Anda di halaman 1dari 20

Faham Mahdi Syi'ah dan

Ahmadiyah dalam Perspektif


oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

PAHAM MAHDI AHMADIYAH (1/6)


oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Apabila paham Mahdi atau Mahdiisme Syi'ah itu lebih ditandai


oleh motif-motif politik, maka paham Mahdi Ahmadiyah yang
lahir di ujung abad ke-19, tampaknya lebih bermotif
pembaharuan pemikiran dalam Islam, terutama dalam menghadapi
bahaya Kristenisasi sebagai akibat penjajahan Inggris di
India. Dengan demikian, ide kemahdian Ahmadiyah berbeda
dengan ide kemahdian Syi'ah yang mencita-citakan terwujudnya
kekuasaan politik di dunia Islam di bawah pimpinan al-Mahdi.

Mahdiisme Ahmadiyah rupanya tidak bisa terlepas dari


kaitannya dengan masalah kehadiran kembali 'Isa- al-Masih di
akhir zaman, dimana ia ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh
Dajjal, mematahkan tiang salib, yaitu mematahkan
argumen-argumen agama Nasrani dengan dalil-dalil atau
bukti-bukti yang meyakinkan, serta menunjukkan kepada para
pemeluknya kebenaran Islam. Disamping itu ia pun ditugaskan
untuk menegakkan kembali syari'at Nabi Muhammad, sesudah
ummatnya mengalami kemerosotan dalam kehidupan beragama.
Menurut paham aliran ini, 'Isa dan al-Mahdi adalah satu
pribadi, bukan sebagaimana yang dipahami orang pada umumnya.
Oleh karena itu, mereka hanya mengambil salah satu dari
beberapa hadis-hadis Mahdiyyah yang sesuai dengan keyakinan
aliran ini, dan mereka - para pengikut paham Ahmadiyah -
memandang hadis Mahdiyyah yang mereka pegangi sebagai
otentik seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

"Tiada seorang pun (sebagai) al-Mahdi selain 'Isa."

Hadis tersebut mereka pahami dan mereka hubungkan dengan


pribadi Mirza Ghulam Ahmad sebagai pengejawantahan 'Isa
al-Masih dan al-Mahdi, yang berasal dari India. Tentunya
para pengikut paham Ahmadiyah ini secara tegas menolak
hadis-hadis Mahdiyyah lairmya yang mengandung maksud berbeda
dengan paham mereka. Apabila kemahdian Ahmadiyah meniru
sifat-sifat atau watak Nabi 'Isa, maka dalam mene;apai
tujuannya, aliran ini tidak suka menempuh jalan kekerasan,
akan tetapi dengan jalan damai, sebagaimana yang ditempuh
oleh kaum misionaris Kristen. Menegakkan Islam dengan jalan
kekerasan atau perang, menurut paham pengikut aliran ini,
adalah tidak penting bahkan tidak perlu. Sebab menegakkan
agama (Islam) dengan perang, hanyalah merupakan jihad atau
perang kecil yang dikenal dengan [kata-kata Arab]. Akan
tetapi, yang terpenting adalah jihad akbar [kata-kata Arab]
yaitu perang melawan hawa nafsu.

Sifat kemahdian Ahmadiyah tersebut, berlainan dengan sifat


kemahdian Syi'ah yang jauh lebih agresif. Pada umumnya,
pengikut paham Mahdi Syi'ah mendasarkan paham kemahdiannya
pada aqidah raj'ah dengan menunggu-nunggu kehadiran kembali
pemimpin mereka yang telah wafat, khususnya dari keturunan
mereka yang telah wafat, khususnya dari keturunan
Ahlul-Bait. Sedangkan paham Mahdi Ahmadiyah tidak didasarkan
pada aqidah raj'ah, karenanya pengikut aliran ini tidak
memandang penting silsilah al-Mahdi itu berasal dari
keturunan Ahlul-Bait. Menurut paham yang terakhir ini,
al-Mahdi itu tidak harus keturunan Ahlul Bait atau dari
bangsa Arab, akan tetapi siapa saja yang dikehendaki dan
diangkat oleh Tuhan baik dengan jalan wahyu atau ilham. Jika
kemahdian Syi'ah selalu dikaitkan dengan masalah keimaman,
maka kemahdian Ahmadiyah selalu dihubungkan dengan masalah
kenabian, dan kemungkinan masih diturunkannya wahyu sesudah
Nabi Muhammad. Persepsi yang demikian ini, apa pun alasan
yang mereka ajukan, tetap akan ditolak oleh golongan Islam
lainnya, khususnya golongan Sunni.

Dari perbedaan-perbedaan yang prinsip ini, kehadiran aliran


Ahmadiyah di tengah-tengah pengikut Sunni, tidak bisa mereka
terima pada awal kemunculannya. Bahkan sampai hari ini pun
aliran tersebut tidak diakui sebagai kelompok Muslim, oleh
Rabitah al-'Alam al-Islami. Untuk mendapatkan gambaran yang
lebih jelas, terlebih dahulu perlu diuraikan beberapa
masalah yang berkaitan dengan Mahdiisme Ahmadiyah.

A. SEJARAH LAHIRNYA AHMADIYAH

1. LATAR BELAKANG SEJARAH LAHIRNYA AHMADIYAH

Lahirnya aliran Ahmadiyah merupakan serentetan peristiwa


sejarah dalam Islam, yang kemunculannya tidak terlepas dari
situasi dan kondisi ummat Muslim sendiri pada saat itu.

Sejak kekalahan Turki 'Usmani dalam serangannya ke benteng


Wina tahun 1683, pihak Barat mulai bangkit menyerang
kerajaan tersebut, dan serangan itu lebih efektif lagi di
abad ke-18. Selanjutnya di abad berikutnya bangsa Eropa
didorong oleh semangat revolusi industri dan ditunjang oleh
berbagai penemuan baru, mereka mampu mencipta
senjata-senjata modern. Secara agresif mereka dapat menjarah
daerah-daerah Islam di satu pihak, sedangkan di pihak lain
ummat Muslim sendiri masih tenggelam dalam kebodohan dan
sikap yang apatis dan fatalistis. Akhirnya Inggris dapat
merampas India dan Mesir, Perancis dapat menguasai Afrika
Utara, sedangkan bangsa Eropa lainnya dapat menjarah
daerah-daerah Islam lainnya.1

Sesudah India menjadi koloni Inggris, tampaknya sikap ummat


Muslim yang masih sangat tradisional dan fatalistis, dengan
disertai semangat antipati dan fanatisme keagamaan yang
berlebihan dalam menghadapi tradisi Barat, menyebabkan
mereka semakin terisolasi. Keadaan kaum Muslimin India ini,
semakin buruk terutama sesudah terjadinya pemberontakan
Mutiny di tahun 1857.

Sebagai akibat pemberontakan tersebut, pihak Inggris menjadi


lebih curiga dan bersikap reaksioner terhadap ummat Islam.
Inggris berkeyakinan bahwa ummat Islamlah yang menjadi biang
keladi pemberontakan tersebut, dan oleh karena itu harus
bertanggung jawab. Selain itu ia pun menuduh ummat Muslim
ingin mengembalikan hak-hak kemaharajaan Mughal, disamping
itu Inggris menganggap oposisi ummat Muslim adalah karena
didorong oleh semangat nasionalisme yang menyala-nyala,
sedangkan kaum Hindu tampak dapat menyembunyikannya,
sehingga mereka dapat diajak bekerja sama dengan pemerintah
Inggris. Dengan demikian, posisi kaum Hindu jauh lebih baik
bila dibandingkan dengan posisi ummat Islam, demikianlah
penjelasan K. 'Ali.2

Sebagaimana diketahui, kaum Hindu dibawah pemerintahan


kolonial Inggris, lebih bersikap kooperatif daripada ummat
Islam, karena itu sikap nonkooperatif ummat Muslim India
saat itu semakin memojokkan posisi mereka serta membawanya
kedalam situasi keterasingan di negeri sendiri. Selain itu
mereka semakin tenggelam dalam keterbelakangan dan
perselisihan dengan sesama Muslim, karena masalah
khilafiyyah di satu pihak, dan di pihak lain hubungan
diantara mereka terutama yang telah mendapat didikan sistem
Barat, semakin jauh jarak yang memisahkannya. Situasi ummat
Muslim di India saat itu, boleh jadi tidak jauh berbeda
dengan keadaan ummat Muslim Indonesia di zaman pemerintahan
kolonial Belanda.

