
6). Diuretikum tidak dibenarkan diberikan secara rutin, karena
dapat memperberat penurunan perfusi plasenta, memperberat
hipovolemia, dan meningkatkan hemokonsentrasi,

17
menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat
janin. Diuretikum hanya diberikan atas indikasi edema paru,
payah jantung kongestif, edema anasarka. Diuretikum yang
dipakai adalah Furosemide.
7). Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
(POGI, 2005).
b. Pengelolaan Konservatif, yang berarti kehamilan tetap
dipertahankan sehingga memenuhi syarat janin dapat dilahirkan,
meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu.
Indikasi :
Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda
impending eklamsi dengan keadaan janin baik.
Pengobatan Medisinal :
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif.
Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja
(MgSO4 40% 8 gr i.m.) (Hidayat W., dkk., 1998).
Penggunaan obat hipotensif pada pre eklampsia berat
diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan
kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Apabila terdapat
oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20 % secara intravena.
Obat diuretika tidak diberikan secara rutin.
Untuk penderita pre eklampsia diperlukan anestesi dan
sedativa lebih banyak dalam persalinan. Pada kala II, pada penderita
dengan hipertensi, bahaya perdarahan dalam otak lebih besar,
sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi, hendaknya persalinan
diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat janin, dalam kala I,
dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II dilakukan ekstraksi
dengan cunam atau ekstraktor vakum (Budiono, 1999).
10. Prognosis

18
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu
antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2 –
48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan
antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya sering terlambat
mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena perdarahan otak,
decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan aspirasi cairan
lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intra
uterin.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Bari S., 2003. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. PB
POGI, FKUI. Jakarta.

Abdul Bari S., George andriaanzs, Gulardi HW, Djoko W, 2000, Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Anonim. 1995. Protokol Penanganan Kasus Obstetri dan Ginekologi. RS dr.


Moewardi. Surakarta.

Budiono Wibowo. (1999). Pre eklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta

Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark, 1997,


William’s Obstetrics 20th Prentice-Hall International,Inc.

Hariadi, R., 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan


Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia

Haryono Roeshadi. (2004). Sindroma HELLP dalam Ilmu Kedokteran Maternal.


Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Surabaya.

Hidayat W., 1998. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi,
RSUP dr.Hasan Sadikin. Edisi ke-2. Penerbit: SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Univ. Padjajaran, RSUP dr.Hasan Sadikin, Bandung.

Kelompok Kerja Penyusunan “Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam


Kehamilan di Indonesia”.,2005. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI.

Loekmono Hadi, 2003. Pre eklampsia. Catatan kulih Obgyn. UNS.

M. Dikman Angsar. 1995. Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan (EPH-


Gestosis). Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR/RSUD Dr. Sutomo.

Neville, F. Hacker, J. George Moore. 2001. Esensial Obstetri dan Ginekologi.


Hipokrates, Jakarta.

Rustam Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi.


Editor: Delfi Lutan, EGC, Jakarta.

Rijanto Agung. (1995). Tinjauan Kepustakaan : Sindroma HELLP. Fakultas


Kedokteran UNAIR. Surabaya

20
Sarwono Prawirohardjo dan Wiknjosastro. 2008. Ilmu kandungan. FK UI, Jakarta

Sastrawinata, S., 2003. Obstetri Patologi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

21

Anda mungkin juga menyukai