Anda di halaman 1dari 4

8 Kebohongan Ibu Demi Kebaikan

Bulan Mei setiap tahun sangat dinantikan kebanyakan ibu


moden hari ini. Kerana, pada tarikh 9 Mei ialah sambutan
Hari Ibu. Kebanyakan ibu zaman ini ingat sangat pada
tarikh keramat itu. Sebaliknya ibu-ibu zaman kita yang
masih ada sekarang, tidak berapa kisah mengenai
kedatangan tarikh tersebut. Ibu dulu tidak kisah pada
sambutan Hari Ibu, bagi mereka itu tidak penting. Pada
mereka yang lebih penting ialah menunaikan
tanggungjawab mendidik dan membesar anak-anak.
Sediakan makan pakai secukupnya dan beri pendidikan sebaiknya. Tidak pernah ibu-ibu dulu
mengira setiap titik keringat yang tumpah, setiap sen yang keluar untuk anak-anak. Sakit
pening, susah payah mereka tanggung asalkan anak-anak dapat kehidupan selesa. Begitulah
agungnya kasih ibu pada kita.

Apabila dikenang semula, cara ibu mendidik kita memang tidak dapat dilupakan. Jasa dan
pengorbanan mereka cukup besar dan tidak ternilai. Kadang-kadang untuk menjaga hati anak,
ibu sanggup berbohong. Tapi ibu bukan mengajar anaknya berbohong kerana bohong
perbuatan tidak terpuji. Sejak kecil orang tua mengajar kita supaya tidak berbohong, di sekolah
guru juga mengajar kita tidak jangan berbohong. Apatah lagi dalam ajaran agama, menegaskan
perbuatan berbohong tidak baik. Tapi dalam kehidupan seorang ibu, berbohong menjadi
perbuatan baik dan perlu dilakukan. Sudah tentulah ibu berbohong demi kebaikan.

Bagaimana dikatakan seorang ibu itu berbohong? Cuba kita perhatikan kisah ini, barangkali ia
pengalaman peribadi atau hampir dengan kehidupan yang kita lalui. Pembohongan yang
dilakukan ibu, tanpa kita sedari tujuannya, sebenarnya sebuah tenaga yang didorong oleh
perasaan kasih sayang yang paling indah dalam dunia ini. Masih ingat tak lagi, kehidupan kita
dulu-dulu yang dilahirkan dalam sebuah keluarga susah. Ibarat kais pagi makan pagi, kais
petang makan petang, ibu dan ayah berhempas pulas membanting tulang empat kerat untuk
mencari rezeki buat anak-anak. Apa-apa yang ada tidak pernah berlebih malah selalu tidak
cukup. Ketika makan, ibu akan mengagih-agihkan makanan untuk anak-anak. Sambil
menyendukkan nasi ke pinggan anak-anak, ibu berkata:

“Makanlah nak, ibu tidak lapar...” Itulah kebohongan ibu yang pertama!

Apabila kita semakin dewasa, ibu semakin gigih membantu ayah mencari nafkah. Anak ramai,
perbelanjaan bertambah. Ibu menggunakan segala kemahiran yang dimiliki untuk menambah
pendapatan. Ada masa ibu memancing di sungai dekat rumah. Ibu harap daripada ikan hasil
pancingan, ibu dapat memberikan makanan berkhasiat untuk tumbesaran anak-anak.
Terpulang dari memancing, ibu masak sup ikan yang segar dan membangkit selera. Sambil
melayan anak-anak makan, ibu duduk dan mengutip sisa ikan yang masih menempel di tulang.
Ibu mencicip isi ikan yang tersisa. Kita melihat ibu seperti itu, hati tersentuh. Apabila kita
mempelawa ibu makan, ibu cepat-cepat menolak. Dia berkata :
“Makanlah nak, ibu tidak suka makan ikan...” Itulah kebohongan ibu yang kedua!

Sekarang kita sudah masuk sekolah menengah. Demi membiayai persekolahan anak-anak, ibu
mengambil upah menjahit atau membuat jualan kuih. Hasil upah menjahit dan jualan kuih
muih, dapat menampung serba sedikit keperluan persekolahan anakanak. Kala anak-anak sibuk
menelaah buku untuk menghadapi peperiksaan, ibu juga tidak lelap mata menemani anak-anak
belajar sambil menyiapkan tempahan. Apabila disuruh ibu tidur, dia berkata :

“Ibu belum mengantuk, cepat belajar kemudian masuk tidur...” Itulah kebohongan ibu yang
ketiga!

Ketika peperiksaan tiba, ibu tidak putus-putus berdoa agar anak-anak dapat menghadapi
peperiksaan dengan tenang dan beroleh kejayaan. Malah ibu sanggup menghantar makanan ke
sekolah agar anak tidak perlu pulang dan masa yang ada boleh digunakan mengulang kaji
pelajaran. Ibu sabar menunggu hingga loceng berbunyi untuk menghulurkan bekas berisi
makanan dan minuman. Ketika kita mempelawa ibu minum, apabila melihat ibu berpeluh, dia
menolak.

delapan kebohongan seorang ibu dalam hidupnya

Delapan Kebohongan Seorang Ibu Dalam Hidupnya

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia
terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya. Dengan adanya
kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita
dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong mekarnya
sekuntum bunga yang paling indah di dunia. Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir
sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja,
seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil
memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata : “Makanlah nak, aku tidak lapar” —–
-KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk
pergi memancing di kolam dekiat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa
memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak
sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk
disamping gw dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan
bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu
menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat
menolaknya, ia berkata : “Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” —–
-KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA

Sekarang aku sudah masuk SM, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke
koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu
membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku
bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya
melanjutkan pekerjaanny menempel kotak korek api. Aku berkata :”Ibu, tidurlah, udah malam,
besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, aku tidak
letih” —–
-KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari
sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah
terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah
selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam
botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih
sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku
untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata : “Minumlah nak, aku tidak haus!” —–  
-KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu.
Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan hidup
sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan.
Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati yang tinggal di
dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang
ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku
untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat
mereka, ibu berkata : “Saya tidak memerlukan cinta” —–
-KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA

Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang
sudah tua sudah waktunya pencen. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap
pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakakku dan abangku
yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit wang untuk membantu memenuhi
keperluan ibu, tetapi ibu tidak mau menerima wang tersebut. Malahan mengirim balik wang
tersebut. Ibu berkata : “Saya punya duit” —–
-KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM

Setelah masuk U, aku pun melanjutkan studi dan kemudian memperoleh master di sebuah
universitai ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku
pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa
ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau
merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku “Aku tidak biasa” —–
-KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanser , harus dirawat di rumah sakit,
aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk
ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi.
Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang
tersebar di wajahnya kesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas
betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering.
Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku
dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegasnya berkata : “Jangan menangis anakku,Aku
tidak kesakitan”  —–
-KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk
yang terakhir kalinya.

Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali
mengucapkan : ” Terima kasih ibu ! ” Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak
menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk
berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah aktiviti kita yang padat ini, kita selalu
mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa
akan ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan dengan teman kita, kita pasti lebih
perihatin dengan teman kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar teman kita, cemas apakah
dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping kita. Namun, apakah
kita semua pernah mencemaskan kabar dari orang tua kita? Cemas apakah orang tua kita sudah
makan atau belum? Cemas apakah orang tua kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar?
Kalau ya, cuba kita renungkan kembali lagi.. Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk
membalas budi orang tua kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” di
kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai