Anda di halaman 1dari 61

Arti Wahyu

Uncategorized category

• visual basics
• visual basic 6

Dikatakan wahaitu ilaihi atau auhaitu bila kita berbicara kepada seseorang agar tidak
diketahui orang lain. Wahyu adl isyarat yg cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan berupa
rumus dan lambang dan terkadang melalui suara semata dan terkadang pula melalui
isyarat dgn anggota badan.

Al-wahyu adl kata masdar/infinitif dan materi kata itu menunjukkan dua dasar yaitu
tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu maka dikatakan bahwa wahyu adl pemberitahuan
secara tersembunyi dan cepat yg khusus diberikan kepada orang yg diberitahu tanpa
diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi kadang-kadang juga bahwa yg
dimaksudkan adl al-muha yaitu pengertian isim maf’ul yg diwahyukan.

Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi Ilham sebagai bawaan dasar manusia
seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa ‘Susuilah
dia ..’. .

Ilham berupa naluri pada binatang seperti wahyu kepada lebah Dan Tuhanmu telah
mewahyukan kepada lebah ‘Buatlah sarang di bukit-bukit di pohon-pohon kayu dan di
rumah-rumah yg didirikan manusia’. {An-Nahl 68}.

Isyarat yg cepat melalui rumus dan kode seperti isyarat Zakaria yg diceritakan Alquran
Maka keluarlah dia dari mihrab lalu memberi isyarat kepada mereka ‘Hendaknya kamu
bertasbih di waktu pagi dan petang’. {Maryam 11}.

Bisikan dan tipu daya setan utk menjadikan yg buruk kelihatan indah dalam diri manusia.
Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kamu. . Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh yaitu
setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin sebagian mereka membisikkan kepada
sebagian yg lain perkataan-perkataan yg indah-indah utk menipu mereka.

Apa yg disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah utk dikerjakan.

Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat ‘Sesungguhnya Aku


bersama kamu maka teguhkanlah pendirian orang-orang yg beriman’. {Al-Anfal 12}.

Sedang wahyu Allah kepada para nabi-Nya secara syar’i mereka definisikan sebagai
kalam Allah yg diturunkan kepada seorang nabi. Definisi ini menggunakan pengertian
maf’ul yaitu almuha . Ustad Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam
Risalatut Tauhid adl pengetahuan yg didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dgn
disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah melalui perantara ataupun
tidak. Yang pertama melalui suara yg menjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama
sekali. Beda antara wahyu dgn ilham adl bahwa ilham itu intuisi yg diyakini jiwa
sehingga terdorong utk mengikuti apa yg diminta tanpa mengetahui dari mana datangnya.
Hal seperti itu serupa dgn perasaan lapar haus sedih dan senang.

Definisi di atas adl definisi wahyu dgn pengertian masdar. Bagian awal definisi ini
mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dgn suara hati atau kasyaf tetapi
pembedaannya dgn ilham di akhir definisi meniadakan hal ini.

Sumber Studi Ilmu-Ilmu Quran terjemahan dari Mabaahits fii ‘Uluumil Quraan Manna’
Khaliil al-Qattaan

sumber file al_islam.chm

B. ARTIKEL PEMKO MEDAN

NUZUL QUR'AN
Tuesday, 16 September 2008

Sejarah al-Quran: Salah satu peristiwa agung dalam sejarah umat


Islam ialah turunnya kitab suci al-Quran atau disebut Nuzul al-
Quran. Peristiwa itu dikisahkan dalam al-Quran, melalui firman
Allah yang bermaksud:
“Ramadhan yang padanya diturunkan al-Quran, menjadi petunjuk bagi sekalian
manusia, dan menjadi keterangan yang menjelaskan petunjuk dan menjelaskan perbedaan
antara yang benar dan yang salah.” (Surah al-Baqarah, ayat 185).

Peristiwa Nuzul al-Quran terjadi pada malam Jumaat, 17 Ramadhan, di Gua Hira’
tahun ke-41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Al-Quran merupakan mukjizat yang
paling besar yang dikurniakan kepada Nabi Muhammad SAW. Kita hendaklah beriman
dan mempercayai isi kandungan al-Quran. Beriman dengan al-Quran merupakan salah
satu dalam Rukun Iman.

Arti Nuzul al-Quran: ‘Nuzul’ berarti turun atau berpindah, yaitu berpindah dari
tempat sebelah atas ke tempat di sebelah bawah (turun dari langit ke bumi). ‘Al-
Quran’ pula bermaksud bacaan atau himpunan. Ia dikatakan bacaan karena al-Quran
itu untuk dibaca oleh manusia. Ia juga dikatakan himpunan kerana dalam al-Quran itu
terhimpun ayat-ayat yang menjelaskan pelbagai perkara yang meliputi soal tauhid, ibadat,
jinayat, muamalat, munakahat dan sebagainya.

Nama-Nama Lain: Selain disebut al-Quran, ia juga disebut al-Kitab, al-Furqan, An-Nur,
al-Zikr dan lain-lain.

Proses turunnya al-Quran: Al-Quran diturunkan berangsur-angsur dalam kurun waktu 22


tahun 2 bulan 22 hari (23 tahun), dengan 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah.

Kehebatan al-Quran:

1. Allah berfirman yang bermaksud: “Katakanlah wahai Muhammad, sesungguhnya


jika sekalian manusia dan jin berhimpun dengan tujuan hendak membuat dan
mendatangkan sebanding dengan al-Quran ini, mereka tidak akan dapat membuat dan
mendatangkan sebanding dengannya walaupun mereka saling bantu-membantu.”
(Surah al-Israa’, ayat 88)
2. Orang yang membaca, menghafaz dan melihat sambil memikirkan keajaiban yang ada
pada susunannya diberikan pahala.
3. Al-Quran sumber hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
4. Tidak siapapun di kalangan manusia atau jin yang mampu mencipta ayat yang
menyerupai al-Quran. Firman Allah yang bermaksud: “ Dan jika kamu merasa ragu-
ragu dengan apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, buatlah satu surah yang
menyerupainya, ajaklah saksi-saksi (penolong-penolong) kamu, selain Allah, jikalau
kamu menganggap orang yang benar.” (al-Baqarah, ayat 23).
5. Al-Quran merupakan mukjizat tertinggi dan teristimewa yang hanya dikurniakan
kepada Nabi Muhammad saw.
6. Manusia belum mampu menyelami dan menerokai rahsia al-Quran secara menyeluruh
sehingga hari ini. Ini bererti sifat kehebatan, kesaktian, keagungan dan keunggulan al-
Quran secara tersendiri dengan pengertiannya yang amat luas dan mendalam kekal
terpelihara hingga kiamat.
7. Al-Quran sebagai petunjuk jalan kebenaran. Membawa manusia daripada kegelapan
kepada cahaya yang terang. Allah berfirman yang bermaksud: “Inilah Kitab yang tiada
keraguan padanya, menjadi petunjuk kepada orang yang bertakwa.” (al-Baqarah, ayat
2)
8. Membaca al-Quran mendapat ganjaran pahala dan syafaat daripada Allah. Rasulullah
saw bersabda dengan maksud: ‘Bacalah al-Quran, sesungguhnya ia akan datang pada
hari kiamat sebagai syafaat kepada pembacanya.”

Tuntutan al-Quran: Sesungguhnya al-Quran mempunyai tiga hak yang wajib ke atas umat
Islam untuk menunaikannya.

* Hak untuk membaca dan bertilawah kepadanya.


* Hak untuk bertakbir atau memahami makna dan menjiwai kehidupan.
* Hak untuk beramal dengan seluruh isi kandungannya.

B. Beberapa Kitab Tafsir Quran June 25, 2007


Filed under: Uncategorized — ainspirasi @ 2:41 am

Tak terhitung banyaknya penjelasan Quran yang telah dibuat sejak masa kenabian. Tidak ada
buku lain di dunia ini yang begitu banyak diperhatikan orang selain Quran. Menggambarkan
secara singkat semua kitab-kitab tafsir sangat tidak mungkin, meskipun dalam sebuah buku,
apalagi dalam tulisan ringkas berikut ini. Akan tetapi apa yang akan kami tulis di sini hanyalah
sebuah perkenalan dari beberapa kitab tafsir terkenal yang merupakan acuan Ma’rifatul
Quran. Meskipun sampai saat ini sudah banyak kitab tafsir yang ditulis, banyak tafsir dan
ribuan buku tetap menggunakan rujukannya. Tujuannya di sini adalah sekedar memberikan
gambaran umum acuan-acuan yang sering digunakan itu.

Tafsir Ibnu Jarir: Nama tafsirnya adalah Jami’ al-Bayan disusun oleh Allamah Abu Ja’far
Muhammad ibnu Jarir al-Tabari (wafat 310 H). Alamah Tabari adalah seorang mufasir yang
menguasai bidangnya, muhadist, dan beliau adalah ahli sejarah. Diberitakan bahwa beliau
menulis terus menerus selama empat puluh tahun dan menulis empat puluh halaman setiap
harinya (al-Bidayah wa al-Nihayah, volume. 11, hal.145). Banyak orang menuduhnya syiah,
tetapi para ahli sejarah menolak tuduhan itu, yang benar adalah beliau merupakan pengikut
Sunnah.

Sebanyak tigapuluh jilid tafsirnya menjadi acuan dasar para mufsir berikutnya. Dalam
menjelaskan ayat-ayat, ia mengutip pandangan berbagai cendikiawan, kemudian mencari
posisi pandangan yang tepat berdaskan argumen dan bukti-bukti yang ada. Seharusnya,
setiap periwayatan dipilah dan dipilih, akan tetapi dia telah memasukkan penuturan yang kuat
dan lemah dalam penjelasannya. Oleh karena itu tidak setiap penuturan dalam kitab tafsirnya
bisa dijadikan pijakan.

Tafsir Qurtubi: Judul tafsirnya Al-Jami li-Ahkam al-Quran. Ditulis oleh cendikiawan Andalusia
(Spanyol), namanya Abu ‘Abdullah Muhammad ibnu Ahmad Abi Bakar ibnu Farah al-Qurtubi
(wafat 671 H). Dia merupakan pengikut mazhab imam Malik dan terkenal sebagai ahli ibadah
dan zuhud. Hal-hal mendasar dari kitabnya adalah membuat kesimpulan-kesimpulan
berdasarkan apa yang tertera dalam Quran, pada saat bersamaan dia juga menjelaskan kata-
kata sulit, membahas keindahan gaya dan bahasa Quran, dan mengaitkannya dengan tradisi
dan berbagai riwayat sehingga sangat menarik. Tafsirnya berjumlah duabelas jilid.

Tafsir Ibnu Katsir: Ditulis oleh al-Hafiz ‘Imam al-din Abu al-Fida’ Ismail ibnu Katsir al-
Damashqi (wafat 774 H), seorang cendekiawan abad ke 8. Tafsirnya telah diterbitkan dalam
empad jilid. Dia menekankan penjelasannya berdasarkan penuturan. Ciri utama tafsirnya
adalah penggunaan telaah hadist (karena dia adalah muhadist), oleh karena itu tafsirnya
menempati posisi istimewa di kalangan mufasir.

Tafsir Al-Kabir: merupakan karya besar Imam Fakhr al-Din l-Razi (wafat 606 H). Judul
aslinya adalah Mafatih al-Ghayb, tetapi dikenal dengan Tafsir Al-Kabir. Imam Razi merupakan
ahli filsafat Islam, sehingga tidak heran dalam tafsirnya banyak hal-hal rasional dan
kontroversial secara ilmiah dan banyak keterangan ingkar dari sekte-sekte sesat. Namun
demikian tafsirnya merupakan, dengan caranya sendiri, sesuatu yang unik untuk memahami
Quran. Selanjutnya, jalan lapang memahami Quran yang ditegaskan oleh keterpaduan ayat-
ayat Quran, merupakan keterangan sangat berharga. Namun Imam Razi menulis sendiri kitab
tafsirnya hanya sampai surat Al-Fath. Selebihnya diselesaikan oleh orang lain. Bagian lain
yaitu dari surat Al-Fath sampai akhir ditulis oleh Qadi Shihab al-Din ibnu Khalil al-Khawali al-
Dimashqi (wafat 639 H) atau oleh Shaykh Najm al-Din Ahmad ibnu Muhammad al-Qamuli
(wafat 777 H). (Kashaf al-Zunun jilid 2, hal. 4)

Tafsir al-Bahr al-Muhit: Tafsir ini ditulis oleh Allamah Abu Hayyan al-Gharnati al-Andalusi
(w. 754H) yang ahli di bidang sintaksis dan retorika di samping ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya.
Hasilnya tafsirnya berisi hal-hal berkaitan sintaksis kalimat dan retorika. Dia menekankan
pada telaah kata di setiap ayat, perbedaan struktur dan hal-hal khusus lainnya.

