Anda di halaman 1dari 17

Komplikasi dari Stroke Akut

Sangat jarang pasien stroke yang diobati dan pulang tanpa adanya komplikasi baik
komplikasi pada neurologi, pengobatan atau psikiatri. Sehingga, harus dipikirkan sesuatu akan
terjadi sebagai komplikasi dari perawatan di RS. Faktor terpenting dalam manajemen dari pasien
stroke akut adalah waspada dari potensial komplikasi dan siap untuk mengobatinya dengan cepat
dan tindakan yang agresif.(1)

Secara terlihat setiap sistem organ berada dalam resiko disfungsi selama fase akut stroke.
Infeksi sering terjadi. Problem neurologis bervariasi dari kejang sampai sindrom herniasi.
Komplikasi-komplikasi ini diulas secara singkat dalam sesi berikut ini.(1)

Pada rumah sakit, tingkat mortalitas dan morbiditas pada pasien stroke bervariasi antara
7,6% sampai 30%. Dari persentasi itu, kematian akibat neurologis diadapat sekitar 80% dan
kematian non-neurologis sekitar 17%. Pada penelitian Stroke Unit Trialist Collaboration
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dari tingkat kematian selama beberapa hari pertama
pada pasien di stroke unit dan bangsal biasa. Kematian oleh sebab neurologis seperti
peningkatan tekanan intrakranial yang progresif dan kejadian herniasi yang mengikuti adalah
penyebab utama kematian di dua grup dalam tiga hari pertama perawatan. Pada hari-hari
berikutnya, bagaimanapun juga, peningkatan signifikan nilai kematian terlihat di antara pasien
yang tidak dimasukkan pada stroke unit. Kematian ini disebabkan karena komplikasi non-
neurologis. Penelitian sebelumnya telah mendemonstrasikan bahwa komplikasi yang mengikuti
terjadinya stroke sekitar 40% sampai 96%. Komplikasi-komplikasi ini fatal pada beberapa kasus,
berkontribusi pada mortalitas dan morbiditas rumash sakit. Sekarang ini, pilihan untuk intervensi
pada stroke akut tetap terbatas; padahal, pada kebanyakan kasus, hasil keluaran untuk ketahanan
hidup dan kecacatan tergantung kepada penceegahan, pengenalan, dan terapi awal terhadap
komplikasi.(2)

Pada penelitian mengenai komplikasi stroke akut di 10 negara ASIA didapatkan bahwa
tingkat komplikasi 42,9% pada penelitian cohort ini jika dibandingkan dengan paper yang yang
dibuat oleh orang caucasia, mengindikasikan tidak ada banyak perbedaan berhubungan dengan
ras dan etnis mengenai komplikasi pada pasien stroke. (2)
1
Frekuansi dari komplikasi neurologis (seperti stroke berulang, dan kejang epilepsy dan
komplikasi medis seperti infeksi saluran kemih dan nyeri pada penekanan) hampir sama seperti
yang dicatat pada penelitian sebelumnya. Jatuh, thrombosis vena dalam dan emoli pulmoner
lebih sedikit terjadi pada pasien stroke yang ASIA. Komplikasi jantung, seperti gagal jantung
kongestif dan aritmia terjadi pada tingkat yang rendah pula seperti studi yang lain. Jatuh ,
biarpun jarang, terjadi selama 3 hari perawatan. Kombinasi dari gangguan keseimbangan dan
berjalan, biarpun dengan kesulitan persepsi berkontribusi pada komplikasi ini. Resiko dari
komplikasi neurologis seperti stroke berulang dan kejang terlihat meningkat dalam tiga hari
pertama perawatan. Komplikasi pUlmunoner seperti pneumonia dan aspirasi cenderung terjadi
dalam minggu pertama. Pada umumnya, resiko berkembangnya pneumonia terlihat lebih tinggi
pada pasien tua dan stroke yang lebih parah. Terdapat bukti bahwa tuba nasogastric mungkin
menjadi predisposisi terjadinya aspirasi. Penelitian mengungkapkan keuntungan percutaneous
endoscopic gastrostomy daripada tuba menurunkan resiko komplikasi pulmeoner. Tingkat
komplikasi lebih rendah pada pasien yang dirawat pada stroke unit daripada pasien yang dirawat
di bangsal biasa. Hal ini mungkin dikarenakan, pennilaian dan prosedur yang ditingkatkan serta
rehabilitasi awal dari standar evaluasi awal dan protoKol manajemen awal yang dilakukan pada
tempat tersebut.(2)

2
Dikutip dari: Jose C Navaro, Ester Bitanga, Nijasri Suwanwela, Hui Meng Chang, dkk Complication of acute stroke:
A study in ten Asian countries. Neurology Asia 2008; 13:33-39.

