Anda di halaman 1dari 3

PEMERINTAH PERLU BEDAKAN EVALUASI DAN PENILAIAN

Hanya dalam hitungan bulan, Mendiknas yang semula hendak meniadakan ujian akhir dalam
rangka reformasi Kabinet SBY-Kalla, berubah fikiran. Tanggal 12 Januari 2005 dikeluarkan
Peraturan Mentri Nomor 1/2005 tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2004-2005. Perubahan
yang dijanjikan meliputi nama, frekuensi pelaksanaan, nilai kelulusan, perbedaan mutu, atau
kesukaran soal ujian, dan larangan sekolah melaksanakan ujian serupa.

Harian Kompas melaporkan, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, ujian nasional


diperlukan guna mengukur keberhasilan belajar anak didik pada setiap akhir tingkatan pendidikan
dan mengukur standar mutu secara nasional. Kesungguhan Depdiknas ditunjukkan oleh kesediaan
bernegosiasi berhari-hari dengan DPR guna memperoleh anggaran sekitar Rp 200-300 Millyar.
Dana itu belum mencakup pengeluaran pemerintah daerah dan biaya yang harus dikeluarkan calon
peserta ujian.

Sementara itu, Pasal 58 Ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003
menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik merupakan kewenangan guru sebagai
pendidik sehingga upaya menggelar ujian nasional (UN) dinilai kurang mengindahkan amanat
Undang-undang yang masih berlaku. Dengan melaksanakan ujian nasional, pemerintah bermaksud
untuk mengadakan penilaian hasil belajar anak didik secara nasional.

Padahal, evaluasi proses belajar harus dibedakan dengan penilaian oleh pemerintah.
Evaluasi belajar dilakukan terhadap proses belajar peserta didik secara terus-menerus dan
secara keseluruhan pribadi anak oleh pendidik. Di sisi lain, penilaian oleh pemerintah bertujuan
untuk melihat kebijakan yang harus diambil setelah melihat atau mengumpulkan data di lapangan.

“ Penilaian dilakukan oleh pemerintah seperti ujian nasional tidak bisa menentukan
kelulusan seorang murid, apalagi hanya dengan 3 / 4 mata pelajaran. Selain itu, kelulusan siswa
tidak ditentukan oleh mentri,” demikian diungkapkan pengamat pendidikan, H.A.R. Tilaar,
menanggapi keinginan pemerintah untuk tetap melangsungkan ujian nasional. Penilaian oleh
pemerintah itu guna melihat dan mengetahui kondisi nyata kualitas pendidikan sehingga negara
dapat menyiapkan rancangan menuju standardisasi. Pada dasarnya, standardisasi dapat dilakukan
kapan saja tetapi harus dipetakan lebih dahulu posisi pendidikan nasional.

Dia melihat ujian nasional sebagai pembodohan, tidak hanya kepada murid tetapi juga
kepada masyarakat. Terbukti, setelah ujian akhir nasional beberapa tahun terakhir, pemerintah
tidak melakukan perbaikan nyata berdasarkan hasil ujian secara nasional. “ Kita akan kembali ke
cara lama yang omong kosong saja. Seperti halnya pelaksanaan evaluasi belajar tahap akhir
nasional yang terbukti tidak meningkatkan kualitas pendidikan. Sebaliknya, kapan guru diajak
untuk evaluasi sebenarnya? Seluruh sistem yang berusaha dibangun melalui Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional akan runtuh, “ katanya. Sebaliknya, ujian akhir nasional atau apapun
namanya justru menggoda para guru mengadakan les-les tambahan guna mencari penghasilan
sampingan. Dengan kata lain, terjadi komersialisasi di dunia pendidikan.

Soal pernyataan pemerintah bahwa ujian nasional akan memicu peserta didik berusaha
lebih keras dan mengenyahkan budaya lembek, H.A.R. Tilaar tidak sependapat. Watak lebih
terkait soal moral dan nilai-nilai yang dilaksanakan dalam kehidupan, bukan sebatas mengetahui
mata pelajaran yang diujiannasionalkan. Dia mengatakan kalau tekad membangun masyarakat
demokarasi termasuk di dunia pendidikan sudah kuat, guru juga harus kuat membangun watak
anak didik. Itulah rantai yang harus diciptakan

Secara terpisah, pengamat pendidikan Winarno Surakhmad mengungkapkan pendapat


senada. Kebijakan ujian nasional mencerminkan sikap pemerintah yang sekadar mau tau hasil.
Padahal, banyak hal yang masih dipertanyakan terkait dengan ujian nasional. Dia mencontohkan,
salah satunya angka target 4,25 yang tidak jelas dasarnya. “ Kalau dihitung dari skala 5, angka 4
itu tinggi. Akan tetapi, kalau dari skala sepuluh, angka 4 itu rendah. Kita tidak tau sebenarnya
posisi kita di mana, “ katanya.

