Anda di halaman 1dari 6

http://lhiesty.wordpress.

com/

Adab menghitbah adalah tulisan pertama saya yang berkaitan dengan fiqih, setelah beberapa
tulisan saya terdahulu yang berkaitan dengan sains dan realita kehidupan, pada kesempatan
ini saya mencoba mengulas tentang fiqih meminang (khitbah).

Dari sebuah situs jejaring sosial, saya membaca sebuah judul artikel yang menarik,
“Khitbahlah Wanita yang Engkau Kagumi“. Sekilas judul tersebut mengisyaratkan kepada
seorang laki-laki yang apabila ia mengagumi kepribadian seorang perempuan, dalam hal ini
adalah karena kebaikan agama dan akhlak seorang perempuan, maka dia diperbolehkan
mengkhitbah atau meminang perempuan tersebut.

Bagi para pemuda yang ingin mengkhitbah wanita yang dicintainya, perlunya diketahui lebih
dahulu pengertian khitbah (melamar / meminang). Dalam kitab Al-Khitbah Ahkam wa Adab
karya Syaikh Nada Abu Ahmad hal. 1, pada bab Definisi Khitbah (Ta’rif Khitbah),
diterangkan pengertian syar’i (al-ma’na asy- yar’i) dari khitbah sebagai berikut.

‫التماس الخاطب النكاح من المخطوبة أو من وليها‬


“[Khitbah adalah] permintaan menikah dari pihak laki-laki yang mengkhitbah kepada
perempuan yang akan dikhitbah atau kepada wali perempuan itu.” (Mughni Al-Muhtaj,
3/135).

Secara umum, kegiatan pelamaran ini dilakukan oleh pihak lelaki kepada pihak wanita,
walaupun boleh bagi wali wanita untuk menawarkan walinya kepada seorang lelaki yang
dianggap pantas dan baik agamanya. Hal ini sebagaimana dalam kejadian yang terjadi antara
tiga manusia terbaik umat ini setelah nabinya, ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma
bercerita:
“Tatkala Hafshah bintu ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin
Hudzafah As-Sahmy -beliau termasuk sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
yang wafat di Medinah-, maka ‘Umar ibnul Khoththob berkata, “Saya mendatangi ‘Utsman
bin ‘Affan lalu saya menawarkan Hafshah kepadanya, maka dia menjawab, “Saya
pertimbangkan dulu”, maka sayapun menunggu hingga beberapa malam lalu dia
mendatangiku dan berkata, “Telah saya putuskan, saya tidak mau dulu menikah pada saat-
saat ini”. Kemudian saya menemui Abu Bakr dan berkata, “Jika engkau mau saya akan
menikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar”, maka Abu Bakr diam dan tidak
membalas tawaranku, dan sikapnya itu lebih berpengaruh padaku daripada penolakan
‘Utsman. Maka sayapun menunggu selama beberapa malam dan akhirnya Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- melamarnya (hafshah) maka sayapun menikahkannya dengan
beliau”.
Jadi, seseorang boleh menawarkan putrinya atau saudara perempuannya untuk dinikahi
seorang laki-laki yang shalih.

Seorang laki-laki boleh hukumnya mengkhitbah perempuan secara langsung kepadanya tanpa
melalui walinya. Boleh juga laki-laki tersebut mengkhitbah perempuan tersebut melalui wali
perempuan itu. Dua-duanya dibolehkan secara syar’i dan dua-duanya termasuk dalam
pengertian khitbah. Keduanya dibolehkan karena terdapat dalil-dalil As-Sunnah yang
menunjukkan kebolehannya.
Dalil bolehnya laki-laki mengkhitbah perempuan secara langsung tanpa melalui walinya,
adalah hadits riwayat Ummu Salamah RA, bahwa dia berkata :
“Ketika Abu Salamah meninggal, Rasulullah SAW mengutus Hathib bin Abi Baltha’ah
kepadaku untuk mengkhitbahku bagi Rasulullah SAW…” (Arab : lamma maata Abu
Salamata arsala ilayya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama Haathiba ‘bna Abi Balta’ah
yakhthubuniy lahu shallallahu ‘alaihi wa sallama). (HR Muslim).

