Anda di halaman 1dari 2

PASAR GELAP TRANSPLANTASI ORGAN

Dunia makin materialistis. Apa pun bisa diperdagangan, tak terkecuali organ tubuh manusia.
Kini pasar gelap organ tubuh manusia bertebaran di pelbagai negara. Data yang dipublikasikan
The China International Transplantation Network Assistance Center, Shenyang, Cina,
mengungkapkan bahwa harga sebuah ginjal mencapai US$ 62.000.

Sedangkan jurnal kesehatan The Lancet menyebutkan, harga ginjal di pasaran mencapai US$
15.000. Sepotong hati manusia dihargai US$ 130.000, sama dengan harga sebuah jantung.
Sedangkan harga paru-paru bisa mencapai US$ 150.000. Tinggi-rendahnya harga organ tubuh
manusia berjalan seirama dengan mekanisme pasar: makin besar permintaan, kian melabung pula
harganya.

Diperkirakan jutaan orang mengantre untuk mendapatkan transplantasi organ tubuh, seperti
jantung, ginjal, dan hati. Di Indonesia, diperkirakan ada 70.000 penderita gagal ginjal kronis
yang membutuhkan cangkok ginjal. Di Jepang terdapat 11.000-an penderita gagal ginjal.
Penyakit yang sama menjangkiti 66.000 warga Brasil. Semuanya membutuhkan cangkok ginjal.

Jumlah pasien itu tak sebanding dengan jumlah donor yang merelakan organnya dipakai orang
lain setelah sang donor meninggal. Penduduk yang paling banyak bersedia menjadi donor ada di
negara-negara Eropa, yang rata-rata 12% penduduknya memiliki kartu donor. Timpangnya
jumlah permintaan organ tubuh dibandingkan dengan jumlah pasien inilah yang kemudian
menyuburkan praktek ilegal jual-beli organ tubuh.

Modus jual-beli organ tubuh manusia itu sangat beragam. Ada yang menjual organ tubuh
lantaran terdesak kebutuhan ekonomi. Banyak pula yang dilakukan dengan cara menipu sang
donor. Bahkan ditengarai ada kasus pembunuhan dengan tujuan mengambil organ tubuh korban,
kemudian dijual. Dua warga negara Indonesia, Sulaiman Damanik dan Toni, diadili di Sigapura
karena kedapatan mengomersialkan organ tubuh mereka.

Sulaiman dan Toni menjual ginjal mereka kepada Tang Wee Sung, seorang Kepala Eksekutif CK
Tang, sebuah jaringan supermarket besar di Singapura, seharga S$ 16.290 atau Rp 150 juta.
Transaksi itu batal karena ketahuan oleh aparat.

Motif lain bisa lebih kejam lagi. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta,
misalnya, pernah melansir adanya motif pencurian organ tubuh lewat adopsi. Ada juga yang
lewat jalur perdagangan manusia dengan membujuk anak-anak untuk bekerja di luar negeri
secara ilegal, padahal sudah masuk dalam sindikat penjualan organ tubuh.

Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan pernah melansir dugaan praktek jual-beli bayi untuk
dimanfaatkan organ tubuhnya. Bayi-bayi itu dijual Rp 3 juta-Rp 5 juta. Oleh si pembeli, bayi-
bayi tersebut dipelihara hingga berusia tujuh tahun. Setelah beranjak remaja, kemudian mereka
dibunuh dan organnya dijual hingga ratusan juta rupiah. Gila!

Data Lembaga Cegah Kriminal Indonesia (LCKI) mengungkapkan, kejahatan pada anak
Indonesia meningkat menjadi nomor tiga di dunia. ‘’Kalau kita mendiamkannya, maka kita
membiarkan masa depan bangsa ini hancur di tangan sindikat kriminalitas pada anak-anak,'’ kata
Ketua LCKI, Da’i Bachtiar. Selain itu, para mafia jual-beli organ tubuh juga menggunakan
modus memanfaatkan organ tubuh tenaga kerja Indonesia (TKI) yang meninggal di luar negeri.

Kasus ini pernah terjadi pada TKI asal Nusa Tenggara Barat yang meninggal di luar negeri.
Sebelum ia dikembalikan ke kampung halamannya, sejumlah organ tubuhnya diambil.
Sebenarnya ada perangkat hukum untuk menjerat pelaku kejahatan jual-beli organ tubuh itu,
yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 33 ayat (2) undang-
undang itu menyebutkan, transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah
dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial.

Pelanggaran terhadap pasal itu diancam dengan hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda
maksimal Rp 300 juta. Sayang, belum ada penjabaran jelas tentang apa yang dimaksud dengan
kemanusiaan dan definisi komersialisasi itu. Karena itu, kebanyakan penegak hukum kesulitan
melakukan penyidikan hukum atas kasus-kasus penjualan organ tubuh.

Apalagi, Pasal 34 ayat 3 undang-undang itu menyebutkan, ketentuan mengenai syarat dan tata
cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Namun, hingga kini, peraturan pemerintah itu tak juga
dibuat. Aturan tentang transplantasi organ tubuh di Indonesia memang masih ketinggalan dari
negara-negara lain.

Di Iran, misalnya, transplantasi dikoordinasikan oleh negara. Pemerintah mengampanyekan


bahwa transplantasi itu boleh dilakukan dengan alasan kemanusiaan. Ini berlangsung sejak
dilakukannya LURD (living unrelated donor) yang terkontrol pada 1988. Dari hanya 791 pasien
tranplantasi ginjal pada 1988, meningkat hingga 8.399 pasien pada tahun 2000. Pemerintah
menyediakan dana untuk biaya ganti rugi.

Kampanye ini terbukti berhasil. Dalam setahun, donor ginjal mencapai lebih dari 10.000 pasien.
‘’Ini merupakan fenomena yang menarik di dunia,'’ katanya. Tapi program ini hanya berlaku
bagi warga Iran. ‘’Orang asing tidak diperkenankan ikut program ini,'’ kata Suhardjono, Ketua
Perhimpunan Nefrologi Indonesia.

Sementara itu, di negara-negara lain, soal trasplantasi diatur dengan Human Organ Transplant
Act. ‘’Ini perlu untuk melindungi pasien, rakyat, dan petugas kesehatan,'’ ujar Suhardjono.
Donor organ tubuh juga harus dilakukan dengan sukarela tanpa ada iming-iming uang. Dengan
demikian, penyimpangan dan praktek ilegal jual-beli organ tubuh bisa diminimalkan.

Kita harus segera membuat aturan ketat soal ini. Selain itu, tentu pemerintah juga harus
meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat agar tak nekat menjual organ tubuhnya hanya
lantaran miskin.

Anda mungkin juga menyukai