Kata ͚ideologi͛ memang memiliki konotasi yang sedemikian buruk dalam kehidupan sehari-
hari. Ia diasosiasikan dengan penipuan, mistifikasi, pembodohan, dan konflik politik.
Namanya pun lekat dengan irasionalitas, emosional, dan fanatisme buta. Ideologi lekat
dengan memori kekerasan dan konflik perang antara blok Barat yang dikomandani AS dan
blok Timur dibawah kendali US.
Apalagi sejarah perang ideologi telah memakan korban jutaan manusia dalam perang dunia
kedua, ditambah jutaan lainnya korban pemerintahan fasisme Nazi Jerman pimpinan Hitler.
Usai perang dunia yang dimenangkan blok Barat dan kemenangan paham neoliberalisme
dalam ekonomi perdagangan, lalu para pengamat pun buru-buru mengklaim bahwa abad
ke-20 ini adalah masa berakhirnya ideologi-ideologi dunia. Suatu masa yang penuh diwarnai
dengan kekerasan, intrik, dan konflik politik.
Pandangan pejoratif tentang konsep ideologi ini sebenarnya bisa ditelusuri dari sejarah
dipergunakannya istilah ideologi sendiri. Istilah ini adalah derivasi dari yang
muncul paska Revolusi Perancis. Napoleon Bonaparte menggunakan istilah ideologi untuk
menyerang lawan-lawan politiknya yang memiliki ide-ide yang tidak realistik berkaitan
dengan kepenntingan-kepentingan negara Perancis baru saat itu.[1]
Selanjutnya Marx dan Engels memberikan elaborasi yang sistematis tentang ideologi.
Warna pejoratif pun masih begitu melekat dalam pandangan mereka. Istilah ideologi
digunakan Marx untuk menyerang dan menyingkap distorsi, ilusi dan inversi yang
membentuk idealisme filosofis tradisi Hegelian German.
Dengan mendasarkan diri pada metode materialisme historis, Marx mengkritik para
ideolog German ini bahwa pikiran-pikiran mereka teralienasi dari kehidupan. Marx
berpendirian, kapitalisme telah melahirkan pemahaman/pengetahuan yang tidak
mencerminkan realitas sebenarnya
yaitu realitas pertentangan kelas
antara kaum borjuis dan proletar dalam masyarakat industrial-kapitalistik.[2]. Pengetahuan
yang tidak mencerminkan realitas atau kesadaran yang teralenasi dari praksis inilah yang
disebut dengan ideologi. Ideologi merupakan representasi yang keliru tentang manusia dan
dunia karena menganggap situasi yang ada sebagai natural, ahistoris, dan memistifikasi
suatu tatanan sosial. Berkaitan dengan masyarakat, ideologi adalah bagian dari
superstruktur yang melayani kekuatan substruktur ekonomi. Ideologi melegitimasi relasi
sosial dan ekonomi, sekaligus senjata kelas berkuasa.[3]
Pandangan klasik tentang ideologi ini kini menuai kritik tajam. Pandangan klasik dan
pejoratif tentang ideologi telah mengaburkan fakta, bahwa ideologi sebenarnya beroperasi
dalam ranah kehidupan sehari-hari, bahkan lebih dominan dalam suatu tatanan sosial
tertentu. Bahkan ideologi sebagai praktek kebudayaan relatif memiliki otonominya sendiri,
dan tidak bisa direduksi begitu saja kekuatan-kekuatan produksi dan kelompok ekonomi.
Dalam kebudayaan sehari-hari, dalam seni pertunjukan rakyat, Tayub, ketoprak atau seni
ludruk, bahkan dalam ritual ,[4]misalnya, bisa bersifat ideologis, atau dimasuki
oleh berbagai kepentingan dan kekuasaan. Ideologi tidak lagi terpusat dan menjadi doktrin
politik person kekuasaan, melainkan tersebar dalam ranah keseharian, sebagaimana
kekuasaan yang tersebar dalam seluruh tatanan sosial.
Untuk memahami fenomena ini, saya banyak memanfaatkan insight para pemikir
dan filsuf (post)strukturalis, khususnya Louis Althusser[5] dan Michel Foucault[6] sekaligus
insihgt dari disiplin antropologi dan sejarah yang ikut menyumbang hal yang amat penting
dalam perkembangan konsep ideologi dan kebudayaan.
Kritik tajam atas pandangan ideologi Marx ini dilakukan oleh Michel Foucault.
Menurut Foucault, Marx masih terjerat mimpi dan kerinduan akan sebentuk kebenaran atau
pengetahuan yang bebas dari distorsi, tipuan dan ilusi. Ia tergoda untuk mempertentangkan
antara
dan
. Bahwa gagasan atau pengetahuan yang
mencerminkan realitaslah yang benar. Di sini Marx menganggap realitas lebih
dari
gagasan dan kehidupan mental bersifat sekunder dari determinan ekonomi material.