Komplikasi Observasi di RS
1. Neurologis
Stroke Berulang Gejala klinis bertahan lebih dari 24 jam sesuai dengan definisi
stroke oleh WHO
Kejang Epilepsi Gejala klinis dari kejang fokal atau umum pada pasien yang tidak
punya riwayat epilepsi sebelumnya
2. Infeksi
Infeksi Saluran Kemih Gejala klinis dari ISK atau kultur urin yang positif
Pneumonia Auskultasi pernafasan adanya ronkhi dan demam atau temuan
pada radiografi, atau sputum yang purulen
Infeksi lainnya Demam apapun yang bertahan lebih dari 24 jam
3. Immobilitas

3
Jatuh Semua kejadian jatuh tanpa melihat dari sebabnya (jatuh dengan
luka yang serius didefinisikan jika terdapat patah tulang,
investigasi radiologis, investigasi neurologis, atau luka yang perlu
dijahit)
Kerusakan kulit Kerusakan kulit atau nekrosis yang dihasilkan baik oleh tekanan
atau melalui trauma (kulit yang luka akibat langsung dari jatuh
tidak termasuk)
4. Tromboemboli
Thrombosis vena dalam Gejala klinis sesuai dengan thrombosis vena dalam
Emboli pulmoner Gejala klinis sesuai dnegan emboli pulmoner
5. Psikologis
Depresi Mood yang berkurang mempengaruhi aktivitas sehari-hari atau
memerlukan intervensi farmakologis atau psikiatrik
6. Dan yang lainnya Komplikasi yang tercatat pada data lainnya menyebabkan terapi
medis yang spesifik atau intervensi bedah (mis: perdarahan GI,
konstipasi, gagal jantung, aritmia, dan artritis)

Dikutip dari: Jose C Navaro, Ester Bitanga, Nijasri Suwanwela, Hui Meng Chang, dkk Complication of acute stroke:
A study in ten Asian countries. Neurology Asia 2008; 13:33-39.

Aplikasi klinis dan metodologi

Infeksi

Pneumonia Aspirasi

Ketika resiko aspirasi pneumonia diketahui sebagai komplikasi dari stroke, biarpun sudah
dilakukan prosedur untuk membatasi terjadinya komplikasi tersebut tetapi terkadang tetap tak
terhindari. Pasien yang memerlukan tube nasogastrik untuk makan mempunyai resiko tertinggi
terjadinya aspirasi. Beberapa faktor predisposisi terjadinya aspirasi pada pasien termasuk disfagi,
stroke hemisfer yang luas, stroke batang otak, gangguan kesadaran, kejang, dan penggunaan
ventilator.(1)

4
Setiap pasien seharusnya dicari bukti adanya disfagia dengan evaluasi menelan di tempat
tidur oleh perawat. Pasien dengan bukti disfagia, atau dengan disartria yang signifikan harus
dievaluasi lebih detail dengan terapi bicara. Studi formal mengenai hal tersebut diperlukan pada
saat ini.

Elevasi ringan pada kepala di tempat tidur, diperhitungkan untuk mempertahankan


hemodinamik optimal pada cerebral, mungkin cukup berguna. Keluarga harus diinstruksikan
untuk membersihkan setiap makanan dengan staf perawat.

