Anda di halaman 1dari 5

KAWASAN PELESTARIAN SUMBERDAYA PERIKANAN UNTUK MELINDUNGI MAMALIA LAUT CETACEA

KAWASAN PELESTARIAN SUMBERDAYA PERIKANAN UNTUK


MELINDUNGI MAMALIA LAUT CETACEA
(Whale, porpoise, dolphin and dugong)
Ismu Sutanto Suwelo dan Yuliadi S.
(Yayasan Nasional Bina Samudera/Kelompok Spesialis Cetacea)

Perairan Indonesia dihuni oleh 31 jenis Cetacea (whale, porpoise, dolphin); dua belas
diantaranya binatang paus dan sisanya pesut serta lumba-lumba. Mamalia laut lainnya
adalah satu jenis duyung (Dugong dugon). Satwa tersebut tersebar di seluruh perairan
pantai hingga laut dalam; baik bertabiat menetap maupun migran. Beberapa jenis
binatang paus yang bersipat migran-pengembara menggunakan perairan Indonesia
bagian Timur sebagai jalur migrasi di antara Samudera Hindia dan Pasifik melalui
perairan Kepulauan Komodo, Solor-Lembata (NTT), Laut Banda (Maluku), Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Utara dan Sorong-Fakfak (Papua).
Konsentrasi populasi Cetacea di perairan Nusantara yang diduga sebagai tempat
berbiak (breeding ground) dijumpai di Selat Lamakera (NTT), sekitar Pulau Lembeh
(Sulawesi Utara), TNL Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Selat mentawai (Sumatera
Barat). Sedangkan tempat-tempat yang pernah dilaporkan adanya binatang paus
terdampar adalah Bali Selatan, Pamekasan (Madura), Sukabumi-Priangan (Jawa
Barat) dan Padang (Sumatera Barat). Hal tersebut dibuktikan dengan disimpannya
kerangka binatang paus di Museum zoologi Bogor (berasal dari Priangan), Kebun
Binatang Bukittinggi (asal Padang), Kebun Binatang Surabaya (asal Pamekasan) dan
di Gelanggang Samudera Jaya Ancol, Jakarta (asal Bali). Lumba-lumba banyak

file:///C|/website%20IWF/opini%20kawasan.htm (1 of 5) [9/28/2004 11:42:39 AM]


KAWASAN PELESTARIAN SUMBERDAYA PERIKANAN UNTUK MELINDUNGI MAMALIA LAUT CETACEA

ditemukan di sekitar perairan Riau, Jawa Tengah (termasuk TNL Karimunjawa), Bali
Utara, serta perairan Papua (Arafuru). Duyung (dugong) dilaporkan pernah
tertangkap dan terdeteksi di Teluk Miskan (Banten), Belitung, perairan Sulawesi
Selatan dan di sekitar pulau-pulau kecil di Maluku, Sorong, Sumba serta
kemungkinan terdapat di wilayah pesisir yang ada hamparan padang lamun, sebab
makanan utama duyung (dugong) adalah tumbuhan lamun.
Bulan Maret 2003 lalu, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup mengadakan
diskusi mengenai mamalia laut dalam rangka persiapan untuk membuat rumusan
IMMA (Indonesia’s Marine Mammal Management Area). Kelompok Spesialis
Cetacea Indonesia mengusulkan agar pemerintah RI mempertimbangkan penetapan
perairan Nusantara sebagai “while sanctuary” yang bila merujuk pada Undang-
Undang Perikanan 1985 istilahnya adalah “suaka perikanan” (suaka Perikanan
Cetacea). Landasan hukumnya adalah bahwa Cetacea menurut Undang-Undang
tersebut termasuk dalam pengertian sumberdaya perikanan.
Di dalam “suaka perikanan” yang penetapannya dilakukan Menteri Kelautan dan
Perikanan, ditetapkan batas-batasnya sekaligus upaya melindungi Cetacea dari
penangkapan tidak sengaja. Kapal-kapal penangkap ikan agar diberi kewajiban
memasang “dolphin excluder device” pada jaring longline-nya seperti hanlnya TED
(Turtle Excluder Device) untuk penyu. Selain itu para nahkoda kapal-kapal besar
berkewajiban mencatat perjumpaannya dengan Cetacea (dolphin, porpoise, whale)
dalam setiap pelayarannya di perairan teritorial Nusantara dan ZEE. Suaka perikanan
bagi Cetacea dapat diperluas lagi pengertiannya untuk melindungi duyung (Dugong
dugon) yakni hamparan padang lamun yang menjadi habitat satwa tersebut. Kewajiban

file:///C|/website%20IWF/opini%20kawasan.htm (2 of 5) [9/28/2004 11:42:39 AM]


