Anda di halaman 1dari 11

Lampiran 2.

PEMANGSA DAN HEWAN MANGSA DI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH


(Predators and Preys at Bukit Tigapuluh National Park)
Muhammad Yunus1, Santoso1 dan Hisan2
1
Program Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera/Sumatran Tiger Trust Conservation Programm
(PKHS/STTCP). Jl. PT SI No. 1 Pematang Reba, Indragiri Hulu Riau. Email: Yunus_pkhs@Yahoo.co.id
2
Staf Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

Abstrak
Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang berlokasi di Provinsi Riau dan Jambi dengan luas 144.223 ha
merupakan kawasan konservasi yang mempunyai nilai keanekaragaman hayati tinggi. Berdasarkan hasil
penelitian sejak Januari 2005 sampai dengan Agustus 2008 dengan metode jebakan kamera infra merah,
survey, patroli dan wawancara tercatat sedikitnya terdapat 7 ordo dan 19 family mammalia besar asli di
dalam kawasan ini, selain itu juga diketahui 5 jenis hewan ternak mammalia yang dibiarkan hidup bebas
di dalam kawasan taman nasional. Berdasarkan hasil pemasangan kamera infra merah telah diperoleh
1243 foto satwa yang terdiri dari 12% pemangsa (Family Canidae dan Felidae) dan 88% hewan mangsa.
Jumlah pemangsa beragam mulai dari tertinggi macan dahan (Neofelis nebulosa) sebesar 34%, Harimau
Sumatera (Panthera tigris sumatrae) 30%; Anjing hutan (Cuon alpinus) 13,33%; Kucing mas (Catopuma
temminckii) 12%; Kucing bulu (Pardofelis marmorata) 4,67%; kucing hutan (Prionailurus bengalensis
dan P. viverina) 3,33% serta anjing kampung (Canis familiaris) sebesar 2,67%. Untuk hewan mangsa
jumlah tertinggi pada primata 39,16%, lalu landak 20,49%; beruang (Helarctos malayanus) 8,42%;
cervidae 7,14%; tapir (Tapirus indicus) 6,77%; babi (Sus scrofa dan Sus barbatus) 6,04%; musang 4,76%
dan jenis lain (burung, biawak, tikus) sebesar 7,22%.

Key Words: pemangsa, hewan mangsa, mammalia, Taman Nasional Bukit Tigapuluh

1. PENDAHULUAN

Luas permukaan Indonesia hanya 1,3% dari luas permukaan daratan dunia, tetapi di dalamnya
terkandung 10% dari seluruh tumbuhan dunia, 12% mammal dunia, 16% reptil dan amphibi dunia, 17%
dari burung dan lebih dari 25% jenis ikan air laut maupun ikan air tawar (Sugandhy 1997; Departemen
Kehutanan 1994; Soemarwoto 1992). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia.

Taman Nasional Bukit Tigapuluh merupakan salah satu kawasan konservasi yang memiliki kekayaan
akan berbagai jenis satwaliar, tidak kurang dari 47 jenis mammalia besar yang hidup di kawasan ini
termasuk harimau Sumatera (Yunus dkk. 2008). Harimau Sumatera merupakan satwa ”kunci” yang
langka dan jumlahnya semakin menurun dan diperkirakan tinggal kurang dari 300 ekor di alam
(Departemen Kehutanan 2007; 1994). Jumlah pemangsa dan hewan mangsa akan saling mempengaruhi
(Indrawan dkk. 2007; Miquelle et al. 1999; Karanth and Stith 1999; Alikodra 1990). Keberadaan jenis-

Dipublikasikan dan dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains dan Teknologi Universitas Lampung
tanggal 18 November 2008
1
Lampiran 2.

jenis satwa sesama pemangsa yang merupakan pesaing serta jenis – jenis hewan mangsa yang dibutuhkan
untuk kelangsungan hidup harimau Sumatera perlu diketahui, untuk itu perlu dilakukan kajian terhadap
kondisi populasi pemangsa dan hewan mangsa. Informasi ini penting sebagai bahan masukan bagi
pengelola kawasan dalam membuat dan menentukan arah kebijakan pengelolaan.