Dalam keadaan demikian, intelektual kaum ulama Islam sebagai


digambarkan oleh Maulana Muhammad 'Ali, telah tenggelam
sampai ke tingkat yang paling bawah. Sehingga pertarungan
antar sesama kelompok Muslim, karena perbedaan paham yang
kecil saja telah dipandang sebagai pengabdian terhadap Islam
yang paling besar, dan menghukum Muslim lainnya sebagai
kafir.3 Demikianlah situasi ummat Muslim yang melatar
belakangi munculnya gerakan Mahdiisme Ahmadiyah. Sebagai
yang telah disinggung dimuka, bahwa kemahdian Ahmadiyah
berorientasi pada pembaharuan pemikiran. Di sini Mirza
Ghulam Ahmad yang mengaku telah diangkat sebagai al-Mahdi
dan al-Masih oleh Tuhan, merasa mempunyai tanggung jawab
moral untuk memajukan Islam dan ummat Muslim dengan memberi
interpretasi baru terhadap ayat-ayat al-Qur-an sesuai dengan
tuntutan zamannya, sebagai yang diilhamkan Tuhan kepadanya.
Motif Mirza ini tampaknya didorong oleh gencamya serangan
kaum misionaris Kristen dan propaganda kaum Hindu terhadap
ummat Muslim saat itu.

Dalam hubungan ini, Wilfred Cantwell Smith menggambarkan


bahwa Ahmadiyah yang lahir menjelang akhir abad ke-19,
ditengah huru-hara runtuhnya masyarakat Islam lama dan
infiltrasi budaya dengan sikapnya yang baru, serangan gencar
kaum misionaris Kristen (terhadap Islam), dan berdirinya
Universitas Aligarh yang baru, maka lahimya Ahmadiyah adalah
sebagai protes terhadap keberhasilan kaum misionaris Kristen
memperoleh pengikut-pengikut baru. Juga sebagai protes
terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh
Sayyid Ahmad Khan dengan Aligarh-nya. Disamping itu, di saat
yang sama, demikian Smith menambahkan, lahirnya Ahmadiyah
juga sebagai protes atas kemerosotan Islam pada umumnya.4
Sayangnya pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini menyentuh
keyakinan ummat Muslim yang sangat sensitif, yaitu masih
adanya nabi dan wahyu yang diturunkan Tuhan sesudah al-Quran
dan sesudah kerasulan Nabi Muhammad. Inilah kiranya yang
menyebabkan timbulnya reaksi keras dan permusuhan ummat
Muslim terhadap aliran yang baru lahir itu.

2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTE AHMADIYAH

Sejarah berdirinya Ahmadiyah, tidak terlepas dari sejarah


Mirza Ghulam Ahmad sendiri sebagai pendiri aliran ini. Ia
dilahirkan di Qadian tahun 1835, ayahnya bernama Mina Ghulam
Murtada. Menurut riwayat, nenek moyangnya berasal dari
Samarkand yang pindah ke India pada tahun 1530, yaitu
sewaktu pemerintahan dinasti Mughal, mereka tinggal di
Gundaspur, Punjab - India. Di situ mereka membangun kota
Qadian. Menurut suatu keterangan, famili Ghulam Murtada
masih keturunan Haji Barlas dari dinasti Mughal, dan oleh
karenanya didepan nama keturunan keluarga ini terdapat
sebutan Mirza.

Tampaknya keluarga Mirza ini, pernah menjadi pembantu setia


pemerintah kolonial Inggris di India. Jauh sebelum itu,
keluarga tersebut sudah menjalin kerja sama yang erat dengan
pimpinan kaum Sikh, Ranjat Singh.5 Dengan demikian, tidak
pelak lagi jika aliran Ahmadiyah bersikap kooperatif dengan
pemerintah Inggris. Tentunya sikap kooperatif tersebut,
berbeda dengan sikap kooperatif yang dijalankan oleh Sayyid
Ahmad Khan, sekalipun keduanya sama-sama mendapat reaksi
keras dari ummat Muslim India. Apabila Ahmad Khan
menginginkan agar ummat Muslim bisa memperoleh kemajuan dan
kesuksesan sebagaimana yang dicapai oleh bangsa Eropa,
dengan mendirikan Universitas Aligarh, maka Mirza Ghulam
Ahmad dengan Ahmadiyahnya ingin mendapat perlindungan secara
politis, sehingga ia bebas menyebarkan ide kemahdiannya dan
dapat mempertahankan aliran yang didirikannya.

Disamping itu, pendiri Ahmadiyah juga ingin melestarikan


tradisi keluarganya yang telah lama menjalin hubungan mereka
dengan pemerintah Inggris, sebagaimana pernyataan Mirza
Ghulam Ahmad sendiri:

"Sungguh sejak masa mudaku sampai hari ini, aku dalam usia
60 tahun, aku menjadi orang yang gigih berjuang dengan lisan
dan penaku supaya aku dapat memalingkan keikhlasan hati kaum
Muslimin kepada pemerintah Inggris karena kebaikannya, dan
bersikap lunak kepadanya. Dan aku mengajak mereka, agar
mereka menghilangkan pikiran untuk berjihad (terhadap
Inggris), dimana pikiran seperti itu masih diikuti oleh
sebagian mereka yang bodoh-bodoh, dan pikiran semacam itulah
yang mencegah mereka tidak mau patuh kepada pemerintah
Inggris."6

Demikian pula halnya dengan pernyataan Basyiruddin Mahmud


putera Mirza Ghulam Ahmad, yang sewaktu Putera Mahkota
Kerajaan Inggris berkunjung ke India, menyatakan:

"Kami atas nama seluruh warga Ahmadiyah mengucapkan Selamat


datang atas kunjungan Tuan ke India, dan kami tegaskan
kepada Tuan bahwa warga Ahmadiyah adalah setia kepada
pemerintah Inggris. Dan insya'allah kesetiaan warga
Ahmadiyah ini akan tetap untuk selama-lamanya."7

(bersambung 2/6)

Faham Mahdi Syi'ah dan


Ahmadiyah dalam Perspektif
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

PAHAM MAHDI AHMADIYAH (2/6)


oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Dalam perjalanan hidupnya, pendiri aliran ini pernah


mendapat pendidikan dasar di kampung sendiri, kemudian ia
meneruskan pelajarannya di kota Batala dekat kota Qadian.
Sewaktu mudanya, ia diasuh sendiri oleh ayahnya dalam
mengurus tanah pertaniannya, kemudian ia menjadi pegawai
pada pemerintah Inggris di Sialkot sejak 1864-1868.
Disamping pekerjaan sehari-harinya, sisa waktu yang ada, ia
pergunakan untuk membaca al-Quran. Selama di Sialkot,
demikian Maulana Muhammad 'Ali, ia pernah terlibat dalam
suatu persengketaan dengan kaum misionaris Kristen dan
sesudah empat tahun tinggal disana, ia dipanggil pulang oleh
ayahnya untuk bertani. Karena merasa tidak cocok dengan
pekerjaan tersebut, maka sebagian besar waktunya
dipergunakan untuk mempelajari al-Quran. Di saat yang sama,
ia lebih suka menyepi daripada mengejar keduniaan. Kematian
ayahnya, merupakan babak baru dalam sejarah hidupnya,
sekarang ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada
Islam. Tampaknya ia mulai tertarik pada pergerakan kaum
Hindu, Arya Samaj yang merupakan tantangan baginya serta
mendorongnya untuk menulis beberapa artikel keagamaan, guna
menentang kepercayaan dan pemimpin Hindu dalam berbagai
media cetak.

