Anda di halaman 1dari 11

Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)

Posted on 4 December 2008 by Asep Sofyan

PEMBAGIAN PENGETAHUAN

Saat ini pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak ada yang
memuaskan dan diterima semua pihak. Pembagian yang lazim dipakai dalam dunia
keilmuan di Barat terbagi menjadi dua saja, sains (pengetahuan ilmiah) dan humaniora.
Termasuk ke dalam sains adalah ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial
(social sciences), dengan cabang-cabangnya masing-masing. Termasuk ke dalam
humaniora adalah segala pengetahuan selain itu, misalnya filsafat, agama, seni, bahasa,
dan sejarah.

Penempatan beberapa jenis pengetahuan ke dalam kelompok besar humaniora sebenarnya


menyisakan banyak kerancuan karena besarnya perbedaan di antara pengetahuan-
pengetahuan itu, baik dari segi ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Kesamaannya
barangkali terletak pada perbedaannya, atau barangkali sekadar pada fakta bahwa
pengetahuan-pengetahuan humaniora itu tidak dapat digolongkan sebagai sains.
Humaniora itu sendiri, pengindonesiaan yang tidak persis dari kata Inggris humanities,
berarti (segala pengetahuan yang) berkaitan dengan atau perihal kemanusiaan. Tetapi
kalau demikian, maka ilmu-ilmu sosial pun layak dimasukkan ke dalam humaniora
karena sama-sama berkaitan dengan kemanusiaan.

Perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini kajian epistemologi di Barat cenderung menolak
kategorisasi pengetahuan (terutama dalam humaniora dan ilmu sosial) yang ketat.
Pemahaman kita akan suatu permasalahan tidak cukup mengandalkan analisis satu ilmu
saja. Oleh karena itu muncullah gagasan pendekatan interdisiplin atau multidisplin dalam
memahami suatu permasalahan. Bidang-bidang kajian yang ada di perguruan tinggi-
perguruan tinggi Barat tidak lagi hanya berdasarkan jenis-jenis keilmuan tradisional,
tetapi pada satu tema yang didekati dari gabungan berbagai disiplin. Misalnya program
studi Timur Tengah, studi Asia Tenggara, studi-studi keislaman (Islamic studies), studi
budaya (cultural studies), dll.
Tema-tema yang dahulu menjadi monopoli satu ilmu pun kini harus didekati dari
berbagai macam disiplin agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Wilayah-
wilayah geografis tertentu, misalnya Jawa, suku Papua, pedalaman Kalimantan, atau
Maroko dan Indian, yang dahulu dimonopoli ilmu antropologi, kini harus dipahami
dengan menggunakan berbagai macam disiplin (sosiologi, psikologi, semiotik, bahkan
filsafat).

Pendekatan interdisiplin ini pun kini menguat dalam kajian-kajian keislaman, termasuk
dalam fikih. Untuk menentukan status hukum terutama dalam permasalahan
kontemporer, pemakaian ilmu fikih murni tidak lagi memadai. Apalagi jika fikih
dimengerti sebagai fikih warisan zaman mazhab-mazhab. Ilmu-ilmu modern saat ini
menuntut untuk lebih banyak dilibatkan dalam penentuan hukum suatu masalah. Sekadar
contoh, untuk menentukan hukum pembuatan bayi tabung, diperlukan pemahaman akan
biologi dan kedokteran. Untuk menghukumi soal berbisnis di bursa saham, ilmu ekonomi
harus dipahami. Dll.

TIGA ASPEK PENGETAHUAN

Ada tiga aspek yang membedakan satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Ontologi

Ontologi adalah pembahasan tentang hakekat pengetahuan. Ontologi membahas


pertanyaan-pertanyaan semacam ini: Objek apa yang ditelaah pengetahuan? Adakah
objek tersebut? Bagaimana wujud hakikinya? Dapatkah objek tersebut diketahui oleh
manusia, dan bagaimana caranya?