Ahkam al-Quran oleh al-Jassas: Ditulis oleh Imam Abu Bakar al-Jassas al-Razi (w. 370 H)
salah seorang pengikut mazhab Hanafi. Hal-hal terkait dengan hukum-hukum dan aturan
dalam Quran merupakan obyek penafsirannya. Ia menjelaskan ayat-ayat dalam sebuah
rangkaian, dan dia menjelaskan rincian hukum dari ayat yang mengandung perintah-perintah.
Dalam hal ini banyak tafsir serupa yang telah ditulis tetapi tafsir ini lebih mengesankan
dibanding yang lain.

Tafsir al-Durr al-Manthur: Tafsir ini ditulis oleh Allamah Jalal al-Din al-Suyuti (w. 910H).
Judul lengkapnya adalah al-Durr al-Manthur fi al-Tafseer bi I’Ma’thur. Di sini Allamah Suyuti
mencoba mengumpulkan semua periwayatan tafsir Quran. Senarnya banyak ahli hadist
seperti Hafiz ibn Jarir, Imam Baghawi, Ibn Marduwayh, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah dan lain-
lainnya telah malkukannya sendiri-sendiri. Allamah al-Suyuti merangkum semuanya dalam
kitab tafsirnya. Namum demikian dia telah menyingkat nama-nama penafsir sehingga bila
dibutuhkan bisa merujuk langsung pada kitab aslinya. Oleh karena itu di dalam buku tafsirnya
selalu dijumpai riwayat yang kuat maupun lemah. Sehingga setiap riwayat yang ada tidak
begitu saja dapat dipercaya sebelum melihat kembali ke kitab aslinya. Ada kalanya juga al-
Suyuti menegaskan bahwa sebuah riwayat sangat kuat. Tetapi karena beliau
kurang memahami kritik hadist, masih tetap sulit untuk menjadikan hal itu sebagai pijakan.

Tafsir al-Mazhari: Tafsir ini ditulis oleh Qadi Thanaullah Panipati (w 1225 H). Dia
menamakan tafsirnya Al-Tafseer al-Mazhari, yaitu nama guru spritualnya, Mirza Mazhar Jani-
Janan Dehlavi. Tafsirnya sangat sederhana dan sangat bermanfaat untuk melacak ayat-ayat.
Bersama penjelasan ayat-ayat Quran ia menyertakan berbagai riwayat dengan agak rinci,
sehingga dia telah berusaha memasukkan riwayat-riwayat setelah membandingkan dengan
penafsir lainnya.

Ruh al-Maani: Judul lengkapnya adalah Ruh al-Ma’ani fi Tafseer al-Quran al-’Azim wa al-
Sabal-Mathani dan ditulis oleh Allamah Mahmud al-Alusi (w. 1270 H) cendekiawan terkenal
pada periode Baghdad, dan berjumlah 30 jilid. Dia telah berusaha membuat tafsirnya
komprehensif. Ada pembahasan panjang lebar pada segi bahasa, penulisan, huruf, gaya
bahasa, dan pada segi hukum, pasal-pasal keimanan, kemurnian, filsafat, astronomi, mistis
dan soal-soal tradisi. Tampaknya dia tidak meninggalkan sisi-sisi logika dari penjelasannya.
Dalam hal riwayat hadist penulisnya sangat berhati-hati dan membandingkannya dengan
penafsir lainnya. Dari sudut ini tafsirnya sangat komprehensif, dan andilnya dalam
menafsirkan Quran sangat bermanfaat.

A. Pengertian Hadits
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari
Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.
Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas,
dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-
Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-
haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam
Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.

Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.

• Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi


o Hadits Mutawatir
o Hadits Ahad
 Hadits Shahih
 Hadits Hasan
 Hadits Dha'if
• Menurut Macam Periwayatannya
o Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul)
o Hadits yang terputus sanadnya
 Hadits Mu'allaq
 Hadits Mursal
 Hadits Mudallas
 Hadits Munqathi
 Hadits Mu'dhol
• Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
o Hadits Maudhu'
o Hadits Matruk
o Hadits Mungkar
o Hadits Mu'allal
o Hadits Mudhthorib
o Hadits Maqlub
o Hadits Munqalib
o Hadits Mudraj
o Hadits Syadz
• Beberapa pengertian dalam ilmu hadits
• Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer

I. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi


I.A. Hadits Mutawatir

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak
mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh
panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga.
Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa
dikatakan sebagai hadits Mutawatir:

1. Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
2. Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan,
tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy.
3. Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.

I.B. Hadits Ahad

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat
mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama
membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun
Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:

I.B.1. Hadits Shahih

Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia
diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak
syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak
cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :

1. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.


2. Harus bersambung sanadnya
3. Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
4. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
5. Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
6. Tidak cacat walaupun tersembunyi.

I.B.2. Hadits Hasan

Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada
yang disangka dusta dan tidak syadz.

I.B.3. Hadits Dha'if

Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak
adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.

II. Menurut Macam Periwayatannya


II.A. Hadits yang bersambung sanadnya

Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW.
Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul.
II.B. Hadits yang terputus sanadnya

II.B.1. Hadits Mu'allaq

Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya
dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits
dha'if.

II.B.2. Hadits Mursal

Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari
Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.

II.B.3. Hadits Mudallas

Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada,
baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang
ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

II.B.4. Hadits Munqathi

Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua
orang perawi selain sahabat dan tabi'in.

II.B.5. Hadits Mu'dhol

Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para
tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan
tabi'in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di
atas adalah termasuk hadits-hadits dha'if.

III. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi


III.A. Hadits Maudhu'

Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta
atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas
disebut hadits.

III.B. Hadits Matruk

Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang
perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.
III.C. Hadits Mungkar

Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan
dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.

III.D. Hadits Mu'allal

Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat
yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits
yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa
disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits
sakit atau cacat).

III.E. Hadits Mudhthorib

Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari
beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang
dikompromikan.

III.F. Hadits Maqlub

Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya
tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad
(silsilah) maupun matan (isi).

III.G. Hadits Munqalib

Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.

III.H. Hadits Mudraj

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan
yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.

III.I. Hadits Syadz

Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya)
yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat /
pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga
hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits
disebut juga hadits Mahfudz.
IV. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits
IV.A. Muttafaq 'Alaih

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber
sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.

IV.B. As Sab'ah

As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu:

1. Imam Ahmad
2. Imam Bukhari
3. Imam Muslim
4. Imam Abu Daud
5. Imam Tirmidzi
6. Imam Nasa'i
7. Imam Ibnu Majah

IV.C. As Sittah

Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.

IV.D. Al Khamsah

Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam
Muslim.

IV.E. Al Arba'ah

Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari
dan Imam Muslim.

IV.F. Ats tsalatsah

Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari,
Imam Muslim dan Ibnu Majah.

IV.G. Perawi

Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.

IV.H. Sanad

Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada
orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun
atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran.
Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.

IV.I. Matan

Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa
perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.

V. Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer


1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Riyadhus Shalihin

http://id.wikipedia.org/wiki/hadits

b. Mengenal Ilmu Hadits


Definisi Musthola'ah Hadits

HADITS ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya.

ATSAR ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW.

TAQRIR ialah keadaan Nabi Muhammad SAW yang mendiamkan, tidak mengadakan
sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat
di hadapan beliau.

SAHABAT ialah orang yang bertemu Rosulullah SAW dengan pertemuan yang wajar
sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman dan mati dalam keadaan
islam.

TABI'IN ialah orang yang menjumpai sahabat, baik perjumpaan itu lama atau sebentar,
dan dalam keadaan beriman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.

MATAN ialah lafadz hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, atau disebut
juga isi hadits.

Unsur-Unsur Yang Harus Ada Dalam Menerima Hadits


Rawi, yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab apa-apa
yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang atau gurunya. Perbuatannya
menyampaikan hadits tersebut dinamakan merawi atau meriwayatkan hadits dan
orangnya disebut perawi hadits.

Sistem Penyusun Hadits Dalam Menyebutkan Nama Rawi

1. As Sab'ah berarti diriwayatkan oleh tujuh perawi, yaitu :


1. Ahmad
2. Bukhari
3. Turmudzi
4. Nasa'i
5. Muslim
6. Abu Dawud
7. Ibnu Majah
2. As Sittah berarti diriwayatkan oleh enam perawi yaitu : Semua nama yang
tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad
3. Al Khomsah berarti diriwayatkan oleh lima perawi yaitu : Semua nama yang
tersebut diatas (As Sab'ah) selain Bukhari dan Muslim
4. Al Arba'ah berarti diriwayatkan oleh empat perawi yaitu : Semua nama yang
tersebut diatas (As Sab'a) selain Ahmad, Bukhari dan Muslim.
5. Ats Tsalasah berarti diriwayatkan oleh tiga perawi yaitu : Semua nama yang
tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah.
6. Asy Syaikhon berarti diriwayatkan oleh dua orang perawi yaitu : Bukhari dan
Muslim
7. Al Jama'ah berarti diriwayatkan oleh para perawi yang banyak sekali jumlahnya
(lebih dari tujuh perawi / As Sab'ah).

Matnu'l Hadits adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang berakhir pada sanad
yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam,
sahabat ataupun tabi'in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun
perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam .

Sanad atau Thariq adalah jalan yang dapat menghubungkan matnu'l hadits kepada Nabi
Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .

Gambaran Sanad

Untuk memahami pengertian sanad, dapat digambarkan sebagai berikut: Sabda


Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam didengar oleh sahabat (seorang atau lebih).
Sahabat ini (seorang atau lebih) menyampaikan kepada tabi'in (seorang atau lebih),
kemudian tabi'in menyampaikan pula kepada orang-orang dibawah generasi mereka.
Demikian seterusnya hingga dicatat oleh imam-imam ahli hadits seperti Muslim,
Bukhari, Abu Dawud, dll.

Contoh:
Waktu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Bukhari berkata hadits
ini diucapkan kepada saya oleh A, dan A berkata diucapkan kepada saya oleh B, dan B
berkata diucapkan kepada saya oleh C, dan C berkata diucapkan kepada saya oleh D, dan
D berkata diucapkan kepada saya oleh Nabi Muhammad.

Awal Sanad dan akhir Sanad

Menurut istilah ahli hadits, sanad itu ada permulaannya (awal) dan ada kesudahannya
(akhir). Seperti contoh diatas yang disebut awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah
D.

Klasifikasi Hadits

Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar
hukum) adalah:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang
dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
keshohihan suatu hadits.
2. Hadits Makbul adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat
diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan
Hadits Hasan.
3. Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak
begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat
serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul,
biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu
penting.
4. Hadits Dhoif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-
syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dhoif banyak macam ragamnya dan
mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya
syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.

Syarat-syarat Hadits Shohih

Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :

• Rawinya bersifat Adil


• Sempurna ingatan
• Sanadnya tidak terputus
• Hadits itu tidak berillat dan
• Hadits itu tidak janggal
Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil,
yaitu :

• Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.


• Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
• Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada
kadar dan mengakibatkan penyesalan.
• Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar
Syara'.