Selain itu, dalam konstitusi jelas dituliskan bahwa tugas negara antara lain mencerdaskan
kehidupan bangsa itu disepakati tanpa resistensi dari masyarakat. Setidaknya, ini dapat menjadi
titik tolak . “ Namun, pemerintah menempatkan pencapaian ujian nasional sebagai tujuan akhir
yang jelas tidak sinkron dengan konstitusi, “ katanya. Tidak cukup hanya dengan ujian nasional
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa karena ujian tersebut hanya menguji 3/4 mata pelajaran.
Sudah begitu, masih dipermainkan dengan konversi pula.

Oleh karena itu, haruus ada pembedaan yang jelas antara evaluasi dan penilaian. Penilaian
harus jujur, objektif dan merata ke semua jenjang sekolah, serta menjauhkan praktik-praktik
ketidakadilan. Kebiasaan membedakan sekolah negri dan sekolah swasta sebenarnya juga salah
satu wujud ketidakadilan tersebut. Sebenarnya tidak ada sekolah negri dan sekolah swasta. Yang
ada adalah sekolah yang memiliki tugas, kewajiban, dan tanggung jawab yang sama untuk
mencerdaskan anak-anak negri ini.

Dalam suatu jumpa pers, Komisi Nasional Perlindungan Anak menilai ujian nasional
mengurangi kesempatan anak mendapatkan pendidikan. Padahal, hak tersebut bagi anak sangat
fundamental dan negara berkewajiban memenuhinya. Ujian nasional secara sistematis
menciptakan penghambat bagi anak untuk meneruskan pendidikan ke jenjang berikutnya hanya
karena keharusan memenuhi nilai ujian nasional tertentu yang dipakai sebagai acuan kelulusan. Hal
ini, memperlebar jurang kesenjangan pendidikan dan kesempatan memasuki pendidikan lebih
lanjut.

Pelaksanaan ujian nasional yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional juga
bukan dalam konteks evaluasi sistemik dan pengendalian mutu secara total atas pencapaian
pendidikan nasional. “Tidak adil dan cendrung ekploitatif jika hanya anak-anak sebagai peserta
didik di satu pihak saja yang menjadi objek evaluasi tingkat keberhasilan pendidikan, “kata
Sekretaris Komisi Nasional Perlindungan Anak, Aris Merdeka Sirait.

Padahal, di dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional disebutkan, bahwa evaluasi pengendalian mutu pendidikan terintegrasi
dengan evaluasi terhadap proses pendidikan, program pendidikan, lembaga, dan satuan
pendidikan.
POKOK – POKOK PERMASALAHAN

1. Keluarnya Peraturan Mentri Nomor 1/2005 tentang ujian nasional tahun 2004-2005
tanggal 12 Januari 2005
2. Perubahan-perubahan yang dilakukan adalah nama, frekuensi pelaksanaan, nilai kelulusan,
perbedaan mutu, atau kesukaran soal ujian dan larangan sekolah melaksanakan ujian
serupa.
3. Fungsi atau tujuan dari ujian nasional adalah: mengukur keberhasilan belajar anak didik
pada setiap akhir tingkat pendidikan dan mengukur stamdar mutu secara nasional
4. Depdiknas dan DPR mengeluarkan dana untuk itu Millyaran Rupiah, diluar biaya yang harus
dikeluarkan peserta
5. Pasal 58 ayat 1 Undang-Undang SISDIKNAS Tahun 2003 menyatakan bahwa evaluasi
belajar peserta didik merupakan kewenangan guru sebagai pendidik, sehingga upaya
menggelar ujian nasional dinilai kurang mengindahkan amanant Undang-Undang yang masih
berlaku
6. Tujuan pemerintah dalam melaksanakan UN adalah: mengadakan penilaian hasil belajar
anak didik secara rasional
7. Evaluasi belajar dan penilaian harus dibedakan oleh pemerintah
8. Evaluasi belajar adalah: penilaian terhadap peserta didik dengan melihat proses
belajarnya secara terus-menerus secara keseluruhan pribadi anak oleh pendidik
9. Penilaian pemerintah bertujuan melihat kebijakan yang harus diambil setelah melihat atau
mengumpulkan data di lapangan
10. Pelaksanaan ujian nasional yang dilakukan pemerintah atau Departemen Pendidikan
Nasional bukan dalam konteks evaluasi sistemik dan pengendalian mutu secara total atau
pencapaian pendidikan nasional

Anda mungkin juga menyukai