Laporan Uethanasia PRIBADI
Laporan Uethanasia PRIBADI
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”,
dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab
dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah
kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang
dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat
kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya (Hasan, 1995:145).
• Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk
menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai
contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman
untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma).
• Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat
ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat
terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak.
• Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk
euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan
wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan,
namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat
dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh diri atas
pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr.
Jack Kevorkian.
11januari,2010
Para pejabat medis di Korea Selatan mengatakan, wanita umur 77 tahun yang
mengalami mati otak, telah meninggal dunia, setelah lebih dari 200 hari
ditanggalkan dari alat bantu hidup. Ini adalah kasus pertama euthanasia secara
hukum.
Dia terus bernafas sendiri sejak bulan Juni tahun lalu, dan terus menerima nutrisi.
Mahkamah Agung Korea Selatan Juni lalu menegakkan keputusan peradilan lebih
rendah, yang membenarkan tim dokter menanggalkan alat bantu hidup bagi
seorang pasien yang berada dalam keadaan koma permanen.
2. Di Indonesia sendiri, setelah kasus Ny Agian Isna Nauli Siregar mulai "pudar"
dari publikasi media, seiring dengan kondisi kesehatannya yang kini kian
membaik, sebenarnya ada kasus paling gres yang membuat publik Indonesia
kembali gempar, menyusul permohonan euthanasia yang diajukanoleh suami Ny
Siti Zulaeha, Rudi Hartono, ke PN Jakarta Pusat.
Menurut Rudi Hartono, selama tiga bulan terakhir istrinya sudah tidak bisa
berkomunikasi, fungsi kesadarannya rendah, dan bahkan motoriknya hanya
berfungsi sedikit, sehingga secara medis tidak bisa disembuhkan. Karena itu, atas
nama "kasih sayang" seorang suami yang tidak ingin melihat istrinya lebih lama
menderita, ditambah lagi dengan biaya yang kian membengkak, ia pun
memberanikan diri untuk meminta penetapan izin euthanasia dari PN Jakarta
Pusat.
Tampaknya, permohonan Rudi Hartono akan sia-sia dan bernasib serupa dengan
permohonan Panca Kusuma yang lebih dahulu ditolak oleh pengadilan ketika ia
ingin meng-euthanasia-kan istrinya, Ny Agian. Sebab, secara yuridis-formal,
hukum di Indonesia tidak mengizinkan euthanasia. Pasal 334 KUHP menyebutkan,
barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri bisa diancam
hukuman penjara selama 12 tahun.