Klasifikasi Hadits Dhoif berdasarkan kecacatan perawinya

• Hadits Maudhu': adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang
ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu
disengaja maupun tidak.
• Hadits Matruk: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang
diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
• Hadits Munkar: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang
diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau
jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada
hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits lemah yang berlawanan, misal yang satu
lemah sanadnya, sedang yang satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang
lemah sanadnya dinamakan hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits
Munkar.
• Hadits Mu'allal (Ma'lul, Mu'all): adalah hadits yang tampaknya baik, namun
setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini
terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya
bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang
ahli hadits.
• Hadits Mudraj (saduran): adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan
hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
• Hadits Maqlub: adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain),
disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
• Hadits Mudltharrib: adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi
dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada
yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
• Hadits Muharraf: adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan
karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
• Hadits Mushahhaf: adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik
kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
• Hadits Mubham: adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat
seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.
• Hadits Syadz (kejanggalan): adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang
makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai
kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi
pentarjihan.
• Hadits Mukhtalith: adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan
sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.

Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan gugurnya rawi

• Hadits Muallaq: adalah hadits yang gugur (inqitha') rawinya seorang atau lebih
dari awal sanad.
• Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah
tabi'in.
• Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang
diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut
Mudallis.
• Hadits Munqathi': adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu
tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
• Hadits Mu'dlal: adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih
berturut turut, baik sahabat bersama tabi'in, tabi'in bersama tabi'it tabi'in, maupun
dua orang sebelum sahabat dan tabi'in.

Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan sifat matannya

• Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik
yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung
atau terputus.
• Hadits Maqthu': adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'in
serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak.

Apakah Boleh Berhujjah dengan hadits Dhoif ?

Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhoif yang maudhu' tanpa
menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun kalau hadits dhoif itu bukan hadits maudhu'
maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Berikut
ini pendapat yang ada yaitu:

Pendapat Pertama Melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dhoif,
baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat
ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnul 'Araby.

Pendapat Kedua Membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya dan tanpa


menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan
keutamaan amal (fadla'ilul a'mal dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-
hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah).
Para imam seperti Ahmad bin hambal, Abdullah bin al Mubarak berkata: "Apabila kami
meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanadnya
dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala
dan siksa kami permudah dan kami perlunak rawi-rawinya."

Karena itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan berhujjah
dengan hadits dhoif untuk fadla'ilul amal. Ia memberikan 3 syarat dalam hal
meriwayatkan hadits dhoif, yaitu:

1. Hadits dhoif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhoif yang
disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat
dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal.
2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut, masih dibawah satu dasar
yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan)
3. Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits
tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya
hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.

Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi :

[1] Hadits Mutawatir: adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat dusta.

Syarat syarat hadits mutawatir

1. Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan


tanggapan panca indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar benar
hasil pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.
2. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai satu ketentuan yang tidak memungkinkan
mereka bersepakat bohong/dusta.
3. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan
jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Kalau suatu hadits diriwayatkan oleh 5
sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 tabi'in demikian seterusnya, bila
tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.

[2] Hadits Ahad: adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits mutawatir.

Klasifikasi hadits Ahad

1. Hadits Masyhur: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih,
serta belum mencapai derajat mutawatir.
2. Hadits Aziz: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun 2
orang rawi tersebut pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian setelah itu orang-
orang meriwayatkannya.
3. Hadits Gharib: adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang
menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi.

Hadits Qudsi atau Hadits Rabbani atau Hadits Ilahi

Adalah sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada nabiNya dengan melalui ilham atau
impian, yang kemudian nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut
dengan ungkapan kata beliau sendiri.

Perbedaan Hadits Qudsi dengan hadits Nabawi

Pada hadits qudsi biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat :

• Qala ( yaqalu ) Allahu


• Fima yarwihi 'anillahi Tabaraka wa Ta'ala
• Lafadz lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas.

Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur'an:

• Semua lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang hadits


qudsi tidak demikian.
• Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur'an, tidak berlaku pada hadits qudsi.
Seperti larangan menyentuh, membaca pada orang yang berhadats, dll.
• Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur'an memberikan hak pahala kepada
pembacanya.
• Meriwayatkan Al-Qur'an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti
lafadz sinonimnya, sedang hadits qudsi tidak demikian.

Bid'ah

Yang dimaksud dengan bid'ah ialah sesuatu bentuk ibadah yang dikategorikan dalam
menyembah Allah yang Allah sendiri tidak memerintahkannya, Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya, serta para sahabat-sahabat Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya.

Kewajiban sebagai seorang muslim adalah mengingatkan amar ma'ruf nahi munkar
kepada saudara-saudara seiman yang masih sering mengamalkan amalan-amalan ataupun
cara-cara bid'ah.

Alloh berfirman, dalam QS Al-Maidah ayat 3, "Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai
Islam itu jadi agama bagimu." Jadi tidak ada satu halpun yang luput dari penyampaian
risalah oleh Nabi. Sehingga jika terdapat hal-hal baru yang berhubungan dengan ibadah,
maka itu adalah bid'ah.

"Kulu bid'ah dholalah..." semua bid'ah adalah sesat (dalam masalah ibadah). "Wa
dholalatin fin Naar..." dan setiap kesesatan itu adanya dalam neraka.

Beberapa hal seperti speaker, naik pesawat, naik mobil, pakai pasta gigi, tidak dapat
dikategorikan sebagai bid'ah. Semua hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk
ibadah yang menyembah Allah. Ada tata cara dalam beribadah yang wajib dipenuhi,
misalnya dalam hal sembahyang ada ruku, sujud, pembacaan al-Fatihah, tahiyat, dst. Ini
semua adalah wajib dan siapa pun yang menciptakan cara baru dalam sembahyang, maka
itu adalah bid'ah. Ada tata cara dalam ibadah yang dapat kita ambil hikmahnya. Seperti
pada zaman Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggunakan siwak, maka sekarang
menggunakan sikat gigi dan pasta gigi, terkecuali beberapa muslim di Arab, India, dst.

Menemukan hal baru dalam ilmu pengetahuan bukanlah bid'ah, bahkan dapat menjadi
ladang amal bagi umat muslim. Banyak muncul hadits-hadits yang bermuara (matannya)
kepada hal bid'ah. Dan ini sangat sulit sekali untuk diingatkan kepada para pengamal
bid'ah.

Apakah yang menyebabkan timbulnya Hadits-Hadits Palsu?