Sedangkan baginya ideologi harus dipertentangkan dengan apa yang dianggap sebagai
kebenaran.[7]
Masalah ͞kebenaran͟ selalu terkait dengan relasi kekuasaan dalam ranah sosial dan
politik. ͞Kebenaran tidak di luar kekuasaan͟[8]. Karena kebenaran berada dalam banyak
cara dan praktek-praktek kehidupan manusia dalam mengatur diri mereka dan orang lain.
Kebenaran diproduksi dengan pembentukan wilayah-wilayah di mana praktek benar dan
salah dapat diciptakan dalam sekali aturan dan terkait. Karenanya, setiap ilmu pengetahuan
memiliki rezim kebenarannya sendiri.
Bagaimana kekuasaan dan kebenaran itu berhubungan satu sama lain? Menurut
Foucault, kedua ada di dalam
tempat di mana ucapan, tindakan,
aturan-aturan yang diterapkan, alasan-alasan yang diberikan bertemu dan saling
berhubungan, serta benar dan salah ditentukan di dalamnya. Melalui penelitian
arkeologinya, Foucault menyelidiki dokumen-dokumen, tempat, serta bermacam-macam
ritual pekerja dan publik, tempat di mana genealogi bentuk-bentuk sejarah (͟teknologi
moral͟, ͞rezim rasionalitas͟) itu hadir: Seperti: dalam praktek pengobatan klinis, hukuman
penjara sebagai praktek menghukum umumnya; dan bagaimana orang gila dianggap sakit
mental. Melalui bukti-bukti sejarah ini, Foucault menunjuk langsung pada
kekuasaan Tipe praktek-praktek ini tidak hanya diatur oleh institusi, ditentuka n oleh
ideologi dan dituntun oleh keadaan pragmatis, tapi juga mempengaruhi regularitas mereka,
logika, strategi pembuktian diri dan alasan-alasan mereka.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ideologi sebenarnya berjalin-kelindan
dengan praktek-praktek diskursif dalam masyarakat di mana relasi kekuasaan berlangsung
dan kebenaran diciptakan.
Jika Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan tersebar dalam relasi sosial melalui
proses diskursif, Althusser memberi sumbangan pada bagaimana ideologi beroperasi dan
bagaimana ideologi direproduksi dan dipertahankan.
Pertama-tama dengan menolak Marx, ia menyatakan bahwa tidak mungkin kita bisa
menangkap realitas sebenarnya karena kita tergantung pada bahasa. Paling-paling kita
hanya bisa merasakan meski bukan ͚kondisi real͛, cara-cara di mana kita telah dibentuk
dalam ideologi melalui proses-proses pengenalan yang kompleks. Menurut Althusser,
ideologi tidak mencerminkan dunia real, melainkan merepresentasikan ͞hubungan-
hubungan imaginer͟ individu-individu terhadap dunia real. Bagi Althusser ideologi
merupakan ciri yang dibutuhkan masyarakat sejauh masyarakat mampu memberikan makna
untuk membentuk anggotanya dan merubah kondisi eksistensialnya. Masyarakat manusia
menyembunyikan ideologi sebagai elemen dan atmosfir yang sangat diperlukan bagi nafas
dan kehidupan sejarah mereka.[9]
Ketiga, ideologi membentuk individu -individu konkrit menjadi subyek. [11] Dalam
aparatus-aparatus, ideologi disosialisasikan dan diinterpelasi dalam diri subyek. Interpelasi
subyek ini lalu membentuk realitas nampak pada kita sebagai ͚benar͛ dan ͚jelas͛. Misalnya
begini: ketika kita bersepeda motor, tiba-tiba ada bunyi peluit di belakang kita. Serentak
terbayang dalam benak kita: ada polisi dan ada pelanggaran yang mungkin kita lakukan. Lalu
kita memalingkan muka dan berbalik. Hadirnya disposisi tentang ͚benar/salah͛, atau
͚melanggar/tidak melanggar͛ serta adanya ketundukan atas wacana otoritas (polisi) pada
dasarnya telah menunjukkan hadirnya suatu ideologi. Ideologi menggerakkan diri kita secara
nir-sadar, melalui proses interpelasi subyektif. Jikalau seandainya kita tidak mengakui bahwa
interaksi dengan polisi adalah ideologis, justeru di situlah kekuatan ideologi. Yakni ͚denegasi͛
praktis dari karakter ideologi sendiri. Ideologi bekerja secara nir-sadar dan menjadi bagian
hidup dan gaya hidup sehari-hari.
