Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS YURIDIS PEMALSUAN SURAT 

PERSETUJUAN ISTRI DALAM


MELAKUKAN POLIGAMI

A.    Latar Belakang Permasalahan

Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Hindu, hampir semua berada di Pulau

Bali, V.E Korn dalam bukunya “Het Adatrecht Van Bali” halaman 469 mengatakan, bahwa

menurut hukum Putra Sasana seorang laki-laki diperbolehkan beristri seorang dari kastanya

sendiri dan seorang dari masing-masing kasta yang berada di bawah kastanya sendiri itu. Sebuah

perkawinan yang terbentuk tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perceraian antara

keduanya sepanjang memenuhi syarat-syarat terjadinya perceraian sesuai dengan pasal 3 UU

Nomor 1 Tahun 1974 antara lain :

1.      Berzinah, Yaitu hubungan bersetubuh dengan orang lain daripada istri atau suaminya.

2.      Meninggalkan tempat tinggal bersama-sama dengan maksud jahat. Yaitu sesuatu tindakan

yang dilakukan oleh suami seseorang suami yang pergi dengan sengaja bersama wanita lain

dengan maksud untuk menikah secara diam-diam.

3.      Dihukum penjara selama lima tahun atau lebih yang diucapkan sesudah perkawinan.

4.      Penganiayaan berat yang dilakukan suami atau istri, dilakukan terhadap pihak yang lain, atau

penganiayaan yang sedemikian rupa dikhawatirkan bahwa pihak yang dianiaya itu, akan

meninggal dunia, atau suatu penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka yang berat pada

badan pihak yang dianiaya.


5.      Cacat badan atau penyakit yang timbul setelah pernikahan dilakukan sedemikian rupa

sehingga suami atau istri yang menderita itu, tidak dapat melakukan hal sesuatu yang layak

dalam suatu perkawinan.

6.      Percekcokan diantara suami istri, yang tidak mungkin diperbaiki lagi.

Apabila salah satu pihak melakukan hal-hal seperti yang dilakukan di atas, maka

kemungkinan besar perceraian akan dikabulkan hakim, sehingga perkawinan yang dibina

sebelumnya akan bubar. Tetapi fakta menunjukkan bahwa perceraian juga terjadi di luar

ketentuan tersebut di atas, salah satu alasan perceraian dapat dilakukan dengan dalih sudah tidak

saling mencintai lagi dan sebagainya. Dengan kata lain banyak alasan yang lebih ringan

dibandingkan syarat-syarat di atas dijadikan alasan untuk melakukan suatu perceraian.

Dalam praktek pula, sering kita dengar pihak-pihak yang berkeinginan untuk melakukan

perceraian untuk menikah lagi, tetapi banyak juga yang melakukan perkawinan kedua (poligami)

dimana seorang suami ingin memiliki dua istri atau lebih tanpa melakukan perceraian dengan

istri sebelumnya.

Dan bunyi dari pada pasal 279 KUHP Pidana adalah sebagai berikut :

Ayat (1)

Diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

Ke – 1    :  Barang siapa mengadakan perkawinan, padahal diketahuinya, bahwa perkawinan

atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk

itu;
Ke – 2    :  Barang siapa mengadakan perkawinan padahal diketahuinya bahwa perkawinan

atau perkawinan-perkawinan dengan pihak lain menjadi penghalang untuk itu;

Ayat (2) : Jika yang melakukan pembuatan yang diterangkan dalam ke-1 menyembunyikan

kepada pihak lainnya bahwa perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah itu,

diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Apabila seseorang memalsukan segala sesuatu untuk menyembunyikan atau

perkawinan-perkawinan terdahulu untuk menikah lagi, padahal sebetulnya ia tahu bahwa

perkawinannya yang terdahulu itu merupakan penghalang yang sah baginya untuk menikah

lagi dan tetap saja ia lakukan, maka ancaman pidananya cukup berat, yaitu paling lama

berkisar 5 (lima) hingga 7 (tujuh) tahun. Dengan demikian tampak jelas masih sering

terjadinya perkawinan liar, talak liar, poligami liar, dan kesemuanya itu dilakukan tanpa

memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diatur oleh Undang-Undang 1 tahun 1974 dan

pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu dalam pasal 263 dan pasal 279

KUHP. Adapun dari tidak terpenuhinya persyaratan di atas, dapat dilihat dari makna masing-

masing ungkapan-ungkapan dibawah :

a)      Talaq Ialah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang

ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian

karena meninggalkan salah satu seorang dari suami istri.