Berdasarkan hadits tersebut dapat diketahui bahwa Rasulullah SAW langsung mengkhitbah
Ummu Salamah RA, bukan mengkhitbah melalui wali Ummu Salamah RA.

Sedang dalil bolehnya laki-laki mengkhitbah perempuan melalui walinya, adalah hadits
riwayat Urwah bin Az-Zubair RA, dia berkata :
“Bahwa Nabi SAW telah mengkhitbah ‘Aisyah RA melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq RA…”
(Arab : anna an-nabiyya shallallahu ‘alaihi wa sallama khathaba ‘A’isyata radhiyallahu
‘anhaa ilaa Abi Bakrin radhiyallahu ‘anhu) (HR Bukhari).

Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa Rasulullah SAW telah mengkhitbah ‘Aisyah RA
melalui walinya, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.

Disamping itu, seorang lelaki diperbolehkan meminang (mengkhitbah) seorang perempuan


dengan mewakilkannya pada orang lain, sebagaimana diperbolehkannya Ia meminang sendiri
perempuan yang Ia cintai.

Dan boleh juga bagi seorang wanita untuk menawarkan dirinya kepada lelaki yang sholeh
dan memiliki kemuliaan agar lelaki tersebut mendatangi orang tuanya (wanita tersebut) untuk
melamarnya.

Dari Anas Bin Malik R.A berkata:“Seorang wanita datang kepada Rasulullah -Shallallahu
‘alaihi wasallam- dan menawarkan dirinya kepada beliau (untuk dinikahi) …”
Namun hendaknya yang demikian ini tidak dilakukan oleh seorang wanita karena beberapa
alasan yaitu :
1. Membuka pintu-pintu percakapan yang tidak bermanfaat -bahkan mengarah kepada
kefajiran- yang berkepanjangan dan berlanjut antara seorang wanita dan lelaki yang bukan
mahramnya, baik secara langsung, lewat telepon, sms, email dan selainnya. Disinilah awal
kerusakan akan muncul.
2. Seorang wanita akan merendahkan dan melembutkan suaranya ketika berbicara dengan
laki-laki
3. Ketika penawaran seorang wanita diterima oleh lelaki tapi ditolak oleh wali dari lelaki
tersebut maka biasanya mereka tetap melakukan komunikasi karena sudah adanya keterikatan
hati antara keduanya dengan adanya penawaran tersebut, na’udzu billahi min dzalik.

Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi membuat segalanya menjadi mudah, sehingga
muncul pertanyaan, Bolehkah mengkhitbah melalui sms, telpon, e-mail, dan lainnya? Secara
tidak sengaja, saya menemukan artikel tersebut dan saya berusaha meng-share-kan di web
pribadi saya ini.

Boleh hukumnya mengkhitbah (melamar) lewat SMS atau media komunikasi yang lain,
karena ini termasuk mengkhitbah lewat tulisan (kitabah) yang secara syar’i sama dengan
khitbah lewat ucapan. Kaidah fikih menyatakan : al-kitabah ka al-khithab (tulisan itu
kedudukannya sama dengan ucapan/lisan). (Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami,
2/860).
Kaidah itu berarti bahwa suatu pernyataan, akad, perjanjian, dan semisalnya, yang berbentuk
tulisan (kitabah) kekuatan
hukumnya sama dengan apa yang diucapkan dengan lisan (khithab). Penerapan kaidah fikih
tersebut di masa modern ini banyak sekali. Misalnya surat kwitansi, cek, dokumen akad, surat
perjanjian, dan sebagainya. Termasuk juga “bukti/dokumen tertulis” (al-bayyinah al-
khaththiyah) yang dibicarakan dalam Hukum Acara Islam, sebagai bukti yang sah dalam
peradilan. (Ahmad Ad-Da’ur, Ahkam Al-Bayyinat, hal. 71; Asymuni Abdurrahman, Qawa’id
Fiqhiyyah, hal. 52).

Dalil kaidah fikih tersebut, antara lain adanya irsyad (petunjuk) Allah SWT agar melakukan
pencatatan dalam muamalah yang tidak tunai (dalam utang piutang) (QS Al-Baqarah : 282).
Demikian pula dalam dakwahnya, selain menggunakan lisan, Rasulullah SAW juga terbukti
telah menggunakan surat. (Kholid Sayyid Ali, Surat-Surat Nabi Muhammad, Jakarta : GIP,
2000). Ini menunjukkan bahwa tulisan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan lisan.