1.1 Sejarah Pembentukan Taman Nasional Bukit Tigapuluh

Pada tahaun 1994, pemerintah TK I Riau mengeluarkan peraturan daerah No. 10 tahun 1994 tentang
rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi yang didalamnya mencakup kawasan konservasi Bukit Tigapuluh.
Pada tahun yang sama, Dirjen PHPA melalui surat Nomor 103/DJ-VI/Binprog/94 mengusulkan kepada
menteri kehutanan untuk menunjuk kawasan Bukit Tigapuluh dan Bukit Besar sebagai taman nasional.

Pada tahun 1995, Menteri Kehutanan berdasarkan surat keputusan Nomor 539/Kpts-II/1995 menunjuk
kawasan Bukit Tigapuluh sebagai taman nasional dengan luas 127.698 ha. Luas tersebut merupakan
gabungan dari 57.000 ha hutan produksi terbatas dan 37.250 ha hutan lindung yang ada di propinsi Riau,
serta 33.000 ha hutan lindung di wilayah Propinsi jambi. Kemudian berdasarkan Surat keputusan
Direktorat Jenderal PHKA Nomor 17/Kpta/12J-V/2001, ditunjuk zonasi Taman Nasional Bukit
Tigapuluh. Selanjutnya pada tanggal 21 Juni 2002, menteri kehutanan mengeluarkan Surat keputusan
Nomor 6407/Kpts-II/2002 tentang penetapan Kelompok Hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh seluas
144.223 ha (Departemen Kehutanan 2002;1997)

1.2 Letak, Luas, Tofografi dan Zonasi

Secara geografis Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) terletak pada 0o 40’ –1o 25’ LS dan 102o 10’-
102o 50’ BT dengan luas 144. 223 hektar. Secara administratif kawasan TNBT terletak di dua propinsi
yaitu Propinsi Riau pada Kabupaten Indragiri Hulu (81. 223 ha), dan Indragiri Hilir (30.000 ha) serta
Propinsi Jambi pada Kabupaten Tanjung Jabung Barat (10.000 ha) dan Tebo (23.000 ha) (Balai
Taman Nasional Bukit Tigapuluh 2007; Departemen Kehutanan 2002).

Kawasan TNBT terletak pada ketinggian 60 - 843 mdpl dengan puncak tertinggi terdapat pada Bukit
Sipin. Secara garis besar tofografinya dapat dikelompokan menjadi tiga bagian, yaitu:
- Dataran antar pegunungan dan perbukitan kecil (punggungan) (kemiringan lereng < 140)
- Pegunungan dengan lereng yang curam-sangat curam (kemiringan lereng 25-750)
- Pegunungan dengan lereng sangat curam (kemiringan lereng > 750)
Dipublikasikan dan dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains dan Teknologi Universitas Lampung
tanggal 18 November 2008
2
Lampiran 2.

Pengelolaan kawasan berdasarkan sistem zonasi yang terdiri dari : Zona inti (70,7%), zona pemanfaatan
(4,9%), zona Rimba (11,7%), zona rehabilitasi (10,1%), zona pemanfaatan tradisional (2,5%)
(Departemen Kehutanan 1997).

2. METODE

Informasi ini di dasarkan pada hasil penelitian di TNBT dari bulan Januari 2005 sampai Agustus 2008.
Penelitian ini menggunakan beberapa metode:

2.1 Survei dan Patroli


Survei dan patroli dilakukan dengan berjalan kaki di hutan, jalan setapak maupun jalan satwa. Lokasi
survei dan patroli mencakup seluruh kawasan TNBT yang terdiri dari 6 Resort yaitu Resort Talang Lakat,
Siambul, Keritang, Lahai, Lubuk Mandarsah dan Suo-Suo. Sepanjang jalur yang dilalui dicatat jenis-
jenis mammalia yang teramati baik secara langsung maupun tidak (jejak, kaisan, cakaran, kotoran, serta
sisa makanan). Pengamatan terhadap tanda-tanda sekunder satwa sangat penting karena dengan
mengetahui tanda sekunder bisa dideteksi keberadaan satwa tersebut (Robinowits 1993; Strien 1983).
Umumnya di daerah tropis sangat sulit untuk dapat melihat satwaliar secara langsung karena vegetasi
yang rapat menyebabkan jarak pandang yang sempit, selain itu satwaliar juga cenderung menghindari
perjumpaan dengan manusia, sehingga identifikasi satwaliar dengan menggunakan tanda sekunder
menjadi penting.

