Anda di halaman 1dari 4

Kabut Gelap Pendidikan Indonesia

(Menilik Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia)

Pendidikan merupakan salah satu cara dalam melakukan transformasi pemikiran


sehingga bentuk dan proses pendidikan yang berlangsung dalam sebuah negara memberikan
sumbangan besar bagi terwujudnya suatu pemikiran. Namun sejatinya pendidikan yang pada
hakikatnya memanusiakan manusia kini sudah mengalami pergeseran, ini terlihat dari
terjadinya pergeseran paradigma penyelenggaraan pendidikan dari motif sosial politik yang
menekankan kesetaraan dan persamaan ke arah logika ekonomi.

Kekinian praktik-praktik penindasan memang semakin menjamur dan tak aneh.


Praktik penindasan terhadap rakyat memang dirasa sudah menjadi hal yang lumrah. Praktik
penindasan kini tidak hanya terjadi pada sektor ekonomi tetapi juga mulai diterapkan pada
sektor pendidikan. Praktik penindasan dalam dunia pendidikan terlihat dari bentuk
komersialisasi pendidikan yang secara jelas termaktub dalam sistem pendidikan nasional
yang di anut oleh Indonesia. Diperkuat juga dengan barmunculannya undang-undang dan
peraturan-peraturan yang mendukung praktiik-praktik penindasan itu.

Masalah komersialisasi pendidikan yang secara terang-terangan dilakukan oleh


kapital birokrat membuat tujuan dari sistem pendidikan tidak tercapai secara utuh.
Pemenuhan rakyat akan pendidikan kini tidak di perhatikan padahal dalam UUD 1945
bahwasannya pendidikan adalah hak warga negara. Sekurang-kurangnya terdapat 5 (lima)
indikator penyelenggaraan pendidikan yang dikategorikan komersial, yaitu: (1)
penyelenggaraan pendidikan sebagai komoditi yang diperjual belikan, (2) biaya mahal, (3)
tidak memberi kesempatan kepada peserta didik dari berbagai kalangan masyarakat, (4) tidak
memberi ”subsidi silang/dispensasi” biaya sekolah bagi siswa yang orangtuanya kurang
mampu dari segi ekonomi, dan (5) misi penyelenggaraan pendidikan lebih berorientasi pada
keuntungan. Hal tersebut berdampak kepada peserta didik yang orangtuanya tidak mampu
dari segi finansial. Pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak
semestinya diperlakukan seperti “barang” yang diperjual belikan sebagai komoditas.
Akibatnya terjadi diskriminasi atau ketidakadilan perlakuan bagi warga negara dalam
memperoleh pemenuhan haknya untuk memperoleh pendidikan. Padahal, kesempatan
memperoleh pendidikan merupakan hak asasi bagi setiap warga negara Indonesia.

BHMN merupakan salah satu wujud kongkret bentuk komersialisasi da privatisasi


pendidikan baik dari pengelolaan keuangan, dan pengelolaan kekayaanlainnya lainnya. Sejak
tahun 2000 pemerintah telah melaksanakan dan menyerahkan otonomi kampus kepada
Perguruan Tinggi Negeri terbesar yakni UI, IPB, ITB, dan UGM, yang kemudian disusul oleh
UPI, USU dan UNAIR. Adanya otonomi kampus tersebut disertai dengan perubahan bentuk
kelembagaan menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Konsekwensinya, pengelolaan
dan pendanaan kampus dilakukan sendiri oleh BHMN, sedangkan pemerintah tidak memikul
tanggung jawab apapun kecuali memberikan hibah saja. Fenomena ini merupakan tonggak
baru wujud penindasan di era globalisasi. Fenomena BHMN ini dilatar belakangi oleh
persaingan antar bangsa, globalisasi, perdagangan bebas serta krisis dalam negri.
Dengan adanya otonomi kampus tersebut PTBHMN memiliki otonomi dalam
pengelolaan kekayaan (Sumber dana) yang kemudian ini menjadi celah masuk PTBHMN
untuk mempraktikan komersialisasi pendidikan di Perguruan Tinggi. Dengan format BHMN,
pemerintah secara sistematis berubaya menggeser peranan dan tanggung jawabnya dalam
pendidikan kepada masyarakat. Akibatnya PTN yang menjadi BHMN harus mencari sendiri
sumber pembiayaan pendidikan dengan cara menaikkan biaya pendidikan dan
mengkomersilkan sarana-sarana pendidikan yang dimiliki oleh BHMN.

Di UPI sendri praktik penindasan tersebut tidak hanya pada masalah biaya yang
mahalnya, tetapi juga pada ruang gerak mahasiswa dalam berkegiatan (berorganisasi),
masalah aksesibilitas kampus mulai dari dilarang melakukan kegiatan pada malam hari,
fasilitas kampus yang di komersilan (disewakan) kepada mahasiswa, dan juga banyaknya
dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengekang aktivitas gerak mahasiswa mulai dari
dikeluarkannya pedoman prilaku mahasiswa dan baru-baru ini mengenai peraturan rektor
mengenai ormawa.

Analisis Yuridis Formal

Pemenuhan akan kebutuhan pendidikan sejatinya sudah di atur dalam UU dan


keputusan-keputusan yang dikeluarkan pemerintah. Landasan Yuridis yang terkait dengan
pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan didasarkan pada: (a) Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28C ayat (1), (b) Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan (c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 11
ayat (1).

Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 53, lembaga
pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat harus berbentuk Badan
Hukum Pendidikan (BHP). Dalam pasal 47 ayat 2 dinyatakan bahwa sumber pendanaan
pendidikan adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Menurut pasal 49
ayat 3, pendanaan pendidikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada lembaga
pendidikan diberikan dalam bentuk hibah. Bagaimana peran masyarakat dinyatakan oleh
pasal 54 ayat 2, yakni masyarakat memiliki peran sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna.
Adapun yang dimaksud dengan masyarakat dijelaskan oleh pasal 54 ayat 1 yaitu individu,
kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan.

Metode dan Kurikulum

Dalam perjalanan dunia pendidikan di indonesia seringnya berganti kurikulum,


mengindikasikan bahwasannya kurikulum yang dibuat selalu tidak sesuai dengan kondisi
yang ada. Pembuatan kurikulum selalu di buat secara top down sehingga ketika di aplikasikan
tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sering berubahnya kurikulum tidak menjadi
penerangan yang jelas bagi sistem pendidikan yang ada. Ketika kita tinjau perubahan-
perubahan pada kurikulum tidak lantas mengubah secara esensial. Hal ini dikarenakan
orientasi pendidikan masih bermuara pada bagaimana peserta didikbisa mendapatkan
pekerjaan saja bukan bagaimana mereka bisa memiliki kecakapan hidup. Tak heran memang
kurikulum yang ada hanya dijadikan sebagai rancangan pencetak tenaga kerja yang murah
untuk memenuhi kebutuha pasar dan menjadi buruh murah yang bekerja di ranah perusahaan
manufaktur saja. Dimasukannya program kewirausahan dalam kurikulum membuktikan
bahwa dengan hanya mendapatkan materi perkuliahan saja tidak menjamin mereka akan
mendapatkan pekersaan sesuai dengan bidang yang digelutinya. Pengurangan jumlah sks
dalam materi perkuliahan di PT merupakan wujud dari usaha untuk mempercepat kelulusan
bagi calon sarjana muda supaya proses perputaran modal yang digunakan dapat terus
berputar. Pemadatan itu berimbas pada pemberian tugas yang semakin menumpuk dan
membatasi mahasiswa untuk dapat bergiat menjadi aktifis kampus kalau mahasiswa itu tidak
pandai dalam memanaj waktu. Dengan fenomena seperti ini peserta didik akan mempunyai
paradigma hanya akan mengejar hasil bukan proses. Sehingga akan mencetak manusia yang
opertunis, dan menyampingkan esensi pendidikan.

Berdasarkan data BPS keadaan ketenagakerjaan pada Agustus 2010, TPT untuk
pendidikan Diploma dan sarjana masih tetap mendominasi, yaitu masing-masing
sebesar 12,78 persen dan 11,92 persen.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)


Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2008–2010
(persen)

2008 2009 2010


Pendidikan Tinggi yang Agustus Februari Agustus Februari Agustus
ditamatkan
1 2 3 4 5 6
SD ke bawah 4,57 4,51 3,78 3,71 3,81
SMP 9,39 9,38 8,37 7,55 7,45
SMA 14,31 12,36 14,50 11,90 11,90
SMK 17,26 15,69 14,59 13,81 11,87
Diploma 11,21 15,38 13,66 15,71 12,78
Universitas 12,59 12,94 13,08 14,24 11,92

Data di atas membuktikan bahwa pendidikan sekarang memang tidak menjamin peserta didik
untuk bisa menjamin untuk bisa mendapatkan pekerjaan selepas menyelesaikan masa
studinya.

Manajemen

Pengelolaan tenaga pendidik

Kesimpulan

Dampak Komersialisasi Pendidikan


* Komersialisasi pendidikan mengakibatkan sulitnya akses bagi masyarakat terhadap
pendidikan dari tingkat dasar hingga ke perguruan tinggi karena syarat utama untuk
memasuki lembaga pendidikan adalah kemampuan finansial masyarakat bukan kemampuan
berpikir.

* Di dalam lembaga pendidikan, khususnya PTN yang telah menjadi BHMN terdapat
kesenjangan lebar antara mahasiswa yang diserap murni dari kemampuan berpikir dengan
mahasiswa yang diserap karena kemampuan finanasial. Kondisi ini tidak baik bagi
perkembangan dunia akademik.

* Perguruan Tinggi tidak lagi fokus mengurus dan melayani pendidikan bagi para
mahasiswanya, perhatiannya terpecah kepada urusan-urusan yang bersifat profit dan bisnis
sehingga ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan di Indonesia.

* BHMN diberikan peluang melakukan. Hal ini menjadi sarana bagi pihak asing (khususnya
Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara maju
lainnya) untuk melakukan intervensi pendidikan melalui senjata utang langsung ke lembaga-
lembaga pendidikan di Indonesia.

* Peranan masyarakat Indonesia untuk pembiayaan pendidikan tidak dapat terlalu


diharapkan terhadap dunia pendidikan Indonesia karena sebagian besar masyarakat Indonesia
berasal dari kalangan menengah ke bawah. Akibatnya apa yang dimaksud UU tentang
kemandirian masyarakat adalah menyerahkan institusi pendidikan kepada para pemilik
modal. Bagi lembaga-lembaga donor yang berbasis ideologis seperti The Asia Foundation
dan Ford Foundation, hal ini melapangkan jalan bagi mereka guna mendorong perguruan
tinggi melakukan riset yang berbasis kepentingan ideologi Kapitalis-Sekuler.

Anda mungkin juga menyukai