Malam ini adalah malam yang istimewa bagi kita. Jika penutupan tahun-tahun lalu
kita hanya sekadar berpesta atau tinggal di rumah, malam ini kita merasa perlu berkumpul di
sini dan mencanangkan malam ini sebagai: “Malam Keprihatinan”. Tentu ada sebab-sebabnya.
Sebab yang paling nyata adalah tahun 1973 yang telah menimbulkan kebingungan-kebingungan
dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu perasaan kita. Tetapi yang terang
bagi kita, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, malam ini bukanlah malam pesta pora
dan peragaan kemewahan. Tetapi sebaliknya, malam ini justru merupakan kesempatan untuk
sejenak berhenti dari kesibukan kita sehari-hari dan merenungkan suasana prihatin yang kini
sedang mencekam kita dan rakyat Indonesia pada umumnya. Tetapi lebih dari itu adalah bahwa
protes kita terhadap keadaan yang tercermin dalam “Petisi 24 Oktober” ternyata menuntut
kita untuk lebih menegapkan langkah dan menjernihkan pikiran agar kehadiran kita dalam
masyarakat menjadi nyata dan berarti. Apalagi kalau kita bertekad untuk menanggung beban
sejarah. Karena sejarah telah membuktikan bahwa perubahan-perubahan besar selalu diawali
oleh kibaran bendera Universitas.
Mari kita baca beban sejarah yang ada di depan kita. Beban kita adalah membebaskan
rakyat dari penderitaan hidup sehari-hari. Beban kita adalah membuat rakyat yang menganggur
untuk mempersoalkan kesempatan kerja dan pembangunan ekonomi yang tidak menguntungkan
rakyat. Beban kita adalah mengetatkan gandengan dengan sesama generasi muda memikirkan
masa kini dan masa depan. Ringkasnya, beban sejarah kita adalah menggalakkan keberanian
rakyat untuk menyuarakan diri. Semua itu adalah beban yang tidak ringan—untuk tidak
mengatakan berat sekali. Namun pada akhirnya berat atau ringan beban itu tetap merupakan
beban kita. Sekali kita mengelak, untuk selamanya kita akan menjadi warga negara yang dikutuk
sejarah. Tetapi yang terpenting bagi kita adalah menghentikan kebisuan yang ditimbulkan oleh
himbauan kenikmatan yang dijanji-janjikan kepada kita. Dan juga kebisuan akibat feodalisme
yang mementingkan sikap nrimo, apatis dan antipartisipasi. Artinya, kita harus membebaskan
diri dari mitos-mitos yang menempatkan diri kita dalam posisi bisu dan terbelenggu. Misalnya,
mitos bahwa cinta kasih dan kemurahan hati kelompok-kelompok kecil penguasa jika mereka
berbuat baik adalah memang betul-betul dari hati yang tulus; mitos bahwa setiap ucapan dan
setiap tindakan penguasa adalah untuk kepentingan rakyat; mitos bahwa pemberontakan
terhadap nilai-nilai budaya feodal adalah berdosa untuk masyarakat.
Q-Communication didirikan oleh sejumlah wartawan yang sudah berpengalaman di dunia jurnalistik sejak tahun 2001. Secara organisatoris,
Q-Communication bernaung di bawah bendera PT Quadrat Visi Komunika,yang berdomisili di Jakarta. Q-Communication terutama bergerak
di bidang layanan konsultasi komunikasi dan media, seperti audit dan riset komunikasi, public relations (hubungan masyarakat); community
development, penerbitan dan event organizer. Layanan konsultasi Q-Communication mencakup asistensi bagi instansi pemerintah dan
swasta ataupun tokoh-tokoh publik untuk berkomunikasi secara baik dan efektif dengan masyarakat umum.
Q-Communication
Gedung Gajah Unit AP Lt.3
Jl. Dr. Sahardjo, No. 111, Tebet Barat, Jakarta 12810
Telp. 021-83705656, Fax. 021-8306568
Email : vehub@yahoo.com
Hariman & Malari
Gelombang Aksi Mahasiswa
Menentang Modal Asing
Editor:
Amir Husin Daulay
Imran Hasibuan
Tim Penulis:
Imran Hasibuan
Airlambang
Yosef Rizal
Q-Communication
Jakarta, 2011
~ ii ~
Rendra
Depok, Oktober 1981
Sajak Gita Durma adalah satu dari dua sajak WS Rendra yang ditulis untuk
Hariman Siregar. Sajak Gita Durma dibacakan pertama kali di depan publik oleh
WS Rendra dalam acara Temu Sastra di Teater Arena Taman Ismail Marzuki,
16 Desember 1982.
~iii ~
~ iv ~
~v ~
~ vi ~
Indeks 418
Tentang Editor 432
~ vii ~
~ viii ~
S
emangat yang ada dalam petikan salah
satu puisi penyair besar Indonesia, WS Rendra, di
atas tampaknya tepat benar untuk menggambarkan
sikap Hariman Siregar dalam menjalani kehidupan.
Bukan sengaja dipas-paskan, tapi memang begitulah
adanya kalau kita membaca catatan sejarah,
penuturan kawan dekatnya, pandangan orang-orang
yang sempat berkenalan dengannya, termasuk dari
orang-orang yang berseberangan sikap politiknya
dengan Hariman, dan juga dari kisah yang disampaikan Hariman Siregar
sendiri dalam berbagai kesempatan.
Rendra sendiri sempat menulis dua puisi khusus untuk Hariman, tapi
bukan yang dikutip di atas. Dari sini saja sebenarnya bisa dilihat betapa Hariman
sebagai suatu kepribadian memiliki pesona, yang mampu mendatangkan
inspirasi bagi penyair sekaliber Rendra. Dan, pesona itu juga dirasakan oleh
banyak orang, terutama oleh para aktivis pergerakan penentang pemerintahan
yang zalim, korup, dan tidak berpihak kepada rakyat kecil.
~ ix ~
~ xii ~
Prolog
Max Lane
~~
~~
ditunjang oleh sumber-sumber luar tadi. Dengan ini jelaslah betapa memang batuan
luar negeri dan modal asing merupakan faktor pokok dalam perekonomian negara,
dan bukan faktor pelengkap sebagaimana sering kali dikemukan oleh para pejabat.
Betapapun memang ada kenaikan dari hasil ekspor kita secara keseluruhan, akan
tetapi ketergantungan tadi tetap faktor pokok, yang jelas dipertunjukkan misalnya
oleh kenaikan-kenaikan pinjaman lewat IGGI.”
~~
*****
Gerakan 1973-1974, dengan pusatnya di Jakarta di bawah pimpinan Dewan
Mahasiswa UI—dengan medan kegiatan cukup kuat di Yogyakarta dan kota lain—
merupakan awal proses jatuhnya Orde Baru. Kelima sifat gerakan yang diuraikan di
atas merupakan komponen-komponen penting dari proses berkembangnya gerakan-
gerakan yang pada akhirnya menumbangkan Orde Baru. Sulit membayangkan
munculnya gerakan-gerakan yang kemudian terjadi tanpa pengawalan ini. Ironisnya,
banyak aktivis tahun 1990-an dan sekarang belum pernah serius mempelajari dan
menghayati pengalaman yang memelopori proses munculnya fenomena baru pasca-
1972 itu: perlawanan konfrontatif yang berpolitik riil (baik politik riil machtvorming
di sektor mahasiswa tahun 1970-an dan politik riil dalam melakukan intervensi pada
keretakan elite maupun politik riil mobilisasi massa buruh dan tani tahun 1990-an
oleh aktivis generasi baru.).
~~
~~
Saya kira tantangan tersebut berlaku buat semua orang; baik sebagai warga
negara Indonesia maupun bukan orang Indonesia, sebagai warga negara dunia. e
~ 10 ~
~ 11 ~
~ 12 ~
E p i s o d e 1
Awan Gelap
dalam Kehidupan Hariman
M
entari belum lagi menampakkan wajah
nya. Subuh itu, sekitar pukul 05.00 pagi, Hariman
Siregar masih tertidur di selnya di Rumah Tahanan
Militer (RTM) Budi Utomo Jakarta. Sudah dua hari,
ia mendekam di salah satu sel Blok 5, salah satu blok
yang menyeramkan di RTM Budi Utomo karena
berpenghuni orang-orang yang akan dihukum
mati. Tak jauh dari tempat Hariman berbaring
terbujur dua sosok rekan satu selnya: Mayor Jenderal (Polisi) Soewarno yang mantan
Panglima Daerah Kepolisian Jakarta saat peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan
Mayor Jenderal Soeratmo yang mantan Komandan Komando Logistik Angkatan
Darat (Kologad). Kedua rekan satu sel Hariman itu adalah tahanan politik yang
dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).
Di keheningan subuh itu tiba-tiba pintu sel dibuka petugas RTM. Ketiga
penghuninya yang sedang terlelap mendadak terkesiap. Rupanya ada kabar untuk
Hariman: Sriyanti, istri Hariman, dalam kondisi mengkhawatirkan di Rumah Sakit
St. Carolus, Jakarta. Hariman diminta bergegas untuk menjenguk istrinya di rumah
sakit.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, perasaan Hariman cemas dan
waswas. Saat ditinggal Hariman beberapa hari sebelumnya, Sriyanti memang dalam
keadaan hamil tua, mengandung anak kembar. Karena itu, Hariman mengkhawatirkan
keadaan Yanti dan anak-anak yang berada dalam rahim istrinya.
Setiba di Rumah Sakit St. Carolus, kecemasan Hariman menjadi kenyataan.
Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Kondisi istri tercintanya benar-benar
mengkhawatirkan. Dan, innalillahi wainna ilaihi rajiun, anak kembar yang baru saja
dilahirkan sang istri telah dipanggil kembali oleh Sang Mahapencipta.
~ 13 ~
Betapa berat derita dan duka yang menerpa Hariman. Sungguh wajar bila ia
tak kuasa menahan kesedihannya. Air mata mengalir di pipinya.
Namun, beberapa jenak kemudian, Hariman seakan menyadari bahwa dirinya
tak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Istrinya masih dirawat di rumah sakit. Ia
harus segera mengatasi kesedihannya.
Sore hari itu juga ia ikut mengantar jenazah anak kembarnya ke pemakaman
Karet Bivak. Dari sana, Hariman kembali ke rumah sakit untuk menunggui Yanti.
Tapi, pukul 03.00 dini hari, ia harus kembali ke RTM Budi Utomo, sesuai aturan yang
berlaku saat itu. Saat Hariman meninggalkan rumah sakit, kondisi Yanti masih dalam
keadaan sadar.
Namun, perasaan memang kerap memilih jalannya sendiri. Walau sudah
berusaha untuk tegar, Hariman di dalam selnya tetap saja tak bisa memejamkan mata.
Pikirannya tak tenang. Kesedihan kembali mendera perasaannya. Terbayang istrinya
yang terbaring lemah di rumah sakit. Ia juga teringat putra sulungnya, Reza, yang
ditinggal bersama mertuanya.
Ketika matahari memancarkan sinarnya, mata Hariman masih belum terpejam
sedikit pun. Sampai akhirnya, petugas RTM kembali membawa Hariman ke rumah
sakit. Rupanya kabar duka yang lain telah menanti di sana: sang istri koma. Hariman
~ 14 ~
~ 15 ~
Hariman (depan memegang papan nama) bersama teman-teman sekelasnya di SMPN 13 Jakarta.
~ 16 ~
~ 17 ~
~ 18 ~
~ 19 ~
~ 20 ~
E p i s o d e 2
Metamorfosis
Seorang Aktivis Mahasiswa
M
inggu, 21 Mei 1972, menjelang sore.
Sirkuit motor lintas alam milik Lapangan Kodam V
Jaya di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, telah sepi.
Tak ada lagi yang melintas di sirkuit sepanjang tiga
kilometer itu. Tak ada lagi napas yang berhenti
ketika para pembalap menikung di kelokan 90
derajat setelah 100 meter lepas dari garis start atau
180 derajat pada 100 meter berikutnya. Tak ada
lagi teriakan kagum ketika pembalap berhasil terbang dengan motornya di tanjakan
setinggi dua meter dengan sudut 60 meter, untuk kemudian seakan lenyap di sela-sela
pohon karet. Tak ada juga dukungan terhadap pembalap yang terjatuh di kubangan
lumpur selebar 200 meter.
Menjelang sore itu waktunya penyerahan trofi bagi para pemenang. Mereka
bukan pembalap-pembalap profesional. Laga bernama Campus Motor Cross itu
diselenggarakan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Pesertanya tak
lain calon-calon dokter yang kuliah di sana. Mereka telah menghabiskan empat kali
putaran untuk kelas up to 100 cc dan enam kali putaran untuk free for all.
Pada kelas bebas yang diikuti 13 peserta, Indra Sukmana yang mengendarai
Yamaha Trail 125 cc ditetapkan menjadi pemenang dengan waktu 47 menit 15 detik.
Ia mendapat Piala Bergilir Gubernur DKI Jakarta ditambah uang Rp30 ribu. Tempat
kedua diduduki Tonny dengan Kawasaki tipe 90 SS dan juara ketiga adalah Untung
Subrata dengan Yamaha tipe L2G. Mereka masing-masing menerima uang tunai
sebesar Rp20 ribu dan Rp10 ribu.
Adapun juara-juara dalam kelas up to 100 cc yang diikuti 18 pembalap adalah
Ade dengan Suzuki tipe A 100 III, Hariman Siregar (Honda tipe 90 S), dan Damora
Lubis (Honda tipe 90 S). Mereka pulang dengan mengantongi hadiah Rp20 ribu,
~ 21 ~
Rp15 ribu, dan Rp10 ribu. Tiga peserta terpilih sebagai pembalap favorit tanpa hadiah
adalah Bulganon (Honda tipe CB 100), Amal (Honda tipe 90 S), dan Judilherry
Justam (Honda tipe 90 S). “Masa itu aku memang lumayan sering ikut turnamen
balap motor, sekadar melanjutkan hobi semasa di SMA,” kenang Hariman.
Di awal tahun 1970-an itu, Hariman sudah tercatat sebagai mahasiwa FKUI.
Ia masuk FKUI tahun 1968. Sebelumnya, ia sempat mengikuti kegiatan masa
prabakti mahasiswa (mapram) di Institut Teknologi Bandung (ITB). Tapi, baru dua
hari mapram berjalan, ayahnya memanggil ke Jakarta dan menganjurkan Hariman
menjadi dokter. Ia pun menurut.
Meski hanya dua hari menjadi calon mahasiswa ITB, Hariman sempat
meninggalkan kesan “yang tak terlupakan”. Komarudin yang mantan Wakil Ketua
Dewan Mahasiswa ITB periode 1973-1974 mengisahkan peristiwa berkesan tersebut.
Mereka kebetulan satu rayon saat mapram itu. Komarudin bertutur, “Entah bagaimana
kejadiannya, saat perpeloncoan, Hariman kesal dan menyebut ‘ITB berengsek’
“Motor Tabib Melintas Alam”, Tempo edisi 3 Juni 1972.
Hariman Siregar. 1999. Loc.Cit.
~ 22 ~
~ 23 ~
Parakitri Tahi Simbolon. 1977. “Dibalik Mitos Angkatan 66”, dalam Prisma edisi Desember 1977.
John Maxwell. 2005. Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Jakarta: Pustaka Utama Grafitti.
Ibid.
Ibid.
~ 24 ~
~ 25 ~
Karmawan Burhan, Chris Siner Keytimu, Rachmat Witoelar, Wimar Witoelar, Sarwono
Kusumaatmadja, Erna Walinono, dan Arifin Panigoro. Juga tokoh-tokoh mahasiswa
yang lebih yunior, seperti Paulus Tamzil, Paskah Suzetta, Rulianto Hadinoto, Noke
Kirojan, dan Tjupriono Priatna (beberapa di antaranya berasal dari Studi Group
Mahasiswa Indonesia, yang anggotanya adalah ketua-ketua dan pengurus dewan
mahasiswa di Bandung); kemudian dari kalangan intelektual ada nama-nama seperti
Dr. Midian Sirait, dr. M.M. Moeliono, Amartiwi Saleh, S.H., Ny. Otong Kosasih,
Djuchro Sumitradilaga. Ditambah lagi dengan Dedi Krishna, Alex Rumondor, Bonar
Siagian, Djoko Sudjatmiko, R.A.F. Mully, Bernard Mangunsong, Lili Asdjudiredja,
dan Sjahrir dari Jakarta.12
Petisi Keadilan menyoal tiga pokok masalah yang menjadi titik tolak
kegagalan usaha mengadakan pembaruan guna memperbaiki tingkat hidup rakyat.
Pertama, dalam hal pengumpulan, pemanfaatan, dan pengawasan atas pendapatan
dan kekayaan negara, seperti minyak bumi dan sebagainya, dirasakan banyak
kepincangannya. “Kekayaan berlimpah-limpah yang dinikmati sebagai hasil korupsi
segelintir oknum aparatur negara di satu pihak dan dimintanya pengorbanan lebih
banyak dari rakyat dengan antara lain menaikkan harga minyak bumi dan kurang
diperhatikannya kebutuhan-kebutuhan dunia pendidikan di lain pihak dengan jelas
memperlihatkan contoh kepincangan-kepincangan ini.”
12
Rum Aly. 2004. Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik
Indonesia 1970-1974. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
~ 26 ~
~ 27 ~
~ 28 ~
~ 29 ~
~ 30 ~
Hariman saat memimpin pertemuan Ikatan Mahasiswa Profesi di Puncak Bogor (1973).
Disebelah kirinya Marzuki Darusman.
Hariman saat memimpin pertemuan Ikatan Mahasiswa Profesi di Puncak Bogor (1973).
Disebelahnya Prof. Dr. Kusnadi Harjasumantri.
~ 32 ~
~ 33 ~
~ 34 ~
~ 35 ~
~ 36 ~
E p i s o d e 3
Jalan
Menuju Malari
T
ak lama setelah terpilih sebagai Ketua
Dewan Mahasiswa UI, Hariman Siregar dilantik
oleh pihak Rektorat UI. Saat itu, ia masih tercatat
sebagai anggota Golkar. Menjelang pelantikan, ia
menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan
Golkar. “Saya dipilih oleh mahasiswa, bukan oleh
Golkar,” kata Hariman.
Pelantikan pengurus Dewan Mahasiswa UI dilakukan Penjabat Rektor UI,
Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso, awal Agustus 1973, yang mengggantikan sementara
Prof. Soemantri Brodjonegoro yang sedang sakit keras. Baru sebulan kemudian Prof.
Soemantri menominasikan calon tunggal untuk rektor definitive, yaitu Prof. Mahar
Mardjono. Kurang dari sebulan setelah pelantikan itu pula Dewan Mahasiswa UI
langsung sibuk dengan berbagai aktivitas protes terhadap Orde Baru.
Saat penyusunan kabinet Dewan Mahasiswa UI, Hariman mulai menunjukkan
independensinya. Ia memilih Judilherry Justam, Ketua Komisariat HMI UI, sebagai
Sekjen Dewan Mahasiswa UI. Padahal, orang-orang Opsus sebelumnya sudah wanti-
wanti agar Hariman tidak melibatkan aktivis HMI. “Gara-gara Hariman memilih Judil
sebagai sekjen, bukan aktivis binaan Opsus, para petinggi Opsus marah besar,” tutur
Gurmilang Kartasasmita. Gurmilang sendiri kemudian ditunjuk sebagai wakil ketua
II dan Theo Sambuaga menjadi wakil ketua I. Beberapa anggota aktif GDUI juga
ditunjuk Hariman dalam kabinetnya, antara lain Darmin Nasution yang menduduki
posisi Ketua Departemen Pendidikan Dewan Mahasiswa UI.
Judilherry sendiri menilai keputusan Hariman memilih dirinya sebagai hal
yang sangat strategis. “Menurut saya, waktu itu Hariman telah menemukan dirinya
sendiri,” kata Judilherry Justam, “atau mungkin bagi Hariman, Opsus waktu itu hanya
sekutu taktis saja.”
C. Van Dijk. 2000. Pengadilan Hariman Siregar. Jakarta: TePLOK PRESS.
~ 37 ~
~ 38 ~
~ 39 ~
~ 40 ~
~ 41 ~
~ 42 ~
Setelah diskusi dan petisi, Hariman mulai sibuk dengan berbagai diskusi di
berbagai kota. Ia melakukan berbagai kunjungan ke dewan mahasiswa se-Jawa. Pada
awal November dan Desember, misalnya, Hariman ke Yogyakarta bertemu dengan
Dewan Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Ia juga tampil
sebagai pembicara dalam suatu pertemuan mahasiswa, intelektual, dan seniman yang
disebut Pertemuan Ririungan di Bandung, 9 Desember 1973.
Setelah Petisi 24 Oktober 1974 keluar, berbagai kelompok mulai dibentuk, baik
di dalam maupun di luar kampus, antara lain Komite Kebanggaan Nasional, Komite
Kewaspadaan Nasional, Komite Anti-kemewahan, Generasi Pembayar Utang, dan
Kelompok Desember Hitam. Petisi itu juga memengaruhi kebangkitan pers dengan
sangat berarti.
Sementara itu, pertengahan Oktober 1973, terjadi suatu peristiwa penting
di Thailand. Aksi-aksi mahasiswa berhasil menggulingkan Perdana Menteri
Marsekal Thanom Kittikachorn. Melihat itu, pemerintah Indonesia semakin
gencar mengupayakan meredam aksi mahasiswa Indonesia. Peristiwa di Thailand
dianggap bisa memberi inspirasi bagi mahasiswa di Tanah Air. Bawahan-bawahan
Presiden Soeharto, terutama Jenderal Soemitro dan Ali Moertopo, bersaing untuk
mengendalikan mahasiswa. Soemitro rajin ke kampus-kampus bersama Kharis Suhud
dan Iwan Stamboel. Hanya UI yang tidak ia datangi.
Tapi, laporan-laporan media massa tentang cukongisme, korupsi, komisi 10
persen yang didapat oleh pejabat pemerintah atas proyek-proyek pembangunan, dan
konsolidasi di antara gerakan mahasiswa telanjur mulai menguat. Berbagai upaya
pendekatan yang dilakukan oleh otoritas keamanan itu hanya menjadi tempat untuk
debat antara mahasiswa dan “utusan” pemerintah. Diskusi-diskusi dan aksi di dalam
kampus atau ke jalan oleh mahasiswa tetap ramai berlangsung di berbagai kota:
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, Semarang, dan kota-kota lain.
Mahasiswa tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan momentum
berikutnya. Dua hari penting muncul di bulan November. Peringatan Hari Pahlawan
dimanfaatkan untuk mengumandangkan ikrar kesediaan berkorban untuk mencapai
masyarakat yang adil dan aman. Delapan dewan mahasiswa menandatanganai ikrar
itu, di antaranya Dewan Mahasiswa UI, ITB, dan Universitas Padjadjaran. Isi Ikrar
10 November 1973 itu10:
Max Lane. Op.Cit., halaman 72.
10
Rum Aly. 2004. Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik
Indonesia 1970-1974, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
~ 43 ~
~ 44 ~
bukan DMUI,” ujar Gurmilang Kartasasmita. Pernyataan pers itu menyatakan Dewan
Mahasiswa UI tidak menggerakan aksi terhadap Pronk, tapi bisa mengerti aksi itu
sebagai suatu gerakan mahasiswa.
Saat berkunjung ke Yogyakarta, beberapa hari kemudian, Pronk juga disambut
demonstrasi mahasiswa yang menamakan diri Gerakan Mahasiswa untuk Rakyat
Indonesia (Gemiri). Demonstrasi-demonstrasi itu bukan saja ditunjukkan kepada
Pronk. Para teknokrat Indonesia yang bertanggung jawab terhadap naskah rencana-
rencana pembangunan juga diserang. Dalam pamfletnya yang berjudul “Bantuan
Luar Negeri dan Pembangunan Kita”, Gemiri menyampaikan permasalahan bantuan
dan investasi asing dengan kata-kata sebagai berikut:
Bantuan luar negeri dapat memberikan pertolongan jangka pendek, tapi juga
akan membebani dalam jangka panjang…. Atau bahkan bisa menjadi senjata bagi
negara-negara besar untuk mengeruk bahan-bahan mentah produksinya dari negara-
negara berkembang.14
14
Max Lane. Op.Cit.
15
C. Van Dijk. Op.Cit.
~ 45 ~
~ 46 ~
Rekan-Rekan sekalian,
Malam ini adalah malam yang istimewa bagi kita. Jika penutupan tahun-
tahun lalu kita hanya sekadar berpesta atau tinggal di rumah, malam ini kita merasa
perlu berkumpul di sini dan mencanangkan malan ini sebagai “Malam Keprihatinan”.
Tentu ada sebab-sebabnya. Sebab yang paling nyata adalah tahun 1973 yang telah
menimbulkan kebingungan-kebingungan dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang
mengganggu perasaan kita. Tetapi yang terang bagi kita, mahasiswa dan masyarakat
pada umumnya, malam ini bukanlah malam pesta pora dan peragaan kemewahan.