Epistemologi

Epistemologi adalah pembahasan mengenai metode yang digunakan untuk mendapatkan


pengetahuan. Epistemologi membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana proses
yang memungkinkan diperolehnya suatu pengetahuan? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal
apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Lalu benar
itu sendiri apa? Kriterianya apa saja?

Aksiologi

Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai moral pengetahuan. Aksiologi menjawab


pertanyaan-pertanyaan model begini: untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan pengetahuan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara metode pengetahuan dengan norma-norma moral/profesional?

Perbedaan suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain tidak mesti dicirikan oleh
perbedaan dalam ketiga aspek itu sekaligus. Bisa jadi objek dari dua pengetahuan sama,
tetapi metode dan penggunaannya berbeda. Filsafat dan agama kerap bersinggungan
dalam hal objek (sama-sama membahas hakekat alam, baik-buruk, benar-salah, dsb),
tetapi metode keduanya jelas beda. Sementara perbedaan antar sains terutama terletak
pada objeknya, sedangkan metodenya sama.

SUMBER PENGETAHUAN

Indera

Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di sekitar kita.
Indera ada bermacam-macam; yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera
penglihatan (mata) yang memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran
suatu benda; indera pendengaran (telinga) yang membuat kita membedakan macam-
macam suara; indera penciuman (hidung) untuk membedakan bermacam bau-bauan;
indera perasa (lidah) yang membuat kita bisa membedakan makanan enak dan tidak enak;
dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui suhu lingkungan dan
kontur suatu benda.

Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan terukur.
Kecenderungan yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang
utama, atau bahkan satu-satunya sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut
empirisisme, dengan pelopornya John Locke (1632-1714) dan David Hume dari Inggris.
Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang empirisis sejati akan mengatakan
indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya, dan pengetahuan
inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.

Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak mencukupi.


Dalam banyak kasus, penangkapan indera seringkali tidak sesuai dengan yang
sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok, padahal
sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat lebih kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih
besar. Bunyi yang terlalu lemah atau terlalu keras tidak bisa kita dengar. Belum lagi kalau
alat indera kita bermasalah, sedang sakit atau sudah rusak, maka kian sulitlah kita
mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.

Akal

Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di dalam kepala,
yakni otak. Akal mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang bisa
memastikan bahwa pensil dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat
walaupun tampaknya sabit. Keunggulan akal yang paling utama adalah kemampuannya
menangkap esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada fakta-fakta khusus. Akal
bisa mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus mengaitkannya dengan kucing
tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing hitam, kucing garong, atau kucing-
kucingan.
Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau
ide yang inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan
sesuatu, penangkapan akal atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-
kategori itu antara lain substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.

Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau masuk akal.
Pengutamaan akal di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa
akal adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme,
dengan pelopornya Rene Descartes (1596-1650) dari Prancis. Seorang rasionalis
umumnya mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera sebagai semu, palsu, dan
menipu.

Hati atau Intuisi

Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti;
ada yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada
praktiknya, intuisi muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran,
tanpa melalui proses penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa
muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam
maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita
sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan
alam.

Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja
secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya
kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika
seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia
mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat itulah intuisi
berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut supra-rasional atau suatu
kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah digunakan
secara maksimal namun menemui jalan buntu.

Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman
emosional dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga
hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai
pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau
noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena),
sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun,
tanpa ada jarak antara subjek dan objek.

Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan


spatialisasi (meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan
dari kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus,
misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan
langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang
merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di pantai carita adalah
sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat berbeda. Hati juga bisa merasakan
pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya,
dan juga pengalaman menyatu dengan alam.

Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding
sumber lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan
hati atas akal. Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang
mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra
(w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.

Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah
pemberitahuan langsung dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam
kitab suci agama. Namun sebagian pemikir Muslim ada yang menyamakan wahyu
dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis intuisi pada tingkat yang paling
tinggi, dan hanya nabi yang bisa memerolehnya.

Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan
rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan
kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi
filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme
(iluminasionisme, ‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua. Dalam kisah
perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas tindakan-tindakan
Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan intuisionisme.
Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar
dimaksudkan untuk memberikan status ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai sumber
pengetahuan yang lebih sahih daripada rasio.

LOGIKA

Logika adalah cara berpikir atau penalaran menuju kesimpulan yang benar. Aristoteles
(384-322 SM) adalah pembangun logika yang pertama. Logika Aristoteles ini, menurut
Immanuel Kant, 21 abad kemudian, tidak mengalami perubahan sedikit pun, baik
penambahan maupun pengurangan.

Aristoteles memerkenalkan dua bentuk logika yang sekarang kita kenal dengan istilah
deduksi dan induksi. Logika deduksi, dikenal juga dengan nama silogisme, adalah
menarik kesimpulan dari pernyataan umum atas hal yang khusus. Contoh terkenal dari
silogisme adalah:

- Semua manusia akan mati (pernyataan umum, premis mayor)

- Isnur manusia (pernyataan antara, premis minor)

- Isnur akan mati (kesimpulan, konklusi)


Logika induksi adalah kebalikan dari deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan-
pernyataan yang bersifat khusus menuju pernyataan umum. Contoh:

- Isnur adalah manusia, dan ia mati (pernyataan khusus)

- Muhammad, Asep, dll adalah manusia, dan semuanya mati (pernyataan antara)

- Semua manusia akan mati (kesimpulan)

TEORI-TEORI KEBENARAN

Korespondensi

Sebuah pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta atau kenyataan. Contoh
pernyataan “bentuk air selalu sesuai dengan ruang yang ditempatinya”, adalah benar
karena kenyataannya demikian. “Kota Jakarta ada di pulau Jawa” adalah benar karena
sesuai dengan fakta (bisa dilihat di peta). Korespondensi memakai logika induksi.

Koherensi

Sebuah pernyataan dikatakan benar bila konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar. Contoh pernyataan “Asep akan mati” sesuai (koheren) dengan
pernyataan sebelumnya bahwa “semua manusia akan mati” dan “Asep adalah manusia”.
Terlihat di sini, logika yang dipakai dalam koherensi adalah logika deduksi.

Pragmatik

Sebuah pernyataan dikatakan benar jika berguna (fungsional) dalam situasi praktis.
Kebenaran pragmatik dapat menjadi titik pertemuan antara koherensi dan korespondensi.
Jika ada dua teori keilmuan yang sudah memenuhi kriteria dua teori kebenaran di atas,
maka yang diambil adalah teori yang lebih mudah dipraktikkan. Agama dan seni bisa
cocok jika diukur dengan teori kebenaran ini. Agama, dengan satu pernyataannya
misalnya “Tuhan ada”, adalah benar secara pragmatik (adanya Tuhan berguna untuk
menopang nilai-nilai hidup manusia dan menjadikannya teratur), lepas dari apakah Tuhan
ada itu sesuai dengan fakta atau tidak, konsisten dengan pernyataan sebelumnya atau
tidak.

***

Setelah mengemukakan hal-hal penting yang menjadi dasar pengetahuan, berikutnya kita
akan meninjau aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari tiga macam
pengetahuan yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia, yakni filsafat, agama,
dan sains.

FILSAFAT
Sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu. Pernyataan ini tidak salah
karena ilmu-ilmu yang ada sekarang, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, mulanya
berada dalam kajian filsafat. Pada zaman dulu tidak dibedakan antara ilmuwan dengan
filosof. Isaac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisikanya dalam buku yang
berjudul Philosophie Naturalis Principia Mathematica (terbit 1686). Adam Smith (1723-
1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam
kapasitasnya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow. Kita juga
mengenal Ibnu Sina (w.1037) sebagai bapak kedokteran yang menyusun ensiklopedi
besar al-Qanun fi al-Thibb sekaligus sebagai filosof yang mengarang Kitab al-Syifa’.