Jadi, seorang ikhwan (pria) boleh hukumnya mengkhitbah seorang akhwat (wanita) lewat
SMS, berdasarkan kaidah fikih tersebut. Namun demikian, disyaratkan akhwat yang
dikhitbah itu secara syar’i memang boleh dikhitbah. Yaitu perempuan tersebut haruslah : (1)
bukan perempuan yang haram untuk dinikahi; (2) bukan perempuan yang sedang menjalani
masa ‘iddah; dan (3) bukan perempuan yang sudah dikhitbah oleh laki-laki lain. (Nida Abu
Ahmad, Al-Khitbah
Ahkam wa Adab, hal. 5).

Adapun Adab-Adab yang perlu diperhatikan dalam mengkhitbah adalah :


1. Nadzor (‫ )نضر‬yang artinya melihat calon pinangannya. Yakni melihat kepada apa-apa yang
bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya, atau sebaliknya ketika dia melihat calonnya
dan mendapati ada sesuatu yang tidak dia senangi darinya maka dia boleh untuk
membatalkan pelamarannya.
Beberapa hadits yang mensunnahkan kedua belah pihak saling melihat sebelum memutuskan
untuk melanjutkan pelamaran.
a. Hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:
“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka jika kamu mampu untuk
melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya maka hendaknya dia
lakukan”.
Jabir berkata, “Maka sayapun melamar seorang wanita lalu saya melihatnya dengan
sembunyisembunyi (tanpa sepengetahuannya) sampai akhirnya saya melihat darinya apa
yang membuat saya tertarik untuk menikahinya maka sayapun menikahinya”.

b. Hadits Al-Mughirah bin Syu’bah -radhiallahu ‘anhu-.Beliau berkata, “Saya mendatangi


Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu saya menceritakan kepada beliau perihal seorang
wanita yang saya lamar, maka beliau bersabda:
“Pergilah kamu (kepadanya) dan lihatlah dirinya, karena hal itu akan membuat kasih sayang
di antara kalian akan langgeng”
Hadits ini menunjukkan bahwa pembolehan untuk nazhor bukan hanya terkhusus bagi kaum
lelaki tapi juga dibolehkan bagi seorang wanita yang akan dilamar. Karena kasih sayang itu
muncul dari kedua belah pihak sehingga pembolehan di sini juga berlaku bagi kedua belah
pihak.
c. Hadits Abu Humaid -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:
“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka tidak mengapa baginya
untuk melihat kepadanya jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya, walaupun
wanita tersebut tidak mengetahui (dirinya sedang dilihat)”
Dalam melakukan nadzhor pun terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu :
* Dia sudah memiliki niat yang kuat untuk menikah dan tidak ada yang menghalanginya
untuk menikah kecuali tinggal mencari calon istri. Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid di
atas, yang mana Nabi bersabda, “jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya”.
* Batasan terakhir dari bolehnya memandang adalah sampai dia melihat sesuatu yang
membuat dia tertarik untuk menikahinya. Maka kapan dia telah melihat hal tersebut sehingga
niatnya sudah bulat untuk menikahinya atau sebaliknya dia tidak melihat sesuatu yang
membuat dirinya tertarik sehingga berniat untuk membatalkan pelamarannya, maka seketika
itu juga dia wajib untuk menundukkan pandangannya dan tidak lagi melihat kepada wanita
tersebut.