Tetapi sebaliknya, malam ini justru merupakan kesempatan untuk sejenak berhenti
dari kesibukan kita sehari-hari dan merenungkan suasana prihatin yang kini sedang
mencekam kita dan rakyat Indonesia pada umumnya. Tetapi lebih dari itu adalah
bahwa protes kita terhadap keadaan yang tercermin dalam Petisi 24 Oktober
ternyata menuntut kita untuk lebih menegapkan langkah dan menjernihkan pikiran
agar kehadiran kita dalam masyarakat menjadi nyata dan berarti, apalagi kalau kita
bertekad untuk menanggung beban sejarah. Karena, sejarah telah membuktikan bahwa
perubahan-perubahan besar selalu diawali oleh kibaran bendera universitas.
Mari kita baca beban sejarah yang ada di depan kita. Beban kita adalah
membebaskan rakyat dari penderitaan hidup sehari-hari. Beban kita adalah membuat
rakyat yang menganggur untuk mempersoalkan kesempatan kerja dan pembangunan
ekonomi yang tidak menguntungkan rakyat. Beban kita adalah mengetatkan gandengan
dengan sesama generasi muda memikirkan masa kini dan masa depan. Ringkasnya,
beban sejarah kita adalah menggalakkan keberanian rakyat untuk menyuarakan diri.
Semua itu adalah beban yang tidak ringan—untuk tidak mengatakan berat sekali.
Namun pada akhirnya berat atau ringan beban itu tetap merupakan beban kita. Sekali
kita mengelak, untuk selamanya kita akan menjadi warga negara yang dikutuk sejarah.
Tetapi yang terpenting bagi kita adalah menghentikan kebisuan yang ditimbulkan
19
Ricardo Iwan Yatim, dkk. Op.Cit.
~ 47 ~
~ 48 ~
~ 49 ~
~ 50 ~
~ 51 ~
Hariman Siregar
~ 52 ~
20
Setelah Peristiwa Malari, Salim Kadar, Ketua I Serikat Buruh Maritim Indonesia, sempat ditangkap,
namun dilepaskan kembali.
~ 53 ~
~ 54 ~
E p i s o d e 4
Di Tengah Pusaran
Peristiwa Malari
L
anggal 15 Januari 1974. Siang itu, rapat dewan
mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di kampus
Universitas Trisakti ditutup, dipercepat karena
embusan berita terjadinya kerusuhan di beberapa
wilayah Jakarta. Hariman Siregar, Ketua Dewan
Mahasiswa UI, segera memutuskan segera kembali
ke kampus UI di Salemba. Ia didampingi dua aktivis
mahasiswa UI lain: Sylvia Tiwon dan Ibrahim (Bram)
G. Zakir. Mereka mengendarai “mobil khusus DMUI”. Kenangan itu masih tertancap
kuat dalam ingatan Sylvia Tiwon:
“Hariman minta diantar secepatnya ke Salemba. Bertiga, dengan Bram
Zakir, kami meluncur ke kampus UI, masing-masing diam dengan bayangan sendiri,
mencoba memahami berita bahwa wilayah Senen sedang dilanda kerusuhan besar-
besaran, dengan massa yang entah datang dari mana, membakar mobil, merusak
gedung....
Hariman yang tak pernah menyukai atribut apa pun melepas jaket kuning dan
lencana Ketua DMUI. Di depan RSCM, Jalan Diponegoro, sudah dipenuhi massa
sehingga mobil tak dapat memasuki halaman kampus UI. Sebelum kami sempat
memutuskan untuk balik arah memasuki halaman parkir rumah sakit, Hariman
sudah lompat ke luar dan lari—sendiri—menuju perempatan Diponegoro-Salemba.
Barangkali imej Hariman inilah yang tak akan lepas dari ingatan: seorang anak muda
berdiri di tengah jalan, tangan melambai-lambai, berusaha menghentikan truk penuh
massa manusia yang mengalir ke arah Senen. Tak lama kemudian, ia hilang dari
penglihatan, tertelan jejalan orang yang semakin berbondong...”
Ketika hari memasuki malam, ambulans dengan sirene yang terus meraung
bolak-balik dari berbagai lokasi ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Suara tembakan masih terdengar sampai pukul 20.00, terutama di sekitar Salemba
Lihat penuturan Sylvia Tiwon di buku ini, halaman...
~ 55 ~
dan Senen. Jam malam sesungguhnya sudah diumumkan berlaku sejak pukul 18.00
hingga pukul 6.00 pagi. Tapi, massa masih memadati jalan sepanjang Matraman,
Salemba, dan Kramat Raya.
Selasa malam itu, 15 Januari 1974, dua orang lagi tewas di depan kantor
Departemen Pertanian. Mereka tertembak peluru aparat keamanan yang berupaya
membubarkan kerumuman massa. Baru sekitar pukul 01.00 dini hari kemudian
mayatnya bisa diangkut oleh ambulans ke kamar jenazah RSCM.
Jakarta terbakar, dua hari berturut-turut: sejak Selasa (15 Januari) hingga
Rabu (16 Januari). Asap mengepul di hampir setengah bagian kota, mulai dari Roxy
(wilayah Jakarta Pusat yang dekat dengan Jakarta Barat), Cempaka Putih dan Bypass
(di Jakarta Pusat), Glodok (Jakart Barat), hingga Jalan Sudirman (Jakarta Selatan) dan
Matraman (di Jakarta Timur). Api paling besar melahap pusat pertokoan di kawasan
Senen (Jakarta Pusat) yang dibangun tahun 1967 dengan dana Rp2,7 miliar. Dua
blok bangunannya yang berlantai empat berisi 700 toko, 3 bank (BBD, BNI 46, dan
BPD Jaya), satu klub malam, taman ria anak-anak, fasilitas sauna, tempat permainan
boling, dan unit perkantoran PT Pembangunan Jaya gosong dibelai si jago merah.
Menteri Pertahanan dan Keamanan /Panglima ABRI Jenderal Maraden Pang
gabean kepada sidang pleno DPR yan digelar 21 Januari 1974 melaporkan, sebanyak
807 mobil dan 187 sepeda motor rusak atau dibakar, 144 buah gedung rusak atau
Jam malam dikeluarkan melalui pengumuman yang dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtib Jaya No: Peng-002/PK/
I/1974 tanggal 15 Januari dan mulai berlaku hari itu juga, disusul oleh dua maklumat dari Laksus Pangkopkamtib Jaya
tentang larangan berkumpul lebih dari lima orang di luar rumah pada siang hari dan penutupan sekolah dari sekolah dasar
hingga perguruan tinggi mulai 16 Januari 1974.
~ 56 ~
~ 57 ~
Senen waktu itu belum terjadi apa-apa. Setiba di kampus baru didengar kabar: Senen
dibakar. Mahasiswa pun memilih bertahan di kampus, seorang pun tidak diizinkan
keluar.
Menurut catatan mantan Rektor UI Prof. Mahar Mardjono, bakar-bakaran
sudah terjadi sekitar pukul 11.00 WIB, saat mahasiswa dari berbagai universitas
masih melakukan apel akbar di Trisakti. “Sekelompok mahasiswa lain—yang diduga
mendapatkan janji-janji insentif material dan jabatan dari kelompok Ali Moertopo—
bersama sejumlah massa telah mulai melakukan sejumlah pengrusakan di bagian kota
lain, seperti Pasar Senen, Harmoni, dan Jalan Juanda,” tutur Mahar Mardjono.
Persiapan apel akbar itu berlangsung sejak pagi. Sejak pukul 08.00 sudah
banyak mahasiswa berkumpul di halaman FKUI. Selain dari UI, mahasiswa yang
datang di antaranya dari Universitas Kristen Indonesia, Universitas Trisakti, Uni
versitas Atma Jaya, Universitas Nasional, Universitas Jayabaya, IKIP Jakarta,
Universitas Pancasila, IAIN Syarif Hidayatullah, Universitas Krisnadwipayana, dan
Sekolah Tinggi Olahraga. Datang pula beberapa truk yang mengangkut pelajar yang
diorganisasi oleh Jusuf A.R. dan Jesse A. Monintja.
Mereka berasal dari lima rayon eks-pasukan gabungan KAPPI Jakarta Pusat.
Menjelang berangkat, upacara singkat dilakukan. Meja-meja ditumpuk menjadi
mimbar. “Saya pernah berseloroh kepada Hariman, kalau mahasiswa ‘74 mau buat
patung seperti mahasiswa ‘66, simbolnya meja yang ditumpuk,” kata Sugeng Sarjadi,
mantan mahasiswa ITB.
Antony Z. Abidin, dkk. 1997. Mahar: Pejuang, Pendidik dan Pendidik Pejuang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan bekerja
sama dengan Ikatan Alumni UI.
~ 58 ~
~ 59 ~
~ 61 ~
~ 62 ~
Hariman (berjalan paling depan, ditengah) memimpin delegasi Dewan Mahasiswa se-Indonesia bertemu Presiden
Soeharto di Bina Graha (1974).
Hariman (duduk paling kiri) dan Delegasi Dewan Mahasiswa se-Indonesia sesaat sebelum bertemu Presiden
Soeharto di Bina Graha.
~ 63 ~
~ 64 ~
Showroom Toyota di jalan Sudirman, Jakarta, yang dibakar massa saat Peristiwa Malari.
~ 65 ~
~ 66 ~
~ 67 ~
~ 68 ~
23
Wawancara dengan Todung Mulya Lubis.
24
Max Lane. 2007: Op.Cit.
~ 69 ~
~ 70 ~
E p i s o d e 5
Pengadilan
dan Penjara
J
alan masuknya hanya berupa tanah. Sempit
pula. Mobil akan sulit masuk dan, bila hujan, jangankan
roda kendaraan, langkah kaki pun kurang gagah karena
lumpur becek. Tetapi setelah menempuh jalan buruk
itu beberapa menit akan dijumpai tembok batu tinggi
dikelilingi persawahan yang membentengi beberapa
bangunan. Mereka yang hidup pada periode awal Orde
Baru mengenal—setidaknya pernah mendengar—nama
tempat ini: Penjara Nirbaya. “Dulu lokasi Nirbaya
terpencil di pinggir Jakarta. Untuk mencapainya, keluarga
para tahanan harus melalui jalan tanah, yang kalau musim hujan jadi becek dan
berlumpur,” kenang Hariman Siregar.
Sekarang mungkin orang hanya mengenal nama Nirbaya untuk menyebut
salah satu lembaga permasyarakatan (lapas) di Pulau Nusakambangan. Nirbaya yang
tempat mendekam Hariman Siregar, setelah di vonis pengadilan, tidaklah sejauh itu.
Letaknya hanya di pinggir Jakarta, di kawasan Pondok Gede, tidak jauh dari Taman
Mini Indonesia Indah. Namun, kini tak ada lagi bekas penjara itu. Tempatnya sudah
berganti dengan pemukiman yang dipadati penduduk. Hanya nama Jalan Nirbaya
yang masih mengingatkan penduduk lama di daerah itu bahwa dulu ada sebuah
penjara di tempat mereka. Lokasinya ada di sisi kanan jalan dari Terminal Pinang
Ranti menuju Asrama Haji.
Selama satu tahun delapan bulan, Hariman Siregar pernah menjadi salah satu
penghuni Nirbaya, setelah sebelumnya mendekam di sejumlah penjara lain. Menyusul
kemudian ke Nirbaya adalah Sjahrir dan Aini Chalid. Tokoh lain yang sempat diseret
kasus Malari oleh pemerintah dan ditempatkan di Nirbaya adalah Mochtar Lubis,
Adnan Buyung Nasution, dan Bung Tomo. Sebelum mereka telah ada tahanan dari
peristiwa Gerakan 30 September 1965. Mereka antara lain: Omar Dhani (Kepala Staf
Angkatan Udara di masa Soekarno), Soebandrio (mantan Wakil Perdana Menteri dan
Mochtar Lubis menggunakan istilah “tahanan Gestapu.” Lihat: Mochtar Lubis. 2008. Op.Cit.
~ 71 ~
Hariman bersama para aktivis DMUI (Bambang Sulistomo, Gurmilang Kartasasmita, dan Eko Djatmiko) di
RTM Budi Utomo (1974).
~ 73 ~
~ 74 ~
Sidang pengadilan peristiwa malari, Hariman Siregar di pengadilan negeri Jakarta Pusat, Jakarta, 1975.
[TEMPO/ Harun Musawa)
Pengunjung sidang berusaha mendekati Hariman Siregar yang akan masuk ke mobil tahanan, Jakarta, 1975.
[TEMPO/ Zulkifly Lubi)
~ 75 ~
~ 76 ~
Setelah setengah jam dakwaan dibacakan, Ketua Majelis Hakim B.H. Siburian
bertanya kepada Hariman. “Saudara mengerti tuduhan yang baru saja dibacakan?”
“Tidak,” jawab Hariman.
“Mengerti bahasa Indonesia?” tanya Hakim lagi.
“Mengerti. Tapi saya tidak dapat memahami segi-segi hukumnya,” kata
Hariman.
“Ada yang Saudara mohon kepada Majelis Hakim?”
“Ada. Kalau boleh supaya sidang yang memeriksa saya ditunda satu bulan
Hariman Siregar. 1999. Op.Cit.
~ 77 ~
~ 78 ~
Hariman bersama para pengacaranya, Suardi Tasrif dan T. Mulya Lubis, di halaman PN Jakarta Pusat (1983).
~ 80 ~
~ 81 ~
~ 83 ~
~ 84 ~
~ 85 ~
~ 86 ~
Hariman (tanda X) bersama tahanan politik lainnya di Tahanan Pusdiklat Kejaksaan Agung, Ragunan (1976).
Hariman bersama jaksa penuntut umum perkaranya, Mambo (kiri) dan Ph. Rompas (kedua dari kiri) di Tahanan
Pusdiklat Kejaksaan Agung, Ragunan (1974).
~ 87 ~
~ 88 ~
E p i s o d e 6
Menjaga Ruh
Gerakan Mahasiswa
P
asca-Peristiwa Malari, situasi po
litik Indonesia adem ayem. Tapi, menjelang
pertengahan 1977 hingga awal 1978, suasana
politik mulai memanas lagi. Panggungnya tak lain
adalah Pemilu 1977 dan Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) 1978. Situasi
mulai menegang baik di gedung parlemen maupun
jalanan. Di parlemen, misalnya, Rapat Panitia Ad
Hoc II Badan Pekerja MPR tentang Naskah Rancangan Eka Prasetya Pancakarsa
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, P4) yang disodorkan Presiden
Soeharto berakhir dead-lock alias macet. Rapat yang berlangsung dari 7 November
sampai 18 Desember 1977 gagal mencapai kesepakatan tentang butir-butir tafsir
Pancasila itu.
Sehari menjelang tutup tahun 1977, seorang guru besar hukum tata negara yang
juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia diperiksa oleh Kodim 0505 Jakarta
Timur. Sang guru besar, Prof. Dr. H. Ismail Suny S.H., M.C.L., diinterogasi lantaran
pernyataannya pada diskusi di kampus IKIP Rawamangun: “Di sini (Indonesia) ada
pejabat yang memiliki simpanan uang Rp140 miliar di bank.” Akibatnya, seharian ia
berhadapan dengan mesin keamanan Orde Baru: militer.
Gerakan mahasiswa pun bagaikan mendapat suntikan darah baru. Bahkan, isu
yang dilontarkan lebih berani: kini Presiden Soeharto sendiri yang menjadi sasaran
serangan. Aksi-aksi yang dilakukan di kampus-kampus mencemooh korupsi serta
keserakahan pejabat negara, terutama keluarga Presiden Soeharto. Para pemimpin
mahasiswa mengkritisi seluruh basis strategi pembangunan presiden.
David Jenkins. 2010. Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983. Depok: Komunitas
Bambu, halaman 94.
~ 89 ~
Hariman Siregar berpidato didepan massa pada peringatan sumpah pemuda oleh dewan mahasiswa dan senat
mahasiswa se Jakarta di kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, 1980. [TEMPO/ Ali Said).
Pertengahan tahun 1977, Dipo Alam yang mantan Ketua Dewan Mahasiswa
UI mengejek pemerintah Soeharto secara terbuka dengan cara “mencalonkan” mantan
Gubernur Jakarta Ali Sadikin sebagai presiden. Singkat kata, iklim perpolitikan
nasional sudah memanas lagi.
Di tengah suasana politik itulah, tanggal 2 Januari 1978, seorang mahasiswa
ITB bertandang ke sebuah rumah di Jalan Brawijaya, Jakarta Selatan. Jalanan yang
dikawal pepohonan itu sepi seperti biasa—apalagi lalu lintas Jakarta belum sepadat
sekarang. Angin bertiup tak terlalu kencang. Di dalam rumah, sang tamu mengenalkan
diri: Jusman Syafii Djamal, Wakil Ketua Bidang Kemasyarakatan Dewan Mahasiswa
ITB. Ini perjumpaan pertama mereka setelah sebelumnya berbicara lewat telepon.
Pemuda yang menyambut sudah mulai menebak-nebak maksud kedatangan
mahasiswa ITB. Si pemuda, yang tak lain adalah Hariman Siregar, belum terlalu lama
bebas dari penjara, sejak 11 Agustus 1976. Istrinya sedang sakit akibat pendarahan
di otak ketika melahirkan putra kembar mereka. Rumah tempat pertemuan itu tak
lain milik mertua Hariman yang seorang guru besar ilmu ekonomi, Profesor Sarbini
Soemawinata.
“Ketua Umum DM ITB Heri Akhmadi mengutus saya sendirian untuk
menemui Hariman hari itu,” Jusman mengenang perjumpaan pertamanya dengan si
pemuda di Jalan Brawijaya itu. “Terus terang, sebagai mahasiswa dan aktivis yang
~ 90 ~
~ 91 ~
Ibid., halaman 96.
Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution. 2008. Op.Cit.
Majalah Tempo edisi 21 Januari 1978.
~ 92 ~
~ 93 ~
Hariman bersama Adnan Buyung Nasution dan WS Rendra tampil di panggung aksi mahasiswa ITB (1978).
~ 94 ~
~ 95 ~
Hariman Siregar (kanan), Lukman Hakim (kedua dari kanan), Chudori Hamid (kiri) pada diskusi KM UI tentang
demokrasi setelah 35 tahun merdeka, Jakarta, 1980. [TEMPO/ Najib Salim).
~ 96 ~
Hariman Siregar, Bambang Sulistomo pada diskusi tentang peranan politik mahasiswa dengan tokoh tokoh
Universitas Indonesia di Asrama PGT Universitas Indonesia, Jakarta, 1991. [TEMPO/ Donny Metri).
dilarang di semua kampus. NKK sejajar dengan konsep Ali Moertopo tentang “massa
mengambang”, yang kini diterapkan dalam di arena kehidupan kampus. Mahasiswa
aktivitasnya hanya untuk belajar, selesai, dan sebagai massa mengambang yang
sekadar menyibukkan dirinya dalam usaha pembangunan. Setelah dua gelombang
penindasan, di tahun 1974 dan tahun 1978, NKK sedikit banyak terbukti efektif dalam
menghentikan politik mobilisasi di dalam dan di luar kampus untuk satu dasawarsa
ke depan.
Tapi, Hariman tak merasa khawatir terhadap upaya kooptasi dari penguasa
kepada mahasaiswa dan kaum muda. Sebab, seperti terjadi sepanjang sejarah, akan
selalu ada kaum muda—terutama mahasiswa—yang percaya dengan kekuatannya dan
sadar bahwa keberadaannya adalah untuk menyuarakan nurani rakyat. Ini berangkat
dari karakter gerakan mahasiswa sendiri. Karakter gerakan mahasiswa, menurut
Hariman, meliputi empat kata kunci: berani, kreatif, spontan, dan konsisten.
Keberanian, tulis Hariman, sangat dibutuhkan untuk mendobrak kesumpekan
situasi politik yang terasa menindas, mengimpit, hingga meremukkan tulang.10
Keberanian diperlukan untuk melakukan perubahan. Dan, “keberanian praktis
dimiliki—kalau tidak hendak disebut dimonopoli—oleh kaum muda.” Mahasiswa
sebagai bagian kaum muda yang terpelajar merupakan perpaduan antara emosi dan
pemikiran. Kekerasan dan tindakan brutal dari aparat keamanan adalah risiko.
Max Lane. 2007. Op.Cit, halaman 91.
10
Hariman Siregar. 1995. Loc.Cit.
~ 97 ~
Hariman berpidato memberikan dukungan untuk aksi keprihatinan mahasiswa di kampus Trisakti, 13 Mei 1998.
“Seperti masa saya mahasiswa. Substansinya bukan pada persoalan ada yang
merekayasa peristiwa Malari atau menjadikan para pelakunya sebagai tokoh. Sebab
ini berkaitan dengan soal leadership. Artinya, sebelum saya berdiskusi di kampus,
semua orang merasakan situasi yang kritis dan masyarakat resah, cuma tidak ada orang
yang berani bertanggung jawab. Tak ada yang berani maju. Ketika menjadi Ketua
Dewan Mahasiswa UI, saya mengambil alih isu yang berkembang di masyarakat.
Jadi, bukan berarti saya hanya menggunakan momentum saat itu, melainkan saya
~ 98 ~
~ 99 ~
12
Ibid..
~ 100 ~
E p i s o d e 7
Dalam Lingkaran
Kekuasaan
T
anggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto resmi
mengundurkan diri. Soeharto lengser akibat tekanan
publik yang luar biasa dahsyatnya, yang ditunjukkan
melalui gelombang unjuk rasa massif yang tak pernah
henti hingga berujung pada pendudukan Gedung MPR/
DPR RI. Lengsernya penguasa Orde Baru ini juga
disebabkan karena dirinya merasa sudah tidak mendapat
dukungan lagi dari elite politik.
Yang paling mengejutkan—atas desakan demonstran—Ketua MPR H. Harmoko
menuntut agar Soeharto menanggalkan jabatan yang telah disandang selama 32 tahun.
Tuntutan Harmoko itu mengejutkan. Maklum, sebelumnya Harmoko dianggap sebagai
“penyambung lidah” Soeharto yang paling setia. Sebelum pembelotan Harmoko,
sebanyak 14 menteri menolak diikutsertakan dalam “Komite Reformasi” yang akan
dibentuk oleh Soeharto untuk merespons tuntutan para demonstran.
Bacharuddin Jusuf Habibie, yang ketika itu menjabat Wakil Presiden RI,
pun naik jabatan menggantikan Soeharto. Indonesia masuk dalam proses transisi
demokrasi. Naiknya Habibie sebagai Presiden RI membuat kekuatan pro-demokrasi
yang sebelumnya solid dalam gerakan penglengseran Soeharto menjadi terbelah: antara
yang pro dan kontra Habibie.
Kelompok masyarakat yang menolak Habibie berpendapat, bagaimanapun
Habibie adalah “murid kesayangan” Soeharto. Bahwa Soeharto adalah guru sekaligus
orang yang begitu dihormati Habibie, ini sudah menjadi rahasia umum. Hal ini pun
diungkapkan sendiri oleh Habibie dalam sejumlah kesempatan. Dengan background
seperti itu, menurut para oposan, bagaimana mungkin Habibie bisa diharapkan
mengemban amanat reformasi, yang salah satu tuntutannya adalah mengadili Soeharto
dan kroni-kroninya.
~ 101 ~
Hariman bersama Presiden BJ Habibie serta Fanny Habibie dan Timmy Habibie (1998).
~ 102 ~
~ 103 ~
~ 104 ~
~ 105 ~
Bacharuddin Jusuf Habibie. Op.Cit.
~ 107 ~
~ 108 ~
E p i s o d e 8
Mengawal
Transisi Demokrasi
M
eski kecewa karena B.J. Habibie—
orang yang diyakini Hariman sebagai figur yang
pas untuk memimpin proses transisi demokrasi—
dikhianati, peristiwa tersebut memberikan sejumlah
pelajaran berharga bagi Hariman. Ia semakin
menyadari bahwa transisi politik dari rezim otoriter
menuju sistem politik demokratis tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan. Selain memerlukan
adanya perubahan pada aras politik, juga dibutuhkan perubahan pada tataran kultural
dan sosiologis.
Hariman menilai, pengkhianatan yang dilakukan oleh sejumlah anggota parlemen
terhadap Habibie sebagai cerminan belum matangnya budaya politik demokratis bangsa
Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun berada dalam cengkeraman penguasaan rezim
otoriter. Kesimpulan Hariman ini, selain sebagai hasil dari kontemplasi pribadi, juga
merupakan akumulasi pemikiran dari hasil diskusi antara dirinya dengan sejumlah tokoh
cendekiawan. Mereka antara lain Prof. Sarbini Soemawinata (almarhum), Prof. Malik
Fajar (Rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang diangkat sebagai Menteri
Agama di pemerintahan Presiden B.J. Habibie), Dr. Adnan Buyung Nasution, dan Dr.
Moeslim Abdurrahman.
