Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Hindu, hampir semua berada di Pulau
Bali, V.E Korn dalam bukunya “Het Adatrecht Van Bali” halaman 469 mengatakan, bahwa
menurut hukum Putra Sasana seorang laki-laki diperbolehkan beristri seorang dari kastanya
sendiri dan seorang dari masing-masing kasta yang berada di bawah kastanya sendiri itu. Sebuah
perkawinan yang terbentuk tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perceraian antara
1. Berzinah, Yaitu hubungan bersetubuh dengan orang lain daripada istri atau suaminya.
2. Meninggalkan tempat tinggal bersama-sama dengan maksud jahat. Yaitu sesuatu tindakan
yang dilakukan oleh suami seseorang suami yang pergi dengan sengaja bersama wanita lain
3. Dihukum penjara selama lima tahun atau lebih yang diucapkan sesudah perkawinan.
4. Penganiayaan berat yang dilakukan suami atau istri, dilakukan terhadap pihak yang lain, atau
penganiayaan yang sedemikian rupa dikhawatirkan bahwa pihak yang dianiaya itu, akan
meninggal dunia, atau suatu penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka yang berat pada
sehingga suami atau istri yang menderita itu, tidak dapat melakukan hal sesuatu yang layak
6. Percekcokan diantara suami istri, yang tidak mungkin diperbaiki lagi.
Apabila salah satu pihak melakukan hal-hal seperti yang dilakukan di atas, maka
kemungkinan besar perceraian akan dikabulkan hakim, sehingga perkawinan yang dibina
sebelumnya akan bubar. Tetapi fakta menunjukkan bahwa perceraian juga terjadi di luar
ketentuan tersebut di atas, salah satu alasan perceraian dapat dilakukan dengan dalih sudah tidak
saling mencintai lagi dan sebagainya. Dengan kata lain banyak alasan yang lebih ringan
Dalam praktek pula, sering kita dengar pihak-pihak yang berkeinginan untuk melakukan
perceraian untuk menikah lagi, tetapi banyak juga yang melakukan perkawinan kedua (poligami)
dimana seorang suami ingin memiliki dua istri atau lebih tanpa melakukan perceraian dengan
istri sebelumnya.
Dan bunyi dari pada pasal 279 KUHP Pidana adalah sebagai berikut :
Ayat (1)
atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk
itu;
Ke – 2 : Barang siapa mengadakan perkawinan padahal diketahuinya bahwa perkawinan
Ayat (2) : Jika yang melakukan pembuatan yang diterangkan dalam ke-1 menyembunyikan
kepada pihak lainnya bahwa perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah itu,
perkawinannya yang terdahulu itu merupakan penghalang yang sah baginya untuk menikah
lagi dan tetap saja ia lakukan, maka ancaman pidananya cukup berat, yaitu paling lama
berkisar 5 (lima) hingga 7 (tujuh) tahun. Dengan demikian tampak jelas masih sering
terjadinya perkawinan liar, talak liar, poligami liar, dan kesemuanya itu dilakukan tanpa
memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diatur oleh Undang-Undang 1 tahun 1974 dan
pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu dalam pasal 263 dan pasal 279
KUHP. Adapun dari tidak terpenuhinya persyaratan di atas, dapat dilihat dari makna masing-
a) Talaq Ialah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang
ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian
b) Poligami Ialah seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu orang pada waktu
yang sama.
c) Perkawinan Ialah suatu ikatan batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal abadi berdasarkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Walaupun demikian, ternyata pelaksanaan perkawinan dari
mereka ini juga disahkan oleh pihak Kantor Urusan Agama, dalam hal ini tentu saja pihak
petugas Kantor Urusan Agama dapat diketahui oleh pihak yang akan melakukan perkawinan
poligami. Dengan demikian jelas, bahwa persyaratan yang diajukan pada pihak Petugas Kantor
Urusan Agama nampak asli dan tidak tampak adanya pemalsuan, disamping itu pihak Petugas
Kantor Urusan Agama juga tidak memiliki banyak waktu untuk menyelidikinya terlebih lagi jika
didalam persyaratan tersebut terdapat keterangan dari Kepala Desa bahwa yang bersangkutan
benar-benar belum pernah menikah, masih jejaka dan sebagainya. Dengan kata lain kesalahan
tetap ada dalam diri pelaku, bukan Petugas Kantor Urusan Agama.
Jadi seorang brahmana dapat beristri empat orang, seorang ksatria tiga orang istri, tetapi
peraturan ini sering kali dilanggar oleh orang-orang penguasa sendiri dimana mereka sering
mempunyai 3, 4 atau 5 orang istri, sedang di antara para raja situasinya lebih parah lagi tidak
jarang ada yang mempunyai 80 sampai 100 orang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan
atas hukum, oleh karena itu semua langkah setiap aparat dan warga negaranya harus berdasar
pada ketentuan hukum yang berlaku. Salah satu fungsi hukum antara lain untuk tata tertib
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehubungan dengan fungsi hukum
tersebut, berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah yaitu berupa pengembangan, perkembangan,
unifikasi dan kodifikasi hukum. Dalam usaha melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum, antara
lain Indonesia telah berhasil menciptakan Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pidana itu merupakan suatu norma-norma
yang menentukan terhadap tindakan-tindakan mana harus melakukan sesuatu dan dalam
keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang
dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. Banyak sekali perbuatan-perbuatan yang dapat
diklasifikasikan sebagai suatu perbuatan pidana. Salah satunya adalah perbuatan memalsukan
surat atau dikenal dengan tindak pidana pemalsu surat. Terhadap perbuatan pidana pemalsu surat
tersebut dikenai sanksi hukuman pidana. Perbuatan memalsukan surat dilakukan dengan cara
melakukan perubahan-perubahan tanpa hak (tanpa izin yang berhak) dalam suatu surat atau
tulisan, perubahan mana dapat mengenai tanda tangannya maupun mengenai isinya baik itu
merupakan sesuatu yang tidak benar ataupun sesuatu yang benar. Perubahan isi yang tidak benar
menjadi benarpun merupakan suatu pemalsuan surat. Tetapi ada suatu kenyataan, bahwa
kebanyakan dari seorang perempuan tidak menghendaki suaminya mempunyai istri lain dan
begitu pula para wanita yang beragama Islam, ada banyak keberatan terhadap sistem poligami,
walaupun dalam ajaran islam seorang suami diperbolehkan untuk menikah lebih dari satu,
asalkan seorang suami dapat berlaku seadil mungkin terhadap istri-istrinya. Ini berarti, bahwa
kepada masing-masing istri harus diberikan nafkah yang pantas dan kecintaan yang layak,
dengan tiada perbedaan sedikitpun. Salah satu syarat untuk poligami dapat diusulkan, bahwa
harus ada ijin dari istri atau istri-istri yang sudah ada, ini adalah perlu untuk mencapai
perdamaian dan ketentraman diantara mereka. Kemudian dapat diisyaratkan, pula bahwa si
suami harus memperlakukan istri-istrinya masing-masing secara pantas dan adil, juga dapat
diisyaratkan, bahwa si suami ada alasan yang jitu untuk mendapatkan anak yang ia belum punya.
1. Bagaimana pertanggung jawaban pidana pelaku pemalsuaan surat persetujuan istri ditinjau
dari KUHP ?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap perkawinan poligami yang didasarkan pada adanya surat