Putri Campa
Pada zaman dulu Majapahit bernama Majalengka. Majapahit hanyalah kiasan.
Bagi yang belum tahu ceritanya, Majapahit dianggap sebagai nama kerajaan.
Prabu Brawijaya adalah raja terakhir yang berkuasa. Ia menikah dengan
Putri Campa yang beragama Islam. Putri inilah yang membuat Brawijaya
tertarik Islam. Ketika sedang beradu asmara, sang putri selalu membeberkan
keutamaan agama itu. Setiap dekat sang prabu, tiada kata lain yang
terucap dari Putri Campa kecuali kemuliaan agama Islam.
Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad.
Ia mohon izin menyebarkan ajaran Islam di Majalengka. Sang Prabu
mengabulkan. Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldento-Surabaya. Banyak
ulama dari seberang datang ke Majalengka. Mereka menghadap sang prabu
mohon izin tinggal di wilayah pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya
berkembang dan banyak orang Jawa memeluk agama Islam.
Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih 1.000 tahun. Menyembah
kepada Budi Hawa. Budi adalah Dzat Tuhan, sedangkan hawa adalah minat
hati. Manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat melaksanakan,
sedang yang menggerakkan semua ialah budi.
Raden Patah
Sang Prabu mempunyai seorang putra bernama Raden Patah. Ia lahir di
Palembang dari rahim seorang Putri Cina. Ketika Raden Patah dewasa, ia
menghadap kepada ayahnya bersama saudara lain ayah tetapi masih
sekandung, bernama Raden Kusen (Husein). Sang Prabu bingung memberi
nama putranya. Diberi nama dari jalur ayah, beragama Budha, keturunan
raja yang lahir di pegunungan. Dari jalur ibu disebut Kaotiang.
Sunan Bonang
Pada waktu itu Sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya.
Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air
sungai Brantas yang meluap. Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang.
Tiba di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki agama penduduk setempat.
Sudah Islam atau masih beragama Budha. Ternyata, kata Ki Bandar,
masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung Bondowoso.
Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat Wage wuku
wuye adalah hari raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama
makan enak dan bergembira ria. Kata Sunan Bonang, "Kalau begitu, orang
disini semua beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun tidak.
Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah.¨ Sejak itu, daerah di
sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Perawan Tua
Hari terik. Waktu sholat dhuhur tiba. Sunan Bonang ingin mengambil air
wudlu. Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sunan Bonang
meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk. Salah
satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud. Sesampai
di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di sini. Hanya ada
seorang gadis beranjak dewasa sedang menenun. "Hai gadis, aku minta
air simpanan yang jernih dan bersih," kata sahabat itu.
Mendengar kata-kata kasar itu, sahabat itu langsung pergi tampa pamit.
Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan. Tiba di hadapan
Sunan Bonang, peristiwa tak menyenangkan itu disampaikan.
Demit
Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah
ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing. Menempati sumur
Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya. Mereka lapor, bahwa
ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum mahluk halus
dan menonjolkan kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing
membalas Sunan Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai
mati agar tidak suka mengganggu lagi.
Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan
berangkat menemui Sunan Bonang. Tetapi anehnya, para setan itu tidak
bisa mendekati Sunan Bonang. Badannya terasa panas seperti dibakar.
Setan-setan itu berhamburan. Lari tunggang langgang. Mereka lapor ke
Kediri menemui rajanya.
Sebutan itu hampir menyerupai sebutan kyai, yang bermula dari Kyai Daha
dan Kyai Daka. Kyai artinya melaksanakan tugas anak cucu dan orang di
sekitarnya. Kisah soal kyai ini bermula saat Sang Raja ke rumah
Kyai Daka. Sang Prabu dijamu Kyai Daka. Sang Prabu suka dengan keramahan
itu. Nama Kyai Daka pun diminta untuk desa yang kemudian berganti
Tunggul Wulung. Seterusnya ia diangkat menjadi panglima perang.
Semua mahluk halus yang ada di Laut Selatan tunduk dan berbakti kepada
Ni Mas Ratu Angin-Angin. Buta Locaya menempati Selabale, sedangkan Kyai
Tunggul Wulung tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar agar
tidak merusak desa sekitar.
Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas
beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya,
Mega Mendung dan dua anaknya, Panji Sekti Diguna dan Panji Sari Laut.
Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis. Ia
melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan
ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga memaparkan
kesedihan para setan dan penduduk daerah itu.
Sebagai orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja setan dan jin sedang
menghadang perjalanannya. Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai bara
api. Para setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan
menghadapi wibawa Sunan Bonang. Namun tatkala berhadapan dengan Kyai
Sumbre, Sunan Bonang juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan
dan demam.
Buta Locaya menjawab, bahwa itu tidak seimbang. Salah yang tak seberapa,
apalagi hanya dilakukan oleh seseorang, tetapi penderitaannya dirasakan
oleh banyak orang. Bila dilaporkan kepada penguasa, tentu akan mendapatkan
hukuman berat karena telah merusak sebuah daerah. Sunan Bonang menjawab,
ia pun tak takut dilaporkan Raja Majalengka.
"Hamba ini bangsa mahluk halus, tidak berteman dengan manusia, tetapi
hamba masih memperhatikan nasib manusia. Marilah semuanya yang rusak
itu tuan kembalikan kepada keadaan semula. Sungai yang kering dan daerah
yang terlanda banjir hamba mohon untuk mengembalikan. Semua orang Jawa
yang beragama Islam akan hamba teluh supaya mati, hamba akan meminta
bantuan Kangjeng Ratu Angin-Angin di Laut Selatan."
Buta Locaya memburu kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca kuda
yang berkepala dua di bawah pohon Trenggulun. Banyak buah trenggulun
yang berserakan. Sunan Bonang kemudian memegang parang dan kepala arca
kuda itu dipenggalnya.
Ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu,
semakin bertambahlah kemarahannya. "Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya
sebagai lambang tekad wanita. Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang
siapa yang melihat arca itu, akan mengetahui tekad para wanita Jawa.
Sunan Bonang pun berkata, "Kau ini bangsa hantu. Jadi kalau berani
berdebat dengan manusia, namanya hantu yang sombong."
"Apa bedanya. Tuan Sunan, saya ratu hantu."
Melihat patung itu, Sunan Bonang keheranan. Patung itu berukuran sangat
besar. Arca itu tampak duduk ke arah barat setinggi 16 kaki. Lingkar
pinggulnya 10 kaki. Jika dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang
kecuali dengan alat. Bahu kanannya dipatahkan, dan dahinya diludahi.
Buta Locaya marah lagi. "Tuan ternyata orang jahil, patung yang masih
baik dirusak tanpa alasan. Kini menjadi jelek. Padahal patung itu karya Sang Prabu Jayabaya. Apakah
hasilnya bila tuan merusak patung itu?"
"Patung itu kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak diberi
sesaji dan diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak
lahir batin."
Kata Buta Locaya, "Orang Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu
yang tidak berdaya dan berkuasa. Bukan Tuhan, maka mereka layani.
Diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para hantu tidak menempati
tanah dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia. Para hantu mereka
tempatkan di patung itu, lalu tuan usir ke mana? Telah lazim setan tinggal di
gua, arca, dan makan bau-bauan harum. Bila menyantap bebauan harum, hantu akan merasa nyaman.
Lebih senang lagi bila tinggal di patung yang utuh. Di tempat sepi dan rindang atau di bawah pohon
besar. Mereka menyadari bahwa alam halus berbeda dengan alam manusia."
"Pulau Jawa ini tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup. Tanah
berpasir murah air. Apa saja ditanam dapat tumbuh. Pria tampak tampan,
wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya. Bila tuan ingin
melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya. Silakan tuan
ukur. Seandainya tidak benar, pukullah."
"Yang membuat arca itu adalah tuanku Prabu Jayabaya. Dapatkah tuan
menebak sesuatu yang belum terjadi? Sudahlah, hamba persilakan tuan
pergi dari sini. Bila menolak akan hamba panggilkan adik hamba dari
Gunung Kelud. Tuan akan kami keroyok. Dapatkah tuan menang? Lalu akan
hamba bawa ke dalam kawah Gunung Kelud, apakah tuan tidak susah? Inginkah tuan tinggal di Batu
seperti hamba? Mari ke Selabale menjadi murid
hamba."
Internet :
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1190456&page=3