Diskusi-diskusi tersebut berlangsung sepanjang Desember 1999 atau satu
bulan sebelum peringatan Peristiwa Malari, 15 Januari 2000. Hariman bersama para
tokoh tersebut berkesimpulan serupa: diperlukan upaya lain untuk mengawal transisi
demokrasi yang sedang berlangsung, yaitu melakukan pendidikan politik demokrasi
kepada masyarakat. Pendidikan politik masyarakat diperlukan sebagai prasyarat
terjadinya perubahan pada aras kultural dan sosiologis. Para tokoh tersebut menyarankan
Hariman untuk mendirikan sebuah wadah atau organisasi sebagai wahana pendidikan
politik rakyat.
~ 109 ~
Hariman bersama Prof. Dr. Mahar Mardjono dan Wahyu Sardono ( Dono Warkop) berorasi di depan
kampus UI Salemba (1998).
Prof. Malik Fajar, misalnya, tahu kalau selama ini Hariman kerap memperingati
Peristiwa Malari secara terbatas, hanya bersama dengan rekan-rekannya sesama pelaku
sejarah tersebut. Menurut Malik Fajar, “semangat Malari” bisa dijadikan media untuk
melakukan pendidikan politik kepada rakyat, seperti yang mereka diskusikan. Memang,
selama ini, Hariman bersama rekan-rekannya yang terlibat dalam Peristiwa Malari selalu
memperingati kejadian tersebut terbatas untuk kalangan mereka semata. Kalaupun ada
~ 110 ~
Hariman sedang bercanda dengan Rizal Ramli dan Adhie Masardi dalam sebuah diskusi.
Hariman bersama Gus Dur (kiri), dan bersama Taufiq Kiemas (kanan) dalam suatu pesta pernikahan.
~ 113 ~
~ 114 ~
~ 115 ~
~ 116 ~
Presiden Try Sutrisno, Saiful Sulun (mantan Wakil Ketua MPR/DPR), cendekiawan
muslim Prof. K.H. Ali Yafie, Frans Seda, Mohammad Cholil Badawi (veteran pejuang
kemerdekaan yang pernah menjadi Ketua Badan Pembina Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia), K.H. Moehammad Zain, Monang Siburian (purnawiran perwira tinggi
TNI bidang intelijen), dan Bambang Wiwoho. Adik Gus Dur yang juga anggota DPR
dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Lily Wahid, juga banyak terlibat aktif dalam
~ 117 ~
~ 118 ~
13
Ibid.
14
���������������������������
Batak Pos, 11 Januari 2000.
~ 119 ~
~ 120 ~
E p i s o d e 9
Meluruskan
Jalan Demokrasi
D
emokrasi dianggap meng-ada dalam suatu
negara antara lain dengan dua ciri: kebebasan mendirikan
partai politik dan sistem pemilihan umum yang langsung,
umum, dan bebas. Perebutan kekuasaan dimungkinkan
melalui pemilihan umum yang diikuti oleh kader-kader
partai politik. Perubahan politik karenanya terbuka lebar
untuk diperjuangkan dengan cara mengikuti pemilihan
umum.
Tapi, Hariman Siregar menolak terlibat dalam partai dan pesimistis bahwa
pemilihan umum bisa menghasilkan perubahan. “Hariman lebih percaya kepada
mahasiswa sebagai motor perubahan dan demokrasi,” kata Mulyana Wira Kusumah,
Sekretaris Jenderal pertama Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).
Sejak puluhan tahun lampau hingga sekarang, Hariman Siregar meyakini masa
depan sesungguhnya dimiliki oleh anak muda dan karenanya harus diperjuangkan
pada masa kini oleh komponen terkuat dari anak muda: mahasiswa. Ia tak begitu
percaya—kalau tak bisa dibilang “tak percaya sama sekali”—lembaga-lembaga
formal dalam demokrasi, semisal partai politik.
Keyakinan diri Hariman ini menjawab pertanyaan mengapa ia tak memimpin,
mendirikan, atau setidaknya bergabung dengan partai politik. Padahal, bila mengingat
jejaring yang telah ia rajut sejak memimpin Dewan Mahasiswa UI hingga sekarang,
Hariman memiliki sumber daya manusia dan logistik yang cukup untuk melibatkan
diri dalam partai politik. Bukan tak sedikit kelompok-kelompok atau individu yang
mendorong Hariman mendirikan partai politik setelah sistem multipartai dimulai lagi
di Indonesia pasca-1998. Tapi, melihat dan mengalami—sejak masa awal Orde Baru
hingga sekarang—bagaimana perilaku partai politik di Indonesia, Hariman memilih
untuk memercayakan perubahan pada cara lain: ekstraparlementer. Ketidakpercayaan
~ 121 ~
Hariman kepada partai berdasar sejumlah alasan yang berangkat dari kenyataan.
“Partai politik dibentuk untuk building block kekuasaan semata, bukan untuk
memajukan kesejahteraan rakyat, karena partai hanya berfungsi lima tahun sekali
untuk mengantarkan (orang) ke kekuasaan,” papar Hariman. Praktik kepartaian
semacam ini membuahkan tradisi jual-beli (transaksional). Di dalam partai, beberapa
hal diatur, tapi tidak bisa atau jangan menjadi “yang tidak mau”. Sebab, seperti dalam
halnya rumus jual beli, yang tidak mau adalah yang ditinggalkan.
Ia menunjuk pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai contoh kasus. Partai-
~ 122 ~
~ 124 ~
~ 125 ~
~ 126 ~
~ 128 ~
~ 129 ~
~ 130 ~
~ 131 ~
~ 132 ~
Hariman Siregar
d a r i M a s a k e M a s a
~ 133 ~
~ 134 ~
~ 135 ~
~ 136 ~
~ 137 ~
~ 138 ~
~ 139 ~
Hariman dalam sebuah acara makan malam bersama Dorodjatun Kuntjoro -Jakti, Bambang Sulistomo
dan Adnan Buyung Nasution. Acara ini merupakan pertemuan rutin sesama bekas tahanan Malari.
~ 140 ~
~ 141 ~
Hariman berbincang serius dengan seorang Rincophe (Budha hidup dari Nepal).
Hariman bersama Didi Dawis (ketiga dari kiri) saat menjadi tamu Rinpoche, di Nepal.
~ 142 ~
Hariman dalam sebuah acara di Solo bersama Mudrick Sangidoe dan Sri Bintang Pamungkas (2003).
~ 143 ~
Hariman bersama Presiden BJ Habibie, Fanny Habibie, dan Timmy Habibie (1998).
Hariman bersama Adnan Buyung Nasution dan para aktivis politik (2004).
~ 144 ~
~ 145 ~
Hariman bermain golf bersama Jenderal Polisi (Purn) Sutanto, Jenderal Polisi (Purn) Widodo Budi-
darmo, dan Komjenpol (Purn) Noegroho Djajoesman.
~ 146 ~
Hariman bersama para aktivis Gerakan Rakyat Demokratik (GRD) : Mangadang, Asep dan Brigjen Purnawan (alm).
~ 147 ~
Hariman bersama Agung Laksono, dan (alm.) Maniwanen Marimutu, dalam sebuah acara resepsi pernikahan.
~ 148 ~
~ 149 ~
~ 150 ~
~ 151 ~
~ 152 ~
O
rang di luar kebanyakan melihat Hariman sangat santai
dan banyak humor. Hari-harinya paling hanya diisi dengan
pikiran tentang politik negara: apa yang terjadi di Papua
atau Tanah Toraja, misalnya. Memang, di rumah pun kami
banyak berdiskusi soal-soal politik. Saya kadang dimarahi
bila tak memahami masalah dasarnya. Sebab, Hariman
kerap memperlakukan lawan bicara seolah sudah selesai
dengan hal-hal elementer tentang suatu topik.
Tapi, pembicaraan sebetulnya tidak melulu soal politik. Kami sering berdebat
keras tentang satu lema dalam bahasa Inggirs. Ia ngotot mengartikan berbeda dengan
saya. Karena saya lulusan sastra Inggris, terang saya merasa lebih tahu dari dia. Saya
misalnya memancing dengan ‘mengejek’ karya Mas Willy, W.S. Rendra, yang tengah
ia baca: ‘Ah, bisanya cuma menyadur.’ Lalu, dia langsung bergeser dari bukunya
dan keberatan. ‘Jangan salah, Noor, Mas Willy ini bukan cuma baca Shakespeare,
dia baca juga Ronggowarsito, dia mendalami kebatinan. Dia juga membaca sastra
Melayu lama. Ini orang pujangga, Noor.’
Pancingan saya kena dan pembicaraan kami lalu melebar ke soal-soal sastra
lainnya. Dia akan berbicara juga tentang roman-roman Rusia, Amerika Latin, dan
penulis-penulis besar Eropa. Jarang orang paham bahwa pengetahuan sastra dan
sejarah seni Hariman cukup mendalam. Sewaktu kami ke Museum Louvre di Paris,
ia menerangkan sebagian isinya seolah sudah pernah ke sana sebelumnya atau seperti
seorang kurator museum.
~ 153 ~
~ 155 ~
~ 156 ~
~ 157 ~
WS Rendra
“Rajawali Politik Indonesia”
Dituturkan Ken Zuraida, istri Rendra, dan Edi Haryono, senior Bengkel Teater Rendra.
~ 158 ~
S
ajak “Rajawali” dipersembahkan Rendra
bagi dua nama: Hariman Siregar dan—bertahun-tahun
kemudian tatkala dibacakan di Malaysia—bagi Anwar
Ibrahim. Rendra menyampaikannya langsung ketika
membacakan “Rajawali” pada acara Temu Sastra di
Teater Arena Taman Ismail Marzuki, 1982. “Ini buat
Hariman Siregar,” katanya.
Ada 600 orang malam itu, 16 Desember 1982.
Rendra tampak lebih muda dari usianya yang kala itu 47 tahun. Rambutnya disemir
hitam. Selain membawakan sajak protes, sajak cinta untuk Ken Zuraida, lalu untuk
Hariman: “Hariman, aku penyair. Tapi, engkau lebih tahu sastra daripadaku. Bacaanmu
banyak, koleksi lukisanmu banyak dan mengikuti zaman,” ujar Rendra.
“Saya mendengar kata ‘Rajawali’ untuk Hariman dari Mas Willy (panggilan
Rendra) pertama kali tahun 1978,” kisah Ken Zuraida, istri Rendra. “Tapi saya diam
dan belum menanyakan maksudnya saat itu juga. Saya masih mencari sendiri, apa
maksud ucapan Mas Willy tentang Hariman.”
Ketiganya—Rendra, Hariman, dan Ida—bertemu pada suatu hari di kurun
1970-an dalam situasi dan tempat yang, menurut Ken Zuraida, “saya telah berjanji
untuk tidak mengungkapkannya.”
Rendra adalah pembaptis “kaum urakan” sebagai pembaharu dan Hariman
adalah bagian utama dari kaum urakan. Pertemuan keduanya menjadi semacam
pertemuan yin dan yang, padu. Istilah kaum urakan dilembagakan Rendra sejak tahun
1971 dan dikukuhkan dalam lakon Mastodon dan Burung Kondor (1973). Kolomnis
Mahbub Junaidi menyamakan Jose Carosta—juru bicara kaum urakan, tokoh dalam
Mastodon—dengan Arief Budiman. Jose Carosta penyair radikal tapi anti-revolusi,
anti-lembaga yang menyalahkan pemberontak dan yang diberontak. “Revolusi adalah
pekerjaan tak senonoh, gila kuasa, tak lebih jenjang kaum revolusioner menobatkan
diri jadi tiran baru,” kata Carosta.
Mastodon selesai ditulis Rendra bulan Maret 1973. Tetapi, pementasan yang
Rendra menuliskan dua puisi untuk Hariman: Sajak Rajawali (Agustus 1981) dan Gita Durma (Oktober 1981).
Mahbub Junaidi. 1974. “Pabila Burung Kondor Berevolusi”, Tempo edisi 5 Januari 1974.
~ 159 ~
~ 160 ~
~ 161 ~
~ 163 ~
Sjahrir 1
“Kisah Persahabatan Dua Aktivis”
P
eristiwa ini terjadi kapan persisnya tak
diketahui, tapi yang jelas beberapa hari menjelang
peringatan Malari—juga tak diketahui kapan tahun
nya. Hari itu, Hariman Siregar yang oleh sahabat-
sahabatnya biasa dipanggil Harun dan Sjahrir di
panggil Ci’il masih berada di antara “masa diam”.
Berkatalah Ci’il kepada istrinya, Kartini Panjaitan
(Ker): “Si Harun itu ‘jualannya’ cuma Malari.”
“Apa salahnya?” ujar Kartini.
“Itu masa lampau, kita harus ke depan,” tutur Sjahrir. “Satu lagi, Harun ini
hanya hidup dan eksis jika keadaan tidak stabil dan dalam suasana revolusi. Dia akan
hidup sekali.”
Dua kalimat ini sesungguhnya memuat dua prinsip yang bertolak belakang:
makian dan pujian. Hari-hari itu—atau tepatnya kurun beberapa tahun itu—adalah
masa ketika Hariman dan Sjahrir yang sudah bersahabat sejak awal 1970 berpolah
seperti bocah-bocah nan lucu. Tak ada tegur sapa, tak ada senyum, tapi tak ada saling
mencelakai. Sjahrir akan berbicara buruk tentang Hariman kepada siapa saja, seperti
juga Hariman berbicara buruk tentang Sjahrir kepada siapa saja.
Tapi, Sjahrir juga memuji Hariman di depan Ker dengan menggarisbawahi
1
Seperti dituturkan Kartini Sjahrir (Dr. Nurmala Kartini Sjahrir Panjaitan).
~ 164 ~
~ 165 ~
2
Istilah Kapitan Cina tidak berarti suatu pangkat dalam militer. Istilah ini digunakan pertama kali oleh Portugis di wilayah
jajahannya kepada seseorang Tionghoa di kantung komunitas Tionghoa. Sang Kapitan (Cina) ini ditetapkan menjadi ‘per
wakilan’ orang-orang Tionghoa di wilayah itu untuk berhubungan dengan Portugis—dan dengan demikian memudahkan
pengaturan terhadap mereka. Istilah Kapitan Cina digunakan juga oleh Belanda setelah Portugis hengkang dari Indonesia.
Tugas Kapitan adalah mengurus masalah kesentausaan dan keamanan dalam komunitasnya. Meski sebetulnya ini jabatan
sipil, Portugis dan Belanda menerapkan juga untuk fungsi kemiliteran secara tituler. Apalagi karena rumusan tugas sangat
longgar, sehingga Kapitan Cina juga melakukan tugas-tugas polisional, seperti penangkapan. “Kepangkatan” tertinggi yang
pernah diraih oleh orang Tionghoa adalah mayor tituler, diberikan kepada Tan Tjin Kie, pengusaha gula kaya raya asal
Cirebon.Sjahrir menggunakan istilah untuk mengejek Hariman yang dianggapnya “mengatur urusan-urusan orang-orang
kaya Cina di Indonesia”.
~ 166 ~
3
Babeh, panggilan ayah bagi orang Betawi.
~ 167 ~
*****
Juni 2008, Sjahrir dan Kartini menggelar acara mantu di Amerika Serikat. Bakal
besan mereka meminta agar acara pernikahan berlangsung di sana. Sjahrir meminta
sahabatnya menjadi saksi pernikahan putra pertamanya, Pandu Patria. Hariman pun
terbang ke Washington bersama istri dan anaknya, hadir dari mulai proses lamaran
hingga upacara perkawinan.
Hari-hari itu kondisi kesehatan Sjahrir kian memburuk. Rumah Sakit Mount
Elizabeth, Singapura, mendiagnosis Sjahrir terkenan kanker paru-paru. Usai resepsi,
kondisi Sjahrir kian memburuk. Hariman memutuskan untuk membawanya ke sebuah
rumah sakit di New York, 30 Juni 2008. Untuk pertama kalinya setelah 30 tahun lebih,
Hariman tampak murung dan cemas. Ia sangat memerhatikan kondisi fisik Sjahrir.
Kepada Kartini, ia berujar, “Harapan hidup si Ci’il sudah sangat tipis.”
Hariman bertahan di New York menemani perawatan Sjahrir. Toh, keduanya
masih seru berdebat masalah politik dan saling lempar ejekan, kendati Sjahrir meladeni
dengan napas tersengal-sengal. “Saya menangkap bahasa persahabatan yang dalam
sekali di antara mereka,” kenang Kartini.
Ekonom kritis Indonesia itu dirawat di New York hingga 4 Juli 2008. Sjahrir
~ 168 ~
~ 169 ~
S
uatu sore menjelang Peristiwa Malari, seke
lompok mahasiswa menemui Mahar Mardjono, yang saat
itu menjabat Rektor UI, untuk menyampaikan informasi
bahwa Hariman dkk. merencanakan demonstrasi
menyambut Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka di
Lapangan Udara Utama Halim Perdanakusuma. Gerakan
antidominasi modal Jepang saat itu memang sedang
merebak di sejumlah negara Asia Tenggara. Demonstrasi anti-Jepang juga terjadi di
beberapa negara ASEAN, termasuk di Bangkok dan Jakarta. Sehari setelah Tanaka
datang, terjadi pengrusakan dan pembakaran-pembakaran di berbagai sudut Kota
Jakarta, seperti di Jalan Jenderal Sudirman persis di depan gedung Toyota Astra
Motor, di Jalan Juanda, dan Proyek Senen.
Mahar ketika itu langsung bertanya kepada Hariman dkk. tentang apa yang
sedang terjadi dan apakah para mahasiswa turun ke jalan dan melakukan pengrusakan.
Mereka jawab tidak. Justru, menurut Hariman dkk., karena ada demonstrasi itu,
mahasiswa mengonsolidasikan diri di Kampus Trisakti, di bilangan Grogol. Jadi,
mahasiswa kelompok Hariman tidak turun ke jalan dan melakukan pengrusakan.
Karena itu, Mahar sampai pada kesimpulan bahwa yang melakukan pengrusakan dan
pembakaran bukan mahasiswa dan kelompok Hariman.
Mahar lalu mengatakan kepada mahasiswa, “Oke, kalau memang kalian merasa
tidak bersalah, kita harus tunjukkan bahwa kerusuhan itu bukan kita yang melakukan.
Bahwa ternyata akhirnya ada yang meninggal, perampokan, dan pembakaran, itu
~ 170 ~
*****
Setelah Peristiwa Malari, Mahar terus-menerus berusaha mengeluarkan
mahasiswa UI yang ditahan. Pendekatan-pendekatan dilakukan Mahar bukan saja
terhadap pejabat tinggi militer, tapi juga kepada pejabat tinggi pemerintah lainnya.
Mahar juga bicara kepada Jaksa Agung Ali Said. Ali Said bisa mengerti kondisi
mahasiswa, tapi beliau tidak bisa melepaskan mereka. Lalu, Mahar bertanya, apa
mereka bisa ikut ujian.
Ali Said menjawab, “Boleh!”
Jadi, selama di penjara, mereka bisa ikut ujian dan kuliah. Hariman kemudian
bisa menjadi dokter dan Salim Hutajulu bisa menjadi sarjana dari FISIP.
Untuk membela para mahasiswanya, Mahar mengatakan kepada Ali Said:
“Mereka kan mahasiswa. Kalau mereka mengkritik, kan kritiknya bisa salah, bisa
benar. Kita juga tidak tahu apa mereka dipakai secara tak sadar, ikut nimbrung orang
lain atau orang lain yang justru nimbrung gerakan mereka. Kita tidak tahu.” Akhirnya
Hariman, Judil Herry, dan lain-lain, setelah diadili dan ditahan dilepas juga. Sjahrir
juga semula tak bisa ke luar negeri. Tapi, atas jaminan Mahar, ia bisa ke luar negeri
asalkan mau mengajar di UI.
Dalam peristiwa Malari ada orang yang meninggal. Saat mau dikebumikan,
orang-orang dari Senen dan sekitarnya datang ke kampus UI. Mereka menunggu
sampai jenazah dibawa ke luar. Mahar kemudian memanggil Hariman yang kebetulan
~ 171 ~
(Tulisan ini disadur dari buku Antony Z. Abidin dkk. 1997. Mahar: Pejuang,
Pendidik, dan Pendidik Pejuang. Jakarta: Sinar Harapan)
~ 172 ~
~ 173 ~
~ 174 ~
~ 175 ~
~ 176 ~
*****
“Setelah kami sama-sama pensiun, Kharis Suhud mengutarakan satu pertanyaan
yang sampai sekarang masih mengusik pikirannya mengenai kejadian di tanggal 15
Januari 1974. Ia bertanya-tanya, mengapa mahasiswa ke luar areal kampus, padahal
semula mereka hanya kumpul-kumpul berbentuk api unggun di dalam kampus. Siapa
yang mula-mula mendorong mereka untuk ke luar kampus, sehingga mereka ke luar
kampus gampang ditunggangi massa.
Setelah berada di jalanan, Hariman Siregar sendiri—menurut pengakuannya
setelah ditangkap—mengakui bahwa ia tidak bisa lagi mengendalikan mahasiswa.
Semula, menurut Kharis Suhud, para mahasiswa telah berjanji di hadapannya untuk
tidak mengadakan aksi keluar. Ini yang menimbulkan pertanyaan, mengapa kemudian
para mahasiswa ingkar janji.
Pertanyaan Kharis Suhud itu saya hubung-hubungkan dengan cerita Ali
~ 178 ~
~ 181 ~
*****
Tokoh mahasiswa yang juga saya terima di rumah tak lama sebelum kejadian
14-15 Januari 1974 adalah Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI, yang waktu
itu menjadi terkenal sekali. Sebagaimana biasa, kami berbicara tentang keadaan sosial
~ 183 ~
~ 184 ~
S
etelah Proyek Senen dibakar, timbulah per
tanyaan kepada saya, siapa yang membakarnya. Masak
mereka bertindak begitu jauh? Selama saya menjadi
gubernur, saya tidak tahu siapa yang membakar Pro
yek Senen itu. Saya mendengar kabar-kabar burung
siapa sebenarnya yang melakukannya, siapa yang
memerintahkannya.
Nah, kalau sudah begitu, pikir saya, keadaan tidak bisa dibiarkan. Payah!
Dan mungkin saja keadaan akan merembet ke tempat lain. Bisa jadi korban akan
bertambah, terutama mahasiswa. Maka berhubunganlah saya dengan Mayjen Mantik,
Pangdam V Jaya. Kami bertemu di Skogar, malam hari. Lalu disarankan agar saya
mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa.
Esok harinya, siang-siang, saya pergi seorang diri, ke kompleks UI. Saya masuk
dari belakang, dari rumah sakit. Maka bertemulah saya dengan para mahasiswa. Di
sana saya jelaskan bahwa keadaan tidak bisa berlanjut seperti itu. Keadaan sudah
memuncak. Sudah banyak korban yang jatuh.
Waktu itu belum terjadi penangkapan. Yang saya takutkan kalau-kalau
kampus sampai diserbu. Kalau itu terjadi akan tambah banyak korban, terutama para
mahasiswa. Rupanya kedatangan saya ke kampus itu diketahui oleh Pangkopkamtib
Jenderal Soemitro. Maka dipanggillah saya oleh Soemitro dan ditanya mengapa saya
mendatangi para mahasiswa.
~ 185 ~
~ 186 ~
(Tulisan ini dikutip dari buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977. Cetakan
pertama, 1992.)
~ 187 ~
A
ku sudah kembali di Jakarta yang kotor
dan semrawut, dengan panasnya yang menyesakkan
dan kerumunan manusianya yang membikin kota ini
sumpek dan pengap. Aku pun sudah kembali terbiasa
dengan kehidupan Ibu Kota ini. Yang pertama aku
kerjakan ialah menyervis skuterku, yaitu kendaraan
yang sangat aku perlukan untuk menyelesaikan
berbagai urusan. Aku kembali tinggal di Priok, di rumah kakak Kenny, Sri. Pada
jendela kamarku, aku pasang kasa nyamuk dan di kamar itu aku tempatkan meja kecil
untuk bekerja.
Tidak lagi sebagai wartawan, tapi sekarang khusus sebagai pembela hak-
hak asasi manusia, bermotivasi ganda karena aku baru menjadi korban dari tidak
adanya keadilan. Aku temui lagi teman-teman yang sepaham. Aku terus memelihara
hubungan dengan kelompok-kelompok pemuda, Julius Usman, Jusuf A.R, dan Sjahrir.
Pada malam hari, kami sering bertemu di Balai Pustaka, yang punya ruang pameran
dan ruang baca. Di tempat ini, aku juga berkenalan dengan Salim Kadar, pemimpin
buruh pelabuhan di Priok. Rencana pergi ke Austalia menjadi terbengkalai karena
keterlibatanku dalam berbagai kelompok yang berjuang untuk demokrasi.
Karena pengalaman dan umurku, aku dianggap sebagai seorang yang ahli
dalam masalah protes yang legal. Pada malam akhir tahun 1973, aku dan Kadar
bersama para pemimpin pemuda, yang dikomandoi Hariman Siregar, diundang
menghadiri suatu malam renungan dan berbicara di depan ratusan mahasiswa, yang
berkumpul di lapangan Universitas Indonesia.