Aspirasi adalah perhatian utama ketika merawat pasien dengan stroke karena
keterbatasan untuk memproteksi jalan nafas dan resiko disfagia. Disfagi dapat disebabkan karena
penurunan kesadaran atau gangguan nervus kranialis. Penilaian fungsi menelan harus dilakukan
sebelum pasien menerima apapun dengan mulut, terutama air dan medikasi. Penilaian menelan
meliputi evaluasi tingkat kesadaran, kemampuan untuk batuk, fonasi, sensasi faring, dan
kemampuan menelan air. Reflex gag yang positif tidak seharusnya diinterpretasi sebagai fungsi
menelan yang valid, karena pasien dengan reflex gag yang ada mungkin tidak bisa menelan
dengan efektif. Pemasangan tuba nasogastrik mungkin diperlukan untuk menyediakan nutrisi dan
medikasi jika pasien gagal dalam penilaian awal menelan. tuba gastric diperlukan unntuk
mengantisipasi adanya gangguan jangka panjang. Pedoman menyarankan bahwa pemberian
makanan dengan tuba tidak boleh dilakukan dalam 24 jam setelah pemberian tPA karena
meningkatnya resiko perdarahan, bagaimanapun juga, pasien memerlukan perhatian terhadap
proteksi dari muntah dan aspirasi. Pasien harus diberikan makan dalam 48 jam masuk
perawatan jika memungkinkan. Menjaga kepala ditinggikan 30 o di kasur dapat menghindari
terjadinya aspirasi, tetapi hal ini dilakukan dengan perhatian dan monitoring pencegahan dari
hipotensi. Konsul terhadap gangguan bicara dan diet pada perawatan akut dan rencana
rehabilitasi.(3)

Pneumonia (didapat di Rumah Sakit)

Pasien yang lemah dan terbaring di tempat tidur mempunyai resiko terjadinya pneumonia
yang di dapat di RS. Organisme yang menyebabkan pneumonia biasanya resisten terhadap
antibiotik standard dan dapat sangat sulit untuk diobati. (1)

5
Terapi profilaksis antibiotik tidak memperlihatkan manfaat, tetapi manajemen yang
agresif harus dilakukan secepatnya pada gejala infeksi awal. Foto rontgen thoraks, kultur darah,
kultur sputum, dan hitung jenis harus dilakukan. Pasien harus memulai pembersihan pulmoner
dengan perkusi dan drainase.(1)

Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih biasa terjadi pada populasi stroke, terjadi kurang lebih 15% dari
semua pasien. Pasien dengan diabetes berada dalam resiko yang lebih tinggi. Pemakaian kateter
merupakan factor predisposisi terpenting. Sepsis dengan hipotensi dapat memperburuk stroke
dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian.(1)

Hidrasi dapat menjadi pencegahan infeksi saluran kemih yang menguntungkan.


Penembahan jus cranberry atau vitamin C juga dapat menurunkan resiko infeksi. Apabila
memungkinkan, pemakaian kateter dapat dihindari.

Sinusits

Sinusitis tidak sering terpikir sebagai komplikasi dari stroke tetapi terjadi lebih sering
dari yang dipikirkan. Pemakaian tuba nasogastrik dan intubasi nasal meningkatkan resiko infeksi
sinus. Jika terjadi demam, foto X-ray sinus harus dilakukan. Sinus harus di awasi .

Komplikasi Neurologis

Kejang

Kejang secara relative tidak biasa terjadi pada pasien dengan stroke iskemik.
Dipertimbangan resiko tinggi pada pasien dengan stroke hemoragik. Kejang biasanya terjadi saat
onset tetapi dapat terjadi telat sebagai komplikasi yang kecil. Kejang yang terjadi pada fase lama
di infark korteks yang besar akan lebih sering berulang daripada yang terjadi di fase akut.

Pasien dengan perdarahan intracranial, biasanya di beri terapi pencegahan antikonvulsan.


Pasien dengan stroke iskemik, yang beresiko rendah terjadinya kejang , tidak diberikan terapi

6
pencegahan dengan antikonvulsan. Ketika kejang timbul medikasi antiepilepsi harus dipilih.
Pilihannya harus dipertimbangkan pada beberapa faktor. Medikasi yang dapat menyebabkan
hipotensi harus dihindari. Obat-obat yang dapat terjadi interaksi juga harus diperhitungkan.
Akhirnya, medikasi dengan pemberian beragam (oral/iv/ng) lebih dipilih.