Semangat pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini, muncul setelah


ia melihat kemunduran Islam dan ummat Muslim di satu pihak,
dan gencarnya serangan-serangan kaum Arya Samaj, dan kaum
misionaris Kristen terhadap Islam di pihak lain. Karenanya
ia merasa terpanggil untuk mengadakan pembaharuan dalam
masyarakat. Pada awal kegiatannya, ia diterima oleh
masyarakat luas termasuk dari kalangan masyarakat Islam
ortodoks. Akan tetapi, sesudah Mirza menyatakan menerima
wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan sebagai al-Masih dan
al-Mahdi, masyarakat berbalik memusuhi dan menghinanya.8

Bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad adalah realitas 'Isa


al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan kemunculannya di akhir
zaman. Keyakinan ini mereka jadikan sebagai prinsip akidah
dan sekaligus merupakan ciri khas teologi aliran tersebut.
Untuk menopang kebenaran keyakinan itu, mereka menggunakan
ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tanda-tanda hari
kiamat, dan mereka tafsirkan sesuai dengan paham mereka.
Demikian pula dengan hadis-hadis Nabi, terutama hadis-hadis
yang berhubungan dengan turunnya 'Isa al-Masih dan
hadis-hadis Mahdiyyah yang relevan dengan prinsip keyakinan
diatas, yang mereka tafsirkan dan sesuaikan dengan
peristiwa-peristiwa alamiah. Selain itu, untuk memperkuat
signifikansi keyakinan tersebut, mereka juga menggunakan
ramalan-ramalan yang mereka sebut sebagai ramalan orang suci
atau wali.

Sebagai contoh yang cukup menarik dikemukakan di sini, ialah


bahwa diantara tanda-tanda kehadiran al-Mahdi adalah
terjadinya dua gerhana di bulan Ramadan, dan belum pernah
terjadi sejak penciptaan langit dan bumi. Pertama gerhana
bulan di malam permulaan bulan Ramadan, dan kedua, gerhana
matahari di pertengahan bulan tersebut. Menurut kaum
Ahmadiyah, dua peristiwa alamiah yang dinyatakan dalam hadis
riwayat al-Daraqutni, benar-benar telah terjadi di daerah
Punjab, India, dimana Mirza Ghulam Ahmad dilahirkan.
Kejadian gerhana yang aneh ini, menurut pendapat mereka,
terjadi pada hari Kamis 13 Ramadan 1311 H/22 Maret 1894 M,
sedangkan gerhana matahari terjadi pada hari Jum'at 28
Ramadan 1311 H/6 April 1894 M. Dua peristiwa ini merupakan
tanda-tanda alamiah tentang kebenaran pengakuan Mirza
sebagai al-Mahdi dan al-Masih.9 Demikian menurut keyakinan
Ahmadiyah. Sebagai pengikutnya, Saleh A. Nahdi mengomentari
hadis yang menyatakan: "... Bila kamu melihat di sebelah
Timur api berkobar selama tiga atau tujuh hari lamanya, maka
harapkanlah kelapangan bagi ummat Muhammad." Api yang
berkobar di sebelah Timur diartikan sebagai gunung Krakatau
yang meletus tahun 1883.10 Dengan demikian, kehadiran
pendiri aliran ini menurut keyakinan pengikutnya telah
diramalkan oleh Rasulullah, kemudian mereka interpretasikan
secara rasional dan untuk menguatkan alasan-alasan mereka,
dikemukakan pula sebuah hadis riwayat Abu Nu'aim dari Abu
Bakr ibn Muqri:

"Al-Mahdi akan muncul dari sebuah kampung bernama Karimah."

Dalam keterangan lain menyebutkan, tempat munculnya al-Mahdi


adalah kampung Kadi'ah atau disebut juga dengan nama
Kara'ah.11 Nama-nama tersebut menunjukkan tidak jelasnya
tempat di mana al-Mahdi akan muncul, sehingga siapa saja
dapat menafsirkannya sesuai dengan keinginannya.
Menurut paham pengikut Ahmadiyah, al-Mahdi yang dimaksud
dalam hadis-hadis Mahdiyyah, bukanlah berasal dari Mekkah
atau Madinah, akan tetapi dari Persia yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan keturunan Rasulullah. Kalau
pun al-Mahdi itu harus dari Ahlul-Bait, maka yang
dimaksudkan tidaklah ia mesti mempunyai hubungan darah
dengan Nabi, akan tetapi boleh jadi ia seorang yang saleh,
taat, dan setia kepada Nabi, seperti yang ditunjukkan oleh
Salman al-Farisi sebagai yang diisyaratkan hadis Nabi dalam
al-Jami'us-Sagir: "Salman termasuk (keluarga) kami
Ahlul-Bait. Walhasil, demikian Maulana Muhammad Sadiq
menegaskan, hadis yang menerangkan bahwa Mahdi di akhir
zaman itu berasal dari kalangan Ahlul-Bait, hanyalah
menyatakan bahwa dia seorang yang sangat setia dan taat
kepada Nabi.12 Sekalipun dia bukan berasal dari keturunan
Nabi atau bukan bangsa Arab, tetapi dia seorang yang saleh
dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai yang
ditunjukkan oleh Mirza, maka menurut paham aliran ini,
dialah al-Mahdi yang dijanjikan oleh Nabi. Oleh karena itu,
didalam masalah kemahdian, tentunya kaum Ahmadiyah cenderung
menolak hadis-hadis Mahdiyyah yang dipegangi oleh kaum
Syi'ah.

Pertumbuhan dan perkembangan Ahmadiyah pada dasarnya dapat


dibagi dalam tiga fase, yaitu fase kebangkitan, fase
perpecahan, dan fase perluasan daerah pengaruhnya.

A. FASE KEBANGKITAN (1880 -1900)

Pada fase ini, Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri aliran


Ahmadiyah, mulai aktif menangkis serangan-serangan kaum
propagandis Hindu dan kaum misionaris Kristen terhadap
Islam. Disamping itu, ia juga aktif berdakwah dengan
mengadakan pembaharuan pemahaman keagamaan di kalangan
masyarakat luas. Sudah barang tentu, keyakinan dan ajaran
Islam yang didakwahkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang
dikenal dan diketahui oleh ummat Muslim pada umumnya. Dalam
hubungan ini, al-Maududi menjelaskan, bahwa Mirza dalam
1880, pernah menyatakan dirinya sebagai Wali Allah yang
paling utama bagi ummat saat itu, sehingga mengundang reaksi
yang cukup keras, kemudian ia kembali meredam kemarahan
mereka. Ia berusaha menakwilkan pernyataannya itu, agar
mereka dapat menerima penjelasannya akan kebenaran apa yang
diyakininya itu.13

Timbulnya reaksi keras tersebut amatlah mungkin, karena


pernyataannya yang dipandang aneh oleh masyarakat yaitu,
bahwa untuk membangun suatu ummat yang telah mengalami
kemunduran sebagaimana yang ia hadapi waktu itu masih
diperlukan wahyu Tuhan (yang baru). Oleh karena itu, ia
menyatakan bahwa wahyu itu tidak terbatas dimasa lampau
saja, tetapi Tuhan tetap berfirman kepada siapa saja yang
dipilih-Nya sampai hari ini. Selain itu, disaat yang sama,
ia pun menyatakan bahwa dirinya adalah Mujaddid atau
renovator abad ke-14 H, karena ia merasa telah ditunjuk oleh
Tuhan untuk mempertahankan Islam.14 Di tahun itu pula
pernyataan-pernyataannya yang mengejutkan itu dikumpulkannya
sendiri menjadi sebuah buku dan baru diterbitkan di tahun
1884 yang dikenal dengan Barahin Ahmadiyah. Dalam buku ini
dibicarakan pula tentang kebenaran Islam yang lebih bersifat
apologis terutama berupa tangkisan-tangkisan Mirza Ghulam
Ahmad terhadap serangan-serangan kaum Arya Samaj, Brahmo
Samaj, dan kaum misionaris.

Dalam merealisasikan ide pembaharuannya, Mirza di awal


Desember 1888, dengan cara terang-terangan menyatakan
dirinya telah mendapat perintah dari Tuhan untuk menerima
bai'at dari jamaatnya. Dengan cara ini, rupanya ia ingin
menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan
cita-cita kemahdiannya guna menyerukan Islam ke seantero
dunia. Menurut keyakinannya, mempertahankan dan
mempropagandakan Islam tidak akan berhasil tanpa suatu
organisasi yang kuat. Untuk maksud yang terakhir ini, ia
memerlukan bai'at atau janji setia dari para pengikutnya.
Sesudah diadakan pembai'atan, ia mengorganisasikan mereka
menjadi suatu aliran baru dalam Islam dengan nama Jemaat
Ahmadiyah.