2.2 Jebakan Kamera infra merah


Kamera dengan sensor infra merah dipasang pada jalur-jalur yang diduga dan memungkinkan untuk
dilalui oleh satwa liar. Kamera infra merah yang digunakan adalah jenis trailmaster TM1500 generasi
kedua dan cuddeback digital camera yang sampai saat ini telah dipasang 10-15 unit kamera. Pada
dasarnya pemasangan alat ini dirancang untuk memfoto harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae),
akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga memfoto objek atau jenis-jenis satwa lain yang melintas
dan memutuskan sensor infra merah. Pada prinsipnya alat ini akan mengambil gambar secara otomatis
jika ada objek atau satwa yang memutus sensor infra merah. Kamera dipasang dengan sistem 24 jam
dan dilakukan pengecekan setiap 20-30 hari untuk mangganti baterai dan film atau kartu memori.
Sebagai daerah perbukitan pemasangan kamera infra merah banyak dipasang di daerah punggungan atau
puncak bukit. Selain itu, kamera juga dipasang pada bekas-bekas jalan yang dibuat oleh perusahaan
untuk mengangkut kayu yang saat ini banyak digunakan oleh satwaliar. Sebelum melakukan
Dipublikasikan dan dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains dan Teknologi Universitas Lampung
tanggal 18 November 2008
3
Lampiran 2.

pemasangan kamera, survei pendahuluan dilakukan untuk mencari tanda sekunder satwaliar serta lokasi
yang cocok untuk pemasangan kamera.

2.3 Wawancara
Wawancara dilakukan terutama terhadap 6 kelompok masyarakat Suku Talang Mamak dan Melayu Tua.
Kedua suku ini tinggal dalam kelompok-kelompok kecil dengan membuat rumah di sekitar sungai gansal
yang berada di tengah taman nasional seperti di Tua Datai, Suit, Sadan, Air Bomban, Nunusan dan
Mekotung dengan jumlah keseluruhan sekitar 219 KK atau 1062 jiwa (Yunus 2005). Sementara Suku
Rimba (Kubu) masih bersifat nomaden berjumlah sekitar 364 jiwa.

Identifikasi jenis dilakukan terhadap foto-foto satwa hasil kamera trap dengan bantuan buku Panduan
Lapangan Primata Indonesia,
Mammals of Thailand, dan Wild
Cats. Sementara untuk pengenalan
jejak menggunakan buku A Guide
to the Track of Mammals of
Western Indonesia. Untuk
menghitung individu harimau
dilakukan dengan cara identifikasi
berdasarkan loreng yang terdapat
pada harimau dari foto hasil kamera
infra merah (Franklin dkk. 1999).

Gambar 1. Peta sebaran lokasi kamera dan tanda sekunder


harimau Sumatera di TNBT

Data yang dibahas dibatasi untuk mammalia besar yang berpotensi menjadi mangsa atau pesaing harimau
Sumatera dan tidak termasuk manusia (masyarakat pedalaman).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil survei dan pemasangan jebakan kamera infra merah telah diketahui sedikitnya 42
jenis mammalia besar alami yang terdiri dari 7 ordo dan 19 family, serta 5 jenis hewan ternak yang
dibiarkan hidup secara liar di dalam kawasan taman nasional (tabel 1).

Dipublikasikan dan dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains dan Teknologi Universitas Lampung
tanggal 18 November 2008
4
Lampiran 2.

