Anda di halaman 1dari 6

Hadrotus Syaikh K.H.

Hasyim Asy'ari

Dekat kepada Allah


Dikisahkan, ketika Hadratus Syeikh merasa amat letih karena siang harinya menghadiri kongres
Nahdatul Ulama’ di Malang, beliau tidak bisa memberikan pelajaran di malam hari kepada para
santri. Sehabis salat Isya beliau beristirahat tidur sangat pulas. Kiai Hasyim baru bangun pada
pukul setengah tiga malam. Beliau langsung mengambil air wudhu, berpakaian rapi dan
menjalankan salat tahajjud. Meskipun pada siang harinya belum makan, beliau tidak juga makan
di malam hari, padahal persediaan makanan masih ada. Selesai salat tahajjud diiringi dengan
wirid dan doa yang panjang, beliau mengambil al-Qur’an lalu dibacanya dengan perlahan-lahan
sambil menghayati maknanya. Ketika sampai pada surat Ad-Dzariyat ayat 17-18 yang artinya:
Mereka (para shahabat Nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu sahur (akhir
malam) mereka memohon ampun [Ad-Dariyat:17-18].
Seketika itu beliau menghentikan bacaannya. Lalu terdengar suara tangis terisak-isak. Sejurus
kemudian air mata telah membasahi jenggotnya yang sudah memutih. Kiai Hasyim merasa
bahwa pada malam itu beliau terlalu banyak tidur. Sambil menengadahkan tangan, beliau
berdo’a, ”Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, dan berilah hamba kekuatan serta
ketabahan untuk melaksanakan segala perintah-perintah-Mu.” Kemudian beliau bangkit dari
tempat duduknya menuju tempat salat, lalu bersujud kepada Allah memohon ampun. Lisannya
terus membaca tasbih.
Peristiwa seperti ini terjadi berulangkali. Setiap kali membaca ayat-ayat tentang siksa, ancaman,
dan murka Allah, atau ayat-ayat yang menerangkan perintah-perintah Allah yang terlupakan oleh
kaum muslimin, beliau selalu meneteskan air mata.
***
Suatu malam, Kiai Hasyim berniat tidur sejenak guna mengistirahatkan badan. Ketika sampai di
tempat tidur, terdengar suara seorang santri dari masjid sedang membaca al-Qu’an surat al-
Muzammil: 1-9 yang artinya:
”Wahai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari
kecuali sedikit (dari padanya). Atau lebih dari seperdua (malam), dan bacalah al-Quran dengan
perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu
itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu di siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).
Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah)
Tuhan masyriq dan maghrib, tiada tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Dia sebagai
pelindung.” [al-Muzammil: 1-9]
Mendengar ayat itu, Kiai Hasyim yakin bahwa ini adalah teguran dari Allah Swt. melalui
santrinya. Allah menegurnya agar tetap beribadah, jangan bermalas-malasan menuruti hawa
nafsu. Akhirnya keinginan untuk tidur dibatalkan.
***
Diceritakan pula, pada tahun 1943, Kiai Hasyim diserang demam yang sangat hebat. Ketika telah
masuk waktu zuhur, beliau memaksakan diri bangkit dari tempat tidur menuju kolam untuk
mengambil air wudhu’. Beliau berjalan sambil dipapah oleh kedua putranya. Setelah mengambil
air wudhu’, beliau memakai baju rapi disertai sorban untuk menuju masjid. Melihat hal ini, salah
seorang putranya, Abdul Karim, berkata, ”Ayah, demam ayah sangat parah. Sebaiknya ayah salat
di rumah saja!”
Beliau menjawab, ”Ketahuilah anakku, api neraka itu lebih panas dari pada demamku ini!”
Kemudian beliau bangkit dari duduknya dan berjalan menuju masjid dengan dipapah.
Sepulang dari masjid, penyakitnya semakin parah. Sanak famili dan putra-putrinya berdatangan.
Badannya terbujur lemah di atas tempat tidur. Kedua matanya terpejam tak sadarkan diri. Tapi
tak lama kemudian, matanya terbuka seraya meneteskan air mata.
Adik perempuannya bertanya, ”Di manakah yang terasa sakit, kakak?”
Dengan nada sedih, Kiai Hasyim menjawab, ”Aku menangis bukan karena penyakitku, bukan
pula karena takut mati atau berat berpisah dengan famili. Aku merasa belum mempunyai amal
shaleh sedikitpun. Masih banyak perintah-perintah Allah yang belum aku kerjakan. Alangkah
malunya aku menghadap Allah dengan tangan hampa, tiada mempunyai amal kebaikan
sedikitpun. Itulah sebabnya aku menangis.”