Nama Ahmadiyah, tampaknya bukan diambil dari nama pendiri


aliran ini, akan tetapi menurut Mirza nama tersebut diambil
dari salah satu nama-nama Rasulullah,15 demikian penjelasan
Maulana Muhammad 'Ali. Tentunya nama tersebut diambil dari
Surah as-Saf: 6, yang isinya memuat informasi Nabi 'Isa
kepada Bani Isra'il, bahwa sesudahnya nanti akan datang
seorang nabi yang bernama Ahmad. Anehnya, Mirza sendiri
kemudian mengklaim nama sebagai yang disebutkan dalam
as-Saf: 6 tersebut, adalah dirinya yang diutus oleh Tuhan
untuk menunaikan tugas kemahdiannya.

Adapun pernyataan Mirza yang mengejutkan dan sekaligus


mengundang reaksi keras adalah sebagai berikut:

"Di antara beberapa pengajaran dan pemahaman yang diberikan


kepadaku (oleh Tuhan), ialah bahwa al-Masih ibn Maryam itu
telah wafat secara alamiah seperti wafatnya para rasul lain.
Dan Tuhan telah memberitahukan kepadaku (dengan firman-Nya);
"Bahwa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan dan
ditunggu-tunggu itu adalah engkau (Mirza) dan Kami (Allah)
melakukan apa yang Kami kehendaki, dan janganlah engkau
tergolong orang-orang yang membuat kedustaan" . Allah
berfirman lagi: "Sungguh Kami (Allah) menjadikan engkau
sebagai al-Masih ibn Maryam." Maka Allah pun melimpahkan
keindahan rahasia-Nya dan menjadikan aku dapat melihat
masalah-masalah yang sekecil-kecilnya."16

Pengakuan sebagai al-Mahdi dan sekaligus merupakan


penjelmaan 'Isa al-Masih. yang menerima wahyu secara
berulang-ulang dan berkesinambungan, demikian Mirza, adalah
merupakan pengalaman rohaniah yang menenangkan hatinya. Akan
tetapi, justru pengakuan tersebut menggelisahkan ummat
Islam, sehingga ia dan para pengikutnya dituduh sebagai
pembawa bid'ah dan karenanya mereka dikucilkan dari
komunitas Muslim dan bahkan dipandang telah keluar dari
Islam.
Dari kenyataan diatas, aliran yang baru lahir ini harus
menghadapi gelombang permusuhan yang dahsyat terutama dari
intern ummat Muslim sendiri, disamping ia harus menghadapi
tantangan dari kaum misionaris Kristen dan para propagandis
Hindu. Terpisahnya kaum Ahmadiyah dari komunitas Muslim,
mendorong pendiri aliran ini memikirkan nasib para
pengikutnya yang dikenal dalam masyarakat sebagai golongan
Mirzais atau Qadianis, dan sudah dapat dipastikan bahwa
mereka akan menjadi suatu kelompok aliran baru dalam Islam.
Nama "Ahmadiyah," oleh Mirza diumumkan penggunaannya secara
resmi pada tanggal 4 November 1900, dan sejak itulah nama
aliran ini dimasukkan dalam catatan resmi pemerintah
kolonial Inggris.

B. FASE MENGHADAPI UJIAN (1900-1908)

Jemaat Ahmadiyah sebagai suatu wadah dan sarana perjuangan


untuk mengembangkan ide kemahdian dan mencapai cita-citanya,
mulailah para pengikut aliran ini secara terang-terangan di
tahun 1900, mendakwahkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai "nabi"
dan menghormatinya seperti layaknya seorang rasul Tuhan.
Dalam hubungan ini al-Maududi menjelaskan bahwa salah
seorang propagandisnya, Maulawi 'Abd al-Karim menyatakan
dalam khutbah Jumatnya sebagai berikut:

AHAM MAHDI AHMADIYAH (3/6)


oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

"Ketahuilah olehmu, bahwasanya kamu sekalian jika tidak


patuh kepada al-Masihul-Mau'ud (Mirza Ghulam Ahmad) mengenai
apa saja yang kalian perselisihkan, dan tidak mengimaninya
sebagaimana para sahabat mengimani Rasulullah SAW, maka
kalian tergolong orang-orang yang memisahkan diri dari Rasul
Allah dan bukan pengikut Ahmadiyah."17

Selanjutnya ditambahkan bahwa Mirza membenarkan pernyataan


tersebut, namun ia sendiri tidak mengaku sebagai nabi
sebagai yang didakwahkan oleh Mubalignya. Sekalipun
demikian, tampaknya ia mencoba menjelaskan kepada orang
banyak, tentang kenabian yang dimaksudkan oleh juru
dakwahnya. Adapun istilah "nabi" yang dimaksud adalah
an-Nabiyyun-Naqis atau an-Nabiyyul-Muhaddas. Tampaknya sikap
seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab
terpecahnya aliran ini menjadi dua golongan, sesudah
pendirinya wafat.

Dalam perkembangan selanjutnya, terjadilah pergeseran akidah


pada diri Mirza Ghulam Ahmad sesudah tahun 1901. Sehubungan
dengan masalah ini, al-Maududi menjelaskan bahwa Mirza dalam
beberapa tulisannya telah menyatakan kenabian dan
kerasulannya dengan menggunakan term tersebut di atas.
Selanjutnya dijelaskan bahwa seorang Qadiani bernama
Jalalud-Din Syam dalam bukunya Ma'al-Munkirin-Nubuwwah,
menerangkan bahwa Mirza sebelum tahun 1901, dalam berbagai
tulisannya mengingkari kenabian dirinya dengan mengatakan:
Aku bukan nabi tetapi aku adalah Muhaddas (orang yang diajak
berdialog oleh Tuhan). Akan tetapi sesudah tahun itu, Mirza
menegaskan bahwa dirinya adalah nabi. Pengakuannya ini
dijelaskan pula oleh puteranya, Basyiruddin Mahmud Ahmad,
bahwa ayahnya tidak lagi berpegang pada akidahnya semula
(sebelum tahun 1901) dan tahun itu adalah merupakan masa
pergeseran dari akidahnya yang lama kepada akidahnya yang
baru (mengaku sebagai nabi).18

Dalam kegiatan dakwahnya di tahun 1904, ia pun mengaku tidak


hanya sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan, tetapi
ia juga mengaku sebagai Krishna. Ia merintis usahanya
melalui majalah bulanan berbahasa Inggris seperti Review of
Religions from Qadian, sebagai media yang dianggap banyak
menarik orang-orang Barat dengan mendapat tantangan melalui
berbagai mass media. Memang yang menjadi misi kemahdiannya
di berbagai negeri di Barat adalah untuk meluruskan
pandangan mereka yang keliru terhadap Islam. Rencananya ini
lebih lanjut dikembangkan oleh pengikutnya sesudah ia wafat.
Kemudian di tahun 1912 didirikan misi Islam di Inggris,
sedangkan di Jerman Barat didirikan pada tahun 1922.19
Keinginan menyebarkan ide kemahdiannya di Eropa ini, telah
ia canangkan dalam karyanya Nurul Haq yang ditulis dua tahun
sesudah ia mengaku sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang
dijanjikan.

Disamping keberhasilan yang dicapai juga tidak ringan


tantangan yang dihadapinya dalam mewujudkan ide
pembaharuannya, terutama tantangan dari intern ummat Islam.
Lahirnya tantangan yang sengit ini adalah disebabkan oleh
pembaharuan yang dimajukan Mirza, sangat kontradiktif dengan
akidah yang telah dimiliki oleh ummat Islam yaitu masih
adanya nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Apapun argumen yang
dimajukannya, hal itu sulit dapat diterima oleh mayoritas
ummat Islam. Akibat perbedaan yang prinsipal ini, lahirlah
permusuhan dan fitnahan, sehingga terjadi saling
mengkafirkan antara satu dengan lainnya. Permusuhan ini
kemudian diikuti oleh tindakan pemutusan hubungan
kekeluargaan antara pengikut Ahmadiyah dengan Muslim lain
yang non-Ahmadiyah. Keadaan ini rupanya tidak jauh berbeda
dengan peristiwa yang pernah menimpa ummat Islam Indonesia,
yaitu antara pengikut Islam Jama'ah dengan mereka yang bukan
pengikut Islam Jama'ah. Dalam hubungan ini, Maulana Muhammad
'Ali menggambarkan, bahwa kekerasan dan permusuhan yang
dialamatkan kepada aliran yang baru lahir itu, tampaknya
mereka tidak mendapat pembelaan dari siapa pun. Mereka
dikucilkan melalui fatwa-fatwa Ulama, perkawinan dengan
mereka dipandang tidak sah dan barang-barang milik mereka,
halal dirampas tanpa dapat dituntut di pengadilan. Akan
tetapi, mereka tetap tabah dan berdiri tegar menghadapi
ujian yang datang dan golongan Islam, Hindu, dan Kristen
itu. Golongan Hindu dipimpin oleh Pandit Lekhram, 'Abdullah
Atim dari golongan Kristen, dan Maulana Muhammad Husain dari
Batala mewakili golongan 'Ulama Hadis dari kelompok Hanafi,
Sunni, dan Syi'ah.20