~ 188 ~
~ 191 ~
S
aya mengenalnya saat awal sekali, zaman-zaman
aksi, persisnya saya sudah lupa. Saya tidak ingat, pada tahun
1966, apakah Hariman sudah di sini atau masih di Palembang.
Yang saya kenal Julius Usman, Hari Dangka, Yusuf A.R., ya,
tokoh-tokoh KAPPI. Nah, Hariman belum masuk di KAPPI
dan di KAMI pada waktu itu. Saya bertemu dengan Hariman
di UI sebelum Malari.
Lalu, terjadilah Peristiwa Malari. Saya ikut ditangkap. Tapi, kalau dibilang
ikut demonstrasi Malari, saya tidak ikut. Saya tidak tahu apa-apa mengenai aksi
itu. Karena, ketika peristiwanya terjadi, saya sedang makan siang dengan tamu dari
Jepang. Setelah selesai makan siang, sekitar jam 15.00-16.00 WIB, saya sedang di
kantor yang bertempat di Wisma Nusantara, tiba-tiba orang-orang lari ke jendela.
Saya bertanya, ‘Ada apa?’
‘Kebakaran di mana-mana,’ mereka bilang.
Saya melihat api sudah membara di daerah Senen, setelah itu di Jalan Blora.
Tidak tahunya Hariman yang berdemonstrasi. Tapi, sebelum itu, dalam pertemuan-
pertemuan, baik di dalam dan di luar UI, saya selalu bertemu Hariman. Ada juga empat
orang tokoh PSI: saya, Rahman Tolleng, Marsillam Simandjuntak, dan Dorodjatun.
Nah, kami berempat inilah memang yang menjadi guru dalam kelompok mahasiswa
yang tergabung dalam Dewan Mahasiswa UI.
Kami tahu adanya sepak terjang aspri presiden di bawah Ali Moertopo yang
~ 192 ~
~ 193 ~
~ 194 ~
A. Rahman Tolleng
“Hariman Memberi Kebaruan
Gerakan Mahasiswa”
J
auh sebelum Peristiwa Malari meletus, saya telah
dekat dengan Dr. Sjahrir, Ci’il. Sejak awal, ia bercerita
tentang adanya seorang mahasiswa baru, seorang tokoh baru,
di UI, yang ‘penuh harapan’: pintar dan berani. Mahasiswa
baru ini diyakini dapat mewujudkan niat Sjahrir mengambil
alih kepemimpinan mahasiswa UI dari dominasi Hariadi
Darmawan dkk.
Hariadi Darmawan semula orang Ali Moertopo,
tetapi berbalik ke kubu Hankam. Di UI, ia menerbitkan
Pemuda Mahasiswa yang sempat terbit dua kali. Hariadi menyerang Hariman
melalui karikatur di Pemuda Mahasiswa. Digambarkan Hariman tunduk kepada Ali
Moertopo. Ini karena kedekatan Hariman dengan kelompok Tanah Abang III.
Di Bandung, saya telah mendirikan Studi Klub Mahasiswa Indonesia,
November 1968. Sedangkan di Jakarta muncul Grup Diskusi UI, yang kemudian
dipimpin Sjahrir. Kami sudah banyak bekerja sama dalam aktivitas politik. Leaflet
mengenai GDUI kebetulan saya pula yang diminta mencetaknya. Sewaktu Hariman
mulai bergerak, saya telah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Suara Karya,
organ Golkar, dan berkantor di Tanah Abang III. Suatu kali, ketika sudah menjadi
Ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman muncul di depan ruang kerja saya dan langsung
menyapa. Itulah pertemuan fisik saya pertama dengan Hariman Siregar. Meski belum
Kubu Hankam direpresentasikan oleh Pangkopkamtib Jenderal Soemitro yang berseberangan dengan kubu Tanah Abang
(aspri) pimpinan Ali Moertopo.
Kantor Golkar.
~ 195 ~
~ 196 ~
~ 197 ~
~ 198 ~
M
alam sekitar jam 12.00, saya diciduk
oleh sebuah tim sweeping Pomad Para atau Polisi
Militer Angkatan Darat Para, yang merupakan
satuan khusus POM yang telah dilatih terjun payung
dan pertempuran khas, yang dipimpin oleh seorang
kapten Angkatan Darat. Kedatangan sebanyak dua
jip tim tersebut ke Kompleks Dosen UI di wilayah
Asrama Putri UI Wismarini, Jatinegara, tempat saya
tinggal, terjadi pada 16 Januari 1974, saya kira sekitar empat jam sesudah Hariman
Siregar yang Ketua Dewan Mahasiswa UI dan Gubernur DKI Ali Sadikin muncul
di TVRI. Mereka berdua mencoba menghentikan aksi-aksi pembakaran segala yang
merupakan produk dan bangunan milik Jepang; yang berkecamuk sejak siang hari 15
Januari 1974 di hampir segenap penjuru Ibu Kota RI, yang membuntuti demo besar
menolak Perdana Menteri Tanaka yang berpusat di Kampus Trisakti.
Sejak siang 15 Januari 1974 sampai malam 16 Januari 1974, saya menyaksikan
sendiri spontanitas massa rakyat Jakarta yang tumplek di hampir semua jalan utama
di wilayah Salemba sampai dengan Jatinegara dan siap membakar mobil dan
sepeda motor ‘Made in Japan’. Pada sore hari 15 Januari 1974 itu saya mencoba
pulang menembus puluhan ribu massa tersebut, dari Kampus UI Salemba sampai
ke Kompleks Wismarini. Untung saya naik sepeda motor jenis skuter buatan Italia,
Vespa, dibonceng oleh Drs. Kuta Ginting, staf peneliti dari LM Fakultas Ekonomi
UI. Kami perlu dua jam untuk menempuh jarak yang cuma sekitar tujuh kilometer
tersebut, di tengah kobaran api mobil-mobil dan sepeda-sepeda motor buatan Jepang
~ 199 ~
~ 201 ~
~ 202 ~
~ 204 ~
~ 205 ~
~ 206 ~
~ 207 ~
*****
“Saya mengenal Hariman karena dikenalkan oleh Sjahrir, karena tidak ada
satu pun yang masuk di GDUI yang tidak dikenalkan. Saat masuk, dia langsung dapat
kuliah mengenai ekonomi politik oleh saya, falsafah oleh Billy Judono, dan politik
luar negeri oleh Juwono Sudarsono. Selain itu, kami juga mengundang tokoh-tokoh
dari luar kampus. Selama GDUI berdiri dari tahun 1970-an, kami sudah mendengar
pembicaraan dari Muhammad Hatta, Wilopo, Jenderal Simatupang, dan banyak tokoh
lain. Hampir semua tokoh di republik ini kami datangkan untuk berdialog tentang apa
yang sebetulnya dikehendaki oleh mereka dulu dan mengapa sampai terjadi kondisi
yang seperti sekarang ini. Saya pernah bertemu beberapa kali dengan Pak A.H.
Nasution di rumahnya, juga dengan Sarwo Edi dan H.R. Darsono.
Hariman waktu itu belum terlibat aktif di GDUI. Tapi, kalau dilihat dari
kemampuannya untuk membangkitkan semangat dengan kemampuan oratornya sulit
ditandingi, bahkan Sjahrir tidak sanggup untuk menandinginya, menurut saya, sangat
penting peran orator di GDUI, untuk menghadapi massa. Hariman juga tidak mudah
gentar. Dia sangat berani. Rata-rata, yang saya lihat di GDUI itu memang berani.
Mungkin ini salah satu ciri dari generasi Hariman, enggak ada takutnya. Juga saya
mengalami waktu di dalam penjara, mereka itu tidak ada takutnya, tapi juga bukan
~ 208 ~
~ 212 ~
S
uatu hari di tahun 1978, saya mendapat telepon
dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Isinya meminta
saya membantu Hariman Siregar, aktivis Peristiwa
Malari yang baru saja keluar dari penjara. ‘Fanny, tolong
kamu bantu mereka, ya. Kamu tahu kan susahnya orang
yang baru keluar dari penjara, seperti nasib kamu dulu,’
kata Bang Ali.
Mendengar perintah Bang Ali tersebut, saya pun menjawab tegas, ‘Siap Pak.
Suruh saja mereka datang ke kantor saya.’ Saat itu saya bertugas sebagai Administratur
Pelabuhan Tanjung Priok. Akan halnya nama Hariman Siregar baru saya dengar-
dengar saja, tapi belum pernah bertemu orangnya.
Beberapa hari kemudian, datanglah Hariman dan beberapa kawannya ke kantor
saya di Tanjung Priok. Dalam pertemuan pertama kali itu, dia langsung memaki-maki
dan ngoceh soal pejabat negara yang kerja enggak benar dan melakukan korupsi.
Mendengar ocehannya itu, saya pun naik darah. ‘Saudara Hariman, Anda enggak usah
maki-maki di sini. Besok Anda datang lagi kemari pagi-pagi, lalu lihat bagaimana
saya bekerja sepanjang hari,’ tantang saya.
Mendengar tantangan saya itu, Hariman dan kawan-kawannya kaget juga. Tapi,
keesokan harinya mereka datang juga dan melihat saya bekerja seharian di kantor.
Hal itu berlangsung selama berhari-hari. Saat itu, selaku Adpel Tanjung Priok, saya
Fanny Habibie pernah ditahan gara-gara Peristiwa Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR) di tahun 1966. Akibat
GPPR ia dan sejumlah perwira muda TNI-AL dikeluarkan dari kesatuan Angkatan Laut.
~ 213 ~
~ 214 ~
~ 215 ~
Cosmas Batubara
“ D a y a K r i t i s n y a Ta k Pe r n a h Tu m p u l ”
P
ersetuhan saya dengan Hariman sebetulnya
sudah lama. Saya ikut hadir ketika Dewan Mahasiswa
UI menyelenggarakan seminar di UI. Saya sempat
bicara juga di forum itu. Saya memiliki pengalaman
sebagai aktivis mahasiswa 1966 dan juga anggota
DPR Gotong Royong. Dengan begitu, saya waktu
itu memberitahu Hariman juga, yang giat membikin
unjuk rasa.
‘Man, hati-hati kalau bikin demonstrasi. Sekarang suasananya berbeda,’
ujar saya kepada Hariman, hari itu. Menurut saya, mahasiswa tidak lagi homogen
seperti pada tahun 1966. Begitu juga sistem politik, telah betul-betul berubah,
militer memiliki peran besar dalam politik.
‘Ah, Bang, jangan takut. Saya bisa kendalikan mahasiswa,’ jawab Ha
riman.
Tapi, kita lihat persitiwa berikutnya: Malari. Dengan demikian, citra yang
terbentuk ialah gerakan yang ia buat menimbulkan kerusuhan dan juga brutal.
Dewan Mahasiswa Universitas muncul setelah era Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia, KAMI. Dewan mahasiswa ini menjadi ladang perebutan banyak organisasi
ekstra-kampus, terutama HMI dan GMNI serta elemen organisasi berkarakter
nasionalis. Makanya, sering muncul istilah ‘HMI Vs. nasionalis’ dalam perebutan
~ 216 ~
~ 217 ~
~ 218 ~
Akbar Tandjung
“ D i a Ta k B i s a D i k e n d a l i k a n”
H
ariman Siregar adalah tokoh mahasiswa
yang saya kenal waktu saya juga masih aktif di dalam
organisasi kemahasiswaan memimpin Himpunan
Mahasiswa Islam, HMI. Hariman muncul dalam
pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa Universitas
Indonesia, DM-UI, tahun 1973. Calon-calonnya ada
tiga waktu itu. Satu orang berafiliasi dengan HMI dan
yang dua—termasuk Hariman—dari luar HMI.
Sebetulnya, HMI mengadakan koalisi dengan calon dari GMNI. Maksudnya
agar memberikan dukungan kepada calon HMI menjadi Ketua Umum DMUI. Calon
HMI waktu itu adalah Ismeth Abdulah, yang sekarang menjadi Gubernur Kepulauan
Riau. Calon GMNI yang mestinya memilih Ismeth ternyata cenderung memberikan
suara kepada Hariman sehingga ia yang terpilih menjadi ketua umum. Beda suaranya
tipis saja, cuma satu atau dua suara.
Hariman waktu itu sebetulnya memiliki hubungan yang dekat dengan
penguasa. Dia dekat dengan kelompok Operasi Khusus, Opsus. Mungkin dalam
rangka memenangkan pertarungan menjadi Ketua Umum DMUI. Katakanlah koalisi
atau aliansi dengan tokoh-tokoh yang ada dalam kekuasaan sehingga dia terpilih
sebagai ketua umum.
Tapi, Hariman adalah orang yang tidak bisa dikendalikan. Seusai menjadi ketua
umum, ia menggunakan posisinya itu untuk memimpin gerakan mahasiswa menentang
penguasa. Awalnya menentang kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka,
~ 219 ~
~ 220 ~
~ 221 ~
Soegeng Sarjadi
“Hariman Sudah Betul”
B
anyak teman yang membuat buku dan tim
penulisnya meminta saya memberi komentar tentang
mereka. Saya tidak pernah mau. Tapi, sekarang ini, buat
Hariman, saya mau. Ini yang pertama dan mungkin
satu-satunya. Mungkin karena ada karakter saya yang
sama dengan Hariman.
Selama puluhan tahun, saya belum pernah
berteman dengan Hariman. Baru di usia tua, sejak beberapa tahun lalu, saya baru
berkawan dekat dengan dia. Dan saya menikmati sekali kedekatan ini. Ia pun saya
anggap dokter saya. Bagaimanapun, Hariman memang dokter, kan? Sementara itu,
saya yang sudah tua mulai banyak gangguan pada tubuh. Jadi, saya sering menelepon
dia untuk berkonsultasi tentang kondisi saya. Jam berapa pun saya menelepon,
dia selalu menerima. Ketika saya tanya soal gangguan ini dan itu, kelihatan sekali
kedokterannya.
Saya juga pernah ke kliniknya di Cikini. Padahal, saya jarang ke klinik, terakhir
saja ke klinik lain, ya, waktu saya mau dioperasi teroid. Tapi, itu pun saya konsultasikan
dulu dengan Hariman. Saya bilang, bagaimana ini saya mau dioperasi. Dia bilang,
‘Ya, pergi saja.’ Tapi, meski belum saling kenal, saya tentu sudah mengetahui tentang
Hariman. Waktu dengar namanya tahun 1974 itu, saya yang mantan aktivis mahasiswa
juga—KAMI 1966 dari Bandung—bertanya-tanya, ‘Siapa anak itu?’
Karena penasaran, waktu apel di UI, 15 Januari 1974, saya datang bersama
Fahmi Idris. Saya dan Fahmi yang aktif di KAMI Jakarta 1966 sudah berbisnis waktu
~ 222 ~
~ 223 ~
~ 225 ~
T
ahun 1973, saya baru pulang dari Harvard
University, Amerika Serikat, dan saya kehilangan
pekerjaan karena ikut Hariman. Padahal, saya bukan
hanya mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, FEUI, waktu itu, tapi juga menjabat kepala
dinas di Departemen Keuangan. Sejak tahun1968,
saya menjadi tenaga perbantuan di Direktorat Jenderal
Moneter Departemen Keuangan. Sebelum saya tamat,
Pak Ali Wardhana yang Menteri Keuangan dan Pak Subroto yang Menteri Perdagangan
meminta saya membantu mereka.
Kira-kira tahun 1974 atau awal 1975, saya diminta mundur dari Departemen
Keuangan. Kemudian, saya bersekolah lagi dan tak pernah lagi bekerja di pemerintahan.
Mulai dari situ, saya melanglang buana. Cari makan di Singapura, berbicara di
berbagai universitas di luar negeri, bersekolah lagi di Amerika, sampai bertemu lagi
dengan beberapa mantan tokoh gerakan mahasiswa.
Waktu itu awal 1980-an. Saya bertemu dengan Sjahrir dan Rizal Ramli.
Saya pulang dengan bangga. Bayangkan, satu tas saya ditenteng oleh tokoh Malari
(Sjahrir), satu lagi oleh tokoh ‘Buku Putih’ (Rizal Ramli). Saya bilang, ‘Ayo, foto…,
foto, nanti saya tunjukkan sama Ali Moertopo. Ha-ha-ha…’
Tahun 1973, Anwar Nasution lulus sebagai Master in Public Administration dari the Kennedy School of Government,
Harvard University, Cambridge, Massachusetts, USA.
Tahun 1976, ia menyelesaikan studi di Tax Administration, University of Southern California, Los Angeles. Lalu Ph.D in
Economics dari Tufts University, Medford, Massachusetts, USA tahun 1982.
Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 yang berisikan platform perjuangan mahasiswa yang menuntut agar Soeharto
tidak dipilih lagi sebagai Presiden RI. Rizal Ramli yang memotori kala itu Ketua Dewan Mahasiswa ITB.
~ 226 ~
~ 227 ~
~ 228 ~
~ 229 ~
S
ebenarnya saya belum lama kenal dekat Ha
riman Siregar. Kami mulai menjadi teman dekat ketika
sama-sama menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilu,
Panwaslu, Pusat saat di masa-masa akhir Presiden
Soeharto, yaitu Pemilihan Umum 1997. Kami menjadi
anggota Panwaslu bersama-sama dengan Dadang Hawari,
Zakiah Daradjat, dan tokoh-tokoh lain.
Nah, di Panwaslu itu kami sering malakukan kunjungan ke daerah-daerah
bersama-sama. Lewat aktivitas seperti itulah kita mulai menjadi dekat. Dan akhir-
akhir ini, kira kira setahun terakhir, kami menjadi lebih dekat lagi. Karena, sering
ketemu dan sering berbincang-bincang tentang berbagai masalah.
Saya menilai Hariman Siregar sebagai orang yang terbuka, bicaranya tidak
mengada-ada, selalu bicara apa adanya. Itu sikap dan karakter yang paling berharga
dan berkesan buat saya. Artinya, suatu sikap atau karakter yang bisa kita pegang
pembicaraannya. Dia pantas menjadi pemimpin karena memang dia punya bakat
kepemimpinan.
Dalam kehidupan demokrasi seperti sekarang ini, orang seperti Hariman
masih diperlukan, bahkan penting sekali! Karena, demokrasi tidak akan memiliki arti
kalau banyak orang yang mengada-ada. Karena, demokrasi itu harus dijelaskan apa
adanya, supaya orang-orang dapat merasakan adanya keadilan dari sistem demokrasi.
Sebaliknya, yang namanya manipulasi atau rekayasa itu kan semuanya penyakit
demokrasi sekarang ini.
~ 230 ~
~ 231 ~
S
aya mengenal Hariman belum terlalu lama, tapi
kami cepat akrab. Mungkin karena kami sama-sama berlatar
belakang aktivis politik, meski berbeda kelompok: saya dari
kelompok Islam dan Hariman konon dari sosialis. Tetapi,
bagi saya, Hariman merupakan teman yang punya idealisme
dalam kehidupan berbangsa. Dia selalu mengemukakan
visinya terhadap kehidupan bangsa ini. Dia juga berharap
dan sekaligus prihatin pada nasib bangsa. Hal ini terus dikemukakan dalam setiap
pertemuan. Saya juga sangat terkesan pada sifat solidaritas Hariman terhadap teman-
temannya. Saya pikir ini yang menyebabkan Hariman punya banyak teman.
Dalam pergaulan sehari-hari, Hariman menempatkan saya sebagai orang tua
sekaligus teman. Saya lupa di mana pertama kali mengenal Hariman, tapi yang jelas
dalam sebuah forum diskusi politik, sekitar tahun 1999, pada masa Presiden Habibie.
Saat itu, saya masih di PPP dan menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Dakwah
Islamiyah, periode pimpinan Anwar Haryono. Jadi, sebagai salah satu pemuka
kelompok Islam di Jakarta, waktu itu banyak kegiatan yang saya hadiri. Biasanya
pembicaran berkisar pada perkembangan politik yang terjadi di Tanah Air, terutama
gejolak di kalangan elite. Setelah itu, saya sering ketemu dia saat ada diskusi-diskusi
di Jakarta.
Di tahun 1999 itu, posisi saya semacam koordinator kegiatan umat Islam
di Jakarta. Saya mengenal orang-orang lapangan seperti Jumhur Hidayat dan Aam
Sapulete, tapi tidak tahu apa dan siapa mereka. Belakangan saya baru tahu warna
~ 232 ~
~ 233 ~
~ 234 ~
~ 235 ~
S
aya mengikuti pemberitaan tentang Hariman
Siregar dari koran ketika terjadi Peristiwa Malari. Saya
masih ingat, hakim ketua yang mengadili Hariman bernama
Siburian, S.H. Ketika itu, saya masih duduk di bangku SMA.
Saya juga ingat bagaimana hakim Siburian mengingatkan
Hariman kalau sebentar lagi mau Bulan Puasa, karena itu
dia minta supaya Hariman jangan sampai berbelit-belit di
persidangan.
Dari pembacaan lewat koran itulah mulai tumbuh rasa simpati saya kepada
Hariman. Dari peristiwa itu saya menilai, Hariman menghadapi suatu kekuasaan,
seperti apa yang dikatakan Bernard Shaw, yang berkaok-kaok menuntut keadilan
kambing, yang menentukan macan. Itulah yang dihadapi oleh Hariman.
Hariman persis seperti orang yang menabrakkan kepalanya di tembok. Meski
tahu tembok itu tidak akan runtuh, dia tetap lakukan itu. Saya melihat yang dilakukan
Hariman seperti apa yang dikatakan Imam Ali: hancurkan kebatilan walau Anda binasa
dan kebatilan itu tetap jalan. Itulah Hariman. Allah tidak melihat suatu perjuangan
dari hasilnya, tapi yang dilihat oleh Allah adalah kemauanmu, keikhlasanmu dalam
berbuat.
Saya yakin Hariman bukanlah seorang pengkhayal bahwa suatu saat nanti
dirinya bisa menggulingkan kekuasaan Soeharto. Tapi, setidaknya, dia sudah mencubit
rezim tersebut. Dia sudah berbuat sesuatu. Walaupun itu sama dengan sebotol kecap
yang kita tuangkan ke dalam samudra yang luas, yang terpenting kita sudah berbuat.
~ 236 ~
~ 238 ~
S
aya sungguh ingin melihat Hariman lebih teratur
salat. Sahabatnya, Fanny Habibie, saya dengar mulai
teratur salatnya, setelah istrinya meninggal. Hariman itu
solidaritasnya, pengabdian sosialnya, tinggi sekali. Tak ada
yang meragukan. Ketika saya ditahan, dialah yang paling
banyak memperhatikan saya. Salah seorang anak saya, Ikrar,
banyak dibantu biaya kuliahnya.
Cuma kan ada perbedaan antara pengabdian sosial dan ibadah sosial.
Pengabdian sosial bisa siapa saja melakukanya, asalkan mengabdi kepada kepentingan
masyarakat. Tapi, yang disebut ibadah sosial itu berbeda, karena setiap aktivitas sosial
yang kita lakukan harus dikaitkan kepada Allah. Ini yang akan bernilai ibadah dan
punya nilai di akhirat.
Memang, ini urusan pribadi, kata orang liberal. Saya cenderung tidak
memisahkan garis perbedaan ‘ini liberal’ atau ‘itu bukan liberal’ dalam sistem sosial.
Karena, saya menjalankan sistem politik dan demokrasi, sementara keduanya anak
kandung sistem liberal. Demokrasi melahirkan partai-partai dan saya orang berpartai.
Jadi, saya tidak perlu memusuhi itu. Tapi, Hariman menjadi lebih religius adalah
harapan saya.
Usia kami berbeda sepuluh tahunan, seharusnya sudah beda generasi. Tapi,
baik saya maupun dia seperti merasa masih satu generasi saja. Mungkin karena saya
senang dengan kegiatan-kegiatan orang muda dan Hariman pun sangat fleksibel,
~ 239 ~
~ 240 ~
~ 242 ~
N
ama Hariman Siregar telah saya dengar
saat Peristiwa Malari meletus tanggal 15 Januari
1974. Saat itu, saya bertugas di Bagian Reserse
Polres Jakarta Pusat. Hanya saja, kami tak sempat
berkenalan atau bertemu, karena aksi pengamanan
pasca-Peristiwa Malari sepenuhnya ditangani pihak
TNI. Polisi enggak ikut-ikutan sama sekali.
Kesempatan berkenalan justru baru terjadi sekitar dua puluh tahun kemudian.
Suatu hari, selaku Kapolres Jakarta Selatan, saya mendapat laporan dari polisi yang
bertugas di lapangan, ada keributan di rumah Hariman Siregar, di kawasan Kalibata.
Mendengar itu, saya langsung berangkat ke lokasi. Sesampainya di rumah Hariman,
saya tanya apa masalahnya, kok, sampai ribut-ribut. Ternyata, keributan itu berkaitan
dengan masalah pribadi Hariman. Maka, saya pun langsung menginstruksikan agar
anak-buah saya balik ke kantor. Biar urusan itu diselesaikan secara internal keluarga
saja.