Definisi filsafat tidak akan diberikan karena para ahli sendiri berbeda-beda dalam
merumuskannya. Cukup di sini disinggung mengenai ciri-ciri dari filsafat, sebagaimana
diuraikan Suriasumantri (1998), yaitu menyeluruh (membahas segala hal atau satu hal
dalam kaitannya dengan hal-hal lain), radikal (meneliti sesuatu secara mendalam,
mendasar hingga ke akar-akarnya), dan spekulatif (memulai penyelidikannya dari titik
yang ditentukan begitu saja secara apriori). Spekulatif juga bermakna rasional.

Objek kajian filsafat sangat luas, bahkan boleh dikatakan tak terbatas. Filsafat memelajari
segala realitas yang ada dan mungkin ada; lebih luas lagi, segala hal yang mungkin
dipikirkan oleh akal. Sejauh ini, terdapat tiga realitas besar yang dikaji filsafat, yakni
Tuhan (metakosmos), manusia (mikrokosmos), dan alam (makrokosmos). Sebagian objek
filsafat telah diambil-alih oleh sains, yakni objek-objek yang bersifat empiris.

Objek-objek kajian filsafat yang luas itu coba dikelompokkan oleh para ahli ke dalam
beberapa bidang. Berbeda-beda hasil pembagian mereka. Jujun Suriasumantri (1998)
membagi bidang kajian filsafat itu ke dalam empat bagian besar, yakni logika (membahas
apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah), etika (membahas perihal baik dan
buruk), estetika (membahas perihal indah dan jelek), dan metafisika (membahas perihal
hakikat keberadaan zat atau sesuatu di balik yang fisik). Empat bagian ini bercabang-
cabang lagi menjadi banyak sekali. Hampir tiap ilmu yang dikenal sekarang ada
filsafatnya, misalnya filsafat ilmu, filsafat ekonomi, filsafat hukum, filsafat pendidikan,
dan filsafat sejarah.

Epistemologi filsafat adalah rasional murni (bedakan dengan rasionalisme). Artinya


pengetahuan yang disebut filsafat diperoleh semata-mata lewat kerja akal. Sumber
pengetahuan filsafat adalah rasio atau akal. Sumber pengetahuan lain yang mungkin
memengaruhi pikiran seorang filosof ditekan seminimal mungkin, dan kalau bisa hingga
ke titik nol. Atau pengetahuan-pengetahuan itu diverifikasi oleh akalnya, apakah rasional
atau tidak. Misalnya seorang filosof yang beragama Islam tentu telah memeroleh
pengetahuan dari ajaran agamanya. Dalam hal ini ada dua hal yang bisa ia lakukan:
menolak ajaran agama yang menurutnya tidak rasional, atau mencari pembenaran
rasional bagi ajaran agama yang tampaknya tidak rasional.

Filsafat bertujuan untuk mencari Kebenaran (dengan K besar), artinya kebenaran yang
sungguh-sungguh benar, kebenaran akhir. Sifat aksiologis filsafat ini tampak dari asal
katanya philos (cinta) dan sophia (pengetahuan, kebijaksanaan, kebenaran). Seorang
filosof tidak akan berhenti pada pengetahuan yang tampak benar, melainkan menyelidiki
hingga ke baliknya. Ia tidak akan puas jika dalam pemikirannya masih terdapat
kontradiksi-kontradiksi, kesalahan-kesalahan berpikir, meskipun dalam kenyataannya
tidak ada seorang filosof pun yang filsafatnya bebas dari kontradiksi. Dengan kata lain,
tidak ada filosof yang berhasil sampai pada Kebenaran atau kebenaran akhir itu.
Semuanya hanya bisa disebut mendekati Kebenaran.

Kebenaran yang diperoleh dari filsafat itu sebagian ada yang berkembang menjadi ajaran
hidup, isme. Filsafat yang sudah menjadi isme ini difungsikan oleh penganutnya sebagai
sumber nilai yang menopang kehidupannya. Misalnya ajaran Aristotelianisme banyak
dipakai oleh kaum agamawan gereja; ajaran neoplatonisme banyak dipakai oleh kaum
mistik; materialisme, komunisme, dan eksistensialisme bahkan sempat menjadi semacam
padanan agama (the religion equivalen), yang berfungsi layaknya agama formal.