Kejang dapat dicetus oleh stroke dengan beberapa mekanisme. Pertama yang kita bahas, kejang
yang terjadi segera dalam waktu singkat stroke terjadi. Kejang seperti ini biasanya disebabkan
karena stroke hemoragik, dimana aliran darah menyembur keluar dari arteri menekan jaringan
otak. Tambahannya, hal tersebut juga menekan jaringan otak sebelahnya menyebabkan efek
kompresi. Jaringan yang terkompresi juga menjadi kekurangan oksigen (anoksia). Robekan,
kompresi, dan anoksia, semuanya itu menjadi factor pencetus yang dapat mempresipitasi
keluarnya impuls listrik epileptik dari saraf, menyebabkan kejang.(4)
Yang yang lebih jarang terjadi, kejang yang cepat dapat terjadi pada stroke iskemik. Pada kasus
ini, terjadi hambatan dari pembuluh darah mengurangi aliran darah ke sebagian porsi otak, dan
karenanya juga menurunnya oksigen menyebabkan anoksia. Stroke Iskemik yang luas dapat
menyebabkan pembengkakan lokal dari jaringan otak pada daerah sekitarnya, menyebabkan
efek kompresi. Kedua mekanisme ini dapat mencetus kejang selama atau dalam jangka waktu
pendek setelah stroke iskemik. Seiring dengan terserapnya darah pada stroke hemoragik, atau
meredanya pembengkakan yang terjadi pada stroke iskemik, pencetus kejang biasanya
menghilang. (4)
Kejang yang paling sering terjadi pada stroke adalah yang terjadi berminggu-minggu atau
berbulan-bulan setelah kejadian stroke. Ketika daerah jaringan otak mati sewaktu stroke, daerah
tersebut berdegenerasi menjadi jaringan parut dalam beberapa minggu yang dapat bertindak
sebagai iritan dan memprovokasi neuron yang berdekatan, mencetuskan kejang yang terjadi
dalam bulan atau tahun sesudahnya. Kemungkinan stroke dapat menyebabkan kejang yang
lambat terjadi tergantung ukuran dan lokasi. Stroke yang kecil pada bagian otak yang lebih
dalam, seperti stroke lakunar, tidak biasa menyebabkan kejang. Stroke yang besar dan
melibatkan permukaan luar otak yang biasa diketahui sebagai grey matter atau kortex,
cenderung menyebabkan kejang lambat. Kebanyakan neuron terletak di kortex. Karena jaringan
parut tersebut permanen, kejang yang lambat terjadi itu mempunyai kesempatan besar

7
berulang.
Seperti aturan umum, kejang yang pertama terjadi selama atau dalam waktu singkat setelah
stroke, mempunyai kesempatan kecil berkembang menjadi gangguan kejang permanen yang
berulang. Sebaliknya, kejang yang terjadi pertama kali dalam minggu atau bulan setelah stroke
terjadi mempunyai kemungkinan lebih besar terjadinya onset gangguan permanen dengan
karekterisasi kejang berulang secara episodic dan membutuhkan terapi panjang atau seumur
hidup. Beberapa dokter akan memberikan anti kejang sementara sebagai pencegah, secepatnya
setelah stroke terjadi walaupun tidak terjadi kejang. Hal ini biasa dilakukan pada stroke
hemoragik. Penggunaan medikasi kejang di sisi lain adalah keputusan medis yang kompleks
berdasarkan terjadinya stroke, tipe dan lokasi stroke, informasi tes diagnosis lainnya seperti
EEG dan kemauan dari pasien.(4)

Perubahan Status Mental/Encefalopati

Kebingungan merupakan masalah yang biasa pada fase akut stroke, terjadi sedikitnya
pada 25% pasien. Banyak pasien yang tua dan berada pada resiko gangguan kognitif. Stress
psikologis yang ekstrem berhubungan dengan stroke itu sendiri, perawatan di RS, dan kehilangan
fungsi neurologis meningkatkan resiko terjadinya akut encefalopati. Ketika ini terjadi sementara,
kebingungan meningkatkan resiko trauma dan meningkatkan kebutuhan perawatan oleh perawat
atau keluarga. Pasien lainnya mungkin mempunyai demensia, diketahui atau tidak, dapat
memburuk selama perawatan. Halusinasi, paranoid, dan delusi biasa terjadi.

Mempertahan kan lingkungan yang dapat dijadikan tempat untuk istirahat penting, dan
dibicarakan pada chapter 38. Jika perlu, medikasi seperti haloperidol, risperidal, dan quietapine
mungkin dapat digunakan beberapa waktu untuk halusinasi dan delusional. Dokter, perawat, dan
keluaga harus mengerti bahwa gangguan pada fungsi kognitif berhubungan dengan perawatan
RS jarang membaik selama perawatan.

Stroke, baik iskemik maupun hemoragik dapat menyebabkan fungsi kognitif yang
menurun. Biarpun stroke yang terjadi sekali dapat juga menyebabkan penurunan fungsi kognitif.
Hal ini lebih terlihat pada pasien dengan demensia, tetapi dapat juga terlihat sebagai penurunan
derajat kognitif yang sedikit pada pasien yang sehat. Sebaliknya, pada pasien dengan stroke

8
multiple hal yang kebalikan terjadi pada pasien biasanya yaitu dapat menyebabkan demensia
vaskular yang signifikan.