Dalam menghadapi ujian ini Mirza menyatakan:


"Celakalah kaumku! Sungguh mereka tidak mengenalku, mereka
mendustakan, mencaci-maki, mengkafirkan, serta melaknatiku
sebagai yang dilakukan oleh orang-orang kafir."21

Dalam aktivitasnya mempropagandakan tugas kemahdiannya di


kalangan kaum Hindu di tahun 1904, ia pun mengatakan, bahwa
dia diutus oleh Tuhan, tidak hanya untuk orang Islam dan
Kristen, tetapi juga untuk orang-orang Hindu. Disaat itulah
Mirza menyatakan dirinya sebagai Krishna. Dengan demikian,
sifat kemahdian Ahmadiyah ini tampak jangkauannya lebih luas
daripada sifat kemahdian Syi'ah. Sebelum ia wafat di tahun
1905, ia berwasiat pada pengikutnya, agar dibentuk suatu
masyarakat yang disebut sebagai Sadar Anjuman Ahmadiyah.
Selanjutnya ia pun menunjuk penggantinya yang kemudian
diistilahkan sebagai khalifahnya.

Setelah Mirza merasa sudah dekat ajalnya, ia menyerahkan


tugas kemahdiannya kepada penggantinya yang masih muda
usianya, untuk menyebarkan kebenaran Islam yang telah
didakwahkannya, dan dua tahun kemudian, Mirza masih sempat
menulis buku seperti Haqiqat al-Wahyi, Barahin Ahmadiyah
bagian ke 5, dan Chashmah Ma'rifah dan lain sebagainya. Ia
pada akhir April 1908, pergi ke Lahore dan disana ia
menyelesaikan bukunya terakhir ini dimaksudkan untuk
menjalin hubungan persaudaraan antara orang-orang Hindu dan
Islam. Ia menderita sakit diare yang kronis, dan pada 26 Mei
1908, ia menghembuskan nafas terakhir dan jenazahnya
dimakamkan di Qadian.22 Dalam hubungan ini al-Maududi
menjelaskan bahwasanya Milza Ghulam Ahmad adalah seorang
yang banyak menderita berbagai macam penyakit, sebagaimana
yang dicentakan lewat tulisan-tulisan Mirza sendiri dan para
pengikutnya.23

Dalam kegiatan dakwahnya, aliran Ahmadiyah õni tampaknya


cukup mendapat sambutan di kalangan masyarakat Kristen di
Barat yang sedang dilanda oleh krisis spiritual di satu
pihak, dan di pihak lain masyarakat Barat yang telah
memperoleh kemajuan berpikir dan tidak loyal lagi terhadap
Gereja, karena ajarannya yang dogmatis dan sulit mereka
cerna itu. Hal ini mengingatkan kita pada keberhasilan
aliran Baha'i di Eropa dan Amerika Serikat di bawah pimpinan
'Abb-as Afandi yang memfokuskan kegiatan propagandanya di
kalangan Kristen dan Yahudi, sesudah aliran ini gagal
mempengaruhi ummat Islam.

C. FASE PERPECAHAN DAN PENGEMBANGAN (1908-1924)

Keutuhan dan kesatuan Ahmadiyah, rupanya hanya terbatas pada


masa hidup pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sekalipun aliran
ini harus bekerja sesuai dengan wasiatnya yang ada pada Sadr
Anjuman Ahmadiyah. Pimpinan Ahmadiyah yang diistilahkan
dengan "khalifah" sesudah Mirza wafat, adalah di tangan
Maulawi Nuruddin sampai wafatnya tahun 1914. Selama itu
Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi telah memperoleh kemajuan
pesat dan mulai dikenal di kalangan ummat Islam secara luas.
Akan tetapi, bibit perpecahan di kalangan pengikutnya pada
saat itu sudah mulai tampak, yaitu munculnya dua pemikiran
yang bertolak belakang. Dimana pemikiran pertama berkisar
tentang masalah khalifah (pengganti pimpinan), sedangkan
pemikiran kedua berkisar pada masalah pengkafiran terhadap
sesama Muslim.

Pemikiran pertama, erat hubungannya dengan masalah manajemen


pengorganisasian Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi yang
memiliki jangkauan luas, baik di kalangan Muslim sendiri
maupun non-Muslim. Tampaknya pemikiran ini menjadi salah
satu faktor penyebab perpecahan dari dalam. Dan pada
pemikiran kedua, tidak hanya berkaitan dengan doktrin
Mahdiisme Ahmadiyah saja, akan tetapi juga berhubungan
dengan prinsip-prinsip Islam. Pemikiran kedua ini rupanya
merupakan sebab utama perpecahan di kalangan Ahmadiyah,
terutama sesudah Maulawi Nuruddin wafat. Dalam kaitan ini,
Maulana Muhammad 'Ali menjelaskan, bahwa golongan pertama
mempertahankan keyakinannya yaitu: Barang siapa yang tidak
percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad, apakah ia telah mendengar
namanya atau tidak, apakah ia (Mirza) sebagai Muslim, atau
Mujaddid, atau sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang
dijanjikan, maka orang itu, dihukumi kafir dan keluar dari
Islam, kecuali mereka secara formal telah membai'atnya.
Golongan kedua berpendapat, bahwa setiap orang yang telah
mengucapkan dua kalimah syahadah, mereka adalah seorang
Muslim, sekalipun mereka mengikuti aliran lain dalam Islam,
dan tak seorang pun dari mereka keluar dari Islam, kecuali
jika ia rnengingkari kerasulan Nabi Muhammad. Adapun masalah
kenabian Mirza Ghulam Ahmad, masih tetap merupakan masalah
yang dipertentangkan diantara kedua golongan tersebut.24

PAHAM MAHDI AHMADIYAH (4/6)


oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Sikap para pengikut Mirza ini tampak lebih agresif daripada


sikap pendiri aliran tersebut, sebab dia tidak suka
mengkafirkan Muslim lain, kecuali kalau dirinya dikafirkan
Muslim lain, kecuali kalau dirinya dikafirkan secara
terang-terangan, sebagaimana dinyatakan:

"... Maka mereka telah mengkafirkan aku dan mereka telah


pula memfatwakan yang demikian itu untuk diriku maka, dengan
pengkafiran mereka terhadap diriku, jadilah mereka itu
tergolong orang-orang kafir, berdasarkan pada fatwa Nabi
Muhammad SAW. Oleh sebab itu, aku tiada mengkafirkan mereka,
bahkan mereka sendirilah yang memasukkan diri mereka ke
dalam fatwa Rasulullah".25

Sejak munculnya dua pendapat yang kontoversial dari intern


Ahmadiyah ini, maka secara riilnya di tahun 1914,
terpecahlah aliran ini menjadi dua sekte. Pertama adalah
sekte Ahmadiya Qadiani, yang dalam ajarannya mencela Muslim
lain sebagai kafir, dan sekte ini berkeyakinan bahwa
kenabian tetap terbuka sesudah RasuBullah SAW. Sekte ini
dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini
berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai
Mujaddid (pembaharu) saja, tetapi juga sebagai nabi dan
rasul yang harus ditaati dan dipatuhi seluruh ajarannya.
Dengan demikian, Mahdiisme Ahmadiyah lebih realistis
daripada Mahdiisme Syi'ah Isna 'Asyariyyah, sekalipun
keduanya masih tetap bertahan sampai hari ini.

Terpilihnya Basyiruddin Mahmud sebagai Khalifah al-Mahdi


yang kedua, tampaknya tidak mendapat dukungan penuh dari
seluruh Jemaat Ahmadiyah, di saat yang sama, maka muncullah
Ahmadiyah tandingan yang disponsori oleh Khawaja Kamaluddin
dan Maulawi Muhammad 'Ali yang tidak menyetujui pendirian
prinsip golongan pertama yang kemudian dikenal sebagai
golongan Qadiani.