Didalam Kitab Khulaashah Ilmil Hadits dijelaskan bahwa kabar yang datang pada Hadits
ada tiga macam:

1. Yang wajib dibenarkan (diterima).


2. Yang wajib ditolak (didustakan, tidak boleh diterima) yaitu Hadits yang diadakan
orang mengatasnamakan Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
3. Yang wajib ditangguhkan (tidak boleh diamalkan) dulu sampai jelas penelitian
tentang kebenarannya, karena ada dua kemungkinan. Boleh jadi itu adalah ucapan
Nabi dan boleh jadi pula itu bukan ucapan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam (dipalsukan atas nama Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam).

Untuk mengetahui apakah Hadits itu palsu atau tidak, ada beberapa cara, diantaranya:

1. Atas pengakuan orang yang memalsukannya. Misalnya Imam Bukhari pernah


meriwayatkan dalam Kitab Taarikhut Ausath dari 'Umar bin Shub-bin bin 'Imran
At-Tamiimy sesungguhnya dia pernah berkata, artinya: Aku pernah palsukan
khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maisaroh bin Abdir Rabbik
Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia sendiri telah memalsukan Hadits hadits
yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an (Keutamaan Al-Qur'an) lebih dari 70
hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh ahli-ahli Bid'ah. Menurut
pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia pernah memalsukan dari
Ibnu Abbas beberapa Hadits yang hubungannya dengan Fadhilah Qur'an satu
Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits).
2. Dengan memperhatikan dan mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang
dapat menunjukkan bahwa Hadits itu adalah Palsu. Misalnya dengan melihat dan
memperhatikan keadaan dan sifat perawi yang meriwayatkan Hadits itu.
3. Terdapat ketidaksesuaian makna dari matan (isi cerita) hadits tersebut dengan Al-
Qur'an. Hadits tidak pernah bertentangan dengan apa yang ada dalam ayat-ayat
Qur'an.
4. Terdapat kekacauan atau terasa berat didalam susunannya, baik lafadznya ataupun
ditinjau dari susunan bahasa dan Nahwunya (grammarnya).

Sebab-sebab terjadi atas timbulnya Hadits-hadits Palsu

• Adanya kesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran Islam. Misalnya dari
kaum Orientalis Barat yang sengaja mempelajari Islam untuk tujuan
menghancurkan Islam (seperti Snouck Hurgronje).
• Untuk menguatkan pendirian atau madzhab suatu golongan tertentu. Umumnya
dari golongan Syi'ah, golongan Tareqat, golongan Sufi, para Ahli Bid'ah, orang-
orang Zindiq, orang yang menamakan diri mereka Zuhud, golongan Karaamiyah,
para Ahli Cerita, dan lain-lain. Semua yang tersebut ini membolehkan untuk
meriwayatkan atau mengadakan Hadits-hadits Palsu yang ada hubungannya
dengan semua amalan-amalan yang mereka kerjakan. Yang disebut 'Targhiib' atau
sebagai suatu ancaman yang yang terkenal dengan nama 'At-Tarhiib'.
• Untuk mendekatkan diri kepada Sultan, Raja, Penguasa, Presiden, dan lain-
lainnya dengan tujuan mencari kedudukan.
• Untuk mencari penghidupan dunia (menjadi mata pencaharian dengan menjual
hadits-hadits Palsu).
• Untuk menarik perhatian orang sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ahli
dongeng dan tukang cerita, juru khutbah, dan lain-lainnya.

Hukum meriwayatkan Hadits-hadits Palsu

• Secara Muthlaq, meriwayatkan hadits-hadits palsu itu hukumnya haram bagi


mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu.
• Bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang
bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan kepada mereka sesudah
meriwayatkan atau mebacakannya) maka tidak ada dosa atasnya.
• Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka
mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa
atasnya. Akan tetapi sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits
yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah hadits palsu, maka hendaklah segera
dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan sedang dari jalan atau sanad lain tidak
ada sama sekali, maka hukumnya tidak boleh (berdosa - dari Kitab Minhatul
Mughiits).
(Sumber Rujukan: Kitab Hadits Dhaif dan Maudhlu - Muhammad Nashruddin Al-
Albany; Kitab Hadits Maudhlu - Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah; Kitab Mengenal Hadits
Maudhlu - Muhammad bin Ali Asy-Syaukaaniy; Kitab Kalimat-kalimat Thoyiib - Ibnu
Taimiyah (tahqiq oleh Muhammad Nashruddin Al-Albany); Kitab Mushtholahul Hadits -
A. Hassan)

C. SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS PRA-KODIFIKASI

A. Hadits pada Periode Pertama (Masa Rasulullah)


1. Masa Penyebaran Hadits
Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara
bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang memepersulit para sahabat
untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi
contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut.
Masyarakat menjadikan nabi sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka.
Jika ada permasalahan baik dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka
mereka akan bisa langsung bertanya pada Nabi.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi
pada Nabi dalam segala permasalahan mereka. Adakalanya mereka mengirim anggota
mereka untuk pergi mendatangi Nabi dan mempelajari hukum- hukum syari'at agama.
Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan pelajaran (hadits
Nabi) yang baru mereka terima.
Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran
hadits. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untuk membagikan
pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang yang mereka temui.
Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat cepat. Hal tersebut berdasar perintah
Rasulullah pada para sahabat untuk menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari
beliau. Beliau bersabda,
"‫"بلغوا عنى ولو أية‬
“Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat!”[1]

Dalam hadits lain disebutkan,


" ‫" ليبلغ الشاهد منكم الغائب فرب مبلغ أوعى من سامع‬
“Hendaknya orang yang menyaksikan hadits di antara kamu menyampaikannya pada
yang tidak hadir (dalam majlis ini). Karena boleh jadi, banyak orang yang menerima
hadits (dari kamu) lebih memahami dari pada (kamu sendiri) yang mendengar (langsung
dariku).[2]
Perintah tersebut membawa pengaruh yang sangat baik untuk menyebarkan hadits.
Karena secara bertahap, seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah
maupun yang di luar Madinah akan segera mengetahui hukum–hukum agama yang telah
diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh langsung
dari Rasulullah, mereka akan memperoleh dari saudara–saudara mereka yang mendengar
langsung dari Rasulullah. Metode penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai Haji
Wada’ dan wafatnya Rasulullah.
Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di masa Rasulullah :
a. Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
b. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di
lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya
secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.
c. Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di
dalamnya.[3]