Hemibalismus

Gangguan pergerakan secara relative tidak biasa terjadi pada pasien stroke.
Hemibalilsmus adalah Gerak otot yang datang sekonyong-konyong, kasar dan cepat, pada tubuh
sesisi. Stroke atau perdarahan yang terjadi pada nucleus subthalamikus dapat menyebabkan
hemiballismus. Pergerakan biasanya kasar dan dapat menyebabkan luka pada pasien, dan bahkan
pada perawat. Pada banyak kasus, ekstremitas harus ditahan untuk beberapa waktu. Pada kasus
yang parah, terapi dengan fenotiazin atau haloperidol mungkin bermanfaat. Akhirnya,
komplikasi ini membaik seiring dengan waktu.

Parkinsonism

Infark pada globus palidus dapat terjadi pada kasus yang jarang, menyebabkan
pankinsonism kontralateral. Infark multiple dapat juga menyebabkan sindrom menyerupai
Parkinson. Komplikasi ini susah untuk diterapi.

Jatuh

Pasien stroke berada pada resiko tinggi untuk jatuh, ataxia, hemiparese, kehilangan
sensasi sensoris, dan kebingungan semuanya berkontribusi terhadap resiko tersebut. Bahkan pada
pasien yang diikat di tempat tidur juga dapat terjatuh dari tepat tidur. Seiring pasien mobilisasi,
resiko meningkat. Pasien harus dievaluasi dengan terapi fisik untuk terapi yang tepat dan
peralatan yang membantu.

Kontraktur

Spasitas yang diikuti dengan kontraktur dapat terjadi cepat setelah stroke. Hal ini harus
dinilai oleh terapi fisik dan di terapi dengan latihan ROM, dibalut, dan pada kasus yang parah di
injeksikan dengan toxin Botulinum. Spasitas yang tidak diketahui dapat menjadi nyeri dan
membatasi fungsi gerak secara signifikan.

9
Nyeri Terkait dengan Stroke

Sindrom nyeri post stroke tipikal mengikuti infark pada thalamus atau medulla. Sehingga
disebut sindrom nyeri thalamus dapat berhubungan dengan infark atau perdarahan yang meliputi
nukleus kontralateral ventroposterolateral di thalamus atau di medulla bagian dorsolateral. Nyeri
yang terjadi biasanya tipe nyeri yang membosankan terjadi dengan stimulasi minimal. Sindrom
ini dapat membatasi dan merugikan bagi kualitas hidup pasien. Terapi dengan agen seperti
pregabalin, gabapentin, trisiklikantideprresan, dan terapi medikasi nyeri kronik lainnya mungkin
dapat memberikan beberapa manfaat.

Nyeri central post stroke/ central poststroke pain (CPSP) mengacu kepada nyeri yang
dihasilkan dari lesi primer atau disfungsi dari sistem saraf pusat setelah stroke. Dulu, CPSP di
kenal sebagai lesi talamik tetapi sekarang juga berhubungan dengan lesi ekstratalamik.
Prevalensi dari nyeri bahu pada pasien stroke diantara 11% dan 14% dan untuk CPSP antara 8%
dan 35%. Diagnosis CPSP diperhitungkan jika nyeri terjadi setelah stroke, dan ketika nyeri
karena neuropati perifer, faktor psikologis, luka akibat baring, pericapsulitis, dan thrombosis
vena dalam tidak mungkin. (5)

Nyeri sentral dapat terjadi spontan atau dibangkitkan. Nyeri spontan dapat terjadi terus
menerus atau tiba-tiba. Nyeri yang dibangkitkan dapat di presipitasi oleh stimulus nonnociceptif
atau nociceptif. Kebanyakan pasien CPSP mengeluh rasa terbakar dan gejala lainnya seperti rasa
sakit, menusuk, merobek, meremas, dan berdenyut dalam taraf yang sama atau kombinasi yang
berbeda. Nyeri dapat terjadi pada mmuka, lengan, tangan, tungkai, kaki pada sisi yang terkena
lesi stroke. Rasa nyeri dapat dicetus dengan beberapa stimulus seperti, pergerakan, sentuh, suhu,
atau stress. Allodynia, dysaesthesia, dan hiperalgesia sering ditemukan kebanyakan pasien
dengan CPSP. Penting untuk membedakan antara CPSP dan bentuk lain dari nyeri
musculoskeletal yang sering terjadi pada pasien stroke, misalnya: frozen shoulder, tight muscles.
Masalah musculoskeletal ini biasanya membaik dengan fisioterapi dan injeksi, sedangkan CPSP
biasanya membaik dengan medikasi oral.(5)