Adapun golongan kedua, dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore,


yang disebut pula dengan Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam,
sedangkan di Indonesia, golongan ini dikenal dengan Gerakan
Ahmadiyah Indonesia (GAI); Untuk pertama kalinya golongan
ini dipimpin oleh Maulawi Muhammad 'Ali. Syafi R. Batuah
sebagai pengikut sekte Qadian berpendapat, bahwa lahirnya
sekte Ahmadiyah Lahore ini adalah bermula dari kegagalan
Maulawi Muhammad 'Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi
Khalifah kedua. Oleh sebab itu, ia dan pengikutnya
memisahkan diri dan membentuk sekte baru yang berpusat di
Lahore.26 Akan tetapi, yang menjadi sebab perpecahan itu
tampaknya lebih berpusat pada masalah akidah. Sebagai
pernyataan R. Batuah sendiri bahwa jika golongan Ahmadiyah
Lahore memandang Mirza sebagai al-Masih dan al-Mahdi serta
sebagai Mujaddid, maka sekte Qadiani memandangnya, sebagai
nabi dan rasul yang harus didengar dan ditaati
ajaran-ajarannya. Alasan yang mereka majukan adalah bahwa
orang tidak mempercayai al-Masih dan al-Mahdi (Mirza),
berarti ia tidak mengikuti seluruh ajaran al-Quran serta
tidak mengindahkan pesan Nabi tentang kehadiran al-Mahdi di
akhir zaman.27

Setelah Ahmadiyah menghadapi perpecahan yang tidak mungkin


lagi dihindarkan, akhirnya gerakan Mahdiisme ini terpecah
menjadi dua aliran dan tampaknya kedua sekte tersebut sulit
dipersatukan kembali. Akan tetapi kedua sekte ini, sangat
aktif dan intensif dalam usaha mewujudkan cita-cita
kemahdiannya, terutama di kalangan masyarakat Kristen Barat.
Pengikut masing-masing sekte mendirikan mesjid-mesjid
sebagai pusat kegiatan, menterjemahkan al-Quran berikut
dengan komentar-komentarnya kedalam bahasa asing. Selain itu
mereka juga menerbitkan buku-buku tentang Islam. Golongan
Lahore di bawah pimpinan Maulana Muhammad 'Ali, menerbitkan
The Religion of Islam, sedangkan golongan Qadiani dibawah
pimpinan Basyiruddin Mahmud, menulis sebuah uraian yang
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul Ahmadiyah
or The True Islam, terbit tahun 1924, dan dalam
penerbitannya yang terakhir disebut dengan; 8500 Precious
Gems from World's Best Literature yang berisi
catatan-catatan dari literatur lama dan modern baik dari
Islam maupun non-Islam. Demikian pula dimuat masalah-masalah
agama dan moral. Dalam tahun 1947 komunitas Ahmadiyah yang
berpusat di Qadian, terpaksa harus memindahkan pusat
kegiatannya ke Rabwa Pakistan, sewaktu timbul masalah
perbatasan antara Pakistan dengan India.28

Disamping itu, Gerakan Mahdi Ahmadiyah tampaknya juga aktif


mendirikan berbagai lembaga pendidikan serta pusat-pusat
kesehatan di berbagai tempat di kawasan Asia dan Afrika.
Sebagaimana diketahui, Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada
tahun 1924, dibawa oleh dua orang mubalignya yaitu Maulana
Ahmad dan Mirza Wali Ahmad, mereka memulai kegiatannya di
Yogyakarta. Setahun kemudian yaitu tahun 1925, sekte Qadian
menyusul, dibawa oleh seorang mubalignya bernama Rahmad 'Ali
H.A.O.T. dan mulai mendakwahkan ide kemahdian Mirza, di
Tapaktuan, dua tahun kemudian ia pindah ke Padang. Kedua
sekte tersebut berlomba untuk menanamkan pengaruhnya, dan
rupanya mendapat tanggapan positif dari masyarakat dan
mendapat kesuksesan dalam misinya.

B. AJARAN POKOK AHMADIYAH YANG BERHUBUNGAN


DENGAN PAHAM MAHDI

1. MASALAH WAHYU

Sebagaimana dalam uraian di atas, kemahdian Ahmadiyah tidak


bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, sebagaimana kemahdian
Syi'ah tidak bisa terlepas dari masalah keimaman. Sebab
Mahdi Ahmadiyah, juga mengaku sebagai al-Masih, sedangkan
al-Masih sebagai yang diberitahukan dalam hadis sahih, akan
turun kembali ke dunia dan dia adalah seorang Nabi yang
ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh Dajjal, di akhir zaman.
Itulah sebabnya kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan
dengan masalah wahyu, karena wahyu yang disampaikan kepada
al-Mahdi adalah untuk menginterpretasikan al-Quran sesuai
dengan ide pembaharuannya.

Munculnya paham kewahyuan Ahmadiyah, tidak saja ia membawa


pertentangan dan perselisihan di kalangan masyarakat Islam,
tetapi juga di kalangan mereka (pengikut) Ahmadiyah sendiri.
Menurut paham aliran ini, wahyu Tuhan itu tidak terputus
sesudah Rasulullah wafat, dan wahyu yang terhenti itu
hanyalah wakyu tasyri'i atau wahyu syari'at. Dalam hubungan
ini, seorang propagandis Ahmadiyah dari Sialkot, Nazir
Ahmad, menjelaskan bahwa wahyu yang terputus sesudah
Rasulullah adalah wahyu tasyri', bukan wahyu mutlaq.
Selanjutnya dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan wahyu
terakhir ini, tidak dikhususkan hanya untuk para nabi saja,
akan tetapi diberikan juga kepada selain mereka.29 Senada
dengan pemahaman di atas, pengikut sekte Lahore mencoba
membagi cara-cara Tuhan menyampaikan firman-Nya, sebagaimana
yang diungkapkan dalam al-Quran. Cara-cara itu adalah
sebagai berikut:

a. Wahyu, yaitu isyarat cepat yang merupakan petunjuk Tuhan


yang masuk ke dalam hati seseorang, seperti petunjuk yang
diterima oleh ibu Nabi Musa, agar menghanyutkan puteranya,
Musa, di sungai Nil. Demikian juga seperti wahyu yang
oleh diterima oleh kaum Hawari (murid-murid Nabi 'Isa),
atau kaum laki-laki lain. (Lihat S. 28: 7; S. 5: 111;
S. 21: 7).
b. Dari belakang hijab atau tirai, yang meliputi: Pertama,
dengan ru'yah salihah (mimpi baik), wahyu ini menurut
pahamnya, diterima seseorang dalam keadaan setengah sadar.
Sebagaimana yang dialami Rasulullah sewaktu mi'raj
(Lihat S. 42:51). Kedua, dengan kasysyaf seperti petunjuk
Tuhan yang dialami oleh Maryam (ibu Nabi 'Isa) sewaktu
berdialog dengan Malaikat Jibril, (Lihat S. 41: 44).
Dan ketiga dengan jalan ilham.

c. Mengutus Jibril, wahyu yang disampaikan oleh Jibril ini


dikenal dengan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Wahyu
jenis inilah yang telah terhenti, sedangkan jenis wahyu
yang lain tetap berlangsung sampai kapan saja.30

Dari paham kewahyuan di atas, lalu timbullah anggapan bahwa


Mirza Ghulam Ahmad yang diangkat Tuhan sebagai al-Masih.
atau al-Mahdi, melalui ilham yang diterimanya, dipandang
sebagai seorang nabi oleh sekte Qadiani. Dan secara
implisit, sekte Lahore pun juga mengakuinya, hanya saja term
yang mereka pakai adalah nabi lugawi, bukan nabi haqiqi.
Bagi kaum Qadiani, pengakuan mereka terhadap kenabian Mirza
tampak lebih tegas, sebab ia diyakini sebagai duplikat Nabi
'Isa a.s., yang berstatus nabi dan menerima wahyu. Disamping
itu, berita kehadiran al-Masihjuga disebutkan dalam
hadis-hadis sahih, kemudian mereka mencoba menguatkan
keyakinan tersebut dengan menggunakan dalil-dalil yang
meyakinkan.