AGAMA

Agama kerap “berebutan” lahan dengan filsafat. Objek agama dalam banyak hal hampir
sama dengan filsafat, hanya lebih sempit dan lebih praktis. Seperti filsafat, agama juga
membahas Tuhan, manusia, dan alam. Seperti filsafat, agama juga menyoal metafisika,
namun jawabannya sudah jelas: hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Selain Tuhan,
objek pokok dari agama adalah etika khususnya yang bersifat praktis sehari-hari.

Yang membedakan agama dari filsafat terutama adalah epistemologi atau metodenya.
Pengetahuan agama berasal dari wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi, dan kita
memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi benar. Pada agama, yang harus kita
lakukan adalah beriman, baru berpikir. Kita boleh memertanyakan kebenaran agama,
setelah menerima dan memercayainya, dengan cara lain (rasional atau empiris). Tapi
ujung-ujungnya kita tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan agama itu tidak
masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan.

Jawaban yang diberikan agama atas satu masalah bisa sama, berbeda, atau bertentangan
dengan jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang keberagamaan seorang filosof
sangat memengaruhi. Jika ia beragama, biasanya ia cenderung mendamaikan agama
dengan filsafat, seperti tampak pada filsafat skolastik, baik filsafat Yahudi, Kristen,
maupun Islam. Jika ia tidak beragama, biasanya filsafatnya berbeda atau bertentangan
dengan agama.

Secara praktis, agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia. Fungsi utama agama
adalah sebagai sumber nilai (moral) untuk dijadikan pegangan dalam hidup budaya
manusia. Agama juga memberikan orientasi atau arah dari tindakan manusia. Orientasi
itu memberikan makna dan menjauhkan manusia dari kehidupan yang sia-sia. Nilai,
orientasi, dan makna itu terutama bersumber dari kepercayaan akan adanya Tuhan dan
kehidupan setelah mati. (Coba perhatikan, dalam Alquran, objek iman yang paling
banyak disebut bahkan selalu disebut beriringan adalah iman kepada Allah dan hari
kemudian).
SAINS

Ontologi

Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau pengetahuan
ilmiah) adalah pengetahuan yang tertata (any organized knowledge) secara sistematis dan
diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method). Sains memelajari segala sesuatu
sepanjang masih berada dalam lingkup pengalaman empiris manusia.

Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal. Objek material terbatas
jumlahnya dan satu atau lebih sains bisa memiliki objek material yang sama. Sains
dibedakan satu sama lain berdasarkan objek formalnya. Sosiologi dan antropologi
memiliki objek material yang sama, yakni masyarakat. Namun objek formalnya beda.
Sosiologi memelajari struktur dan dinamika masyarakat, antropologi memelajari
masyarakat dalam budaya tertentu.

Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok, yaitu ilmu-ilmu
alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ilmu-ilmu alam
memelajari benda-benda fisik, dan secara garis besar dibedakan lagi menjadi dua, yaitu
ilmu alam (fisika, kimia, astronomi, geologi, dll) dan ilmu hayat (biologi, anatomi,
botani, zoologi, dll). Tiap-tiap cabang ilmu itu bercabang-cabang lagi menjadi banyak
sekali. Ilmu kimia saja, menurut Jujun Suriasumantri, memiliki 150 disiplin.

Ilmu-ilmu sosial memelajari manusia dan masyarakat. Perkembangan ilmu sosial tidak
sepesat ilmu alam, dikarenakan manusia tidak seempiris benda-benda alam, juga karena
benturan antara metodologi dengan norma-norma moral. Namun saat ini pun ilmu-ilmu
sosial sudah sangat beragam dan canggih. Yang paling utama adalah sosiologi,
antropologi, psikologi, ekonomi, dan politik.