Sejak itu, beberapa kali saya bertemu Hariman. Kebetulan, dia dekat dengan
Bang Buyung Nasution, yang masih kerabat keluarga saya. Lagi pula, saya merasa
cocok berteman dengan dia. Mungkin karena karakter kami yang hampir sama.
Ketika saya menjabat Kapolda Metro Jaya, pasca-kerusuhan Mei 1998 dan
lengsernya Presiden Soeharto, hubungan kami semakin dekat. Ketika itu, Hariman
menjadi semacam penasehat politik Presiden B.J. Habibie, yang menggantikan Soe
~ 243 ~
~ 244 ~
S
aya kenal Hariman tidak lama setelah Peristiwa
Malari. Kemudian, saya menjadi dekat dengan dia karena dia
juga kan kebetulan sahabat ipar saya, Dr. Sjahrir, Ci’il. Adik
saya, Kartini, istri almarhum Dr. Sjahrir, juga cukup dekat
dengan Hariman. Lewat Kartini dan Ci’il inilah sebenarnya
saya lebih banyak mengenal sosok Hariman.
Semangat Hariman memperbaiki sistem sangat ba
gus. Tapi, untuk itu, dia tidak bisa berada di luar sistem terus. Hariman harus masuk
ke dalam sistem. Mengkritik dari luar itu gampang, tapi realitas yang ada di dalam
sistem itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Saya mengalami bagaimana
sulitnya ketika saya menjadi menteri.
Ketika pertama kali diangkat menjadi Menteri Perindustrian di masa pe
merintahan Presiden Abdurrahman Wahid, saya berpikir semua masalah bisa
diselesaikan. Ternyata, realitasnya tidak sesederhana seperti yang dibayangkan.
Karena saya paham betul bagaimana kompleksnya permasalahan di dalam sistem,
saya pun tidak pernah mau mengkritik pemerintah secara terbuka. Saya sampaikan
kritik itu dalam ruang tertutup. Sementara itu Hariman, karena tidak pernah berada di
dalam sistem, seenak perutnya saja mengkritik. Dia bawa kritiknya ke jalanan.
Bahwa Hariman orang pintar, itu benar adanya. Tapi, yang perlu juga dicatat
adalah: solidaritasnya yang tinggi kepada kawan. Dia setia kepada kawan. Saya tahu
betul bagaimana perhatiannya ketika mendampingi Ci’il saat berobat ke New York,
~ 245 ~
~ 247 ~
K
etika terjadi Peristiwa Malari tahun 1974,
saya berdinas di Brigade Infanteri 17 Kodam Jaya dengan
pangkat kapten. Saya baru mengenal Hariman Siregar
setelah dia keluar dari penjara. Perkenalan saya dengan
dia dalam kapasitas pribadi, tidak dalam kerangka tugas
sebagai prajurit Angkatan Darat. Ketika itu, saya tertarik
untuk mengenal lebih jauh Hariman Siregar antara lain
karena alasan sama-sama bermarga Siregar saja. ‘Siapa si pemberontak ini?’ pikir
saya. Ternyata, asal-usul keluarga kami sama: berasal dari Sipirok, Tapanuli Selatan.
Karena keingintahuan itu, saya sempat tanya sana-sini kepada kawan-kawan
yang kebetulan menangani perkara Hariman. Dari kawan-kawan yang menangani
perkara Hariman inilah saya tahu cukup banyak informasi tentang sosok dan aktivitas
Hariman. Dan saat bertemu secara pribadi, saya tanyakan banyak hal kepadanya.
Dalam percakapan itu, intinya, Hariman mengatakan semua hal yang dituduhkan
kepadanya tidak benar. Itulah yang membuat dia protes. Saya sendiri menilai, Hariman
ketika itu dimanfaatkan oleh orang lain tapi tidak ia sadari. Hal itu saya kemukakan
langsung kepada dia saat pertemuan tersebut. Tentu saja, dia membantah kalau dirinya
digunakan oleh orang lain.
Belakangan ini, saya sering menasihati Hariman. Saya katakan kepada dia,
‘Sudahlah, Hariman, sekarang kau sudah tua. Perhatikan anak-istrimu. Cari makan
yang betul. Sudah habis masamu. Kau punya keahlian, tapi tidak pernah digunakan.
Kau dokter, tapi kau dokter bagian demo saja. Kalau kau masuk penjara lagi sekarang,
tidak akan ada yang menolong kau sekarang ini. Sekali-kali kau pulanglah ke kampung
~ 248 ~
~ 249 ~
K
ita tentu masih ingat Peristiwa 15 Januari
1974 yang dikenal dengan nama Malari (Malapetaka
Lima Belas Januari). Malari adalah peristiwa demonstrasi
mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15
Januari 1974 di Jakarta. Di hari yang mencekam itu,
pusat pertokoan yang letaknya tidak jauh dari istana dan
dikenal dengan Proyek Senen dibakar orang, peristiwa
yang bisa dikatakan ‘hari anti-Jepang’. Peristiwa itu terjadi selama kunjungan tiga hari
Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta (14-17 Januari 1974). Kedatangan
Ketua IGGI, J.P. Pronk, dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing.
Klimaksnya, kedatangan Tanaka pada Januari 1974 disertai demonstrasi dan
kerusuhan, yang membuat situasi Kota Jakarta saat itu mencekam. Ratusan bangunan,
mobil, dan motor produksi asal Jepang dibakar/dirusak. Ratusan kilogram emas hilang
dari beberapa toko perhiasan. Bahkan, mengakibatkan ratusan orang mengalami luka-
luka berat dan ringan serta banyaknya korban jiwa Peristiwa 15 Januari 1974 dapat
disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru.
Lumpuhnya potensi oposisi dan kekuatan kritis lain seiring kukuhnya kekuasaan
rezim Soeharto ternyata tidak mematikan gerakan perlawanan di Indonesia. Berbagai
bentuk perlawanan muncul, baik di kalangan rakyat kebanyakan maupun intelektual,
tidak terkecuali mahasiswa. Salah satu bentuk perlawanan yang fenomenal dan muncul
secara terbuka (konfrontatif) terjadi sejak 1973-an. Kemudian, tahun 1974, rezim
Soeharto dihadapkan pada perlawanan masif dan berskala nasional yang diprakarsai
gerakan mahasiswa, khususnya dewan mahasiswa, yang berpuncak pada peristiwa
~ 250 ~
~ 251 ~
~ 252 ~
B
erbicara tentang Hariman Siregar, H.S.,
selalu dikaitkan dengan Peristiwa Malari 1974.
Terus terang, saat itu bukan periode saya. Yang
bertugas menangani peristiwa tersebut adalah hampir
seluruhnya jenderal-jenderal senior Angkatan ‘45,
seperti Jenderal Soemitro, Sudomo, Ali Moertopo, dan
Sutopo Yuwono.
Di dalam komunitas intelijen, biasa terjadi tukar-menukar atau penyebaran
informasi sesama aparat intelijen. Kaitannya tentang H.S. adalah ia dikategorikan
sebagai tokoh yang mampu mengerakkan massa, provokator yang dapat membentuk
opini, cerdas melihat masalah, dan memiliki keberanian yang luar biasa dan tidak
terukur.
H.S. tipikal orang yang sulit untuk dikendalikan oleh siapa pun, termasuk
oleh kawan-kawan dekatnya dan oleh penguasa, yang saat itu Kopkamtib dengan
kekuasaannya luar biasa. Sasaran gerakanya tidak terbatas, bukan hanya konsep
pembangunan ekonomi Orde Baru, tapi sudah melebar sampai ke arah kepemimpinan
nasional, misalnya tentang suksesi Presiden Soeharto. Kadang, kata-katanya sangat
kasar dalam memaki pemimpin. Disebutkan juga bahwa H.S. memiliki konsep-
konsep ekonomi yang berbasiskan ekonomi kerakyatan dan menganggap setting
politik ekonomi Orde Baru yang menekankan pada investasi modal asing, khususnya
peran Jepang, yang berlebi-lebihan adalah tidak sesuai.
Dalam catatan tersebut juga disebutkan cara berpikir atau ide-ide H.S. banyak
~ 253 ~
~ 254 ~
~ 255 ~
Didi Dawis
“Kekayaan Hariman Adalah
Pemikiran dan Tindakannya”
J
auh hari sebelum kenal Hariman Siregar, saya
sudah mendengar namanya, dengan persepsi dia sebagai
seorang ‘pengacau’—berkaitan perannya sebagai tokoh
Peristiwa Malari. Sampai pada suatu hari, di tahun 1987,
saya diperkenalkan dengan dia oleh Pak Alamsyah
Ratu Prawiranegara (almarhum). “Dik Didi, kalau mau
berteman, ini dia orangnya. Hariman ini orangnya setia
kawan,” kata Pak Alamsyah.
Sejak perkenalan itu, kami memang berteman baik. Saya merasa matching
dengan Hariman, karena kami banyak kesesuaian. Misalnya, saya senang dengan
spontanitas dalam bersikap dan berbicara. Kalau dia enggak suka dengan sesuatu hal,
dia langsung ngomong apa adanya. Begitu pula kalau memuji seseorang, terasa betul
ketulusannya.
Kesesuaian lain, kami sama-sama suka menolong orang yang lemah, baik
secara fisik maupun keadaan sosial-ekonomi. Karena itu, ketika di akhir tahun 1980-
an, Hariman berniat mendirikan Klinik Baruna, saya pun langsung mendukungnya.
Sejumlah peralatan medis—termasuk sebuah mobil ambulans—saya sumbangkan
untuk klinik tersebut. Bantuan itu saya berikan karena saya tahu Hariman mendirikan
klinik itu lebih untuk bersifat sosial daripada untuk cari duit.
Berkaitan dengan sikap solidaritas sosial Hariman, ada satu peristiwa yang
saya tidak pernah lupa sampai sekarang. Tanggal 12 Mei 1998 malam, saya menggelar
resepsi ulang-tahun. Sejumlah kawan, termasuk Hariman, hadir di acara tersebut. Di
~ 256 ~
~ 258 ~
Gurmilang Kartasasmita
“D ia Mendorong S aya Lulus Jadi D okter ”
B
iarpun dipenjara lebih lama, Hariman lebih
dulu menjadi dokter ketimbang saya. Malah, dialah
yang mendorong saya untuk lulus. Padahal, tahun-
tahun pasca-Malari, saya sudah mulai malas-malasan
menyelesaikan kuliah.
Saya dan Hariman berteman sejak SMP. Se
waktu kelas 1 dan 2, kami selalu ikut aubade perayaan
Kemerdekaan, 17 Agustus, di Istana Merdeka. Yang melatih dan memimpin aubade
adalah Kolonel Polisi R.A.J. Sudjasmin. Pada harinya, kami akan dinaikkan ke truk
untuk diangkut ke tempat upacara. Pulangnya, kami ini nakal sekali, sambil lewat
kami suka nimpukin tukang sate di Jalan Blora.
Saat itu, meski sering bermain bersama di sekolah, kami punya kelompok
bermain sendiri-sendiri. Sebab, tongkrongan anak-anak waktu itu biasanya ditentukan
berdasarkan blok tempat tinggal. Saya tinggal di Ciasem, Blok Q, sedangkan Hariman
di dekat Mayestik. Nanti kadang ketemu di Lapangan Trunojoyo.
Dari dulu, saya sudah tahu Hariman itu anak pemberani. Badannya memang
kecil, tapi dia pernah nekat menguber pencuri sepeda. Kebetulan pula abangnya
termasuk jagoan juga di wilayah Blok M.
Kami juga bersama-sama di SMA 3, Setiabudi, Jakarta Selatan. Suatu hari,
kelas kami berantam dengan kelas lain. Anak-anak dipanggil, termasuk saya dan
SMP Negeri 13, Jakarta Selatan, Jalan Tirtayasa, sebelah Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Penulis syair “Hymne Pancasila”, Direktur Akademi Musik Indonesia hingga meninggal dunia bulan November 1977.
~ 259 ~
~ 260 ~
~ 261 ~
~ 262 ~
~ 264 ~
Sylvia Tiwon
“Hariman Membuka Ruang”
S
eandainya tiga dasawarsa lebih di bawah
rezim Orde Baru dituturkan kembali sebagai sebuah wira
carita, mungkin sekali sosok bernama Hariman Siregarlah
yang akan memunculkan kesulitan bagi si empunya cerita.
Bukan karena kurangnya sifat kewiraan, tapi justru karena
ia merupakan sosok yang sekaligus meruntuhkan konsep
kewiraan itu sendiri. Begitulah kesulitan yang saya hadapi
dalam menuliskan serpihan-serpihan ingatan sekitar
Hariman Siregar.
Tanggal 15 Januari 1974. Rezim Soeharto yang berdiri di atas pembantaian
massal belum sepuluh tahun berkuasa.Rapat dewan mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi di kampus Universitas Trisakti ditutup, dipercepat oleh embusan
berita terjadinya kerusuhan.
Berbeda dengan kebiasaannya menyetir mobil Dewan Mahasiswa UI sendiri,
Hariman minta diantar secepatnya ke Salemba. Bertiga dengan Bram Zakir, kami
meluncur ke kampus UI, masing-masing diam dengan bayangannya sendiri, mencoba
memahami berita bahwa wilayah Senen sedang dilanda kerusuhan besar-besaran,
dengan massa tak dikenal yang mengalir entah dari mana, membakar mobil, merusak
gedung.
Hariman yang tidak pernah menyukai atribut apa pun melepas jaket kuning
dan lencana Ketua Dewan Mahasiswa UI. Di depan RSCM, Jalan Diponegoro, sudah
Almarhum. Ketika itu, aktivis dari Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial UI.
~ 265 ~
~ 266 ~
~ 267 ~
Jopie Lasut
“Hariman Layak Menjadi Presiden”
S
emula pada awal 1970-an, kami merupakan
gerakan yang antimodal asing, khususnya antimasuknya
modal investasi dari Jepang. Soalnya, masuknya modal ini
hanya memperkuat kelompok asisten pribadi presiden alias
aspri, khususnya Ali Moertopo dan Sudjono Hoemardhani.
Berbeda dengan aspri zaman reformasi yang tidak ada
dananya, aspri zaman dulu punya kekuasaan dan punya
uang banyak. Dulu, Keluarga Cendana punya hubungan
yang harmonis dengan para aspri. Sekarang, aspri tidak didukung sepenuhnya dengan
dana-dana oleh keluarga Cikeas. Dulu, baik kami yang non-kampus maupun kekuatan
intra-universitair, semuanya anti-Soeharto dan, kalau bisa, kami sama punya tujuan
untuk menjatuhkan Soeharto. Namun, hal ini tidak bisa kami ungkapkan secara
terbuka. Hanya Hariman yang berani berbicara terbuka dengan menganjurkan agar
Soeharto diganti.
Ketika itu, dari kalangan non-kampus hanya berani mendorong para jenderal
yang mau menurunkan Soeharto. Sekarang, 36 tahun kemudian, ada pendapat yang
menyatakan bahwa Peristiwa Malari adalah konspirasi para jenderal yang tidak
memiliki sandaran politik dalam struktur kala itu. Dan, dengan memakai mahasiswa
sebagai alat, mereka dapat melakukan bargaining politik terhadap Soeharto.
Tidak ada yang mau mengakui bahwa sesungguhnya mahasiswa-mahasiswa
yang dianggap masih polos itu justru memperalat para jenderal. Mereka memanfaatkan
situasi untuk menciptakan kontradiksi di antara para jenderal. Memanfaatkan celah
~ 268 ~
~ 269 ~
~ 270 ~
*****
“Kalau mau menengok rentetannya ke belakang, dulu markas kami di Balai
Budaya. Di situ Mochtar Lubis punya Yayasan Indonesia. Sekretarisnya Arief
Budiman. Saya diundang ke situ jauh sebelum Malari. Lalu, saya jumpa dengan
Waluyo. Dia bilang, ‘Bang, bisa tidak untuk membakar mobil-mobil Jepang?’
Saya jawab, ‘Ini ada apa?’
Lalu Mochtar bilang bahwa Jepang ini sudah kurang ajar. Perekonomian kita
sudah dikuasai mereka. Lalu, disuruhlah saya untuk mencari mobil Jepang. Bekas
pun tidak apa-apa. Bakar saja satu di Monas, biar kelihatan simbol perlawanan kita
terhadap Jepang. Makanya, kami terus di kumpulkan di Balai Budaya untuk demo
anti-Jepang. Di antaranya di situ ada Mochtar Lubis, Princen, dan Aini Chalid sebagai
wakil dari UGM. Saat itu, Mochtar Lubis keluar, lalu dia masuk lagi dan memanggil
Arief Budiman. ‘Itu ada Jopie. Dia kan intel Ali Moertopo?’ Lalu, Arief Budiman
menjelaskan siapa saya.
Mochtar kemudian menjelaskan, baru saja ikut seminar di Jepang. Tokoh-
tokoh muda dari Asia Tenggara diundang ke neger itu. Mochtar dan pemuda lainnya
tersinggung dengan ucapan Presiden Komisaris Mitsui karena arogansinya. Di
antaranya dikatakan bahwa Jepang ekspor ke Asia Tenggara 40%, tapi ekspor Asia
Tenggara ke Jepang sangat kecil. Jadi, Jepang tidak membutuhkan Asia Tenggara.
Intinya, kata si Jepang, ‘Kami tidak butuh kalian.’ Tersinggunglah semua wakil dari
Asia Tenggara.
Setelah acara itu, peserta berkumpul dan ada yang usul untuk memberikan
pelajaran kepada si Jepang. Terus, ini terkait juga dengan ke Soeharto, yang didukung
~ 271 ~
~ 272 ~
~ 273 ~
Theo L. Sambuaga
“Hariman Memperkuat Daya Juang
Mahasiswa”
S
aya berbeda angkatan dan berbeda fakultas
dengan Hariman Siregar. Ia masuk fakultas kedokteran
lebih dulu dan saya di fakultas ilmu sosial dan ilmu
politik. Kami baru saling mengenal kira-kira akhir
tahun 1972, semakin intensif ketika mendekati proses
pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa UI tahun 1973.
Waktu itu, Hariman sudah menjadi Ketua Senat Maha
siswa Kedokteran UI, sedangkan saya bukan ketua senat,
tapi aktif di majelis permusyawaratan mahasiswa, MPM, mewakili FISIP.
Ketua Dewan Mahasiswa UI dipilih oleh MPM, ya, seperti MPR memilih
presidenlah. Hariman maju sebagai calon ketua dewan mahasiswa, saya juga maju.
Kami mulai saling cari dukungan. Selain kami ada juga Ismeth Abdullah yang maju
dari HMI. Saya sendiri aktivis GMNI. Dari kelompok Hariman yang didukung oleh
Grup Diskusi UI, GDUI, datang melobi saya. Begitu juga dari HMI. Di UI memang
ada organisasi-organisasi kepemudaan ekstra-kampus, seperti HMI, GMNI, GMKI,
PMKRI, dan ada juga organisasi mahasiswa berdasarkan profesi, seperti ikatan
mahasiswa hukum, ekonomi, dan kedokteran. Hariman pun kebetulan telah menjadi
pimpinan di Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia, IMKI.
Prosesnya cukup panjang, berbulan-bulan. Lobi sana-sini dan kampanye.
Tapi, tidak ada unsur uang. Kami pergi rapat atau pertemuan bayar sendiri. Belum ada
kampanye meminta dukungan dengan uang. Itulah yang harus diakui dan dibanggakan.
Kalau kami ketemu pun cukup di jalan, tak perlu minum atau makan.
~ 274 ~
~ 275 ~
~ 276 ~
~ 277 ~
~ 278 ~
~ 279 ~
Judilherry Justam
“Hariman Diperlukan untuk Mendorong
Demokrasi”
S
aya masuk Universitas Indonesia setahun lebih
dulu dari Hariman. Bibit-bibit pemberontakan sudah
terlihat sejak masa masa prabakti mahasiswa. Saya
melihat bagaimana Hariman sebetulnya marah dengan
perintah-perintah dari senior yang kadang menjengkelkan
saat mapram. Ia sempat disenggol oleh senior dan sudah
kelihatan ingin melawan, tapi urung, sehingga yang
tampak hanya tampang gemas sembari meringis.
Setahu saya, ia pernah menjadi ketua tingkat. Di Fakultas Kedokteran UI
ketika itu, di tiap-tiap tingkatan ada ketuanya. Ia pun menjadi berhadapan dengan
calon dari HMI, Fahmi Alatas, dalam pemilihan Ketua Senat Mahasiswa FKUI.
Karena kedudukannya di senat itu, saya dan dia pergi ke Kongres Ikatan Mahasiswa
Kedokteran Indonesia, IMKI. Saya dan Hariman juga yang menjadi calon sekretaris
jenderalnya. Ada 13 fakultas kedokteran yang datang ke kongres dan berhak
memberikan suara. UI sendiri abstain suaranya. Alhasil, cuma ada 12 suara sah dan
perolehan ternyata imbang. Enam lawan enam.
Tapi, saya sudah memiliki rencana dari organisasi, HMI, untuk melaju ke senat
mahasiswa, sedangkan di IMKI tidak diperkenankan rangkap jabatan, maka saya
mengundurkan diri dan Hariman yang duduk di pucuk pimpinan IMKI. Kepentingan
membuat IMKI ini—belakangan diketahui—untuk menyeimbangkan dewan-dewan
mahasiswa yang ada. Dewan mahasiswa rata-rata tidak bisa dikendalikan pemerintah,
terlalu politis, sehingga mahasiswa perlu disibukkan dengan aktivitas profesinya
kelak. Ada sekretariat bersama yang dibentuk untuk IMKI.
~ 280 ~
~ 281 ~
~ 282 ~
~ 284 ~
Eko Sudjatmiko
“Dia Jenius, Berani, Konsisten,
dan Percaya Diri”
S
aya mengenal Hariman Siregar itu sejak maha
siswa. Sekitar tahun 1971, saya menjadi Sekretaris Jenderal
Ikatan Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia, sedangkan
Hariman menjadi Sekretaris Jenderal Ikatan Mahasiswa
Kedokteran Indonesia. Dia orang yang terbuka, blak-
blakan, ngomong ceplas-ceplos. Tapi, otaknya lebih maju
seratus kali daripada kami. Kami baru start, dia sudah
sampai sono. Kelebihan Hariman juga di banyak bidang,
terutama politik dan organisasi. Menurut saya, Hariman itu termasuk jenius. Dalam
pemikiran, dia cepat banget. Mungkin orang yang enggak kenal akan tidak suka
dengan cara-cara dia, entah itu gayanya atau cara bicaranya.
Suatu ketika, di tahun 1973, ia bilang ingin maju menjadi Ketua Dewan Maha
siswa UI. Masa itu, orang-orang senangnya pake embel-embel organisasi, tapi dia
tidak peduli dengan semua itu. Kejeniusan dan keberanian Hariman terlihat juga
ketika kami sering menemui para pejabat, baik dari kalangan militer maupun sipil.
Dia berani saja. Itulah yang kami tiru.
Menjelang pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa UI, saya menjabat Ketua
Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi UI. Dan secara kebetulan, sudah banyak
ketua senat yang independen, tidak bergantung pada kelompok atau organisasi
mahasiswa, apa itu GMNI atau HMI. Misalnya Togar Hutabarat yang menjadi
Ketua Senat Fakultas Hukum, Salim Hutajulu Ketua Senat Mahasiswa FISIP, Sylvia
Gunawan yang Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra, dan Gunggu sebagai Ketua
Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran. Barangkali ada sepuluh fakultas yang ketua
~ 285 ~
~ 287 ~
Amir Hamzah
“Hariman Tak Percaya Par tai ”
O
rang bilang Hariman itu pemberani. Tapi, sebetulnya
saya lebih berani dari dia. Bedanya, saya harus sampai marah
betul. Jadi, kalau memang mau menusuk atau menembak, ya,
tusuk dan tembak betulan. Kalau Hariman, tidak. Dia pakai
otak. Kalau ribut dengan orang, dia bukan pakai emosi, tapi
perhitungan.
Pernah kami sedang semobil, tiba-tiba ada yang
menyalip. Hariman mengejar. Saya juga marah dan sudah mau turun, tapi Hariman
meminta saya tetap tinggal di mobil. Dia sendiri mendatangi orang yang menyalip
itu dan ternyata: seorang jaksa. Si jaksa sampai mengeluarkan pistol segala waktu
digertak Hariman. Akhirnya, mereka bersalaman. Jadi, Hariman bisa menahan emosi,
saya tidak. Kalau berbicara sama orang, dia sering kali kasar, tapi sebenarnya dia
memancing reaksi orang itu. Kadang cuma gertak, karena dia tak mau kelihatan kalah
sama orang lain.
Bagi yang kenal benar dengan Hariman, pasti setuju bahwa tak ada teman
sebaik dia. Kalau teman sedang kesulitan, dia akan all out membantu, apakah itu
waktu atau uang. Waktu Hariman ribut sama Syahrir, Ci’il, sekitar tahun 1990-
an, saya sempat datang ke Ci’il. Oleh Ci’il, saya diharuskan bergabung ke dia dan
meninggalkan Hariman. Waktu itu, Ci’il sedang kaya. Saya bilang saya tak mau.