Tabel 1. Mammalia besar di Taman Nasional Bukit Tigapuluh


No Ordo/Family Nama latin Nama Indonesia/lokal Nama Inggris Ket

1 2 3 4 5 6
I Artiodactyla
1 Bovidae Bos sp. Sapi bali Cow A
2 Bubalus sp. Kerbau Buffalow A
3 Capricornis sp. Kambing Goat A
4 Capricornis Kambing hutan Serrow D,E
sumatraensis
5 Suidae Sus barbatus Babi gunung/Nangui Bearded pig B
6 Sus scrofa Babi hutan Wild pig B
7 Cervidae Cervus unicolor Sambar/Ruso Sambar deer B
8 Muntiacus muntjak kijang Barking deer B
9 Tragulidae Tragulus javanicus Kancil/Pelanduk Lesser mouse deer B
10 Tragulus napu napu Greater mouse deer B
II Carnivora
11 Canidae Canis familiaris Anjing kampung Domestik dog A
12 Cuon alpinus Anjing hutan Asian wild dog B
13 Felidae Catopuma temincki Kucing mas Golden cat B
14 Felis sp. Kucing kampung Domestik cat A
15 Neofelis nebulosa Macan dahan Clauded Leopard B
16 Pardofelis Kucing bulu Marbled cat B
marmorata
17 Panthera tigris Harimau sumatera /Rimau Sumatran tiger B
sumatrae
18 Prionailurus Kucing hutan Leopard cat B
bengalensis
19 Prionailurus Kucing air Fishing cat B
viverrinus
20 Mustelidae Aonyx cineria Berang-berang Small calwed otter C,E
21 Mustella flavigula Martin/Utu-utu Yellow throated martin B
22 Mydaus javanensis Teledu/kuskus Malayan badger B
23 Ursidae Helarctos malayanus Beruang Sun bear B
24 Viverridae Arctogalidia Musang akar Three-striped palm civet B
trivirgata
25 Artictis binturong Binturong /Musang ijuk Binturong B
26 Hemigalus derbyanus Musang belang/Musang Banded palm civet E
harum
27 Paguma larvata Musang merah Masked palm civet B
28 Parodoxurus Luak biasa Common palm civet B
hermaphrodictus
29 Prionodon linsang Linsang Banded linsang B
30 Viverricula Musang biasa Small indian civet B
malaccensis
III Perrisodactyla
31 Tapiridae Tapirus indicus Tapir Malayan tapir B
IV Pholidota
32 Manidae Manis javanica Trenggiling Pangolin D,E
V Primates
33 Cercopithecidae Macaca fascicularis Monyet Long tile macac B
34 Macaca nemestrina Beruk Pig tile macac B
35 Presytis cristata Lutung/Cigak Silver leaf monkey C
36 Presbytis melalophos Simpai Mitred leaf monkey C
37 Hylobatidae Hylobates agilis Owa Agile gibbon C
Dipublikasikan dan dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains dan Teknologi Universitas Lampung
tanggal 18 November 2008
5
Lampiran 2.

1 2 3 4 5 6
38 Hylobates syndactilus Siamang Siamang B,C
39 Lorisidae Nycticibus caucang Kukang abu-abu Slow loris C
40 Tarsiidae Tarsius tarsius Singapuar/Beruk buku Tarsier C,E
41 Pongidae Pongo abelli Orang utan Sumatran Orangutan D,E
VI Proboscidae
42 Elepahantidae Elephas maximus Gajah Sumatran elephant D,E
sumatranus
VII Rodentia
43 Hystricidae Hystrix brachiura Landak Malayan Porcupine B
44 Atherurus macrourus Landak Bayas Bush-tailed porcupine B
45 Sciuridae Aeromys tephomelas Bajing terbang hitam Black flying squirrel C
46 Petaurista petaurista Bajing terbang merah Red giant flying squirrel C
47 Ratufa bicolor Jelarang Black giant squirrel C
Ket: A. Hewan peliharaan yang diliarkan; B. Foto; C. Lihat langsung; D. Tanda sekunder;
E. Informasi masyarakat

3.1 Pemangsa dan Hewan Mangsa

Dari hasil pemasangan kamera infra merah diperoleh 1243 foto satwa, kemudian dikelompokan menjadi
pemangsa sebesar 12% dan hewan mangsa 88% (Gambar 2). Hewan pemangsa disini dibatasi kepada
Ordo Carnivora dari Family Canidae dan Felidae. Sedangkan family lainnya seperti Mustelidae, Ursidae
100% 88% dan Viverridae dimasukan ke dalam kelompok hewan
80%
mangsa karena kelompok ini juga memakan
Ju m lah