2. Penulisan Hadits dan Pelarangannya


Penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut
(secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis
hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk menulis hadits. Beliau khawatir hadits
akan bercampur dengan ayat-ayat Al-Quran.
Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadits yang melarang penulisan hadits,
yang masing-masing diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib
Tsabit. Namun yan dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya hanya hadits Abu Sa’id
al-Khudri yang berbunyi,
"‫ي متمعدا فليتبّوأ مقعده من‬
ّ ‫ل تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ول حرج ومن كذب عل‬
‫"النار‬
“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an . Barangsiapa yang
menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari
saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada)
tempatnya di neraka ” (HR. Muslim).[4]
Disini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya.
Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang
berbuat bohong. Dan hadits tersebut merupakan satu satunya hadits yang shahih tentang
larangan menulis hadits. Menurut Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak
hadits dan atsar yang semakna dengan hadits larangan tersebut, semua hadits itu tidak
lepas dari cacat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits.
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang
penulisan dan pembukuan hadits adalah :
a. Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-
orang yang baru masuk Islam.
b. Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
c. Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.[5]

Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu
Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits
yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota
Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari
Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya.
Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.
"‫اكتبوا لبى شاه‬: ‫ فقال‬.‫"يا رسول ال اكتبوا لى‬
“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain),
tuliskanlah untuknya.”[6]

B. Hadits pada Periode Kedua (Masa Khulafa’ al-Rasyidin)


1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab
Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah.
Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan semakin
mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi
otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang
membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab.
Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits
(‫)عصر تقليل رواية الحديث‬.
Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah
penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam
permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua
khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan
hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan
mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh
Imam Malik.[7]
Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, pernah ditanya oleh Abu
Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar, lalu menjawab,
"Sekiranya aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku meriwayatkannya
kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku dengan
cambuknya."[8]
Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam
menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun di
sisi lain, Umar ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits. Umar mengutus
para ulama untuk menyebarkan al-Qur'an dan hadits. Dalam sebuah riwayat, Umar
berkata, "Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk memaki orang, memukul,
apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan al-
Qur'an dan hadits kepada kamu semua."[9]

2. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang
periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khlaifah
sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar
ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak
meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar.[10]
Namun pada dasarnya, periwayatan Hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak
daripada pemerintahn sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan ‫عصر إكثار رواية‬
‫الحديث‬.
Keleluasaan periwayatan hadits tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi
Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar Selain itu, wilayah kekuasaan
Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan
riwayat secara maksimal.
Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda
dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam
masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga
mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif
dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu
melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat
dipercaya riwayatnya.

3. Situasi Periwayatan Hadits


Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat berciri pada 2
tipologi periwayatan.
a. Dengan menggunakan lafal haduts asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari
Rasulullah.
b. Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis
dengan yang disabdakan Nabi.
Pada masa pembatasan periwayatan, para sahabat hanya meriwayatkan hadits jika ada
permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap saat,
seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak dari
sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi
yang kuat. Bahkan jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk
mencari kebenaran hadits yan diriwayatkannya.

C. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil - Tabi'in Besar)


1. Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari
dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan.
Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk
menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits
pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode
Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan
hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits,
kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol.
Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah
Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul
fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih
mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode
ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi
(hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh
golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits
hadits untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu"
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan
Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits
Palsu".

2. Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits


Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut
dengan al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah:
a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.[11]
Sedangkan dari kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits sangat banyak
sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di antaranya :
a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
- Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar
b. Makkah
- Ikrimah
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr
c. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah
d. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah
e. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi
hadits)
f. Mesir
-Yazid ibn Habib
g. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani

BAB III
PENUTUP
Simpulan
1. Perkembangan hadits pada masa Rasulullah bercorak antar lisan dan mengalami
pelarangan penulisan dengan alasan di antaranya; khawatir tercampur dengan al-Qur'an.
2. Pada masa Khulafa' al-Rasyidin, hadits mengalami pasang surut dengan adanya
pembatasan periwayatan pada masa Khalifah Abu Bakar – Umar r.a dan perluasan
periwayatan pada masa Khalifah Utsman – Ali r.a
3. Pada masa tabi'in, hadits lebih banyak diriwayatkan oleh perawi. Namun, pada masa
itu, banyak bermunculan hadits-hadits palsu yang bernuansa kepentingan politik
golongan.

DAFTAR PUSTAKA
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.
al-Khathib, Ajjaj. al-Sunnah Qabla Tadwin. Cairo : Maktabah Wahbah. 1963
______________. Ushulul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu. Dar al-Fikr. 1989
Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta : Bulan Bintang. 1995
Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits I. Penerj : Endang Soetari dan Mujiyo. Bandung : Remaja
Rosda Karya. 1995
Malik, Imam. al-Muwattha'.
Shiddiqiey, TM. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : Pustaka Rizki
Putra. 2001
Sulaiman, Hasan. Abbas, Alwi, Terj. Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram Jilid I.
Surabaya : Mutiara Ilmu. 1995
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara
Wacana. 2003
[1] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab al-Anbiya, no.50
[2] Ibid., bab al-Iman, no. 9
[3] Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadis Nabi, hal. 31
[4] H.R. Muslim dalam Syarh al-Nawawi, J. 18, hlm. 129
[5] Hasan Sulaiman Abbas Alwi, Terj. Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram Jilid I.
hlm. 16
[6] H.R. Ahmad Juz 12. hlm. 232
[7] Imam Malik, al-Muwattha', J. 2, hlm. 513
[8] Ajjaj al-Khathib, al-Sunnah Qabla Tadwin, hlm. 96
[9] Ibn Sa'ad, Juz 3, hlm. 135
[10] Ajjaj al-Khathib, Ushulul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, hlm. 97-98

[11] Ibnu Jauzi, Talqih Fuhumi Ahli al-Atsar. Dan Al-Kirmany.