Ketimbang memilih salah satu, lebih baik tak milih keduanya karena ke sini teman-
ke sana teman.
‘Ya, sudah kalau begitu, khusus buat kamu boleh,’ kata Sjahrir.
~ 288 ~
~ 289 ~
~ 291 ~
~ 292 ~
~ 293 ~
Salim Hutadjulu
“Hariman Tidak Disetir oleh para Senior ”
S
aya mengenal Hariman Siregar sejak tahun 1972.
Ketika Hariman terrpilih sebagai Ketua Dewan Mahasiswa
UI, saya menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FISIP UI.
Saat maju sebagai calon ketua senat, yang menjadi rival saya
adalah Theo L. Sambuaga dan Bambang Sulistomo. Saya
menyebut diri saya sebagai wakil independen murni karena
tidak tergabung dengan organisasi kemahasiswaan mana pun.
Sementara itu, Hariman Siregar dan kelompok kelompok
diskusinya yang bernama Grup Diskusi UI banyak berafiliasi dengan mereka yang
tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Djakarta.
Sebagai mahasiswa, Hariman adalah mahasiswa yang berkecukupan karena
berasal dari keluarga mampu. Ketika pertama kali mengenalnya, saya sempat kaget
juga. Dalam hati saya, kok, orang seperti ini. Hariman memang orang yang meledak-
ledak, sulit direm kalau sudah ngomong, tapi terbuka. Jujur saya akui dia memang
orang pintar. Tapi, kadang, dia tidak mau mendengarkan orang lain, egonya begitu
besar.
Sering saya sebagai mahasiswa dari fakultas ilmu sosial juga merasa heran,
kok, orang seperti Hariman yang berasal dari fakultas kedokteran lebih tahu soal-soal
sosial ketimbang saya yang berasal dari fakultas ilmu sosial. Itulah sifat Hariman.
Dia orang yang mau tahu semuanya, walaupun kadang dia terlihat mau sok kelihatan
serbatahu saja. Dia juga kadang menunjukkan gaya premannya.
Sebelum mencalonkan diri sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UI, saya men
~ 294 ~
~ 295 ~
~ 296 ~
~ 298 ~
Rauf Arumsah
“Matematika Politiknya Matang”
H
ariman saya kenal pertama kali saat ikut
program Wajib Latih Mahasiswa atau Walawa UI.
Kami dari fakultas kedokteran gigi biasanya berbaris
bersebelahan dengan fakultas kedokteran. Saat itu,
anak-anak FKG melihat Hariman dari FK sebagai anak
paling bandel. Kerjanya mengganggu teman-teman
lain. Di Walawa kan harus menggunakan seragam dan
sepatu tentara. Nah bila sedang berbaris, Hariman menarik-tarik tali sepatu temannya.
Mereka menjadi kerepotan harus mengikat kembali. Padahal, mereka harus tetap tampil
rapi atau kena hukuman. Hariman rupanya enggak pernah takut dengan hukuman.
Belakangan baru kami sadari, Hariman orangnya pintar. Anak pintar itu cara
berpikirnya selangkah lebih maju. Misal, kalau dia melanggar lalul intas, kami sudah
takut dulu kalau ditangkap polisi. Pikiran Hariman sudah lebih ke depan, dia tahu
kalau polisi menangkap akan bertindak seperti apa. Karena dia tahu, dia tak pernah
takut. Sama seperti menghadapi pejabat, dia tidak takut. Hariman masuk ke kantor
Mar’ie Muhammad (Direktur Jenderal Pajak), Ali Said (Jaksa Agung), atau Moerdiono
(Asisten Menteri Sekretaris Negara urusan Khusus) dari luar sudah berteriak-teriak.
Walawa (Wajib Latih Mahasiswa) diberlakukan tahun 1968 oleh Departemen Pertahanan dan Departemen Pendidikan Kebudayaan di
delapan Perguruan Tinggi Negeri (Keputusan Menhankam No. Kep/B/32/1968 tanggal 14 Februari 1968 tentang pengesahan Naskah
Rencana Realisasi Program Sistem Wajib Latih dan Wajib Militer bagi Mahasiswa dan Keputusan Bersama Dirjen Pendidikan Tinggi dan
Kepala Staf Komando Pendidikan Wajib Latih Mahasiswa (Kas Kodik Walawa) Nomor 2 tahun 1968): Universitas Indonesia, Padjadjaran,
Gadjah Mada, Airlangga, Sriwijaya, Brawijaya, Hasanuddin dan Sumatera Utara. Walawa dibagi: mahasiswa non-kedinasan (ekstra-
kurikuler/tidak wajib) dan mahasiswa kedinasan (wajib). Lamanya 400 jam (kurang lebih 2 bulan) sehingga diprotes karena mahasiswa
kelak menjadi sarjana bukan militer profesional. Akhirnya, pelaksanaan Walawa dilakukan di luar kegiatan efektif belajar, yakni pada
masa transisi kelulusan SMA menuju mahasiswa. Lalu lama kegiatannya menjadi satu bulan penuh. Walawa menghasilkan 24.639 pemuda
dengan kualifikasi tamtama cadangan, 37 kualifikasi bintara cadangan dan 1.071 kualifikasi perwira cadangan. Tahun 1973 Walawa ditutup
karena kekurangan dana. Kegiatanya diubah menjadi Latihan Kemiliteran untuk Persiapan Perwira Cadangan TNI atau juga dikenal dengan
Pendidikan Perwira Cadangan (PACAD), sifatnya ekstra kurikuler.
~ 299 ~
~ 301 ~
~ 303 ~
Pollycarpus da Lopez
“Hariman Itu King Maker”
P
ada tahun 1970-an, antara universitas negeri
dan universitas swasta ada semacam gap. Universitas
negeri dipandang hebat, sementara swasta dipandang
sebelah mata, dianggap kelas dua. Di universitas negeri
ada lembaga profesi seperti ikatan mahasiswa kedokteran
dan lainnya, sementara di swasta tidak ada. Melihat situasi
ini, saya memberontak, mencoba membuat lembaga
seperti mereka. Maka saya buat pertemuan antara kampus
saya, Universitas Atma Jaya, dan Universitas Trisakti. Tapi, saya tidak punya uang untuk
melaksanakan kegiatan itu. Akhirnya, saya di sarankan untuk ketemu Hariman Siregar
di CSIS, Jalan Tanah Abang III. Waktu itu, posisi Hariman di mahasiswa sangat penting,
meskipun pada tahun 1973 dia belum menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UI.
Saya bersama dengan Fadillah dari Fakultas Ekonomi Trisakti pergi menemui
Hariman di CSIS. Saya lihat dia orangnya gesit sekali. Saya juga dikenalkan ke Midian
Sirait dan tokoh lainnya. Tapi, sewaktu saya utarakan maksud kedatangan saya, dia
marah-marah, mengatur-ngatur dan mendikte saya. Akhirnya, dia menjanjikan Rp2,5
juta. Uang segitu pada tahun 1973 sangat besar nilainya. Dari situ saya lihat ini orang
luar biasa sekali. Saya disuruh Hariman mengambil uang di rumahnya di Jalan Birah,
dekat Pasar Santa, Kebayoran Baru.
Setelah saya mendapatkan uang, saya laksanakan kegiatan itu. Saya sebagai
steering committe dan organisasing committee-nya dari Trisakti. Pesertanya datang
dari berbagai kampus swasta se-Indonesia. Maka, terbentuklah Persatuan Mahasiswa
Fakultas Ekonomi Swasta Indonesia. Lembaga ini bisa terwujud karena ada andil
~ 304 ~
~ 307 ~
S
aya kenal Hariman Siregar cukup lama. Berawal
dari tahun 1970, walaupun saat itu tidak dekat karena
saya di Fakultas Hukum UI, sedangkan dia Fakultas
Kedokteran UI. Kami agak sering ketemu ketika sama-
sama bergabung dengan Grup Diskusi UI (GDUI). Tapi,
Hariman jarang datang kalau ada acara GDUI, karena
banyak kegiatan lain yang dia lakukan. Kemudian setelah
Hariman terpilih menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UI, kami di GDUI memberikan
dukungan lewat konsep-konsep kepada dia. Kami mengadakan seminar, lantas
memberikan masukan.
Sebatas itu. Jadi, kami di belakang layar, Hariman yang tampil di depan. Antara
tahun 1972 dan 1973, kami mulai lebih intens berinteraksi. Menjelang Peristiwa
Malari, saya memang aktif dalam berbagai kegiatan seminar. Terakhir, saya ikut
seminar tanggal 24 Oktober 1973, yang menghasilkan petisi. Saat itu, saya menjadi
salah satu anggota komite pengarah di seminar tersebut. Tapi, bulan November 1973,
sebelum Malari meletus, saya diundang ke Amerika Serikat sebagai student leader
dari Indonesia, bersama dengan student leader dari negara-negara lain.
Saya baru kembali ke Tanah Air tanggal 14 Januari 1974 malam. Karena
gegap gempitanya suasana demonstrasi, besoknya tanggal 15 Januari saya sudah ikut
berdemonstrasi, jalan kaki dari kampus UI di Salemba menuju kampus Universitas
Trisakti. Karena itulah, saya punya alibi yang kuat untuk tidak ditahan. Banyak orang
yang bilang, ‘Lo, kok, si Mulya Lubis enggak di tahan?’ Karena, saya ke luar negeri
waktu itu, jadi nama saya hilang dari kejaran intel-intel. Padahal, semua teman yang
~ 311 ~
~ 312 ~
~ 313 ~
*****
“Waktu B.J. Habibie naik menjadi presiden menggantikan Soeharto, maha
siswa masih melihat dia sebagai kroni Soeharto, sehingga mereka enggak menerima.
Padahal, secara obyektif, Habibie mencoba melakukan reformasi poitik pada waktu
itu, dia mengambil berbagai keputusan yang menjadi dasar untuk pemberantasan
korupsi, kebebasan pers, dan pembebasan tahanan politik. Ini semua buat saya cukup
monumental. Dia juga memberikan kebebasan rakyat Timor Timur untuk memilih,
lewat referendum. Itu semua luar biasa. Walaupun dia dikritik TNI, dia melakukan
itu. Nah, Hariman tidak bisa membendung itu dan memang tidak akan ada orang yang
bisa membendung.
Pada periode itu, saya tidak dekat dengan Hariman, karena saya justru sangat
aktif untuk menolak Habibie. Saya pernah diajak masuk untuk membantu Habibie,
tapi saya menolak. Karena, saya kecewa berat, saat Soeharto jatuh, Habibie tidak
ikut jatuh. Bayangan saya, kalau ada pergantian rezim itu kan pergantian yang total,
bukan pergantian yang setengah-setengah. Saya termasuk orang yang kecewa dengan
Peristiwa 1998, karena itu menunjukkan bahwa kita tidak mengantisipasi kemungkinan
itu. Kita waktu itu taken for granted menganggap bahwa, kalau Soeharto jatuh,
Habibie pasti ikut jatuh. Ternyata kan tidak.
Tapi, itu tidak menghilangkan apresiasi saya terhadap Habibie. Saya sendiri kan
diangkat Presiden Habibie untuk dua hal, yang kemudian saya terima. Pertama, saya
diangkat sebagai komisioner untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran
hak asasi manusia berat di Timor Timur. Tapi, laporannya saya berikan pada
periode Presiden Gus Dur. Akibat laporan itu, Jenderal Wiranto out (dari lingkaran
kekuasaan). Kedua, saya diangkat sebagai Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu
Pusat. Praktis, ketuanya saya, karena Ketua Panwaslu itu hakim agung yang sudah
sepuh dan enggak punya waktu. Nah, sayalah yang keliling Indonesia mempersiapkan
pemilu pada waktu itu. Dua pengangkatan ini saya terima, karena saya pikir kita perlu
membangun konsolidasi demokrasi. Dan Pemilu 1999 itu adalah pemilu awal dari
~ 314 ~
~ 315 ~
Christine Hakim
“Dia Lebih Besar dari Partai Politik”
B
erteman dengan Hariman berarti pengayaan
buat hidup saya. Bukan cuma menambah pergaulan, tapi
pengetahuan dan pemahaman saya mengenai berbagai
masalah menjadi betul-betul kaya. Dengan sendirinya
mengubah cara saya memandang dan menjalani hidup.
Kami bertemu pertama kali saat melayat Ibu
Nani Sadikin. Yang mengenalkan adalah dr. Naila, teman saya ketika sama-sama di
SMP St. Theresia. Setelah itu, kami sering bertemu dalam berbagai acara. Beberapa
teman Hariman ternyata teman saya juga. Kemudian saya sering ke Klinik Baruna
untuk check up.
Karena sehari-hari saya berkutat dari soal film ke film, dengan Hariman saya
mengimbangi diri untuk lebih banyak diskusi masalah sosial-politik. Apalagi, saya
pun terlibat di Yayasan Padi dan Kapas yang didirikan Sjahrir, Ci’il, tahun 1987.
Maka, saya bisa nyambung dengan percakapan-percakapan bersama Hariman. Cara
dia menanggapi dan menyikapi isu-isu politik itu, menurut saya, lain dengan orang
lain. Ia juga kerap marah-marah kalau bicara tentang suatu isu politik atau tentang
seorang tokoh politik. Dimulai dengan memaki-maki dulu si tokoh itu, baru dia bicara
substansi. ‘Brengsek dia itu’ atau kata-kata semacamnya.
Orang bisa salah kira dengan caranya itu. Di mata beberapa orang, Hariman
terkesan paling tahu sendiri, lebih pintar dari siapa pun. Dan memang dia sangat
Nani Arnasih Sadikin, istri mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin, seorang dokter gigi, wafat 17 Februari 1986.
dr. Naila Karima, putri Rosihan Anwar.
~ 316 ~
~ 318 ~
Komaruddin
“O rang seper ti Hariman Jangan
Terlalu B anyak ”
S
ebelum masuk Universitas Indonesia, Hariman
sempat ikut mapram di Institut Teknologi Bandung tahun
1968. Kami satu rayon pada mapram itu. Entah bagaimana
kejadiannya, saat perpeloncoan, Hariman kesal dan menyebut,
‘ITB brengsek!’
Seorang ‘mahasiswa residivis’—ini istilah kami
untuk mahasiswa tahun sebelumnya yang belum ikut ma
pram—persis berada di sebelah Hariman. Mahasiswa itu marah dengan sikap Hariman
yang dianggapnya sok jago. Tentu saja, Hariman tak terima dimarahi dan langsung
melawan.
‘Gue anak Komering, jangan macam-macam lu,’ bentak si mahasiswa
residivis.
‘Gue anak Batak. Lu mau apa?’ balas Hariman tak kalah keras.
Keduanya akhirnya dipisahkan. Setelah itu baru saya berkenalan dengan
Hariman. Hanya seminggu Hariman di ITB.
Kami bertemu lagi tahun 1973 waktu saya jadi Wakil Ketua Dewan Mahasiswa
ITB dan Hariman Ketua Dewan Mahasiswa UI. Karena aktivitas di dewan mahasiswa,
kami menjadi sering bertemu dan akrab. Malah lebih akrab dibanding Ketua Dewan
Mahasiswa ITB, Muslim Tampubolon, yang kurang cocok dengan Hariman. Kebetulan
pula, Wakil Ketua Dewan Mahasiswa ITB yang satu lagi, Fuad Afdal, mahasiswa
droup out Fakultas Kedokteran UI yang pindah ke Farmasi ITB. Fuad sahabat saya
~ 319 ~
~ 322 ~
S
aya mulai mengenal Hariman tahun 1968 ketika
Hariman Siregar baru masuk di Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia, sedangkan saya saat itu mahasiswa
tahun kedua di fakultas yang sama. Ketika pertama kali
kenal, saya menangkap kesan Hariman sebagai orang yang
aktif, tidak bisa diam. Di samping sifatnya yang aktif, dia
orang yang terbuka dan hangat terhadap orang lain. Dia ikut
bermain basket, meski sebenarnya Hariman tidak bisa bermain basket. Dia hanya
bergerak ke sana-kemari. Membuat orang sebal melihatnya.
Saya tidak terlalu lama kenal Hariman di Fakultas Kedokteran UI, yakni hanya
satu tahun. Tahun 1969, saya pindah kuliah di Jurusan Farmasi Institut Teknologi
Bandung. Jadi, saya tidak terlalu tahu banyak bagaimana kemunculan Hariman
menjadi seorang tokoh mahasiswa di UI. Meski interaksi saya dengan Hariman di UI
hanya satu tahun, bukan berarti kami tidak bisa menjadi teman dekat. Meski saya di
Bandung dan Hariman di Jakarta, kami tetap saling kontak.
Ketika Peristiwa Malari meletus, saya adalah Wakil Ketua II Dewan Mahasiswa
ITB. Ada sejumlah kegiatan mahasiswa yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai
rangkaian dari Malari. Padahal, kegiatan tersebut tidak ada kaitannya sama sekali.
Tapi, karena ini sifatnya politis, orang seenaknya saja mengait-ngaitkannya. Misalnya,
kalau tidak salah, seminggu sebelum Peristiwa Malari meletus diadakan Latihan
Nasional Kepemimpinan Dewan Mahasiswa (LNKDM) Ke-2, yang saya menjabat
sebagai ketuanya. LNKDM tersebut diselenggarakan di Puncak, Bogor. Hariman saat
~ 323 ~
~ 324 ~
~ 325 ~
Fuad Bawazier
“O rang seper ti Hariman
Masih D iperluk an B angsa Ini ”
K
etika Peristiwa Malari meletus pada tahun
1974, saya adalah aktivis mahasiswa di Yogyakarta.
Demonstrasi-demonstrasi dengan isu yang diusung
Malari sebenarnya tidak hanya terjadi di Jakarta,
tapi juga di kota-kota lain di Indonesia, termasuk di
Yogyakarta. Kami sama-sama memprotes, ada link di
antara pemrotes di Jakarta dengan aktivis mahasiswa di
kota lain. Bedanya, seperti kita ketahui, demonstrasi-
demonstrasi di Jakarta dan peristiwa lainnya selalu mendapat ekspose yang lebih
besar dibanding dengan di daerah. Memang harus kita akui, Peristiwa Malari yang
paling menonjol terjadi di Jakarta dan kemudian baru di Yogyakarta. Lewat Peristiwa
Malarilah saya dan Hariman Siregar saling mengenal, meski mungkin kenalnya dari
jauh.
Semangat Malari sampai saat ini masih relevan untuk terus kita peringati.
Yang dipersoalkan Malari ketika itu adalah dominasi asing dalam perekonomian
kita, khususnya dominasi Jepang. Sekarang ini, Indonesia sudah didominasi oleh
asing secara keseluruhan. Jadi, Peristiwa Malari itu lebih relevan lagi untuk saat
ini. Indonesia sekarang benar-benar telah kehilangan harga dirinya, jatidirinya,
kekayaannya, kedaulatannya. Dominasi asing saat ini sangat luar biasa, sudah menjadi
penjajahan baru.
Sementara itu, waktu Peristiwa Malari meletus, dominasi asing masih kecil
dan baru menunjukkan indikasi saja. Sekarang, dominasi asing itu lebih parah lagi,
~ 326 ~
~ 328 ~
S
aya masih ingat betul tanggalnya awal mula
mengenal Hariman Siregar. Tanggal 2 Januari 1978,
hampir setahun setengah setelah Hariman keluar penjara.
Saya ketika itu Wakil Bidang Kemasyarakatan Dewan
Mahasiswa ITB.
Tahun 1978 itu, kami merencanakan ‘Ikrar Ma
hasiswa Menuntut Sidang Istimewa MPR’ bagi Soe
harto. Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITB, Heri Akhmadi, mengutus saya untuk
mengundang Hariman. Sendirian saya datang ke rumahnya di Jalan Brawijaya,
Jakarta Selatan. Waktu itu, ia masih tinggal di rumah mertuanya, Profesor Sarbini,
sedangkan istrinya, Yanti, sedang sakit.
Begitu bertemu, Hariman langsung bertanya, ‘Kalian sudah mau langsung
hantam Soeharto?’
‘Ya, tapi kami di ITB paling hanya sepuluh orang nanti yang menandatangani
ikrar,’ jawab saya.
‘Hebat itu. Dulu gue paling cuma berdua,’ kata Hariman.
‘Berarti kami cukup, tanggal 15 Januari nanti rencananya mahasiswa ITB
mengundang Anda datang ke kampus,’ saya lalu mengutarkan maksud kedatangan.
Hariman terkekeh, ‘Gila lu. Gue baru keluar penjara sudah diundang.’
Tapi, pada harinya, dia datang bersama Gurmilang Kartasasmita dan Rahman
~ 329 ~
~ 331 ~
Rizal Ramli
“Hariman Takut Berkuasa”
P
ertengahan tahun 1980-an, saat saya se
kolah di Boston, Hariman datang berkunjung. Dia
mengajak saya melancong. ‘Jalan-jalan, yuk, ke New
York dan Washington.’ Ia memilih naik kereta api
malam dari Boston agar tiba di New York pukul 03.00
pagi. Keluar dari stasiun, kami tiba di daerah Hell’s
Kitchen. Memang dapur neraka, saking banyaknya
pembunuhan di tempat ini. Orang baru keluar dari kereta bisa di-dor di sini. Sekarang,
sih, sudah aman, waktu itu benar-benar dapur neraka.
Pagi itu, kami lapar sekali. Maklum sepanjang perjalanan malam tidak makan.
Tapi, di tempat yang kami pilih ternyata terjadi perkelahian. Salah seorang pengunjung
makan tidak bayar. Salah seorang pemilik restauran adalah warga berkulit hitam. Dia
ambil besi di dekatnya dan orang yang tak bayar itu langsung diudel-udel. Hariman
langsung terkejut. ‘Gila, beneran itu?’
Di luar restauran pun ada orang berantam. Hariman segera menarik saya. ‘Zal,
kita cari tempat aman.’ Baru itu saya melihat Hariman takut, biasanya dia berani
saja.
Sehabis dari New York, kami lanjut—tetap dengan kereta api—ke Washington.
Hari sudah gelap, sekitar pukul 19.00, kami berjalan berdua. Di punggung, Hariman
membawa camera bag. Tiba-tiba seseorang berbadan besar, tinggi, berkulit hitam
Hell’s Kitchen, satu daerah di Manhattan, New York, Amerika Serikat, yang berada di antara Jalan 34 dan 57, dari 8th
Avenue ke Sungai Hudson. Di tempat ini dulunya menjadi wilayah kekuasaan gangster Amerika keturunan Irlandia.
~ 332 ~
~ 333 ~
~ 335 ~
K
etika saya baru masuk Fakultas Ke
dokteran UI, Peristiwa Malari 1974 pecah. Akibat
peristiwa itu, Hariman Siregar disidang dan
kemudian ditahan. Baru setelah Hariman keluar
dari penjara, pertengahan tahun 1977, saya baru
bisa berkenalan dengan dia. Sekeluar dari penjara,
dia kan meneruskan kuliah di FKUI lagi dan saat
itu saya menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKUI. Jadilah kami sering bertemu dan
ngobrol soal-soal sosial-politik.
Kesan saya waktu itu, Hariman seorang yang idealis. Saat ngobrol sering ia
mengajak saya agar mengikuti jejaknya menjadi seorang aktivis. Caranya mengajak
itu, menurut saya, aneh. Hariman bilang, ‘Kalau lu jadi dokter, sehari ngobatin 25
orang, berarti seminggu paling 100 orang, setahun berarti 5.000 orang. Itu pun kalau
lu tolong beneran, karena kadang kita tidak menolong dengan baik. Nah, kalau lu
praktik 20 tahun, paling banyak 100.000 orang yang lu tolong. Tapi, kalau lu jadi
aktivis, lalu bisa membuat perubahan sistem politik, bisa membantu jutaan orang.’
Pesan yang ingin disampaikan Hariman adalah bagaimana kita bisa berbuat untuk
orang lain semaksimal mungkin.
Selain seorang idealis, rasa setia kawan Hariman juga luar biasa. Siapa pun
orangnya dan dari latar belakang mana pun, kalau sudah dianggap teman, pasti
dibantu kesusahannya. Meskipun orang tersebut berbeda sikap dan pandangan politik
dengan Hariman, kalau sakit dan minta tolong, pasti dibantu Hariman. Hal itu saya
~ 336 ~
~ 337 ~
Eggi Sudjana
“Dia Aktivis Legendaris”
M
enjelang meletusnya Peristiwa Ma
lari, saya pertama kali melihat sosok Hariman
Siregar sedang berorasi di atas podium. Saat itu,
saya masih duduk di bangku SMP sehingga tidak
berani kenalan dengan beliau. Tapi, sejak itu,
saya sudah mengagumi sosok Hariman.
Barulah saat saya kuliah dan aktif di
HMI, saya bertemu lagi dengan Hariman Siregar. Kali ini, saya diperkenalkan oleh
Agus Lenon. Dalam pertemuan itu, saya banyak sharing dengan beliau, mulai dari
masalah-masalah sosial sampai tentang keluarga. Nah, sejak pertemuan itu, saya
semakin kagum dengan Bang Hariman. Beliau orangnya simpatik dan berkharisma.
Bahkan, beliau pernah membantu biaya perawatan kerabat saya di rumah sakit melalui
perantara Agus Lenon. Padahal, saat itu beliau baru mengenal saya.
Semakin hari, sebagai aktivis mahasiswa, saya pun semakin dekat dengan
beliau. Kami sering berdiskusi atau sekadar menemani dia. Bang Hariman banyak
membantu biaya hidup saya, bahkan hingga saya menyelesaikan studi S-3. Keakraban
saya dengan beliau terjalin sampai sekarang. Sejauh persahabatan saya dengan dia,
sosok Bang Hariman meskipun ‘garang’, hatinya lembut dan dermawan.
Saya mengagumi beliau karena sampai sekarang masih konsisten di gerakan.
Kalau boleh dibilang, Hariman Siregar itu aktivis yang legendaris. Artinya, sampai
sekarang dia berperan sebagai aktivis, kritis terhadap penyelewengan pemerintah.
Tapi, di satu sisi, dia tidak kemaruk terhadap kekuasaan. Dia lebih memilih di luar
struktur dan tidak meminta-minta jabatan. Dia tidak perlu semua itu. Jadi, di mata
~ 338 ~
~ 339 ~
~ 340 ~
Bursah Zarnubi
“Guru D emokrasi yang B erpikir Merdek a”
A
wal saya mengenal Hariman Siregar lewat
membaca buku-buku tentang gerakan mahasiswa.
Dari situ, saya mengenal Hariman sebagai tokoh
sentral di kalangan gerakan mahasiswa, yang
konsisten dalam pengembangan demokrasi dan
perlawanan terhadap rezim otoriter. Di samping
itu, beliau juga memang dikenal bersuara lantang
menentang imperialisme asing. Puncaknya kita tahu ketika beliau memimpin
demonstrasi saat Peristiwa Malari 1974, yang tuntutannya menolak masuknya modal
asing, terutama Jepang, ke Indonesia, yang ia anggap sebagai bentuk penjajahan gaya
baru. Beliau menginginkan Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dengan segala
kekayaan alam yang dimiliki.
Peristiwa Malari intinya adalah mengkritik pembangunan yang tidak adil serta
pemerintah yang pro-modal asing. Gerakan tersebut sedang diminati masyarakat yang
hidup di tengah kesenjangan dan menentang liberalisasi. Sekitar tahun 1967-1969,
penanaman modal asing memang dibuka lebar-lebar, terutama untuk Jepang. Inilah
pintu awal neolib dan imprealisme yang dilegalkan pemerintah.
Hariman selalu mengatakan bahwa modal asing itu memang penting, tapi
harus benar-benar bermanfaat bagi rakyat Indonesia. Hal ini bukan berarti beliau
anti-asing, sama sekali bukan. Beliau ingin modal asing yang masuk harus diatur
dengan baik, jangan kemudian mengambil kedaulatan ekonomi dan harga diri kita
~ 341 ~
~ 343 ~
Syahganda Nainggolan
“Mungkin, k alau D ites,
IQ -nya S ama dengan Alber t Einstein”
S
aya mengenal Hariman ketika ada pelatihan
di Institut Teknologi Bandung tahun 1986. Saat itu, saya
masih sebagai mahasiswa di sana. Selain Hariman, yang
juga menjadi pembicara dalam pelatihan tersebut antara lain
Jusman Sjafii Djamal dan Heri Akhmadi.
Boleh dikatakan, lebih 95 persen diri saya sangat
dipengaruhi oleh tokoh politik Hariman Siregar. Saya orang
yang sangat mengagumi Hariman dan banyak mendapat inspirasi dari dia. Dia seorang
leader yang memiliki prinsip dan kerangka ideologi dalam perjuangannya. Dia tahu
apa yang diperjuangkan dan memiliki landasan dalam perjuangannya. Yang juga saya
kagumi dari Hariman adalah keberaniannya. Itu semua yang selama ini mengilhami
saya.
Di samping itu, dia seorang yang sangat humanis. Dia sangat dekat dan
menyayangi para aktivis. Begitu banyak aktivis yang dia rangkul. Hariman banyak
membantu saya, baik dalam masalah-masalah yang sifatnya pribadi maupun
keorganisasian. Dia tidak pernah menagih atau meminta imbalan atas apa yang telah
dia berikan. Dia memberikan bantuan benar-benar untuk kepentingan orang tersebut.
Tidak ada dalam kamus dia meminta feed back atas bantuan yang sudah dia berikan.
Dia mengajarkan kepada kita kebebasan berpikir, menemukan kebenaran, setelah itu
kalau kita mau jalan bersama-sama dengan dia silakan; tidak juga silakan.
Hariman adalah orang yang desesif. Ini tidak mengherankan karena dia
memiliki pengetahuannya yang luas. Dia orang yang banyak membaca. Akibat sifat
~ 344 ~
~ 345 ~
~ 346 ~
Jumhur Hidayat
“D ia Aktivis S ejati ”
~ 347 ~
~ 348 ~
~ 349 ~
Trimedya Pandjaitan
“D ia Tidak Punya Agenda Apa-Apa”
S
aya kenal Hariman Siregar sekitar tahun 1987, sejak
saya mulai terlibat dalam gerakan mahasiswa dengan kawan-
kawan di Universitas Nasional, seperti Amir Husin Daulay.
Karena, hampir semua aktivis mahasiswa saat itu dan saya
kira sampai sekarang juga bersentuhan dengan Hariman.
Walaupun jauh sebelum berkenalan langsung de
ngan dia, kami sebenarnya sudah banyak tahu dan kagum
dengan Hariman, lewat buku-buku yang kami baca tentang Malari. Kami tahu begitu
banyak godaan dari Soeharto terhadap dia, tapi Hariman memilih untuk tetap tidak
berada dalam barisan Soeharto. Dia memilih tetap di jalur gerakan mahasiswa. Ketika
itu lembaga swadaya masyarakat belum begitu banyak dan besar gaungnya seperti
sekarang, kecuali LBH dan Wahana Lingkungan Hidup, Walhi.
Dari perkenalan itu, setiap menyelenggarakan diskusi, kami selalu meng
undang Hariman. Kami juga sering nongkrong dan diskusi dengan dia di klinik
miliknya, Klinik Baruna, di Cikini. Kami sering datang ke sana, terutama di sore hari,
karena memang dia ada di sana biasanya ketika sudah sore.
Kami ke Baruna utamanya setiap mau aksi unjuk rasa atau setelah aksi. Dia
juga membantu dari sisi finansial aksi-aksi yang kami gelar. Ada peserta aksi yang
ditangkap, kami juga melapor ke dia. Kalau ada yang terluka dalam aksi juga kami
selalu bawa ke Klinik Baruna. Walaupun dengan sambil bercanda-canda, kami
sering menggoda dia dengan mengatakan kalau kami sangsi dengan keilmuannya di
bidang kedokteran. Kami sering candai dia, kalau berobat ke Baruna, kami khawatir
~ 350 ~
~ 351 ~
Sukardi Rinakit
“D ia S eorang Kognitariat ”
I
ni cerita sebenarnya. Ada seorang teman yang
memimpin lembaga penelitian ingin memberikan award
kepada beberapa aktivis terpilih. Dia menyodorkan sejumlah
nama aktivis 1998 dan sejumlah pemikir muda. Spontan
saya bereaksi, ‘Kau gila kali! Mereka semua itu belum layak
sebelum Harun menerimanya. Itu pun kalau dia mau.’
Teman itu tidak habis mengerti dan bertanya lugu,
‘Siapa Harun?’ Edan, pikir saya. Hal sekecil ini pun dia tidak tahu. ‘Hariman Siregar,’
kata saya. Teman itu ciut. Tampaknya, dia tidak mengenal baik sang Harun. Padahal,
Harun bukan sekadar seorang aktivis, apalagi sekadar demonstran. Ia seorang
kognitariat. Ia pekerja otak, bertindak, dan menggalang. Ini virusnya yang tidak bisa
dibunuh oleh waktu, apalagi oleh bedil—‘Kita ini kan aktivis, kita harus bergerak
terus, tidak boleh statis dalam kekuasaan.’
Bagi saya pribadi, bukan hanya keyakinannya itu yang istimewa, tapi lebih
pada hatinya. Oleh sebab itu, perasaan sebagai abang lebih dominan dibandingkan
sebagai aktivis. Kalau kangen Bang Hariman, rasanya seperti kangen kepada kakak
kandung. Biasanya, saya lalu telepon sekadar untuk mendengar suaranya.
Tentu, Hariman Siregar bukan nama asing bagi saya. Sejak masuk FISIP
Universitas Indonesia awal tahun 1980-an, nama itu sering muncul dalam obrolan
dan diskusi di kampus. Bau NKK/BKK tahun 1978 masih menyengat ketika saya
masuk kuliah waktu itu, sehingga bayang-bayang figur para akvitis senior yang
berasal dari UI, utamanya dari dari Angkatan’74 dan 78, masih dominan mewarnai
~ 352 ~
~ 353 ~
H
ariman sejak mula berasal dari kalangan
elite. Sejak muda, ia selalu berkantong tebal dan
gaya hidupnya buat saya tergolong mewah. Sewaktu
mahasiswa, ia sudah memegang pistol. Itu kan hanya
bisa dimiliki oleh elite. Dan, Hariman memang
memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh elite nasional
sejak mahasiswa. Waktu masuk UI tahun 1974, saya
belum mengetahui bahwa ia pernah dekat dengan Ali
Moertopo, baru belakangan saja informasi itu didapat.
Latar belakangnya dan kebiasaan hidupnya turut memengaruhi pilihan-
pilihan hidup dan sikap politiknya. Saya kira itulah salah satu alasan mengapa ia
enggan mengorganisasi dan memimpin massa rakyat. Meski menjelang 15 Januari
1974 sebetulnya sudah banyak kelompok rakyat yang datang dan meminta dipimpin.
Termasuk dari dalam UI: seorang teman dari jurusan fisika yang dikenal berasal dari
kelompok Islam radikal sudah rela dipimpin Hariman. Tapi, Hariman menolak dan
lebih berkonsentrasi dengan dewan-dewan mahasiswa.
Ketika saya di Skephi dan bertemu kembali dengan Hariman, tahun 1983,
kami berdebat tentang pengorganisasian massa rakyat. Ada Arief Budiman juga kala
itu. Arief cenderung sepakat bahwa mengorganisasi kekuatan rakyat menjadi agenda
penting bagi gerakan demokrasi. Saya tahu, Hariman bukan tak peduli dengan kerja-
kerja pengorganisasian rakyat, namun menurut Hariman itu akan terlampau lama.
Sekretariat Kerja Pelestarian Hutan Indonesia. Danial Indrakusuma pernah bergabung dengan SKEPHI,
yang dipimpin Indro Tjahyono.
~ 354 ~
~ 355 ~
~ 356 ~
~ 357 ~
~ 358 ~
Max R. Lane
“Setia pada Kemanusiaan”
S
aya bertemu dengan dr. Hariman Siregar tahun
1978 pada sebuah acara di Taman Ismail Marzuki. Saya tiba
di sana dengan W.S. Rendra. Saya telah lama berteman baik
dengan Rendra dan ia sering mengajak saya ke berbagai
acara. Kami sudah masuk ke dalam TIM dan ada Hariman,
yang juga teman baik Rendra. Pada waktu itu, revolusi Iran
sedang berjalan, yang kemudian menggulingkan Shah. Ada
diskusi sedikit tentang ini di antara kami bertiga, tapi jelas
sekali bahwa sikap Hariman terhadap ‘orang asing ini’ adalah ‘ah, bule sok tahu’.
Tentu saja, orang Barat yang ke Indonesia, dengan mengingat sejarah dominasi Barat
terhadap dunia kolonial, sering masih terpengaruh mental kolonial. Mungkin juga
pada waktu itu Hariman ada benarnya—siapa tahu.
Saya datang lagi ke Indonesia tahun 1980 bekerja sebagai petugas Kedutaan
Australia bidang development assistance. Pada waktu itu, Hariman dan Rendra sudah
menjadi kerabat. Melalui persahabatan saya dengan Rendra, saya juga sering bertemu
dengan Hariman. Pada akhirnya juga berteman dan sering berdiskusi, baik di warung
atau tempat makan lain maupun di tempat kumpulnya di Jalan Lauzte. Tentu saja, topik
diskusinya politik Indonesia. Kami semua yang ikut diskusi bersikap anti-kekuasaan
Orde Baru. Kebanyakan orang yang ikut diskusi-diskusinya adalah mantan aktivis
Malari atau gelombang gerakan mahasiswa 1978. Kadang-kadang juga diskusinya
berlangsung di pinggir lapangan sepakbola, karena saat itu orang-orang mantan
aktivis Malari memiliki tim sepak bolanya (Betah, Bekas Tahanan). Jaringan tersebut
memang sangat terasa memiliki ikatan kesetiaan bersama yang sangat kuat.
~ 359 ~
~ 361 ~
*****
“Entah apakah pada suatu saat perbedaan pandangan politik kami akan
melahirkan sebuah konflik politik, selalu mungkin, paling sedikit melalui polemik
tulisan. Entah juga apakah salah seorang dari kami berkembang dan mengubah sikap
politiknya. Tapi, biarpun terjadi sebuah polemik politik pada suatu hari, saya masih
berharap akan bisa berdiskusi, tukar pikiran, dan makan siang dengan Hariman
Siregar selama beberapa dekade lagi. Selalu ada kesempatan belajar banyak ketika
tukar pikiran dengan seorang yang mantap, konsisten, dan berani menjelaskan ide-
idenya, biarpun berbeda.” e
~ 362 ~
B
erpuluh tahun mengenal dan mengamati
Hariman Siregar, saya melihat suatu konsistensi
pemikiran tentang perubahan. Ia selama berbagai
periode pergerakan demokrasi memosisikan diri
menjadi simpul dari berbagai macam tipe kelompok
dan orang per orang. Pada gilirannya, dia memberi
inspirasi kepada berbagai kelompok gerakan.
Penampilan Hariman—pembawaan sikapnya—membuat dia tetap bisa dite
rima hingga sekarang di kalangan yang jauh lebih muda. Ini saya kira kemampuan
yang memang telah ia miliki sejak muda. Sebagai mahasiswa FISIP UI tahun
keempat, saya sudah mengenal dan melihat Hariman berbicara sebagai Ketua Dewan
Mahasiswa UI yang berkeliling ke fakultas-fakultas, di tahun 1973. Saya sendiri lebih
banyak bergiat dengan teman-teman di Bogor. Masa itu, saya menjadi pengurus di
Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia di Bogor. Saat terjadi Peristiwa Malari pun saya
sedang berada di Bogor bersama teman-teman. Saya hanya datang ketika Hariman
berbicara di depan mahasiswa dan juga beberapa demonstrasi sebelum Malari.
Ia sudah menjadi tokoh mahasiswa yang diakui bukan hanya di lingkungan UI,
tapi juga di ITB, ITS, Unpad, dan sebagainya. Boleh dibilang, ia telah menjadi motor
dari gerakan awal yang melakukan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru. Ia pun
sempat berbicara lagi menjelang Peristiwa 1978 yang dimotori oleh Heri Akhmadi
dan Indro Tjahyono. Kami mulai semakin erat tahun 1982, setelah dia bebas dari
penjara dan saya sudah di LBH Jakarta. Keberadaan saya di LBH itu setelah ditarik
~ 363 ~
~ 364 ~
~ 366 ~
Fahri Hamzah
“Warisan Hariman Adalah Dirinya Sendiri”
A
da dua tokoh di Indonesia yang pada da
sarnya ‘kiri’ tapi pertimbangan-pertimbangannya
sangat saya hargai. Kedua tokoh ini tak pernah
berubah dari satu situasi ke situasi lain. Salah seorang
di antaranya adalah Hariman Siregar.
Sejak masuk Fakultas Ekonomi UI tahun
1992, niat saya menjadi aktivis lebih besar ketimbang
belajar betulan. Apalagi, sejak kuliah di Mataram, Nusa Tenggara Barat—setahun
sebelumnya—niat untuk terlibat dalam gerakan mahasiswa sudah kencang betul. Saya
telah mendengar nama-nama legendaris dalam gerakan mahasiswa, seperti Rahman
Tolleng, Marsillam Simandjuntak, dan Hariman Siregar, meski saya selama di UI
lebih banyak terlibat dalam basis yang eksis di kampus, yakni gerakan tarbiyah.
Referensi utama dalam gerakan tarbiyah tentu saja, bukan Hariman. Saya
lebih mengenal Kuntowijoyo lebih dulu, yang dianggap ideolog gerakan anak-anak
muda Islam dan juga teman-teman yang telah saya kenal lebih dulu di Mataram.
Mereka terutama berasal dari kelompok-kelompok studi yang biasanya bergerak di
luar kampus.
Setelah setahun di Salemba, Fakulta Ekonomi UI tahun 1993 dipindah ke
Depok. Saya pun ikutan pindah tempat tinggal, menetap di Depok yang ternyata
membuat saya menjadi lebih intens terlibat dalam grup-grup diskusi. Sejak 1995, kami
mulai melakukan eksperimen politik dengan cara menguasai kursi kepemimpinan
~ 367 ~
~ 368 ~
~ 370 ~
Maiyasak Johan
“Menghargai Pilihan Politik Orang Lain”
N
ama Hariman Siregar telah terdengar
sejak saya menjadi aktivis mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Sumatra Utara (USU) di akhir
tahun 1970-an. Ketika itu, saya mulai terlibat dalam
gelombang gerakan mahasiswa 1978. Cerita tentang
perjuangan, ketegaran, dan gagasan Hariman telah
dibicarakan dalam diskusi-diskusi aktivis mahasiswa
di Medan. Dan itu sedikit-banyak telah menginspirasi kami, walaupun belum pernah
bertemu langsung dengan dia.
Baru beberapa tahun kemudian, ketika saya dan beberapa kawan aktivis USU
ikut dalam forum-forum aktivis mahasiswa di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta,
kami sempat bertemu dengan Hariman. Saya pribadi langsung terkesan dengan sosok
dan gagasan-gagasannya. Sebagai sesama orang Sumatra Utara, saya merasa cocok
dengan gayanya yang spontan dan blak-blakan dalam berdiskusi. Meski diungkapkan
dengan gaya blak-blakan, substansi gagasannya cukup bernas.
Sejak itu, setiap kali ada acara atau urusan di Jakarta, saya sempatkan bertemu
Hariman. Dan setiap kali bertemu dia selalu saja ada gagasan-gagasan baru ataupun
cerita tentang perkembangan politik di tingkat nasional. Bagi saya yang orang daerah,
cerita-cerita itu tentu menarik. Setiap selesai bertemu Hariman, saya selalu merasa
seperti—kata orang Medan—baru di-charge baterainya.
Soal sikap kesetiakawanan Hariman sudah dikenal luas di kalangan kawan
dan koleganya. Saya sendiri pernah merasakan kesetiakawanan itu, terutama saat saya
~ 371 ~
~ 372 ~
S
aya masuk kuliah ketika kampus belum siuman benar
dari semaputnya, di pengujung tahun 1970-an. Orde Baru
belum terlalu lama—tahun 1978—memukulnya dengan
sangat keras: mengirim tank dan tentara masuk ke dalam
ruang-ruang akademis dan menggiring mahasiswa ke
penjara. Setahun berikutnya, terbit kebijakan bernama
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang diterbitkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Daoed Joesoef dan kampus benar-benar dibuat semaput. Tidak ada lagi politik dan
kritik dari kampus terhadap pemerintah.
Setahun setelah NKK/BKK itulah saya masuk ke Akademi Ilmu Statistik.
Kampusnya berada di jalan yang mulai ramai tetapi tak terlalu berisik, di Jalan Otto
Iskandar Dinata, dekat Kampung Melayu, Jakarta Timur. Selama empat tahun saya
belajar tentang mengitung pertumbuhan penduduk, mengukur indeks kualitas hidup,
mengira inflasi, belajar mengenali berbagai parameter untuk kebutuhan penghitungan
kependudukan. Tapi, meski bicara tentang penduduk, yang berarti manusia, tak ada
‘manusia’ dalam ilmu statistik. Kemanusiaan—yang pada akhirnya berarti tentang
keadilan—absen dari semua mata kuliah kami.
Padahal, semasa SMA di Medan, saya membaca tentang dunia mahasiswa
yang penuh dinamika, protes dan aksi—sebuah dunia yang ‘berisik’. Saya mengingat
Gandhi: ‘Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, apa artinya?’ Semua tidak saya
dapati selama di bangku kuliah di Akademi Ilmu Statistik, sehingga memaksa saya
~ 373 ~
~ 374 ~
~ 375 ~
~ 376 ~
~ 377 ~
~ 378 ~
~ 379 ~
~ 380 ~
Gerakan Pemuda
Mahasiswa 1970-an
D
i dalam kerangka acuan pertemuan ini, sub-
tema “Peranan Pemuda Mahasiswa” dikelompokkan
ke dalam tema “Harapan dan Peningkatan Partisipasi
Masyarakat”. Bahwa sebagai bagian dari anggota ma
syarakat, pemuda dan mahasiswa diharapkan mening
katkan partisipasi: turut berperan “memperbaiki ke
adaan”. Ini istilah panitia.
Harapan itu bertolak dari pemahaman kesejarahan. Jika di masa lalu—seperti
terungkap dari banyak studi, antara lain yang dilakukan oleh Ben Anderson, Taufik
Abdullah, dan John Ingleson—pemuda dan mahasiswa dapat melaksanakan peranan
turut memperbaiki keadaan, pertanyaannya adalah mungkinkah peranannya yang
sama dapat mereka lakukan kembali di masa kini. Tampaknya jawaban atas pertanyaan
inilah yang diinginkan panitia di dalam sesi ini.
Dengan merujuk pada pengalaman yang terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-
1990-an barangkali, panitia meminta kita semua yang hadir dalam kesempatan ini untuk
mengenali seberapa besar peluang dan tantangan guna mewujudkan kemungkinan
yang diinginkan panitia itu. Saya diminta panitia untuk khusus membahas periode
1974, yang ditandai dengan apa yang disebut sebagai Peristiwa Malari. Tapi, sebelum
saya tiba pada peristiwa 21 tahun lalu itu, dari sudut pandang saya sebagai mantan
Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM-UI), 1973-1974, mung
Lihat antara lain, B.R.O.G. Anderson, Java in a Time of Revolution (Ithaca: Cornell University, 1972). John Ingleson, Jalan
ke Pengasingan, terjemahan Zamakhsyari Dhofier (Jakarta: LP3ES, 1981). Juga, Taufik Abdullah, Schools and Politics: The
Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933 (Ithaca: Cornell University Monograph Series, 1971).
~ 381 ~
~ 382 ~
~ 383 ~
~ 384 ~
~ 385 ~
Untuk perbandingan dalam kasus semacam ini, antaralain lihat, Alfred Stephan, State and Society: Peru in Comparative
Perspective (Barkeley: University of California Press, 1978).
~ 386 ~
B
elakangan isu “arus bawah” memang telah
menjadi wacana publik yang menarik. Berbagai pe
ristiwa politik, seperti dinyatakan di dalam acuan
seminar ini (Demonstrasi SDSB; dukungan Megawati
dalam Kongres Luar Biasa dan Musywarah Nasional
Partai Demokrasi Indonesia; Pemilihan Gubernur
Kalimantan Tengah, dan proses pemilihan Bupati Deli
Serdang di Sumatra Utara) dianggap sebagai fenomena menguatnya arus bawah
dalam perpolitikan nasioanal. Setidaknya, inilah pertanda bahwa proses terbentuknya
people power sedang berlangsung di Indonesia.
Sejumlah pengamat, antara lain Arief Budiman (Editor, 7 Januari 1994),
mengaitkan munculnya arus bawah itu dengan friksi yang terjadi di arus atas—
khususnya karena adanya jarak antara sebagian ABRI dan penguasa. Menurut Arief,
“Tidak bisa arus bawah tiba-tiba muncul begitu saja tanpa ada kaitannya dengan arus
yang di atas.” Dengan kata lain, Arief melihat bahwa arus bawah sesungguhnya tak
lebih dari sekadar fungsi dari arus atas. Kalau logika berpikir ini diteruskan, apa yang
dimaksud Arief sebagai arus atas adalah arus penguasa. Akan halnya arus bawah
adalah arus massa.