Aparatus-aparatus ideologis ini merupakan alat hegemoni[12] yang paling canggih
untuk melanggengkan kekuasaan, melestarikan struktur kelas dominan, dan mengabadikan
penindasan. Caranya, dengan mengusahakan sedapat mungkin agar ideologi itu diyakini
oleh seluruh kelas dan kelompok, baik kelas berkuasa maupun yang dikuasai. Menurut
Althusser, di sinilah ciri-ciri ideologi yang membingungkan itu memainkan peran. ͞Fungsi
kelas ideologi adalah bahwa ideologi yang berkuasa adalah ideologi dari kelas yang
berkuasa; Ideologi berkuasa membantu kelas penguasa dalam menguasai kelas
tereksploitasi sekaligus memapankan dirinya sendiri sebagai kelas penguasa͟.[13]
Fungsi ideologi lainnya ialah menghubungkan masyarakat satu sama lain, dengan
suatu dunia dan terutama diri mereka sendiri. Ideologi memberikan identitas
tertentu.[16] Misalnya, jika seorang individu mengimani Tuhan kemudian pergi sembahyang
secara teratur, mengakui dosa-dosanya dan seterusnya; keyakinan itu lalu direalisasikan
dalam praktek-praktek tertentu yang diatur oleh ritual-ritual dengan menyediakan upacara-
upacara yang melibatkan gerak dan sikap tubuhnya sebagai ekspresi kekuasaan yang saling
terkait serta berhubungan dengan aparatus ideologis.
Pandangan bahwa budaya dan ideologi merupakan fenomana keseharian ini tidak lantas
berarti cengkeraman ideologi sudah lemah, atau mungkin dianggap telah berakhir. Justeru
ideologi dan kekuasaan telah mencengkeram seluruh tatanan sosial secara lebih luas dan
kompleks ketimbang apa yang selama ini dibayangkan. Ideologi beroperasi di semua lini dan
diproduksi terus-menerus dalam ritual-ritual dan perkumpulan-perkumpulan, kesenian -
kesenian, dan citraan-citraan ideologis di mana representasi-representasi dan kategori-
kategori dibangkitkan dan disebarkan. Oleh karena itu, kini ideologi tidak lagi bisa dipahami
sekadar sebagai produk kelas berkuasa atau efek dari kekuatan-kekuatan produksi.
Melainkan hasil dari kombinasi berbagai elemen lain dan kekuasaan yang kompleks dan
tersebar.
Lalu pertanyaannya bila kebudayaan sehari-hari tidak lepas dari ideologi, bagaimana dengan
sains ilmiah. Apakah ia juga bersifat ideologis? Foucault menegaskan bahwa relasi-relasi
kekuasaan tidak berada di luar tipe-tipe relasi-relasi seperti proses ekonomi, relasi
pengetahuan, relasi seksual, dan lain-lain. Melainkan kekuasaan justeru imanen dalam
proses relasi itu.[19] Kekuasaan adalah beragam relasi-relasi kekuatan yang beroperasi dan
membentuk organisasi dalam ruang itu. Dengan demikian, sains sosial kini juga harus dil ihat
sebagai konfigurasi kekuatan-kekuatan itu yang membentuk landscape modernitas dan
modernitas akhir. Sains sosial sendiri merupakan kekuatan dan bentuk kebudayaan yang tak
bebas dari kepentingan. Demikian juga sains alam. Ia juga tak lepas dari kepentingan-
kepentingan atau konsensus komunitas ilmuwan.
Dari uraian di atas makin jelas sekarang betapa besar sumbangan kaum (post) strukturalis
terutama Louis Althusser dan Michel Foucault dalam memperkaya gagasan tentang ideologi
dan kebudayaan. Keduanya membuka tabir beroperasinya ideologi dengan memikirkan
kembali kekuasaan, cara kerja, dan manifestasi-manifestasinya, tak terkecuali dalam sains
sosial. Tidak ada batas-batas lokasi ideologi. Ideologi tidak hanya ada dalam kolektifitas
masyarakat borjuis atau dalam struktur-struktur kekayaan dan kerja mereka, melainkan
tersebar ke seluruh tatanan sosial. Ia bukan hanya bersifat mental, tapi juga bereksistensi
material dan historis. Ada keterkaitan antara pengetahuan dan institusi-institusi, bidang-
bidang pengetahuan dan praktek-praktek kebudayaan sebagai tempat berbagai kekuasaan
(sosial, ekonomi, politik) diproduksi.
Sekarang ini kita tidak bisa lagi memikirkan ideologi dan cara kerjanya dalam
pengertian
atau memperlawankannya dengan sains, sebagaimana kaum
marxis klasik lakukan. Ideologi sebagai pengetahuan-pengetahuan yang dijalankan demi
suatu kepentingan justeru menjadi praktek kebudayaan sehari-hari yang memberikan
orientasi dan identitas suatu kelompok. Ideologi tersebar sebagaimana kekuasaan yang
tersebar dalam praktek-praktek diskursif kehidupan.
Ideologi masuk dalam keseharian kita, dalam jaring-jaring kehidupan. Dengan meminjam
kajian tentang mitos dan tanda, bisa dikatakan bahwa jika budaya adalah sistem simbol yang
terdiri dari berbagai sistem tanda, sementara penanda-penanda sendiri bersifat arbriter
sebagaimana Barthes katakan, maka kita sungguh bisa melihat bagaimana suatu
kebudayaan dan segala bentuk ritual dan hidup sehari-hari menjadi arena pertarungan
ideologi untuk memainkan kuasanya. Kebudayaan yang merupakan konvensi sosial adalah
sasaran sistematik untuk dibuat seolah-olah ilmiah, menjadi mitos.[20] Membongkar
aturan-aturan atau kode-kode dibalik mitos inilah tugas studi kebudayaan sekarang ini.
O O
Althusser, Louis,
, (transl. By B. Brewster) Routledge, New York, 1969
McCarthy, E. Doyle, )
,, Routledge London & New York, 1996
[2] Barangkali contoh mudahnya adalah absennya pemahaman dalam kesadaran ita bahwa
apa yang kita beli di pasar atau mal-mal adalah hasil dari eksploitasi terhadap para buruh.
[3] Mark Poster, -
Princenton
University Press, New Jersey, 1975, hal. 344. Bisa dibandingkan dengan
E. Doyle
McCarthy, )
,, Routledge London & New York, 1996, hal. 33
[4] Dalam tradisi NU terdapat ritual yang menjadi identitas warga NU yang dikenal dengan
istilah . Ia berarti doa memohon kepada Allah keselamatan dan terjaga dari
malapetaka. Sebagai sebuah tradisi, istighasah dalam perkembangannya tidak luput dari
pengaruh kepentingan dan kekuasaan. Istighasah selain sebagai ritual doa, ia juga bisa
menjadi simbol perlawanan warga NU atas peminggiran yang dilakukan rezim Orba.
Kadangkala ia menjadi kekuatan pembela kekuasaan kelompok elit tertentu.
[5] Athusser adalah pemikir strukturalis kelahiran Algiers Perancis pada 1918. Bergabung
dengan Partai Komunis tahun 1948. Karyanya yang berpengaruh adalah
(1965)
dan $
(1969). Pemikirannya hendaknya mempertemukan Marxisme
dengan strukturalisme
[6] Foucault adalah pemikir poststrukturlis. Lahir di Pointiers, Perancis, tahun 1926.
Menyelesaikan studi di Ecole Normanle Superiore tahun 1946, lalu memperdalam filsafat
hingga meraih lisensi thun 1948. Ia juga meraih lisensi bidang psikologi juga diploma dalam
psikopatologi. Ia pernah bergabung dengan Partai Komunis Perancis hingga 1951. Karya-
karyanya adalah
(penyakit mental dan kepribadian) terbit
thun 1954, !
%
(Sejarah Kegilaan),
.
,,
)
, %
serta
!
. Ia meninggal tahun 1984
dalam usia 57 karena penyakit AIDS.
[16] '
hal. 41
[17] Amrih Widodo dalam penelitian antropologinya terhadap pertunjukan Tayub di daerah
Blora Jawa Tengah menunjukan bahwa Tayub yang pada awalnya sebagai pertunjukan
rakyat atau bagian dari ritual ,
, dan perkawinan mulai berubah selama
periode 1987-1991. Pemerintah memasukkan ideologinya (kepentingan industri pariwisata
dan simbol kedaerahan) dengan ͚meningkatkan statusnya͛ menjadi Seni Tayub. Diantaranya
dengan melakukan pembinaan dan program penataran untuk merubah struktur dan
keaslian Tayub. Lihat Amrih Widodo,
!" Paper ini dipresentasikan pada seminar bertajuk ͞Basis-basis Material
Kebudayaan͟ yang diselenggarakan oleh Yayasan SPES dan Program Pasca Sarjana
Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga, 4 September 1991.
[20] Barthes menerapkan metodenya yang berakar pada linguistik ke dalam gejala sosial
kebudayaan seperrti foto, film, makanan, pakaian, dan seterusnya. Dalam studi -studi
kebudayaan, Hebdige dengan baik meramu gagasan-gagasan para pemikir seperti Althusser,
Gramsci dan Barthes ini untuk memahami gejala-gejala budaya seperti gaya hidup
masyarakat subkultur. Lihat, Dick Hebdige,
, Routledge,
London & New York, 1979, terutama bagian pertama ͞From Culture to Hgemony͟.