Nyeri Bahu

Beberapa faktor berkontribusi kepada nyeri bahu. Kelemahan dari otot yang mengelilingi
bahu meningkatkan resiko subluksasi yang nantinya berhubungan dengan nyeri. Pasieh tidak

10
boleh berpindah posisi dari tidur ke duduk atau ke berdiri dengan menggunakan lengan. Perawat
harus waspada kepada masalah ini dan mengedukasi keluarga tentang resikonya. Capsulitis
adhesive dapat rimbul dari paralisis. Biarpun penggunaan bidai atau alat untuk imobilisasi
lainnya dapat membuat perasaan pasien sementara baik, mereka sebenarnya memperburuk
masalah. Pencegahan terbaik dengan terapi fisik yang agresif dengan latihan pergerakan sendi
(ROM).

Cegukan

Cegukan biasanya terjadi mengikuti infark batang otak bagian bawah tetapi terkadang
terjadi mengikuti stroke korteks yang luas. Cegukan dapat bertahan selama beberapa hari atau
berminggu-minggu tetapi biasanya akan membaik. Pada kasus yang jarang, cegukan dapat
bertahan lebih lama. Pada kasus yang parah, terutama ketika cegukan mempengaruhi nutrisi dan
istirahat pasien, maka terdapat beberapa pilihan terapi. Haloperidol, risperidal, quietapine,
chlorpromazine, kabamazepine, dan baklofen dapat membantu mengontrol gejala.

Neuropati Kompresi

Tirah baring yang lama meningkatkan resiko terjadinya neuropati kompresi, terutama
melibatkan nervus ulna dan nervus peroneus. Pasien seharusnya di miringkan, di bolak-balik
secara berkala. Pasien tidak boleh dibiarkan dalam posisi yang beresiko tinggi terjadinya
kompresi.

Komplikasi Berkaitan dengan Tidur

Untuk diskusi Obstructive sleep apnea, insomnia, dan restless leg syndrome lihat Chapter
38. Parasomnia, termasuk berjalan saat tidur, dan Rapid eye movement (REM) kebiasaan
gangguan tidur, secara relative jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kelainan yang serius.

11
Staf harus waspada pada tipe kelainan seperti ini dan melaporkan semua yang terjadi pada
dokter.

Gangguan pernapasan pada saat tidur dan gangguan pada saat bangun tidur sering terjadi
pada pasien stroke. Mereka mendapat perhatian akan masalah ini dikarenakan dapat
mempengaruhi proses dan hasil rehabilitasi fungsional. Selain itu, gangguan pernapasan saat
tidur dapat meningkatkan risiko kekambuhan stroke. 50-70% dari pasien stroke, ditemukan
mereka memiliki pernapasan tidur yang teratur,kebanyakan berhubungan dengan apnea tidur
obstruktif. Dalam beberapa pemulihan penderita stroke disertai oleh perbaikan gangguan
pernapasan tidur. Pilihan terapi yang dilakukan untuk obstructive sleep apnea adalah dengan
tekanan positif jalan udara terus menerus/ continuous positive airway pressure (CPAP).
Oksigen, theophyllin dan bentuk-bentuk ventilasi mungkin membantu pada pasien dengan
bentuk gangguan tidur pernapasan (mis. Cheyne-Stokes pernapasan). Setidaknya 20-40% pasien
stroke mengalami gangguan tidur, terutama berupa kebutuhan tidur meningkat
(hipersomnia),kantuk pada siang hari atau hipersomnia, insomnia. Depresi, kecemasan,
gangguan pernapasan tidur, komplikasi (mis. nycturia, disfagia, kemih / pernafasan infeksi) dan
obat-obatan yang dapat berkontribusi pada gangguan tidur pernapasan dan harus dinilai terlebih
dahulu. Pada pasien dengan gangguan susah tidur, pengobatan primer neurogenik dengan
stimulan /obat dopaminergik dan hipnotik /penenang antidepresan dapat dicoba.(6)

Gambar 1. 65-year-old man with acute ischaemic stroke, clinical (NIHSS = NIH Stroke Scale,
SSS = Scandinavian Stroke Scale) and radiological (MRI, Diffusion-Weighted Imaging)
progression, moderate–severe sleep apnoea (AHI = Apnoea Hypopnoea Index) and non-blood
pressure (BP)-dipping status (36-hour blood pressure monitoring).