60%
40% tumbuhan dan serangga (Lekagul and McNeely 1988;
20% 12%
MacKinnon 1992). Selain itu juga pernah ditemukan
0%
Pemangsa Hew an mangsa rambut tubuh beruang dalam kotoran harimau
Kelompok
sumatera (STP 1998).
Gambar 2. Pemangsa dan hewan mangsa (n=1243)

Di dalam kelompok pemangsa yang terdata terdiri dari 2 jenis anggota Canidae dan 6 jenis anggota
Felidae terjadi persaingan untuk memperoleh hewan mangsa. Pada gambar 3 terlihat jumlah macan
dahan (Neofelis nebulosa) berada dalam peringkat tertinggi sebesar 34%. Macan dahan yang mempunyai
berat sekitar sekitar 16-23 kg, bersifat nocturnal serta mempunyai kemampuan memanjat yang baik dan
umumnya memangsa burung, primata dan juga mammalia kecil seperti landak (Lekagul and McNeely
1988) bahkan jenis rusa dan babi hutan (Banks 1949, Le 1973, Prater 1971, Robinowits et all. 1987, S.
Yasuma in litt. 1993 dalam Nowell and Jackson 1996). Beberapa jenis hewan mangsa yang mempunyai
ukuran tubuh jauh lebih besar seperti sambar (Cervus unicolor) dewasa yang mempunyai berat tubuh 185-
260 kg (Lekagul and McNeely 1988) dan babi gunung (Sus barbatus) dewasa serta tapir yang mempunyai
berat lebih dari 150 kg dan juga beruang kemungkinan kecil untuk menjadi mangsa macan dahan.

Dipublikasikan dan dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains dan Teknologi Universitas Lampung
tanggal 18 November 2008
6
Lampiran 2.

Berdasarkan kemampuan memanjat dan sifatnya yang nocturnal, macan dahan merupakan pemangsa
utama jenis primata yang memang merupakan hewan mangsa dengan jumlah tertinggi di TN. Bukit
Tigapuluh (gambar 4).

Harimau sumatera dengan berat tubuh 75 – 110 kg untuk betina dan 110-140 kg untuk jantan dewasa
(Nowell and Jackson 1996) merupakan pemangsa tingkat tertinggi dalam rantai makanan berada pada
posisi kedua berjumlah 30%. Sampai saat ini telah terfoto 16 ekor harimau sumatera dengan
perbandingan jantan:betina adalah 9:7. Harimau mampu membunuh seluruh jenis hewan mangsa yang
mempunyai berat sampai dengan 1000 kg, bahkan harimau dapat memangsa anak gajah, badak dan
memangsa jenis mereka sendiri (Nowell and Jackson 1996). Pada tahun 2006 pernah ditemukan
tengkorak beruang dan pada 2008 ditemukan sisa-sisa tubuh tapir yang dimakan oleh harimau Sumatera
yang diindikasikan dengan banyaknya jejak harimau di sekeliling bangkai tapir tersebut. Selain itu tiga
ekor bangkai sapi yang diliarkan ditemukan pada
40% 34%
30% tahun 2007 dan diduga menjadi mangsa harimau
30%
Sumatera. Akan tetapi belum pernah dilaporkan
J u m lah

20% 13.33%
12%
10% 4.67%
harimau Sumatera menerkam hewan ternak di
3.33% 2.67%
0% dalam kandang masyarakat yang terdapat di dalam
Harimau Kucing Macan Kucing Kucing Anjing Anjing
Sumatera hutan dahan mas bulu kampung hutan taman nasional. Bahkan pada tahun 2004 dua ekor
Jenis harimau mati dibunuh oleh masyarakat (Yunus

Gambar 3. Jenis dan persentase pemangsa (n=150) 2004 data yang tidak dipublikasikan).