Karya-Karya Kiai Hasyim


Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif.
Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang
dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab,
menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika
masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau
aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma
Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah
fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul
Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi
jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum
memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain
membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada
kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok
tanam, anjuran menegakkan keadilan, dll.

Karya-karya KH. M. Hasyim Asy'ari yang dapat di telusuri hingga saat ialah:

1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang


tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai
ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had
Tebuireng.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang
dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’. Tebal 10 halaman. Berisikan ayat-ayat al-
Qur’an yang berkaitan dengan Nahdhatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai
beberapa hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan. Pernah dicetak oleh
percetakan Menara Kudus tahun 1971 M. dengan judul, ”Ihya’ Amal al-Fudhala’ fi al-Qanun al-
Asasy li Jam’iyah Nahdhatul Ulama’”.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat
pegangan atas madzhab empat. Tebal 4 halaman, berisi tentang perlunya berpegang kepada salah
satu diantara empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat
uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbat al-ahkam), metode ijtihad, serta respon
atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid.
4. Mawaidz. Beberapa Nasihat. Berisi fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran,
mengajak merujuk kembali kepada al-Quran dan hadis, dan lain sebagainya. Testament
keagamaan ini pernah disiarkan dalam kongres Nahdhatul Ulama’ ke XI tahun 1935 di Kota
Bandung, dan pernah diterjemahkan oleh Prof. Buya Hamka dalam majalah Panji Masyarakat
no.5 tanggal 15 Agustus 1959, tahun pertama halaman 5-6.
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang
terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta
kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati,
meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat biografi singkat
Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta
syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib
bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan
kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di
salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan perbuatan mungkar,
seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau,
dll. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai
ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh
Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum
al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan
kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar
nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh
Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan
fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’. Tebal 144 halaman.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan
hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-
hak dalam perkawinan. Kitab ini biasanya dicetak bersama kitab Miftah al-Falah karya
almarhum Kiai Ishamuddin Hadziq, sehingga tebalnya menjadi 75 halaman.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam
menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab
sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer
atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya
memuat catatan editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1
sampai halaman 29.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah
an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi
Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah
fi at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih
oleh syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih pada
hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat,
syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi
al-‘Aqaid.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama
Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang
etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh
Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya
Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab
al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah
at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti:
Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii),
Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh
Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id
al-Yamani.

Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH. Hasyim
Asy'ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-
Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra

Komite Hijaz dan Pendirian NU


Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum
terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional.
Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai
organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah
Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau
Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum
Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda
pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus syeikh. Kelompok ini lahir
sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah
keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai
madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam
yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S.
Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak
pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren
dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam
Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan
keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian
terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kiai Hasyim bersama para pengasuh pesantren
lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab
Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan
niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia
atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat
Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran
internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan
bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat
berharga.
Tahun 1924, kelompok diskusi taswirul afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan
mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus syeikh KH. Hasyim
Asy'ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah,
menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum dating juga. Kiai Hasyim sangat gelisah. Dalam
hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kiai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kiai
Hasyim. Kiai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul
Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan
sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di
Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kiai Hasyim.
Ketika Kiai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung
bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil
meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kiai
Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syeikh. ”Kiai,
saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil
menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah
menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah
jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir
tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah kiai, maka
yang boleh melepasnya juga harus kiai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kiai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,”
tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kiai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syeikh
menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan
organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan,
dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kiai Hasyim dipercaya
sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di
Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan
faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan
faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain
bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan
berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta
merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.
Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera
yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh
KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kiai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali
ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam
pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al-Quran atau Hadits tanpa
mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kiai Hasyim ini
memperoleh dukungan para kiai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kiai Hasyim yang saat itu
menjadi ”kiblat” para kiai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia
(MIAI), Kiai Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya
(periode tahun 1937-1942).

sumber: http://pesantren.tebuireng.net/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30

Anda mungkin juga menyukai