12
Dikutip dari: Herman DM, Siccoli M, Basseti CL.Sleep wake disorder and stroke. Department of Neurology ,
University Hospital, Zurich. 2003; 154:369-73.

Komplikasi Jantung

Infark Myokard

Penyakit jantung termasuk infark myocardium adalah salah satu dari penyebab tersering
kematian pada pasien stroke. Pasien seharusnya di monitor, sedikitnya pada beberapa hari awal
dirawat di RS, untuk mencari apakah terdapat iskemi myokard. Seperti yang telah dijelaskan,
EKG dan enzim jantung diperiksa pada saat awal. Pasien lalu ditempatkan pada monitor
telemetri jantung. Banyak dari terapi untuk stroke akut juga bermanfaat dalam terapi iskemi
myocard. Pengendalian tekanan darah mungkin dibutuhkan sebagai tambahan seiring adanya
iskemi myocard.

Aritmia Jantung

13
Aritmia sering terlihat pada fase poststroke untuk beberapa alasan berbeda. Aritmia dapat
mendahului stroke, dan bahkan dapat berkontribusi dalam terjadinya stroke. Aritmia dapat
sebagai hasil dari stress fisiologis dari stroke dan beberapa terapinya. Akhirnya, infark myokard,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dapat berkontribusi terjadinya aritmia jantung.

Gagal Jantung

Gagal jantung secara tipikal bukan merupakan komplikasi dari stroke. Terapi dari stroke
akut, terutama pengguanan cairan kristaloid infuse, meningkatkan resiko dekompensasai gagal
jantung dan edema pulmoner. Pasien harus dimonitor tanda dari gagal jantung dan di terapi.

Thrombosis vena Dalam

Biarpun tidak biasa, thrombosis vena dalam penting dan biasanya termasuk pada
komplikasi yang dapat dihindari. Semua pasien harus ditempatkan pada pencegahan DVT.

Hipertensi, Hipotensi, dan Komplikasi Endokrin

Abnormalitas endokrin tampak berupa perubahan hipotalamik hipofisis adrenal axis dan
hipotalamik hipofisi tiroid axis. Keadaan ini dapat terliihat dari sekresi kortisol berlebihan dan
supresi serum kortisol sebagai respon terhadap pemberian dexamethason peroral pada
dexamethasone suppression test dan tidak adanya menifestasi respon pada thyrotropin releasing
hormone akibat peningkatan abnormal dari thyroid stimulating hormone.

Komplikasi Psikiatrik

Robinson dan zatela, 1981; House et al, 1991, melaporkan dari analisi beberapa
penelitian besarnya depresi pada stroke sangat bervariasi, yaitu antara 11% sampai 61 %.
Beberapa peneliti menyatakan terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya
depresi pada stroke. Beberapa factor tersebut adalah: sudah ada depresi sebelumnya, lesi yang
dekat atau ada di daerah hemisfer kiri anterior, problem berbahasa, status fungsional neurologis
yang buruk dan isolasi sosial.

14
Perubahan behavioral pada seseorang dengan depresi terlihat dari perubahan suara dan
gerakan badan. Biasanya suaranya menjadi lirih dan gerakan badan bisa menjadi lamban, atau
malah sebaliknya menjadi kacau. Perubahan neurovegetatif berupa perubahan pola tidur, bisa
berupa sulit tidur, sering terbangun malam hari, hipersomnia, atau penurunan latensi REM. Juga
didapatkan perubahan selera makan, merasa selalu lelah,dan ada penurunan libido.

Lokasi yang daihubungkan degan sindrom depresi adalah lesi pada lobus frontalis, lobus
temporalis dan basal ganglia terutama nucleus kaudatus. Lesi di daerah lobus frontalis kiri atau
nucleus kaudatus kiri lebih sering menimbulkan depresi dibandingkan lesi yang sama di
hemisfer kanan, dan depresi ini lebih berat bila lesi di daerah frontal kiri dekat ke frontal pole.
Tetapi hubungan antara letak lesi dengan dpresi pada stroke ini, belum mendapat persetujuan di
antara para peneliti. Selain itu, depresi juga dapat terjadi sebagai konsekuensi reaksi non spesifik
pada penyakit stroke sendiri dan bukan disebabkan oleh karena lesi pada jaringan otak akibat
iskemik/infarknya. Jadi dapat dikatakan bahwa etiologi gangguan neurospikiatrik setelah stroke
adalah multifaktorial, dan ini akan menjadi bahan pertimbangan dan kajian dalam menentukan
prognosis dan terapi pada penderitanya.

Kecemasan merupakan hal yang biasa pada populasi pada umumnya. Stress yang
berkaitan dengan stroke dapat memperburuk keadaan pasien. Beberapa pasien memerlukan
terapi hanya untuk pasien yang claustrofobia yang perlu dilakukan MRI, sementara yang lain
memerlukan terapi harian dengan benzodiazepine atau antidepresan anxiolitik seperrti SSRIs.

Komplikasi Lainnya

Komplikasi lainnya seperti inkontinensia uri, inkontinensia alvi, yang mungkin


berhubungan dnegan diare atau suatu keadaan situasional yang berhubungan dengan
ketidakmampuan memberitahu perawat bila hendak defekasi. Masalah ini menyebabkan iritasi
kulit, meningkatkan resiko dari infeksi saluran kemih, dan distress psisiologik terhadap pasien
dan keluarga. Konstipasi merupakan masalah yang lebih jauh lagi. Program untuk usus besar
yang dimulai pada saat pasien masuk dan dilakukan selama perawatan di RS dapat membatasi
keparahan konstipasi.

15
Pendarahan Gastrointestinal

Perdarahan gastrointestinal yang berat, yang mengancam hidup jarang terjadi. Sehingga
yang biasa disebut stress ulcer berhubungan dengan adanya stress fisiologis dari stroke, dapat
terjadi. Lebih jauh lagi, pengunaan aspirin dan medikasi antiplatelet lainnya meningkatkan resiko
dari perdarahan gastrointestinal.pencegahan dengan histamine bloker mungkin dapat memberi
manfaat tetapi harus di informasikan dengan baik bahwa obat tersebut dapat menyebabkan
kantuk dan kebingungan.

Dekubitus

Ulkus dekubitus sering terjadi, pada 10 % sampai 15% dari pasien stroke. Lansia, kurus,
dan kurang gizi, mempunyai resiko tertinggi, Kelemahan yang parah dan terikat pada tempat
tidur menambah resiko. Pasien harus di gerakkan, bolak balik secara berkala. Perawatan kulit
bahkan biarpun pada kulit dengan tanda paling awal terjadinya dekubitus, dapat mencegah
masalah lebih buruk.

Perawatan Terminal

Pada beberapa kasus, pertanyaan yang timbul bukan “Apa yang dapat kita lakukan?”
tetapi “Apa yang seharusnya kita lakukan?”. Keluarga pasien harus diinformasikan mengenai
keparahan deficit neurologis dan kemungkinan penyembuhan neurologis yang bermakna. Pilihan
resusitasi harus didiskusikan dengan setiap pasien/keluarga. Diskusi langsung yang terus terang
terhadap pilihan akhir kehidupan diperlukan untuk pasien dengan prognosis yang buruk
terahadap penyembuhannya. Perawatan paliatif, termasuk menajemen nyeri untuk pasien dan
dukungan psikologis terhadap keluarga, merupakan komponen penting pada setiap program
stroke.

DAFTAR PUSTAKA

16
1. James D, Camilo R,.Stroke : A Practical Approach. 2009. Lippincot Williams &Wilkins
2. Jose C Navaro, Ester Bitanga, Nijasri Suwanwela, Hui Meng Chang, dkk Complication of
acute stroke: A study in ten Asian countries. Neurology Asia 2008; 13:33-39
3. Frans. D, Acute Ischemic Stroke Review: Preventing Acute Complications. Medscape.
4. Osvaldo Camilo and Larry B. Goldstein . Stroke an epilepsy after ischemic stroke. Stroke
2004;35;1769-1775; originally published online May 27, 2004;
5. Bishwanat Kummar, MD, Jayantee Kalita, DM.. Central Poststroke Pain: A Review of
Pathophysiology and Treatment. vol. 108, No. 5, May 2009. International Anesthesia
research Society
6. Herman DM, Siccoli M, Basseti CL.Sleep wake disorder and stroke. Department of
Neurology , University Hospital, Zurich. 2003; 154:369-73.

17

Anda mungkin juga menyukai