Peringkat ketiga jumlah pemangsa adalah anjing hutan sebesar 13,33%, terfoto mulai dari satu ekor
sampai berkelompok empat ekor. Hewan pemangsa seberat 10-20 kg ini berburu secara berkelompok
dan mampu membunuh sambar yang mempunyai ukuran tubuh jauh lebih besar (Lekagul and McNeely
1988). Anjing hutan (Cuon alpinus) merupakan new record di TNBT, bahkan masyarakat yang telah
lama tinggal di dalam kawasan ini tidak pernah melihat dan melaporkan keberadaannya. Selanjutnya
hewan pemangsa lainnya merupakan anggota felidae dengan berat kurang dari 15 kg. Terkecil adalah
kucing bulu Pardofelis marmorata seberat 2-5 kg (Lekagul and McNeely 1988). Anjing kampung biasa
digunakan masyarakat pedalaman untuk membantu saat berburu.

Berdasarkan ukuran tubuh dan kemampuan berburu tersebut seluruh pemangsa akan bersaing untuk
membunuh dan memangsa primata seperti beruk yang mempunyai berat sampai sekitar 9 kg. Persaingan
untuk membunuh hewan mangsa besar seperti sapi, kerbau, tapir, babi gunung dan beruang kemungkinan
besar hanya terjadi pada harimau Sumatera dan anjing hutan. Sementara untuk jenis hewan mangsa
Dipublikasikan dan dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains dan Teknologi Universitas Lampung
tanggal 18 November 2008
7
Lampiran 2.

dengan ukuran tubuh sedang seperti kambing, kijang dan babi hutan selain dimangsa oleh harimau
Sumatera dan anjing hutan yang akan turut serta dalam persaingan adalah macan dahan. Pemangsa
dengan ukuran tubuh lebih kecil lagi seperti kucing mas, kucing bulu, kucing hutan, kucing air bahkan
kucing kampung dan anjing kampung selain akan turut bersaing untuk memangsa primata, juga akan
bersaing untuk mendapatkan Cervidae seperti kancil dan napu serta jenis-jenis burung.

Primata merupakan hewan arboreal (Lekagul and McNeely 1988), akan tetapi berdasarkan hasil kamera
infra merah yang dipasang pada ketinggian 40-60 cm dari permukaan tanah jumlah foto kelompok
primata berada pada posisi tertinggi yaitu 39,16%. Jenis paling sering terfoto adalah beruk Macaca
nemestrina dalam kelompok beranggotakan sampai dengan 40 ekor. Jenis ini yang mempunyai berat
tubuh mencapai 9 kg (Lekagul and McNeely 1988) merupakan hewan mangsa potensial harimau
sumatera (STP 1998) dan dapat mencukupi kebutuhan makan harimau perhari yang memerlukan daging
sekitar 6-7 kg (Lekagul and McNeely 1988; Nowell and Jackson 1996). Berdasarkan pengalaman, beruk
mempunyai kebiasaan berlari dipermukaan
45.00%
39.16%
40.00% tanah jika terkejut atau takut. Hal ini
35.00%
30.00% menyebabkannya menjadi hewan mangsa
Jumlah

25.00% 20.49%
20.00% potensial bagi harimau sumatera dan jenis
15.00%
8.42%
10.00% 6.77% 6.04% 7.14%
4.76%
7.22% pemangsa lainnya. Bahkan pernah terfoto
5.00%
0.00% sekelompok beruk yang tidur di atas kayu
Tapir Babi Primata Cervidae Landak beruang Musang Lain-lain

Jenis mati yang rebah di permukaan tanah.

Gambar 4. Jenis dan persentase hewan mangsa (n=1093)

Selanjutnya peringkat kedua hewan mangsa potensial di TNBT hasil kamera infra merah adalah landak
20,49%, yang terfoto mulai dari 1-3 ekor. Walaupun berjalan lambat, landak mempunyai sistem
pertahanan diri dengan bulu tubuh yang berupa duri (Lekagul and McNeely 1988) sehingga pemangsa
akan sulit untuk menangkapnya. Sampai saat ini belum pernah ditemukan bulu landak pada kotoran
harimau atau jenis pemangsa lainnya, akan tetapi diyakini satwa inipun merupakan hewan mangsa
potensial bagi harimau dan semua jenis pemangsa lainnya.