Karena hal ini (melihat kepada lamaran) hanyalah rukhshoh (keringanan) yang syari’at
berikan bagi orang yang mau melamar, maka jika sudah tetap dia akan menikahinya atau
sebaliknya dia akan membatalkan pelamarannya maka hokum melihat kepada wanita yang
bukan mahram kembali kepada hukum asal, yaitu haram sebagaimana firman Allah SWT
dalam Al-Quran Surat An Nur 30-31.
* tidak boleh dilakukan dalam keadaan berkhalwat (berduaduaan), akan tetapi sang wanita
wajib ditemani oleh mahramnya yang laki-laki.
Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarang darihalwat, seperti sabda Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Tidak boleh seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita, karena yang
ketiganya adalah setan”
Adapun batasan tubuh wanita yang boleh dilihat menurut Imam Ibnu Qudamah -radhiallahu
‘anhu- berkata, “Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya melihat
kepada wajahnya”.
Adapun selain wajah maka para ulama berselisih, dan yang paling kuat adalah apa yang
dinukil dari Imam Ahmad -dalam satu riwayat- bahwa boleh bagi seorang lelaki untuk
melihat aurat wanita yang biasa nampak darinya ketika wanita tersebut bersama mahramnya,
seperti: kepala, leher, tangan, betis, dan yang semisalnya, inilah yang dikuatkan oleh Imam
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (9/490).
Hal ini berdasarkan hadits Jabir di atas, dimana Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
membatasi bagian tubuh tertentu yang boleh dilihat, akan tetapi beliau bersabda, “melihat apa
yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya”.
Dan inipula yang dipahami dan diamalkan oleh 2 sahabat besar ‘Umar ibnul khoththob dan
‘Ali bin Abi Tholib -radhiallahu ‘anhuma-. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al-
Mushonnaf (6/163) dan Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan (521) bahwa ‘Umar pernah
melamar putri Ali, maka ‘Ali berkata, “Sesungguhnya dia masih kecil”, maka ada yang
mengatakan kepada Umar bahwa ‘Ali tidak menginginkan dengan ucapannya kecuali untuk
menahan putrinya. Maka ‘Ali berkata, “Saya akan menyuruh anak saya mendatangimu, jika
dia ridho maka dia adalah istrimu”. Maka diapun mengutus putrinya lalu ‘Umar
mendatanginya lalu menyingkap betisnya, maka putri dari ‘Ali berkata, “Turunkan,
seandainya kamu bukan amirul mu`minin (pemimpin kaum mu`minin) maka saya akan
menampar lehermu”.
Sementara mengenai hukum nadzhor tanpa sepengetahuan pihak wanita adalah dibolehkan
sebaimana yang dikatakan Imam Ibnu Qudamah : “Tidak mengapa melihat wanita tersebut
dengan izinnya atau tanpa izinnya, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
memerintahkan untuk melihat dan memutlakkannya”.

2. Berpenampilan sederhana dalam melamar. Berkaitan dengan hal ini, saya jadi teringat pada
nasihat budhe saya saat saya menghadiri acara lamaran sepupu saya yang terkesan sangat
mewah. Budhe saya berkata : Nak, nanti kalau dilamar, jangan mau berlebihan seperti ini
ya…sampaikan pada mas nya, kalau tidak mau sederhana, lebih baik tidak usah melamar.
Waktu itu, saya hanya tersenyum menanggapinya (karena memang belum ada calon yang
mau melamar saya ).
Tidak diperbolehkan bagi pelamar untuk takalluf (membebani diri) dengan memakai pakaian
yang sangat indah serta parfum yang sangat harum. Hal ini karena kesediaan seorang wanita
untuk dinazhor, sama sekali bukanlah tanda akan keridhoan dari kedua belah pihak, dan
sangat mungkin sang wanita akan terfitnah dengan penampilan lelaki tersebut sehingga
menimbulkan perkara-perkara yang tidak terpuji, khususnya jika pelamarannya ditolak oleh
salah satu pihak.

Dan yang merupakan tuntunan salaf dalam hal ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh
‘Abdullah bin Thowus bahwa ayahnya berkata kepadanya mengenai wanita yang hendak
dinikahi oleh anaknya, “Pergilah engkau melihatnya”. ‘Abdullah berkata, “Maka sayapun
memakai pakaian (yang indah), lalu memakai minyak dan bergaya”, maka tatkala Thowus
melihat anaknya berpenampilan seperti itu, dia berkata, “Duduklah kamu”, beliau benci
melihat anaknya melakukan nazhor dengan penampilan seperti itu.