Epistemologi

Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa diterjemahkan
menjadi metode ilmiah. Metode ini menggabungkan keunggulan rasionalisme dan
empirisisme, kekuatan logika deduksi dan induksi, serta mencakup teori kebenaran
korespondensi, koherensi, dan pragmatik. Karena penggabungan ini, sains memenuhi
sifat rasional sekaligus empiris. Sains juga bersifat sistematis karena disusun dan
diperoleh lewat suatu metode yang jelas. Bagi kaum positivis, sains juga bersifat objektif,
artinya berlaku di semua tempat dan bagi setiap pengamat. Namun sejak munculnya teori
relativitas Einstein, apalagi pada masa postmodern ini, klaim objektivitas sains tidak bisa
lagi dipertahankan.

Secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut urutan sebagai berikut:

• Menemukan dan merumuskan masalah


• Menyusun kerangka teoritis
• Membuat hipotesis
• Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
• Menarik kesimpulan.

Kesimpulan yang diperoleh itu disebut teori. Untuk benar-benar dianggap sahih dan bisa
bertahan, sebuah teori harus diuji lagi berkali-kali dalam serangkaian percobaan, baik
oleh penemunya maupun oleh ilmuwan lain. Pengujian ini disebut verifikasi (pembuktian
benar). Sebuah teori bisa juga diuji dengan cara sebaliknya, yaitu sebagaimana diusulkan
Karl Popper, falsifikasi (pembuktian salah). Dengan falsifikasi, jika untuk sebuah teori
dilakukan 1000 percobaan, 1 saja dari 1000 percobaan itu menunjukkan adanya
kesalahan, maka teori itu tidak perlu dipertahankan lagi. Contoh, jika dinyatakan kepada
kita bahwa semua burung gagak hitam, dan di suatu tempat kita menemukan satu burung
gagak yang tidak hitam, berarti pernyataan itu salah.

Namun dalam sebuah teori, sebetulnya yang lebih penting bukanlah ketiadaan salah sama
sekali, karena itu sangat berat bahkan tidak mungkin untuk teori ilmu sosial, namun
seberapa besar kemungkinan teori itu benar (probabilitas). Probabilitas benar 95 persen
dianggap sudah cukup untuk men-sahihkan sebuah teori dan memakainya untuk
memecahkan masalah.

Aksiologi

Pengetahuan yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama untuk pengetahuan itu
sendiri, melainkan sebagai alat untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah
sehari-hari. Kegunaan ini diperoleh dengan tiga cara, description (menjelaskan),
prediction (meramal, memerkirakan), dan controling (mengontrol). Penjelasan diperoleh
dari teori. Dihadapkan pada masalah praktis, teori akan memerkirakan apa yang akan
terjadi. Dari perkiraan itu, kita memersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan
untuk mengontrol segala hal yang mungkin timbul, entah itu merugikan atau
menguntungkan.

Satu sisi yang sering diperdebatkan adalah menyangkut netralitas sains, kaitannya dengan
agama atau ideologi tertentu. Pada dasarnya sains itu netral, atau setidaknya bermaksud
untuk netral, dalam arti ia hanya bermaksud menjelaskan sesuatu secara apa adanya.
Tetapi sains dapat mengilhami suatu pandangan dunia tertentu, dan ini tidak netral.
Misalnya teori evolusi Darwin dapat menjadi pandangan dunia yang mekanistik dan
ateistik. Dan hal ini sangat mencemaskan bagi kaum agamawan.

Lahirnya suatu teori juga ternyata tidak bisa dilepaskan dari konteks tempat teori itu
dilahirkan. Konteks meliputi pandangan dunia yang dianut ilmuwan, latar belakang
budaya, bahasa, dll. Pengaruh konteks ini terutama sangat terasa pada sains sosial
sehingga suatu sains bisa menghasilkan beragam aliran dan perspektif. []

Referensi pokok:

Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,


Bandung: Mizan, 2003.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan,
1998.

Catatan:

Tulisan ini pada awalnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan penulis ketika sering
diundang mengisi materi Filsafat Ilmu di Latihan Kader 1 (Basic Training) HMI.

Anda mungkin juga menyukai