b)      Poligami Ialah seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu orang pada waktu

yang sama.
c)      Perkawinan Ialah suatu ikatan batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan untuk

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal abadi berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Khususnya Poligami jelas nampak bahwa dalam pelaksanaannya dilakukan dengan

mengabaikan persyaratan-persyaratan sesuai dengan ketentuan yang telah berlaku dalam

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Walaupun demikian, ternyata pelaksanaan perkawinan dari

mereka ini juga disahkan oleh pihak Kantor Urusan Agama, dalam hal ini tentu saja pihak

petugas Kantor Urusan Agama dapat diketahui oleh pihak yang akan melakukan perkawinan

poligami. Dengan demikian jelas, bahwa persyaratan yang diajukan pada pihak Petugas Kantor

Urusan Agama nampak asli dan tidak tampak adanya pemalsuan, disamping itu pihak Petugas

Kantor Urusan Agama juga tidak memiliki banyak waktu untuk menyelidikinya terlebih lagi jika

didalam persyaratan tersebut terdapat keterangan dari Kepala Desa bahwa yang bersangkutan

benar-benar belum pernah menikah, masih jejaka dan sebagainya. Dengan kata lain kesalahan

tetap ada dalam diri pelaku, bukan Petugas Kantor Urusan Agama.

Jadi seorang brahmana dapat beristri empat orang, seorang ksatria tiga orang istri, tetapi

peraturan ini sering kali dilanggar oleh orang-orang penguasa sendiri dimana mereka sering

mempunyai 3, 4 atau 5 orang istri, sedang di antara para raja situasinya lebih parah lagi tidak

jarang ada yang mempunyai 80 sampai 100 orang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan

atas hukum, oleh karena itu semua langkah setiap aparat dan warga negaranya harus berdasar

pada ketentuan hukum yang berlaku. Salah satu fungsi hukum antara lain untuk tata tertib

masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehubungan dengan fungsi hukum

tersebut, berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah yaitu berupa pengembangan, perkembangan,
unifikasi dan kodifikasi hukum. Dalam usaha melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum, antara

lain Indonesia telah berhasil menciptakan Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pidana itu merupakan suatu norma-norma

yang menentukan terhadap tindakan-tindakan mana harus melakukan sesuatu dan dalam

keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang

dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. Banyak sekali perbuatan-perbuatan yang dapat

diklasifikasikan sebagai suatu perbuatan pidana. Salah satunya adalah perbuatan memalsukan

surat atau dikenal dengan tindak pidana pemalsu surat. Terhadap perbuatan pidana pemalsu surat

tersebut dikenai sanksi hukuman pidana. Perbuatan memalsukan surat dilakukan dengan cara

melakukan perubahan-perubahan tanpa hak (tanpa izin yang berhak) dalam suatu surat atau

tulisan, perubahan mana dapat mengenai tanda tangannya maupun mengenai isinya baik itu

merupakan sesuatu yang tidak benar ataupun sesuatu yang benar. Perubahan isi yang tidak benar

menjadi benarpun merupakan suatu pemalsuan surat. Tetapi ada suatu kenyataan, bahwa

kebanyakan dari seorang perempuan tidak menghendaki suaminya mempunyai istri lain dan

begitu pula para wanita yang beragama Islam, ada banyak keberatan terhadap sistem poligami,

walaupun dalam ajaran islam seorang suami diperbolehkan untuk menikah lebih dari satu,

asalkan seorang suami dapat berlaku seadil mungkin terhadap istri-istrinya. Ini berarti, bahwa

kepada masing-masing istri harus diberikan nafkah yang pantas dan kecintaan yang layak,

dengan tiada perbedaan sedikitpun. Salah satu syarat untuk poligami dapat diusulkan, bahwa

harus ada ijin dari istri atau istri-istri yang sudah ada, ini adalah perlu untuk mencapai

perdamaian dan ketentraman diantara mereka. Kemudian dapat diisyaratkan, pula bahwa si

suami harus memperlakukan istri-istrinya masing-masing secara pantas dan adil, juga dapat

diisyaratkan, bahwa si suami ada alasan yang jitu untuk mendapatkan anak yang ia belum punya.
 

B.     Perumusan Masalah

1.      Bagaimana pertanggung jawaban pidana pelaku pemalsuaan surat persetujuan istri ditinjau

dari KUHP ?

2.      Bagaimana akibat hukum terhadap perkawinan poligami yang didasarkan pada adanya surat

pemalsuaan persetujuan istri

Anda mungkin juga menyukai