Al-Mahdi ini, semula mengakui bahwa petunjuk yang


diterimanya dari Tuhan sebagai ilham, kemudian oleh para
pengikutnya dinyatakan sebagai wahyu, dan pernyataan seperti
itu tidak dibantahnya sama sekali oleh Mirza, malah diakui
kebenaran anggapan tersebut. Untuk itu, lalu digunakan
term-term baru seperti: wahyu nubuwwah, wakyu tasyri', wahyu
gair tasyri', wahyu muhaddas, wahyu walayah dan lain
sebagainya. Untuk menguatkan paham kewahyuan di atas, selain
mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran, juga menggunakan
hadis-hadis Nabi seperti:

"Sungguh telah ada orang-orang sebelum kamu, dari kalangan


bangsa Israel, yaitu orang-orang yang (dapat) berdialog
dengan Tuhan, sekalipun mereka bukan para nabi. Maka jika
sekiranya ada salah seorang diantara ummatku (termasuk
golongan itu), tentulah 'Umar orangnya." (H.R. Bukhari).

Wahyu-wahyu yang diterima oleh al-Mahdi dari Tuhan, sebagai


acuan baginya dalam melaksanakan pembaharuan di
tengah-tengah masyarakat Islam yang dipandangnya telah
rusak, telah dihimpunnya sendiri menjadi 80 buah kitab
lebih, yang kemudian disatukan menjadi sebuah kitab yang
disebut Tazkirah yang isi kandungannya adalah merupakan
penjelasan maksud al-Quran yang mencakup bidang akidah,
ibadah, mu'amalah dan akhlak. Kitab inilah yang dijadikan
pedoman oleh jemaat Ahmadiyah dalam melaksanakan ide-ide
kemahdian Mirza Ghulam Ahmad. Tentunya, paham kewahyuan
Ahmadiyah ini, ditolak keras oleh kaum Sunni karena dianggap
teiah menyimpang dari prinsip Islam.

Jika pendiri aliran Ahmadiyah ini tetap berpendirian bahwa


petunjuk yang diterima itu adalah ilham, sebagaimana yang ia
nyatakan di awal kegiatannya,31 artinya tidak tenggelam
dalam anggapan pengikutnya yang menilai petunjuk tersebut
sebagai wahyu, maka ide pembaharuannya akan mudah diterima
oleh masyarakat luas dan tidak akan menimbulkan pandangan
yang kontradiktif. Selain itu, ajaran Mirza yang menyatakan
bahwa 'Isa a.s., benar-benar disalib di tiang salib,
sekalipun Nabi 'Isa tidak sampai wafat, adalah lebih dekat
dengan kepercayaan orang Nasrani daripada pernyataan
al-Quran yang menegaskan bahwa Nabi 'Isa tidak disalib sama
sekali, akan tetapi yang disalib adalah seorang yang
diserupakan dengan 'Isa a.s. Sebagaimana dalam firman Allah:

"... padahal mereka tidak membunuhnya ('Isa) dan tidak


menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh adalah orang yang
diserupakan dengan 'Isa ..." (S. 4: 157).

Oleh karena itu, sangat boleh jadi penemuan Mirza Ghulam


Ahmad tentang makam Yus Asaf di Srinagar, Kashmir, yang
diyakininya sebagai makam Nabi 'Isa a.s., telah
mengilhaminya untuk mengadakan pembaharuan. Dan terutama
sekali jika sebelumnya ia harus menghadapi tantangan dari
kaum propagandis dan misionaris Hindu dan Nasrani yang
gencar menyerang Islam di satu pihak, dan kemunduran ummat
Islam di berbagai bidang, di pihak lain. Perlu penulis
tambahkan di sini, bahwa pendirian Mirza tentang penyaliban
'Isa a.s., atau Yesus Kristus di atas, sekalipun hal itu
berlawanan dengan pernyataan al-Quran tampaknya pendirian
ini didasarkan pada ide pembaharuannya. Yaitu keinginannya
untuk mempertemukan antara paham Nasrani dengan paham Islam,
sehingga dapat menarik pengikut kedua agama tersebut untuk
menerima paham kemahdiannya.

PAHAM MAHDI AHMADIYAH (5/6)


oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

2. MASALAH NUBUWWAT ATAU KENABIAN DAN KHATAMUL-ANBIYA'

Dalam masalah kedua ini, terjadi perbedaan yang mendasar


antara sekte Lahore dan sekte Qadiani. Bagi Ahmadiyah
masalah kenabian ini ada dua versi, yang pertama
diistilahkan sebagai Nubuwwah Tasyri'iyyah (kenabian yang
membawa Syari'at), dan kedua adalah Nubuwwah Gair
Tasyri'iyyah (kenabian tanpa membawa syari'at). Selanjutnya
dijelaskan bahwa kenabian versi kedua ini, meliputi Nubuwwah
Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Gair Mustaqillah
(kenabian yang tidak mandiri). Para nabi yang mandiri,
adalah semua nabi yang datang sebelum nabi Muhammad SAW.,
dimana mereka tidak perlu mengikuti Syari'at nabi
sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nabi gair
mustaqil (tidak mandiri) yaitu nabi yang mengikuti Syari'at
nabi sebelumnya, seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang
mengikuti syari'at Nabi Muhammad. Dengan demikian, menurut
paham Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari'at saja
yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa
syari'at akan tetap berlangsung.

Nabi mandiri dalam pandangan sekte Ahmadiyah Lahore, bisa


berarti bahwa nabi jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas
dasar petunjuk-Nya, guna menghapus sebagian ajaran nabi
sebelumnya yang dipandang tidak sesuai lagi saat itu, atau
dengan menambah ajaran baru sehingga syari'at itu menjadi
lebih sempurna. Terjadinya perubahan sedikit-sedikit dari
nabi-nabi yang datang kemudian, sehingga syari'atnya menjadi
lebih sempurna daripada syari'at yang dibawa nabi-nabi
sebelumnya, maka jenis kenabian yang seperti itu, mereka
istilahkan dengan nabi mustaqil.32 Oleh karena itu, kata
"nabi" mempunyai dua arti, yaitu arti secara lugawi dan arti
istilahi, maka golongan Lahore ini berkesimpulan, bahwa nabi
yang tidak membawa syari'at disebut nabi lugawi atau nabi
majazi, yang pengertiannya ialah seorang yang mendapat
berita dari langit atau dari Tuhan. Selanjutnya, nabi yang
membawa syari'at, mereka sebut nabi haqiqi, demikianlah
paham Lahore.

Bagaimana status kenabian al-Mahdi Ahmadiyah di mata


pengikutnya? Dalam masalah ini, pandangan Ahmadiyah Lahore
agaknya berbeda dengan pandangan Ahmadiyah Qadian. Sekalipun
golongan Lahore secara implisit memandangnya sebagai nabi
lugawi atau nabi majazi, namun mereka menolak paham golongan
Qadiani secara tegas. Dalam pandangan mereka, al-Mahdi
bukanlah nabi haqiqi, dia adalah Mujaddid (pembaharu) abad
ke 14 H. Akan tetapi dia mempunyai banyak persamaan dengan
nabi dalam hal ia (al-Mahdi) menerima wahyu atau berita
samawi (langit). Oleh sebab itu dalam akidah mereka secara
tegas menyatakan bahwa percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad
sebagai al-Mahdi dan al-Masih, bukan termasuk rukun iman,
maka orang yang mengingkarinya tidak dapat dikatakan
kafir.33 Selanjutnya mereka juga berpandangan bahwa wahyu
yang diterimanya hanyalah wahyu walayah atau wahyu kewalian
dan menurut paham mereka, bahwa wahyu macam inilah yang
tetap terbuka, agar dengan wahyu tersebut, imam ummat
manusia tetap hidup dan segar. Selain itu mereka beralasan
bahwa Mirza atau al-Mahdi tidak pernah menyatakan dirinya
sebagai nabi hakiki.