KAWASAN PELESTARIAN SUMBERDAYA PERIKANAN UNTUK MELINDUNGI MAMALIA LAUT CETACEA

meliarkan kembali Cetacea, duyung dan penyu yang terjaring oleh nelayan dan kapal-
kapal penangkap ikan perlu juga ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
Untuk melindungi habitat yang telah kritis sebagai feeding ground, breeding ground
atau jalur migrasi lebih efektif bila mengacu kepada Undang-Undang RI No. 5 tahun
1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta PP No.
68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, yakni
penunjukan sebagai suaka alam (laut) dan taman nasional (laut); serta sebagai taman
wisata alam (laut) yang berpotensi untuk dikelola bersama pihak ke-3 (stake holder)
sebagai tempt wisata “Cetacea Watching”. Tempt-tampat yang dapat dikembangkan
dan dikelola untuk tujuan tersebut adalah di Alor (Lamakera-Lamarela) berupa
“whale watching”, di perairan Pantai Lovina (Singaraja, Bali Utara) berupa “dolphin
watching”, serta di Sungai Pela (hulu Sungai Mahakam) berupa “pesut watching”.
Areal lain yang juga memiliki potensi dikembangkannya “Cetacea Watching” adalah
Teluk Kumai (Kalteng), TNL Karimunjawa (Jawa Tengah), TNL Wakatobi (Sultra),
TNL Komodo (NTT), Pulau Lembeh (Bitung, Sulut), Fakfak (Sorong, Irja), Segara
Anakan (Jawa Tengah) dan Pulau Siberut (Mentawai, Sumbar. Pengelolaan
pemanfaatan dengah pihak ke-3 melalui Pemda setempat dapat juga dilakukan
terhadap zona pemanfaatan dari Taman Nasional Laut berlandaskan Undang-undang
desentralisasi dan otonomi daerah.
Untuk mempersiapkan areal tersebut perlu dirumuskan kembali mengenai luas
kawasan konservasi laut yang pernah ditetapkan Ditjen PHKA Departemen
Kehutanan, yaitu 10 hektar meliputi 150 sampai 2250 lokasi, 20 diantaranya berupa
taman nasional laut. Lokasinya tersebar di seluruh perairan Nusantara, termasuk

file:///C|/website%20IWF/opini%20kawasan.htm (3 of 5) [9/28/2004 11:42:39 AM]


KAWASAN PELESTARIAN SUMBERDAYA PERIKANAN UNTUK MELINDUNGI MAMALIA LAUT CETACEA

pulau-pulau kecil, hamparan padang lamun dan hutan mangrove dengan target 30%
luas, hamparan terumbu karang dan pantai-pantai peneluran penyu serta gejala-gejala
alam.
Sarasehan tentang mamalia laut dan penyu pernah diselenggarakan oleh Yayasan
Nasional Bina Samudera (YNBS) bekerjasama dengan Kelompok Spesialis Cetacea
dan Ikatan Sarjana Oseonologi Indonesia (ISOI) tahun 1999 di P. Bidari, Kepulauan
Seribu, menghasilkan kesimpulan dan saran, diantaranya perlu segera merevisi nama-
nama satwa langka dalam ordo Cetacea dalam lampiran PP No. 7 tahun 1999 agar
tidak menimbulkan kesalahpahaman terhadap penamaan maupun istilahnya di
masyarakat. Sarasehan juga menyatakan bahwa perlu segera Indonesia meratifikasi
Whaling atau Convention (International Convention for the Regulation of Whaling
atau Washington Convention 1946) agar terbuka kesempatan bagi Indonesia
bekerjasama dengan dunia internasional mengembangkan upaya pelestarian,
penelitian, pendidikan dan pelatihan tentang pengelolaan binatang paus, pesut dan
lumba-lumba. Pada tahun 1982 sebenarnya Menteri Negara PPLH (Prof. Dr. Emil
Salim), Dirjen PHPA (Prof. Rubini Atmawidjaja dan Ir. Soemarsono) serta Sekditjen
Perikanan Deptan (Drs. Poernomo, K.S) sudah menyatakan persetujuannya (secara
tertulis) mengenai hal itu, namun sampai kini belum terealisasikan karena tidak
ditindaklanjuti oleh pejabat-pejabat yang menggantikannya, termasuk Departemen
Luar Negeri.
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut Ditjen Pesisir, Pantai dan Pulau-
pulau kecil Departemen Kelautan dan Perikanan belakangan membentuk Kelompok
Kerja guna menyusun draft Pengelolaan Biota Laut Duyung dan Habitatnya pada

file:///C|/website%20IWF/opini%20kawasan.htm (4 of 5) [9/28/2004 11:42:39 AM]


KAWASAN PELESTARIAN SUMBERDAYA PERIKANAN UNTUK MELINDUNGI MAMALIA LAUT CETACEA

bulan September 2001. Tujuannya adalah sebagai persiapan penyusunan kebijakan


pengelolaan biota duyung dan habitatnya untuk acuan bagi pemerintah, termasuk
Balai KSDA dan TNL serta para stake holder. Demikian halnya dengan masalah
Cetacea.
Dari hasil diskusi di Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup bulan Maret 2003
didapatkan hasil yaitu atas prakasa Deputi Bidang Pelestarian Lingkungan Kantor
Kementerian Lingkungan Hidup akan diproses diterbitkannya Keppres ratifikasi
“Konvensi Penangkapan Binatang Paus” atau “Whaling Convention” (dikenal
sebagai “Washington Convention 1946”). Selanjutnya Deplu akan
mengkomunikasikannya ke Amerika Serikat sebagai “depository country”. Dalam
melaksanakan konvensi di Indonesia, seyogyanya DKP bertindak sebagai
“Management Authority” dan LIPI sebagai “Sciantific Authority”.
Seluruh instansi pemerintah terkait perlu “duduk satu meja” membahas penetapan
kawasan pelestarian sumberdaya perikanan guna melindungi mamalia laut agar
dicapai kesepakatan bersama dan menghindari kesan “ego sektoral” di masing-
masing instansi yang berkompeten. Mamalia laut merupakan sumberdaya alam hayati
yang dimiliki Indonesia yang harus dikelola secara hati-hati, dicegah dari
penangkapan tidak sengaja (incidental catching) serta bijaksana agar keberadaannya
terjamin sepanjang masa. “The Seas Must Live”. (Dimuat Dalam WARTA IWF
Vol. 8 No. 2 April 2004)

file:///C|/website%20IWF/opini%20kawasan.htm (5 of 5) [9/28/2004 11:42:39 AM]

Anda mungkin juga menyukai