Sepintas, pendekatan dikotomistis seperti itu tampak meyakinkan. Tapi,
soalnya menjadi lain manakala hakikat dasar keberadaannya (ontologi) digugat:
siapakah yang disebut massa, pemilik arus bawah itu. Apakah segerombolan buruh
yang berdemonstrasi mendukung Probosutedjo di dalam pemilihan Ketua Umum
Kamar Dagang dan Industri di Ancol tempo hari dapat disebut arus bawah? Begitu
~ 387 ~
~ 388 ~
~ 389 ~
Mengorganisasi Rakyat
Menentang Rezimentasi
P
ersoalan pokok yang diajukan di dalam
term of reference (TOR) diskusi ini adalah “untuk
memperoleh kembali kedaulatan rakyat, rakyat perlu
mengorganisasi diri”. Dalam rangka mengorganisasi
rakyat ini, peran mahasiswa menjadi penting karena
mahasiswa sebagai bagian dari komunitas intelektual
dianggap punya kemampuan lebih dibandingkan dengan
anggota masyarakat lain. Jika benar kemampuan lebih itu disadari oleh sebagian besar
mahasiswa peserta diskusi ini, bukan sekadar kesadaran dan obsesi si penulis TOR
sendiri, sesunggunya kita boleh merasa bangga bahwa masih banyak mahasiswa
Indonesia yang menyadari siapa dirinya.
Tadinya, saya sempat berprasangka: mahasiswa-mahasiwa sekarang sudah
lupa diri, sudah lupa tanggung jawab sosial dan sejarahnya. Saya pun lantas menduga-
duga apa gerangan penyebabnya. “Oh, mungkin banyak di antara mahasiswa se
karang sudah telanjur merasa enak menikmati hasil-hasil pembangunan, terlalu
asyik menikmati berbagai fasilitas yang ada, sehingga lupa siapa dirinya dan hilang
kepekaan sosialnya.” Ternyata hari ini, di tempat ini, prasangka saya tadi keliru. Masih
ada mahasiswa yang berpikir untuk mengorganisasi rakyat, memperkuat posisi tawar-
menawar masyarakat terhadap negara, guna memperoleh kembali kedaulatan rakyat
yang diambil alih aparat negara (birokrasi negara, baik sipil maupun militer).
Pertanyaannya, mengapa kedaulatan itu sampai beralih dari rakyat (kedaulatan
rakyat) kepada aparat negara, sehingga menimbulkan kesan, di Indonesia, negaralah
~ 390 ~
~ 391 ~
~ 392 ~
~ 393 ~
~ 394 ~
~ 395 ~
~ 396 ~
Julien Benda, The Treason of The Intellectuals (New York: William Morrow, 1982), hal.43.
~ 397 ~
Gerakan Mahasiswa
& Nilai Universal Perguruan Tinggi
N
ilai Universal Perguruan Tinggi
Perjuangan mahasiswa untuk menciptakan
perubahan tatanan politik telah mewarnai banyak
kisah sejarah berbagai bangsa di dunia. Sejarah
Indonesia kontemporer juga tidak asing dengan
dunia kampus, yang berarti dunia kemahasiswaan.
Dalam konteks perjuangan perubahan tatanan politik
tersebut, kita menyebut perjuangan mahasiswa itu sebagai gerakan mahasiswa.
Bagi Indonesia sendiri, lapisan generasi pertama pemuda berpendidikan mo
dern, termasuk mahasiswa, sebenarnya bukanlah produk sosial yang murni berasal
dari rakyat Indonesia. Kaum terdidik ini lahir sebagai produk situasi atau perubahan
sikap politik pemerintahan kolonial Belanda terhadap negeri ini di awal abad ke-20.
Setelah politik etis dijalankan Belanda pada tahun 1901, kaum pribumi mendapat
perlakuan lebih baik. Salah satu perlakuan baik dan balas budi tersebut dilakukan
dalam bentuk pendirian sekolah-sekolah dan perguruan tinggi bagi penduduk pribumi.
Di Bandung berdiri sekolah tinggi teknik pada tahun 1920. Sebelumnya telah berdiri
sekolah kedokteran Stovia di Jakarta yang diubah menjadi fakultas kedokteran pada
tahun 1927. Selain Stovia di Jakarta juga didirikan sekolah tinggi hukum yang diubah
namanya menjadi fakultas hukum pada tahun 1924 (sebelumnya bernama sekolah
menengah hukum).
Umumnya, yang bisa menduduki bangku sekolah produk politik etis tersebut
adalah mereka yang berasal dari kelas masyarakat atas, seperti kaum ningrat dan anak
pegawai pemerintahan kolonial. Berkat kemajuan pendidikan yang diperolehnya,
~ 398 ~
~ 399 ~
~ 402 ~
~ 405 ~
Kesimpulan
Berbagai wacana yang kini timbul di tengah-tengah mahasiswa seputar proses
transisi demokrasi yang tersendat-sendat lebih menyuarakan kekecewaan mahasiswa
terhadap apa yang selama ini mereka perjuangkan dan cita-citakan. Mahasiswa
bukan saja merasa ditinggalkan oleh elite politik yang dihantarkannya ke panggung
kekuasaan, tapi juga merasa dikhianati.
Wacana “potong satu generasi”, “pemerintahan kaum muda”, dan sebagainya
sedikit-banyaknya menunjukkan adanya perubahan visi dalam gerakan mahasiswa
sekarang ini. Tentu saja, wacana yang disodorkan mahasiswa tersebut masih bisa
diperdebatkan. Satu hal yang pasti, mahasiswa harus kreatif mencari pola-pola baru
dalam gerakannya. Perubahan pola gerakan bukan saja menjadi tuntutan kondisi
kekinian, tapi sudah menjadi keharusan sejarah. Karena, bila kita kaji secara mendalam,
dalam setiap sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia, dan begitu juga di negara lain,
pola gerakan yang dilakukan mahasiswa selalu mengalami perubahan sesuai kondisi
obyektif yang mengitarinya.
Bila mahasiswa masih terpaku dengan pola-pola gerakan lama, berarti
mahasiswa telah kehilangan élan revolusiones, seperti yang selalu menjadi ciri
pemuda dan mahasiswa. Karena, revolusioner atau tidaknya suatu gerakan bukan
saja dilihat dari cita-cita yang hendak dicapainya, tapi juga harus ditunjukkan dari
pola dan bentuk gerakannya. Bila sebuah gerakan memiliki cita-cita revolusioner,
tapi tetap menggunakan pola-pola lama, sementara situasinya telah berubah, berarti
gerakan tersebut bukanlah gerakan yang revolusioner, melainkan gerakan yang
konservatif.
Mungkin ada di antara kita yang menganggap bahwa gerakan mahasiswa
98 hanya berhasil pada tataran penggulingan Soeharto, namun setelah itu gerakan
mahasiswa dianggap gagal. Bukan saja banyak tuntutan mahasiswa yang hingga
kini belum terpenuhi, tapi gerakan mahasiswa itu sendiri terfragmentasi dan
terpolarisasi.
Terlepas dari kekurangan dan kelemahan gerakan mahasiswa yang pernah
timbul, baik gerakan mahasiswa 98, 78, 74, angkatan 66, dan sebagainya, kita tidak
bisa menafikan bahwa mahasiswa telah memainkan peran penting dalam setiap
sejarah perubahan di republik ini. Tidak ada perubahan di Indonesia tanpa ada peran
mahasiswa. Mahasiwa selalu menjadi bagian integral dalam setiap perubahan.
Catatan sejarah ini harus menjadi beban sejarah bagi mahasiswa generasi
berikutnya. Adanya kesadaran akan beban sejarah ini, yaitu mahasiswa sebagai
aktor perubahan, pendobrak kebekuan, adalah sebuah keharusan. Kekuatan
mahasiswa saat ini yang dilihat dari sisi kuantitas jauh lebih besar dibanding
periode sebelumnya tidak akan ada artinya bila tidak ada penghayatan akan tugas
sejarah mahasiswa tersebut. Setiap generasi mahasiswa harus merasa mewarisi
tradisi perlawanan untuk memerangi setiap bentuk penindasan, kesewenang-
wenangan, ketidakadilan, dan kezaliman lainnya. Mahasiswa yang mampu menarik
~ 406 ~
~ 407 ~
Transisi Kedua
Membayangi Pemilu 2004
P
roblem utama bangsa Indonesia saat ini
adalah krisis yang berkepanjangan. Tidak terasa krisis
multidimensi ini telah berjalan hampir tujuh tahun.
Berkepanjangannya krisis ini disebabkan pemerintahan
transisi gagal melaksanakan tindakan yang sebenarnya
mutlak segera dilakukan pascakejatuhan rezim Orde
Baru. Kerusakan moral yang tercermin dari perilaku
korupsi yang massif di kalangan elite politik, pertumbuhan ekonomi yang stagnan,
disintegrasi nasional, dan hilangnya martabat Indonesia di dunia Internasional adalah
persoalan-persoalan yang mutlak harus segera diselesaikan. Persoalan tersebut bukan
saja warisan dari rezim Orde Baru, tapi tidak sedikit pula diciptakan sendiri dan terus-
menerus dipelihara oleh rezim transisi. Praktik korupsi, misalnya, bukannya semakin
surut, tapi malah semakin tumbuh subur di era pemerintahan transisi ini.
Pemerintahan transisi Megawati Soekarnoputri di awal kekuasaannya dalam
enam program intinya tersurat ada upaya untuk menjawab berbagai persoalan tersebut.
Keenam program inti pemerintahan Mega tersebut antara lain perbaikan ekonomi,
pemberantasan korupsi, melanjutkan reformasi, meningkatkan keamanan, pemulihan
martabat bangsa, dan menyelenggarakan pemilihanan umum (pemilu).
Dalam praktiknya, keenam program itu tidak terealisasi sama sekali. Das
sein bertolak belakang dengan das solen. Tidak banyak tindakan substansial yang
dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi krisis yang berkepanjangan ini. Se
baliknya, pemerintah justru melakukan tindakan bukan saja terlihat sepele, tapi
malah memperparah krisis ini, seperti penjualan aset-aset negara, pemotongan dan
~ 408 ~
~ 409 ~
~ 411 ~
N
egara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) sudah final. Paling tidak, hampir semua
kekuatan politik, baik partai politik (parpol) maupun
organisasi kemasyarakatan (ormas), sudah sepakat
dengan konsesus itu. Namun pertanyaannya, sudah
kah perangkat aturan, tatanan kelembagaan, dan
pengorganisasiannya mendukung keberadaan
NKRI itu sendiri?
Perlu dicermati, lemahnya negara dengan sendirinya pula melemahkan filo
sofis dasar yang menjadi raison d’etre (alasan keberadaan) berdirinya suatu negara.
Tujuan bernegara kita, sebagaimana tertulis dalam Alenia IV UUD 1945, meliputi,
satu, melindungi segenap tumpah darah Indonesia; kedua, memajukan kesejahteraan
umum; ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan; keempat, turut serta menjaga
perdamaian dunia.
Namun, terhitung sejak jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998, perangkat aturan
di berbagai bidang kehidupan bernegara sudah sangat liberal. Tidak ada lagi national
treasure (kepentingan nasional) yang harus dilindungi dari berbagai kemungkinan
yang melemahkan fungsi negara. Dengan sendirinya pula keempat tujuan bernegara
yang dirumuskan oleh para founding parents, seperti yang kita rasakan belakangan
ini, sulit dicapai atau bahkan gagal (failure state).
Semua itu sebagai anti-thesis atas praktik rezim otoriter-birokratis selama
34 tahun di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Tuntutan reformasi justru
dijawab dengan perubahan total, terutama dalam aturan dan pelembagaan yang free
~ 412 ~
~ 413 ~
~ 414 ~
~ 415 ~
~ 417 ~
Indeks
A
Aam Sapulete 232
Abdul Gafur 46, 275,281,283
Abdul Haris Nasution (A.H. Nasution) 42, 92,182,184,208,228,228
Abdul Latief 309
Abdul Salim Hutadjulu 78
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 111,112,114-117,237,245,
314,333,345,365
Adam Malik 41
Ade 21
Adi Sasono 223,224,278,320,368
Adnan Buyung Nasution 46,61,67,71,94,109,115,140,144,211,
241,312,360,368,382
Agus Edi Santoso (Agus Lenon) 111,115,338,372
Ahmad Tirtosudiro 25
Ahmad Yani 86
Aidit 204-207,334
Akbar Tandjung 28,34,35,38,281,277,219
Alamsjah Ratuprawiranegara 23,93
Albert Einstein 344,346
Alex Rumondor 26
Alexander Solzhenitsyn 85
Ali Moertopo 5,31,33,35,43,46,58,60,62,66-68,91,94,95,97
174,189,192,193,195-197,216,217,226,227,240,253
254,261,268,272,281,290,330,334,354,382
Ali Sadikin 28,77,90,171,199,213,240,241,257,276,282
316,356,372
Ali Said 80,90,171,277,293,299
Ali Sastroamidjojo 40
Ali Wardhana 226
Ali Yafie 117,228,230,233,235
Amartiwi Saleh 261
Amien Rais 241,368
Amir Hamzah (Aca) 17,25,29,260,288-290
~ 418 ~
B
B. Wiwoho 57,117,147
B.H. Siburian 74,77,79,81
B.M. Diah 41,42,275
Bacharuddin Jusuf Habibie
(B.J. Habibie, Rudy) 101,102,105,161,214,220,221,243,249
278,314,315,317,327,331,343,345,358,364
~ 419 ~
Bambang Trisulo 67
Bambang Warih Kusumah 31
Banjar Chaerudin 57
Ben Manoto 25
Benazhir Butto 229
Benny Sudiro 78
Bernard Mangunsong 26
Bibit 8,210,212,280
Billy Joedono 30
Bob Dylan 82
Bob Hasan 224
Bonar Siagian 26
Bonar Tigor Naipospos 274,356
Bony Setiawan 355
Budi Swasono 74
Budiman Sudjatmiko 124
Bung Tomo 41,71,74,241
Bur Rasuanto 28
Bursah Zarnubi 105,228,331,341
C
C. Van Dijk 37,44,45,62,80
Cak Barata 298
Carpus da Lopez 78
Chandra 212
Charles Killian 94
Cholil Badawi 117,118,143,232
Chris Siner Keytimu 26,241,333
Christine Hakim 100,316
Cosmas Batubara 23,41,42,67,216,217,273
D
D. Suwandono 24
Dadang Hawari 230
Dahlan Ranuwihardjo 224
Damora Lubis 21
Daniel Dhakidae 8
Daniel Indra Kusuma 105,356
Daoed Joesoef 292,299,311
~ 420 ~
E
Edi Budianto 235
Edi Cahyono 356
Eep Saefulloh Fatah 39,68
Eggi Sudjana 105,117,128,338
Ekky Syachrudin 223
Eko Cokroyogo 46
Eko Djatmiko 59,64,72,154,203,263,277,298,300
Emil Salim 41,275
Emiwaty 200
Eric Hoffer 205
Erna Walinono 26
F
Fadillah 304
Fahmi Alatas 30,280
Fahmi Idris 61,220,222-224,276,278
Fahri Hamzah 100,207,234
Fairuz 270
Fareed Zakaria 130
Fikri Jufri 57
Firdaus Basuni 78
~ 421 ~
Firdaus Wajdi 23
Francois Raillon 25,381
Frans Seda 41,117,118,228,275,309,310
Freddy Latumahina 67
Fredy Latumahina 295
Fuad Bawazier 326
G
George Junus Aditjondro 223
Ginandjar Kartasasmita 278
Goenawan Mohamad 28
Gorbachev 267
Gunggu 130, 285
Gurmilang Kartasasmita 18,25,37,45,57,59,61,65,72,78
91,140,202,259,289,298,325,329
H
H.J. Naro 233
H.J.C. Princen 61,298,372
H.R. Agung Laksono 118
Haidir Makarim 272
Hakim Simamora 46
Hari Wibowo 356,373
Hariadi Darmawan 29,30,195,262
Harjuna Ganes Siahaan 78
Harmoko 101
Harry Victor 25
Hartono Rekso Dharsono 92
Hasyim Wahid (Gus Im) 115
Hatta Albanik 78,80,324
Hatta Mustafa 46
Hatta Taliwang 228
Hendardi 350,364,372
Herbert Feith 19
Heri Akhmadi 90,93,94,292,329,344,348,355,363
Herman Johannes 27
Herman Sarens 174-176
Heru Cahyono 38,59,66
~ 422 ~
Hungudidojo 74
Husin Sasongko 86
Hutasoit 28
I
I.J. Kasimo 27
Ibnu Sutowo 25,46
Ibrahim G. Zakir (Bram Zakir) 55,265
Ichlasul Amal 113
Ignatius Haryanto 68
Ilham 214
Imam Waluyo 61
Indra Malaon 84
Indra Sukmana 21
Indro Tjahyono 348,354,355,363
Iskandar Alisjahbana 91,330
Ismail Suny 89
Ismeth Abdullah 34,94,240,261,262,274,281,295
Isyana Sadjarwo 278
Ivan Denisovich 85
Iwan Stamboel 43
J
J.E. Siahaan 28
J.P. Pronk 44,250,356,383
Jajang Pamontjak 44,46,262
Jamaluddin Dt. Singomangkuto 74
Jassin 310
Jesse A. Monintja 57,58,61,64,100,263
Jody Wuryantoro 263
John Maxwell 24
John Pangemanan 64,78,301,306,309,321
Johny Simanjuntak 23
Joppie Lasut 46,78,80
Judilherry Justam 22,23,33,35,37,57,78,196,262,280
Julius Pour 59
Julius Usman 25,92,117,188,192,272,277,372
Jumhur Hidayat 100,105,232,347
~ 423 ~
K
Kahar Muzakar 308
Kakuei Tanaka 60,62,83,170,189,250
Kalisati Siregar 15-17,229
Kartini 164-169,245,279
Kemal Idris 92,210
Kenny 188,189,190,191
Kharis Suhud 43,173,174,178,254
Komarudin 22,95
Kuskrido Ambardi 124
Kuta Ginting 199
Kwalik 229
Kwik Kian Gie 310
L
L.B. Moerdani 217,218,279
Laksamana Sukardi 126
Lance Castles 19
Leimena 205
Leo Tomasoa (Leonard Tomasoa) 67,78,81
Liem Bian Kie (Yusuf Wanandi) 67
Liem Bian Koen (Sofyan Wanandi) 23,31,67
Lili Asdjudiredja 26
Lily Wahid 117
Luhut Panjaitan 166,245
Lusian Pahala Hutagaol 277
M
M. Zubair Bakri 62
M.M. Moeliono 26
M.T. Haryono 206
~ 424 ~
~ 425 ~
N
Naila Karima 316
Nani Sadikin 316
Nashar 28
Nasrun Yasabari 78
Natsir 334
Nawaz Sharif 229
Nazaruddin 46
Nicklany 254
Nina Pane 67
Noegroho Djajoesman 146,157,228,243,258,432
Noke Kirojan 26
Nono Anwar Makarim 23,209
Nugroho Katjasungkana 256
Nurcholish Madjid 61,223
Nuri 159,214,293,349
Nusjirwan Kusumonegoro 74
Ny. Otong Kosasih 26
O
Oei Tjoe Tat 86
Omar Dhani 71,73,86
P
Pamusuk Nst. 296
Panda Nababan 270
Parakitri Tahi Simbolon 24
Pataniari 64,78
Pataniari Siahaan 64
Patrick 309
Paulus Tamzil 26
Pollycarpus da Lopez 304,333
Pono 204
Postdam Hutasoit 78,81,295
Prabowo Subianto 270
Pramoedya Ananta Toer 357,360,361,374
Pranoto Reksosamudro 86
Prita 212
Purnama Munthe 61
~ 426 ~
R
R. Slamet Iman Santoso 37
R.A.F. Mully 26
R.A.J. Sudjasmin 259
R.S. Poegoeh 277
Rachmat Witoelar 26
Rahman Tolleng 23,25,30,61,91,192,195,197,202
209,225,277,297,320,330
Rama Pratama 368
Ramadi 61,85
Ramli 217
Rauf Arumsyah 23
Razak Manan 78
Raziv 355
Remy Leimena 78,202
Rendra 2-4,28,94,111,117,119,143,158-163
210,292,344,359,360,372
Reza 14,25,137,150,155,277
Ricardo Iwan Yatim 42,46,82,83
Rizal Ramli 112,226,227,248,249,332
Rocky Gerung 124
Roedianto Ramelan 25
Rohali Sani 23
Roy Simanjuntak 296
Rudi Sudarjo 260
Rulianto Hadinoto 26
Rum Aly 26,43,46,59,68,78,80,81
S
S. Utomo 46
Saiful Sulun 117,118
Salam Sumangat 23
Salim Hutadjulu 29,34,59,61,78,80,154
Salim Kadar 53,188,276
Sani Hutadjulu 78
Sarbini Soemawinata 7,15,18,25,30,61,84,90,104,108
111,155,196,262
Sarwo Edi 208
~ 427 ~
Sarwoko 78,81,286
Sarwono Kusumaatmadja 26
Sasongko Sudarjo 260
Schiller 4
Silvia Gunawan 46,262
Sishypus 198
Sjafruddin Prawiranegara 40
Sjam Kamaruzzaman 86,277
Slamet Effendy Yusuf 78
Slamet Nurdin 368
Slamet Rahardjo 78
Slamet Sukirnanto 23
Soe Hok Gie 24,165,353
Soebadio Sastrosatomo 40,61,196,203,290,297
Soebandrio 71,73,86,205
Soedjatmoko 211
Soegeng Sarjadi 23,222,223
Soeharto 1,3,15,16,23,25,27,28,31,43,48,60,62,66-69
72,73,76,86,90-95,114,126,127,131,155
161,162,175,184,196,197,200,202,203,208-211
215,217,220,221,226-230,233,234,236,237,241,242
244,250,253,254,268,269,271-273,282,287
292,295,296,305,306,310,313-315,318,324,333,377
339,348,350,360,362,372-375,382,383,401-404,410
Soekarno 5,8,18,25,67,71-73,86,156,217,233,251,270,289,334
360,381,398,401,402,406,408
Soemantri Brodjonegoro 37,275
Soemarno 61
Soemitro 4,5,28,38,43,59,60,65,66-68,76,80,91,160,161,171
173,176,184-186,189,190,193,195,197,200,217
253,254,257,269,272,313,320
Soeratmo 12
Soerono 59,64,307
Soetoyo 206
Soewarno 13
Sori Siregar 23
Sri Sultan Hamengkubuwono 59,113,228
~ 428 ~
T
T. Zulfadli 23
T.B. Simatupang 30,40,198
Talas Sianturi 74,82
Tanri Abeng 278
Taufiq Kiemas 112,351,432
Tengku Iskandar 305,310
Thaksin 229
Thanom Kittikachorn 43,357
Theo L. Sambuaga 34,35,41,53,61,64,78,95,274,281,282
286,294,295
Tian An Men 266
Tisnaya Kartakusuma 76,78,80
~ 429 ~
Tito 204
Tjokropranolo 331
Tjupriono Priatna 26
Todung Mulya Lubis 69,154,292,303,311
Togar Hutabarat 76,78,285
Tonny 21
Toto Tasmara 308
Trimedya Pandjaitan 105,350
Try Sutrisno 117,118
Tyasno Sudarto 228,250
U
Untung Subrata 21
Utomo 46,281,283
V
Vedi Hadiz 355
Viet Cong 204
W
Waluyo 271
Wangge 269,306
Widjojo Nitisastro 44,217
Widodo Budidarmo 60,62,64,146,262
Widya Latief 46
Wijoyo Suyono 176
Wilopo 27,28,30,208
Wimar Witoelar 26,198,331,368
Wiranto 114-116,157,314,364
Y
Yap Thiam Hien 46,190,202,211,382
Yasir Hadibroto 176
Yesus Kristus 226
Yoga Soegama 46,68,157,269,292
~ 430 ~
Z
Zacky Anwar Makarim 253
Zakiah Daradjat 230
Zamroni 46
Zulkieflimansyah 368
~ 431 ~
Tentang Editor
Amir Husin Daulay. Pria kelahiran Medan, 9 De
sember 1960, dikenal luas sebagai tokoh gerakan mahasiswa
1980-an. Setelah lulus dari Akademi Ilmu Statistik dan bekerja
sebagai wartawan di beberapa media, ia kemudian kuliah di FISIP
Universitas Nasional Jakarta. Di kampus inilah ia menghidupkan
kegiatan pers mahasiswa—yang merupakan tulang punggung
gerakan mahasiswa masa itu. Bersama sejumlah aktivis maha
siswa lainnya, Amir mendirikan Yayasan PIJAR—salah satu
sentral gerakan mahasiswa era 1980-an hingga 1990-an. Ia juga
pernah merintis usaha di bidang layanan jasa riset, layanan data
dan informasi dengan bendera Business Information Services,
serta sempat sebentar menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian
Merdeka (2009). Kini, cucu Parada Harahap (tokoh pers nasional
di era 1940-an sampai 1970-an) ini aktif di INDEMO (Indonesian
Democracy Monitoring). Amir telah menulis dan menyunting
sejumlah buku, diantaranya: William Soeryadjaya, Kejayaan dan
Kejatuhannya (1993) dan Meniti Gelombang Reformasi: Jejak
Kehidupan dan Pengabdian Noegroho Djajoesman (2010).