Semua manusia bersaudara satu sama lain. Karena itu tiap orang yang membutuhkan pertolongan harus memperoleh pertolongan. Tiap orang keluar dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara.
-PramoedyaAnanta Toer
Sungguh berbahagialah dan beruntunglah bangsa Indonesia mempunyai
seorang Sastrawan seperti Pramoedya AnantaToer. Kemampuannya dalam menuliskan kisah-kisah dari warisan leluhur bangsa ini sungguh luar biasa. Tidak hanya itu, ia juga mahir dalam menyajikan kisah-kisah tersebut kedalam satu tulisan sejarah. Karya-karya yang ia persembahkan adalah bentuk pengabdian luhur kepada tanah airnya. Banyak negeri diluar sana terkagum-kagum akan kedasyatan karyanya, tak urung mereka pun berlomba-lomba menterjemahkan kedalam bahasanya masaing- masing. Paling banyak diterbitkan di negeri Belanda. Dalam perjalanan karirnya sebagai sastrawan kita tidak usah meragukan lagi totalitasnya. Pada masa awal berkuasanya rezim Orde Baru – ia harus menjalani hidup dibalik terali besi selama 14 tahun di pulau buruh. Tidak diadili tidak pula tahu lamanya hukuman dirinya. Selama hidup di pulau penyiksaan ia terus menulis, karena kecitaanya kepada bidang tersebut yang telah membuat hidupnya lebih berarti. Sebagai perenungan kita semua buah kreatifitasnya, di Indonesia tempat yang dikenal kearifan masyarakatnya – ia sendiri tidak pernah mendapat penghargaan setimpal. Berapa banyak murid SMP yang membaca bukunya? Bandingkan dengan anak-anak yang rela tak tidur membaca buku Harry Poter! Tidak salah jika kita mau membaca dan belajar dari sebuah kisah dongeng ”Calon Arang”, dibuku yang tipis ini munkin kita akan mengenal yang namanya ’kekejaman’ laku manusia. Di buku ini juga kita akan merenungkan arti sebuah ’maaf’. Kisah dendam seorang janda yang berprofesi sebagai tukang tenung – karena anaknya yang berparas cantik tidak punya teman. Sang janda murka bukan kepalang, lalu ia bercita-cita untuk menyiksa dan membunuh siapa pun. Semua orang dibuat ketakutan tampa mengerti harus berbuat apa. Beribu-ribu mayat berhamburan di kuil Durga, tempat dimana ia memuja Dewi kejahatan bernama Durga. Paduka Raja Erlangga dibuat mati kutu, ia binggung bagaimana harus menolong rakyatnya. Banyak negeri yang telah ia kalahkan dengan pasukan perangnya – tapi ia benar- benar kalah kali ini menghadapi tenung janda tua calon Arang. Sampai suatu ketika Raja mendapat pesan ada seorang Pendeta bernama Empu Baradah. Konon hanya kesaktiannya-lah yang mampu mengalahkan ilmu jahat Calon Arang. Sangking saktinya ia mampu menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati karena sasaran tenung si Janda Calon Arang. Satu-persatu mereka dibebaskan dari kuasa penyakit yang mematikan. Seperti keajaiban orang-orang diberikan kesempatan untuk melanjutkan hidupnya kembali. Sampailah kepada ’si biang penyakit’, sang Empu tak memberi ampun untuk kejahatan yang telah ia lakukan. Calon Arang sudah mempertontonkan semua kehebatanya. Tapi semua itu tidak berarti. Dengan sabar sang empu memberi hukuman setimpal kepada Calon Arang. Matilah Calon Arang seperti lalat bangkai. Tapi apa yang mengejutkan dari cerita ini adalah kebaikan Empu Baradah untuk memaafkan Calon Arang, dengn kesaktiannya ia hidukan kembali mayat Calon Arang. Dengan alasan setiap orang adalah sama dan berhak mendapat pertolongan. Asal ia mau bertaubat kepada sang pencipta dan memperbaiki kesalahanya. Dari buku setebal 92 halaman ini dapat di ambil kesimpulan bahwa Pramoedya hendak menyarankan kepada kita bagaimana kita mengasihi musuh- musuh kita dengan memaafkanya. Hanya saja kejujurannya dalam bercerita, nampak sekali begitu jelas menggambarkan sebuah kekejaman. Membuat bulu kuduk kita merinding. Melalui pemilihan kosakata yang juga apa adanya. Apakah memang harus dengan bahasa tersebut kita mencoba memahami pikiranya? Bagaimana kebijakan penerbit ketika kalimat-kalimat yang berbau unsur ’kekerasan’ dicerna mentah- mentah oleh anak-anak sekolah? Selamat membaca!!! Judul Buku: Calon Arang Penulis: Pramoedya Ananta Toer Tebal: 92 Halaman Bahasa Indonesia Penerbit Lentera Dipantara, Jakarta.1 Juli 2003