Jenis hewan mangsa lainnya berturut-turut adalah beruang 8,42%; Cervidae 7,14%; tapir 6,77%; babi
6,04%, musang 4,76% dan kelompok lainnya (biawak, burung, tikus) sebesar 7,22%. Dari kelompok
hewan mangsa ini, babi gunung Sus barbatus merupakan hewan mangsa yang terpantau hanya pada
waktu tertentu. Beberapa lokasi kamera memantau kehadiran jenis ini dalam kelompok besar sekitar

Dipublikasikan dan dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains dan Teknologi Universitas Lampung
tanggal 18 November 2008
8
Lampiran 2.

akhir bulan Agustus-Desember. Dalam beberapa kali pemantauan ditemukan jejak harimau yang
mengikuti jejak babi gunung.

Berdasarkan analisa jenis rambut yang terdapat pada 11 kotoran harimau Sumatera di TNBT diketahui 5
diantaranya merupakan rambut tubuh babi gunung Sus barbatus, 2 babi hutan Sus scrofa dan 4 rambut
macaqua (Yunus dkk. 2008). Jika dibandingkan dengan hasil analisa kotoran harimau sumatera di TN.
Way Kambas yang diketahui mangsa utama harimau sumatera adalah babi hutan Sus scrofa, macaqua
Macaca nemestrina dan M. Fascicularis, sambar
33%
35%
30% 27.50% Cervus unicolor, kijang Muntiacus muntjak, dan
25%
beruang Helarctos malayanus (gambar 5) (STP
J u m la h

20% 16.70%
15%
15% 1998) menunjukan keragaman dan jumlah hewan
10% 5%
5% 2.50% mangsa di TNBT masih sangat memungkinkan
0%
Babi Macaqua Sambar Kijang Beruang Jenis lain mendukung kelestarian harimau Sumatera.
Jenis

Gambar 5. Jenis dan persentase hewan mangsa dalan


kotoran harimau Sumatera di TN. Way Kambas (n=120)

Walaupun hewan mangsa berada dalam posisi lebih lemah dibandingkan pemangsa akan tetapi hewan
mangsa juga mempunyai sistem pertahanan, seperti kerbau akan berkumpul membentuk lingkaran
dengan kepala menghadap keluar dan anak-anak berada di tengah lingkaran saat mencium kehadiran
harimau sumatera (Sumarto, komunikasi pribadi).

1 2 Gambar 6. Pemangsa dan


hewan mangsa di TNBT

1. Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae)

2. Anjing hutan (Cuon


alpinus)

3. Tapir (Tapirus indicus)

3 4 4. Babi gunung (Sus


barbatus)

Dipublikasikan dan dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains dan Teknologi Universitas Lampung
tanggal 18 November 2008
9
Lampiran 2.

4. Kesimpulan
1. Pemangsa di TN. Bukti Tigapuluh adalah macan dahan Neofelis nebulosa sebesar 34%; harimau
Sumatera Panthera tigris sumatrae (30%); anjing hutan Cuon alpinus (13,33%); kucing mas
Catopuma temminckii (12%); kucing bulu Pardofelis marmorata (4,67%); kucing hutan
Prionailurus bengalensis dan Prionailurus viverina (3,33%) serta anjing kampung Canis
familiaris sebesar 2,67%.
2. Hewan mangsa di TN. Bukit Tigapuluh adalah primata 39,16%, lalu landak (20,49%); beruang
Helarctos malayanus (8,42%); cervidae (7,14%); tapir Tapirus indicus (6,77%); babi Sus scrofa
dan Sus barbatus (6,04%); musang (4,76%) dan jenis lain (burung, biawak, tikus) sebesar 7,22%.
3. Pesaing harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) untuk membunuh hewan mangsa
mammalia besar yang mempunyai ukuran tubuh di atas 150 kg adalah anjing hutan (Cuon
alpinus).

