1
Rahma Widhiasari
1
Kontributor Jurnal Media Watch The Habibie Center
Acara debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di
tengah kampanye pemilu presiden melahirkan daya tarik bagi media.
Terbukti acara debat capres dan cawapres yang digelar Komisi Pemilihan
Umum (KPU) dan disiarkan oleh stasiun televisi swasta itu menjadi berita
utama.
Tulisan berikut ini mengupas pandangan media cetak mengenai
penyelenggaraan debat capres dan cawapres, di tiga media nasional, yakni
Kompas, Republika, dan Media Indonesia. Berita yang dikupas adalah berita
penyelenggaraan debat capres Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan
Jusuf Kalla, putaran pertama. Berita dari Kompas, Republika dan Media
Indonesia yang diulas dalam tulisan berikut diambil dari tanggal 19 hingga 22
Juni 2009.
Selain mengkritisi proses debat, media juga mengkritisi (KPU) yang
bertanggung jawab menggelar acara debat tersebut. Beberapa hal yang
dikritisi adalah transparansi dana penyelenggaraan debat dan tayangan iklan
di sela acara debat yang dinilai mengganggu netralitas.
Pemilihan media oleh KPU untuk menyiarkan acara debat juga mendapatkan
sorotan, sebab KPU lebih memililih stasiun televisi swasta dibandingkan
stasiun televisi pemerintah yaitu TVRI.
Kompas menampilkan sejumlah berita soal debat capres ini. Salah satu judul
berita yang diusung menjadi berita utama atau headline adalah “Perdebatan
Hilang dalam Debat Capres”. Kompas menuliskan bahwa debat itu tak
memiliki esensi dari perdebatan yang ingin menguji perbedaan satu calon
dengan calon lain dalam isu tertentu.
Perdebatan yang ditampilkan dinilai hanya menyampaikan visi misi dan itu
telah berulang kali dikemukakan di berbagai forum dan pamflet. Padahal
pengujian perbedaan pendapat masing-masing calon presiden menjadi acuan
publik untuk memilih pasangan capres dan cawapres tertentu.
Dalam salah satu beritanya soal debat capres ini, Kompas mewawancarai
pengamat politik Yudi Latif. Menurut Yudi, terdapat beberapa syarat dalam
perdebatan yang baik yaitu harus ada proposisi yang jelas mengenai isu
spesifik sehingga bisa memancing adu argumentasi.
Selain itu, dalam perdebatan harus ada konfrontasi sehingga setiap kandidat
harus punya kesiapan adu argumen. Karena jika tidak ada konfrontasi apalagi
saling mendukung, maka esensi perdebatan hilang. Perdebatan yang tidak
sesuai harapan itu dinilai juga dikarenakan faktor moderator. Ini tertulis
dalam berita Kompas berikut:
”.....Dalam perdebatan, seorang moderator harus punya pemikiran yang baik
tentang isu-isu tertentu yang dikemukakan dalam suatu pertanyaan. Moderator
harus melemparkan isu spesifik dan ditanggapi masing-masing kandidat.
Sehingga publik tahu posisi si A tentang isu tertentu...”
Namun demikian, selain kesalahan pada moderator, kesalahan juga terletak
pada KPU yang mengambil jalan aman supaya tidak ada upaya
mempermalukan calon tertentu. Hal ini karena panelis ditiadakan dan malah
memilih moderator yang fungsinya hanya sekedar mengalokasikan waktu.
Padahal, berdebat bukan hanya menguntungkan pemilih supaya tidak pilih
kucing dalam karung, tetapi penting juga untuk kandidat.
Bagi kandidat, jika diasah terus dalam perdebatan, maka ketika terpilih ada
kejelasan pemahaman terhadap satu hal, bagaimana kritik dari perspektif
lain sehingga dalam mengambil kebijakan clear. Perdebatan harus dibiarkan
tetap tajam serta jangan mengikuti jam tayang media.
Media seharusnya mengambil pilihan, serta mengambil bagian dari
perdebatan yang menurut mereka layak untuk disiarkan. Beberapa judul
berita soal debat capres di antaranya ” Debat Capres tidak Ada Gunanya’’,
”Debat Capres Jangan Dipotong Iklan” dan ” Anggaran Debat Capres Harus
Transparan”.
KPU juga hendaknya tidak lagi mengulangi kesalahan dengan berbuat serupa
pada acara debat yang masih tersisa dua kali lagi. ”Kalau diteruskan dan
dilanjutkan bisa menjadi preseden buruk, pelanggaran terhadap undang-
undang ini bisa saja diikuti oleh lembaga-lembaga negara lainnya,” ucap
Irman...”
Republika mengutip pendapat Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia
Corruption Watch (ICW), Ibrahim Fahmi Badoh, bahwa seharusnya KPU
membeli sepenuhnya waktu siaran televisi (blocking time) untuk acara debat
capres/cawapres. Sehingga tidak ada peluang permainan capres/cawapres
melalui bargainning pemasangan iklan.
Ia juga mempertanyakan kenapa KPU memilih menggunakan stasiun televisi
swasta untuk menayangkan debat. Padahal, negara mempunyai stasiun
siaran elektronik, TVRI dan RRI, yang juga bisa dimanfaatkan untuk
mempublikasikan acara debat.
Beberapa judul berita berkenaan dengan debat capres adalah “Gara-gara
Iklan, Debat Capres Dinilai tak Sah”, “Iklan Debat Capres-Cawapres Segera
Dibatasi”, dan “Iklan Debat Capres Langgar UU Pilpres”.
Dalam acara debat, capres dinilai tidak memiliki basis cita-cita dan ideologi
kuat untuk memperbaiki bangsa lima tahun mendatang. Tiap kandidat hanya
mengatakan akan lebih baik dari yang lain. Dari telaah HAM, kata Usman,
ketiganya tidak menunjukkan keinginan dan berupaya serius menyelesaikan
masalah HAM masa lalu.
Danang Widoyoko dari ICW, menilai ketiga kandidat memiliki pemahaman dan
argumentasi sempit dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih. SBY
dan JK masih terlihat ragu-ragu menanggapi penuntasan RUU Pengadilan
Tipikor. Sementara, Megawati, dinilai sama sekali tidak memahami
permasalahan tersebut.
Media tentu memanfaatkan acara debat capres itu untuk membuka space
iklan dan iklan-iklan politik tersebut memang sangat relevan dengan
penyelenggaraan acara debat capres. Media, membutuhkan iklan untuk
membiayai semua kegiatannya meskipun dimiliki oleh para pemodal kuat.
Benar, tahun ini iklan politik memang telah menjadi sumber pemasukan
paling deras ke rekening media terutama stasiun televisi. Jumat pekan lalu,
Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara mengungkapkan sudah ada sekitar Rp
3 triliun dikantongi media yang berasal dari iklan-iklan politik, hanya dalam
waktu tiga minggu selama Juni 2009.
Bisa juga Bawaslu meminta keterangan dari biro-biro iklan yang menjadi
agen pemasangan iklan para capres itu, untuk mengungkapkan bagaimana
setiap kandidat membayar iklan politik mereka. Dari sana mungkin akan bisa
diurai siapa saja yang telah ikut “patungan” membayar iklan-iklan itu.