Berbeda dengan paham kenabian sekte Qadiani, mereka


memandang al-Mahdi al-Ma'hud (yang dijanjikan) sebagai nabi
dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya,
sebagaimana nabi dan rasul yang lain. Menurut paham sekte
ini, seorang Qadiani tidak boleh membeda-bedakan antara nabi
yang satu dengan yang lain, sebagaimana yang diajarkan oleh
al-Quran dan yang dipesankan Nabi Muhammad SAW., untuk
mengikuti al-Mahdi yang dijanjikan. Sekalipun demikian,
paham kedua aliran tersebut, terdapat juga persamaannya
yaitu mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri'i atau
nabi mustaqil sesudah Nabi SAW. Dan penggunaan term wahyu
selain al-Quran yang diturunkan Allah kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya sesudah Rasulullah wafat.

Adapun paham Mahdi Ahmadiyah mengenai Khatamul Anbiya' atau


penutup para nabi, golongan Lahore tampak tidak jauh berbeda
dengan paham Sunni. Artinya mereka benar-benar berkeyakinan
bahwa Nabi Muhammad adalah penutup sekalian para nabi, baik
yang baru maupun nabi yang lama, sebagaimana yang dinyatakan
dalam al-Qur-an Surah al-Ahzab: 40.

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang


laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan
penutup nabi-nabi ..."

Dalam hubungan ini, Nabi pun menyatakan dalam sabdanya:

"Dan sesungguhnya akan datang di kalangan ummatku tiga puluh


pendusta, semuanya menganggap dirinya sebagai nabi, dan aku
adalah penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi sesudahku."
(H.R. Bukhari)

Penggunaan term nabi lugawi atau nabi majazi oleh golongan


Lahore, mungkin sekali dikarenakan oleh pengakuan Mirza
(al-Mahdi) sebagai penjelmaan 'Isa al-Masih dan merasa telah
berdialog langsung dengan Tuhan atau mukalamah mubasyarah,
untuk menerima petunjuk-petunjuk-Nya.

Akan tetapi bagi golongan Qadiani yang meyakini al-Mahdi


sebagai nabi yang harus ditaati ajaran-ajarannya, mereka
berusaha keras mencari dalil-dalil dan memajukan mereka.
Misalnya dengan menginterpretasikan Surah al-Ahzab: 40,
sesuai dengan paham mereka, maupun dengan menggunakan
hadis-hadis Nabi, disamping mereka menggunakan berbagai
pendapat 'Ulama' Sunni yang dapat menopang kekuatan hujjah
(argumen) mereka

Menurut paham kaum Qadiani, berita akan datangnya kembali


Nabi 'Isa a.s., sebagai yang diriwayatkan dari hadis-hadis
sahih adalah jelas. Sekalipun 'Isa tidak membawa syari'at
baru, bahkan harus mengikuti syari'at Nabi Muhammad, namun
dia (al-Mahdi) tetap sebagai nabi gair mustaqil atau nabi
yang tidak mandiri. Oleh sebab itu, kata "Khatam
an-Nabiyyin" mereka artikan sebagai nabi yang paling mulia
dan paling sempurna dari sekalian para nabi, tapi bukan
sebagai penutup para nabi. Selanjutnya mereka mengajukan
argumen bahwa kata, [kata-kata Arab], menurut bahasa Arab,
apabila kata [kata-kata Arab] dirangkai dengan kata
berikutnya yang berbentuk jamak adalah mempunyai arti pujian
seperti mulia, utama, dan lain sebagainya.34 Sebagai contoh,
mereka mengemukakan sabda Nabi yang ditujukan kepada 'Ali
ibn Abi Talib:

"Aku (Muhammad) adalah Khatam (semulia-mulia) para nabi dan


engkau 'Ali adalah Khatam (semulia-mulia) para wali."

Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah Qadian


menyatakan bahwa kata [kata-kata Arab] dan [kata-kata Arab],
artinya tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad, yang
membawa syari'at baru. Dan kalau pun yang datang itu adalah
'Isa a.s., yang sebelumnya sudah menjadi nabi, maka yang
demikian ini tidak akan dapat mematahkan pembuktian kami.
Oleh karena itu, dua kata tersebut di atas, artinya bukan
"akhir para nabi."35

Sebagaimana diketahui, kaum Sunni tidak mengenal istilah


nabi gair tasyri'i, nabi majazi, nabi lugawi; maupun nabi
mustaqil atau gair mustaqil. Karena itu, jika terjadi
perbenturan antara paham Sunni dan paham Ahmadiyah yang
mengakibatkan pertentangan dan permusuhan yang hebat, di
awal kelahiran sekte ini, adalah sesuatu yang sulit
dihindarkan. Sekalipun paham Ahmadiyah Lahore tampak lebih
moderat daripada golongan Qadiani, rupanya golongan Lahore
lebih cenderung berpegang pada sikap Mirza di awal
kegiatannya sebagai al-Mahdi yang dijanjikan sebagaimana
dalam pernyataannya:

"Dan dengan keperkasaan d an keagungan Allah, sesungguhnya


aku adalah mukmin, muslim, dan aku beriman kepada Allah,
kitab-kitab, rasul-rasul, dan malaikat-Nya serta hari
kebangkitan sesudah kematian. Dan sesungguhnya Rasulullah
Muhammad adalah semulia-mulia para utusan dan penutup. para
nabi. Dan sesungguhnya mereka (ummat Islam non-Ahmadiyah)
telah membuat kedustaan pada diriku, bahwa orang ini (Mirza)
telah mengaku menjadi nabi dan bicara tentang 'Isa ..."36

Dari pernyataan tersebut, tampak sikap pendiri aliran


Mahdiisme Ahmadiyah tidak senang dirinya dituduh mengaku
menjadi nabi. Akan tetapi golongan Qadiani, rupanya lebih
berpegang pada sikap Mirza, setelah ia mengalami pergeseran
akidah. Sebagaimana pernyataannya yang disalin oleh
al-Maududi, dari buku yang ditulis oleh Mirza sendiri yang
berjudul Haqiqat al-Wahyu sebagai berikut:

"... Dan sesungguhnya Allah telah menentukan (pilihan-Nya)


kepadaku dan tidak ada seorang pun diantara ummat ini
memperoleh sebutan 'nabi' dan tidak ada pula seorang pun
yang memperoleh nama ini selain aku ..."37

Akan tetapi masih ada sesuatu yang cukup menggelitik untuk


dipertanyakan, yaitu apabila al-Mahdi ini adalah seorang
nabi yang mendapat wahyu Allah atau seorang Wali, dalam
menjalankan misi keagamaannya, sebagai yang diyakini oleh
kaum Ahmadiyah, mengapa ia sangat hormat dan tunduk kepada
pemerintah kolonial Inggris yang kafir? Bahkan bekerja sama
untuk menghantam saudara seagama dan memusuhinya. Sikap
al-Mahdi yang agresif dan emosional dalam berbagai
tulisannya yang disiarkan, menunjukkan sifat dan sikap yang
kurang tepat, sama sekali kurang layak dilakukan oleh
seorang yang dipandang sebagai wali apalagi sebagai nabi
atau rasul. Sedangkan sifat dan sikap 'Isa a.s., Nabi untuk
Bani Israil dahulu, sangat santun dan ramah terhadap orang
yang beriman. Sebagai misal adalah serangan al-Mahdi
Ahmadiyah ini terhadap sesama Muslim yang menolak sarannya,
ia mengatakan:

"Setiap orang yang menyalahi (paham)ku, maka dia adalah


Nasrani, Yahudi, musyrik (tergolong) penghuni-penghuni
neraka. Setiap laki-laki yang tidak mencari dan tidak masuk
ke dalam jema'ah yang berbaitat kepadaku dan terus-menerus
menentangku, maka dia adalah menentang Allah dan Rasul-Nya,
dan dia tergolong penghuni neraka."38

Demikian pula halnya dengan pernyataan-pernyataan para


pengikutnya yang telah menunjukkan sikap permusuhannya,
seperti yang diungkapkan oleh al-Maududi, bahwa kaum
Muslimin dari kalangan menengah dan awam, sejak lama
menginginkan diisolasikannya kaum Qadiani dari komunitas
Muslim, dan menjadikan mereka sebagai kaum minontas
non-Muslim sehingga mereka tidak bisa lagi mencaci-maki kaum
Muslimin. Senada dengan keinginan tersebut, adalah tuntutan
Muhammad Iqbal, dalam sebuah risalahnya yang terkenal,
berjudui Islam and Ahmadisme.39 Demikian al-Maududi.

-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240
http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Mahdi/MahdiAhmadiyah1.html

Anda mungkin juga menyukai