Ucapan terima kasih


Teima kasih kami haturkan untuk David S. Gill dari Sumatran Tiger Trust (STT) dan Wildlife Protection
Foundation (WPF) atas batuan dana serta Kepala Balai TN. Bukit Tigapuluh Ir. Halasan Tulus atas
izinnya.

Daftar Pustaka
Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh. 2007. Taman Nasional Bukit Tigapuluh: Keunikan dan Pesona
Alam Perbukitan. Ditjen PHKA. Departemen Kehutanan.

Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae) 2007-2017. Ditjen PHKA

----------. 2002. ”Laporan Akhir Inventarisasi dan Identifikasi Fisik dan Sosial Ekonomi Budaya
Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh”. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan
dan Perhutanan Sosial.

---------. 1997. ”Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Tigapuluh Tahun 1997-2021”. Ditjen
PHPA. Jakarta

---------.1994. Strategi Konservasi Harimau Sumatera. Ditjen PHPA.Jakarta.

Franklin, N., Bastoni, Sriyanto, S. Dwiatmo, J. Manansang, and R. Tilson. 1999. “Last of the
Indonesian Tigers: A Cause for Optimism”. In J. Seidentiker, S. Christie, and P. Jackson, eds.,
Riding the Tiger: Tiger Conservation in Human-Dominated Lanscapes. Cambridge: Cambridge
University Press.

Dipublikasikan dan dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains dan Teknologi Universitas Lampung
tanggal 18 November 2008
10
Lampiran 2.

Indrawan, M., R.B. Primack, J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Edisi Revisi. Yayasan Obor
Indonesia, CI-Indonesia, PILI, WWF, Uni Eropa, YABSHI. Jakarta.

Karanth, U., B.M. Stith, 1999. ”Penyusutan Mangsa Sebagai Faktor Penting Bagi Kelangsungan Hidup
Populasi Harimau”. Dalam J. Seidentiker, S. Christie, and P. Jackson (eds)., Riding the Tiger:
Tiger Conservation in Human-Dominated Lanscapes. Cambridge: Cambridge University Press.
Versi bahasa indonesia diterjemahkan oleh Ida K. Franklin pp. 104-117

Lekagul, B. and J. A. McNeely. 1988. Mammals of Thailand. Second Edition. Darnsutha Press. Bangkok.
Thailand.

Mackinnon. K., 2002. Nature’s Treasurehouse The Wildlife of Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

Miquelle D.G., E.N. Smirnov, T.W. Merril, A.E. Myslenkov, H.B Quigley, M.G. Hornocker, and B.
Schleyer. 1999. ”Analisa Hirarki Tentang Hubungan Spatial Antara Harimau Amur Dengan
Habitat Dan Mangsanya”. Dalam J. Seidentiker, S. Christie, and P. Jackson (eds)., Riding the
Tiger: Tiger Conservation in Human-Dominated Lanscapes. Cambridge: Cambridge University
Press. Versi bahasa indonesia diterjemahkan oleh Ida K. Franklin pp 80-103

Nowell, K. and P. Jackson (eds). 1996. Wild Cat: Status Survey and Conservation Action Plan.
IUCN/SSC Cat Specialist Group.

Robinowits, A. 1993. Wildlife Field Research and Conservation Training Manual. Paul art Press. Inc.
New York City.

Sugandhy, A. 1997. “Pengelolaan sumber Daya Alam Hayati Dalam Pembangunan Berkelanjutan
Berwawasan Lingkungan Hidup Menghadapi era Globalisasi. Makalah pada seminar nasional
biologi XV. Perhimpunan biologi Indonesia

Sumatran Tiger Project. 1998. “Briefing Book-Indonesia Year Of the Tiger Conference”.
Unpublished

Supriatna, J., E.H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.

Yunus, M., Santoso, Hisan. 2008. Mammalia di Bukit Tigapuluh: Keberadaan, Distribusi dan
Ancamannya. Jurnal Universitas Riau. In Published.

Yunus, M. 2005. ”Menyingkap Misteri Hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh”. Program Konservasi
Harimau Sumatera.

Dipublikasikan dan dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains dan Teknologi Universitas Lampung
tanggal 18 November 2008
11

Anda mungkin juga menyukai