3. Wanita yang akan dinazhor diperbolehkan berhias sekadarnya. ‘Amr bin ‘Abdil Mun’im
berkata menjelaskan batasan dari berhias, “Telah berlalu dalam hadits Subai’ah penjelasan
mengenai sifat berhias bahwa hiasannya tidak boleh melewati dari sekedar celak mata dan
khidhob. Maka tidak boleh bagi seorang wanita berhias untuk pelamarnya melebihi hal
tersebut dengan menggunakan make up (arab: masahiqul mikyaj) atau memakai parfum dan
wewangian atau yang sejenisnya berupa hiasan yang besar (arab: mugollazhoh). Akan tetapi
dia hanya terbatas menggunakan celak mata dan khidhob saja, karena perhiasan selain
keduanya sangat terlarang dinampakkan di depan orang yang bukan mahramnya”.

4. Istikhoroh. Jika proses nazhor sudah selesai, maka disunnahkan bagi keduanya untuk
melakukan sholat istikhoroh, berharap taufik dan petunjuk dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.
Hal ini ditunjukkan dalam kisah pengutusan Zaid bin Haritsah oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- untuk melamar Zainab -radhiallahu ‘anha-, maka Zainab berkata:
“Saya tidak akan melakukan sesuatu apapun kecuali dengan perintah Tuhanku”. Maka
beliaupun (Zainab) berdiri dan melaksanakan sholat di mesjidnya”.

5. Sederhana dalam Mahar.


Jika proses nazhor sudah selesai dan kedua belah pihak telah saling meridhoi, maka berarti
sang wali telah menunaikan kewajibannya dengan baik. Kemudian setelah itu, hendaknya
wali tersebut berbuat baik kepada wanita yang dia perwalikan dengan cara mempermudah
proses pernikahan dan tidak memasang target mahar yang tinggi, karena sesungguhnya
keberkahan seorang wanita terletak pada murahnya maharnya.
Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sangat membenci dan menegur keras
seorang wali yang menetapkan mahar terlalu tinggi, dalam sabda beliau kepada seorang lelaki
yang akan menikahi seprang wanita Anshor, dan dia mengabarkan kepada Nabi bahwa
maharnya
4 ‘awaq. Maka beliau bersabda:
“Engkau menikahinya dengan mahar 4 ‘awaq?!, seakan-akan kalian memahat (baca:
mengambil) perak dari gunung ini …”.
Kemarahan beliau ini wajar, karena mahar yang tinggi akan sangat menyulitkan bagi pihak
lelaki, karena seorang lelaki itu menikah dengan tujuan untuk mendapatkan ketenangan dan
ketentraman bukan bertujuan agar dia menanggung utang yang banyak. Dan sungguh telah
ada suri tauladan yang baik pada diri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala beliau
menikahkan seorang wanita dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat beliau dengan
mahar hafalan dan pengajaran Al-Qur`an dari lelaki tersebut.

Bagaimana dengan batasan waktu mengkhitbah?


Adapun mengenai batas waktu khitbah, yaitu jarak waktu khitbah dan nikah, sejauh ini, tidak
ada satu nash pun baik dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah yang menetapkannya. Baik
tempo minimal maupun maksimal.
(Yahya Abdurrahman, Risalah Khitbah, hal. 77). Dengan demikian, boleh saja jarak waktu
antara khitbah dan nikah hanya beberapa saat, katakanlah beberapa menit saja. Boleh pula
jarak waktunya sampai hitungan bulan atau tahun. Semuanya dibolehkan, selama jarak waktu
tersebut disepakati pihak laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini Rasulullah SAW
bersabda,”Kaum muslimin [bermu'amalah] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.” (HR Abu
Dawud & Tirmidzi). (Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 3/59).
Namun para ulama’ cenderung menyatakan semakin cepat menikah adalah semakin baik.
Sebab jarak yang lama antara khitbah dan nikah dapat menimbulkan keraguan mengenai
keseriusan kedua pihak yang akan menikah, juga keraguan apakah keduanya dapat terus
menjaga diri dari kemaksiatan seperti khalwat dan sebagainya. Keraguan semacam ini sudah
sepatutnya dihilangkan, sesuai sabda Rasulullah SAW,”Tinggalkan apa yang meragukanmu,
menuju apa yang
tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi & Ahmad). Wallahu a’lam.

Artikel ini disadur dari berbagai sumber, semoga memberi manfaat bagi para pembaca dan
menjadi nasihat bagi pribadi saya sendiri. Apabila ada hal yang perlu dishare kan dengan
senang hati saya akan menerimanya.

Wallahu a’lam bishowab…

Anda mungkin juga menyukai