Sumber: http://mediaislam.fisikateknik.org

D. Sejarah Hadis: MasaKodifikasi


Filed under: Uncategorized by arichaniago — Tinggalkan komentar
Februari 21, 2010
SEJARAH HADIS: MASA KODIFIKASI

Tulisan ini mengkaji persoalan hadis masa kodifikasi. Pembahasan yang akan dikaji
pengertian kodifikasi; Alasan Khalîfah memerintahkan para ahli untuk menuliskan hadis;
cara pembukuan hadis; hasil yang dicapai dan upaya kodifikasi selanjutnya.

1. Pengertian Kodifikasi

Kata kodifikasi secara bahasa berasal dari bahasa Inggris ”codification” yang berarti
”membukukan.” Dalam bahasa Arab, kata ini berarti ”‫”التدوين‬. dalam bahasa Indonesia,
kata ini berarti ”pembukuan”.

Para ahli berbeda pendapat dalam memberikan pengertian ‫( التدوين‬al-tadwîn). Menurut


Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, kata al-Tadwîn berarti:

‫ و ترتيبه حتى يكون في كتاب‬،‫جمع المكتوب في السطور و المحفوظ في الصدور‬. (al-Qaththân, …: …)

Artinya: Menghimpun sesuatu yang tertulis dalam tulisan dan dihafal dalam dada serta
mensistematisirnya sehingga menjadi satu buku.

Menurut Muhammad Mathar al-Zahrâniy, istilah tadwîn berarti:

‫جمع المتفرق و تقيد المتشتت‬.

Artinya: Mengumpulkan yang terpisah dan menuliskan yang terserak.

Kedua pengertian di atas memiliki persamaan. Pertama, kodifikasi berarti menghimpun;


kedua, produk akhirnya adalah buku. Sementara perbedaannya, pertama, pengertian
pertama mengemukakan objek yang dihimpun (yang tertulis dan yang dihafal) sementara
pengertian kedua tidak mengemukakannya; kedua, pengertian pertama menekankan
sistemasi sementara pengertian kedua tidak mengemukakannya; ketiga, pengertian kedua,
mengemukakan bahwa sesuatu yang akan dihimpun terdapat di berbagai tempat. Dalam
hal ini pengertian pertama merinci maksud terserak.

Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan pengertian al-tadwîn yaitu,


menghimpun sesuatu yang terserak –baik yang ditulis maupun yang dihafal,
menulis ulang dan mensistematisirnya sehingga menjadi satu buku.

Pembahasan ini dibatasi pada kodifikasi hadis sejak awal abad kedua sampai keempat
hijrah.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli tentang pemrakarsa kodifikasi hadis secara
resmi. Secara umum, yang dikenal memprakarsai kodifikasi secara resmi dari kalangan
penguasa adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz. Akan tetapi, menurut ‘Ajjâj, kodifikasi hadis
telah lebih dahulu diprakarsai oleh ‘Abd al-‘Azîz ibn Marwan (w. 85 H.) –ayah ‘Umar
ibn ‘Abd al-‘Azîz sendiri, yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur di Mesir. Riwayat
tersebut menceritakan bahwa ‘Abd al-‘Azîz meminta Katsîr ibn Murrah al-Hadhramiy,
seorang tâbi’iy di Himsha yang pernah bertemu dengan tidak kurang dari 70 orang
shahâbiy veteran Perang Badar, untuk menuliskan hadîs-hadîs Nabi Saw yang pernah
diterimanya dari para shahâbiy selain Abiy Hurayrah, karena dia sudah memiliki catatan
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah yang didengarnya sendiri secara
langsung darinya (‘Ajjâj, 1989: 218) dan selanjutnya mengirimkannya kepada ‘Abd
al-‘Azîz sendiri. Perintah tersebut adalah pertanda bahwa kodifikasi secara resmi yang
diprakarsai oleh penguasa telah dimulai pada tahun 75 H. (ibid., 176 dan 218).

Pemrakarsa kodifikasi hadis adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-Azîz (memerintah 99/717-
101/719 H.). Pada tahap kedua kodifikasi hadis, para ahli diminta untuk menulis dan atau
menulis kembali hafalan dan tulisan para ahli yang memiliki hadis. Sementara para
ilmuan, ketika itu memandang “hafalan” merupakan simbol tingkat intelektual seorang
ilmuwan disamping itu, bangsa Arab dikenal sebagai ummat yang bangga dengan hafalan
(‫)أمة تعتز بحفظها‬. Apa yang memotivasi ‘Umar mengambil kebijakan kodifikasi hadis
tersebut? Ada beberapa faktor yang mendorong ‘Umar melakukan kodifikasi hadis:

Pertama, kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadis, karena para shahâbiy banyak
yang meninggal dunia akibat sering terjadi peperangan dan usia lanjut.

Kedua, kegiatan pemalsuan hadis yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan
perbedaan aliran di kalangan umat Islam semakin marak. Keadaan ini, apabila dibiarkan
terus akan merusak kemurnian ajaran Islam, sehingga upaya menyelamatkan hadis
dengan cara membukukannya setelah melalui seleksi yang ketat harus segera dilakukan.

Ketiga, daerah kekuasaan Islam semakin luas, permasalahan yang dihadapi ummat
semakin banyak dan kompleks. Hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan
petunjuk dari hadis Nabi Saw, selain petunjuk Alquran.

Motif di atas dapat dilihat dalam surat yang dikirim ‘Umar kepada para gubernur.
Diantara pesannya:

‫ فإني خفت دروس العلم و ذهاب العلماء … و‬،‫أنظروا ما كان من حديث رسول ال صلى ال عليه و سلم فاكتبوه‬
‫ فإن العلم ل يهلك حتى يكون سرا‬،‫(… ليفشوا العلم و ليجلسوا حتى يعلم من ل يعلم‬al-Kattâniy, t. th.: 5; Ibn
Sa’d, t. th.: II/387)[1]

Artinya: … telitilah hadis Rasûlullâh Saw dan tulislah, aku mengkhawatirkan upaya
pencarian ilmu dan mangkatnya para ahli … hendaklah ilmu disebarkan dan dikaji,
sehingga orang yang tidak tahu menjadi tahu, ilmu tidak sirna kecuali ia menjadi rahasia

Untuk merealisasikan idenya, Umar menginstruksikan para Gubernur untuk menuliskan


hadis. Diantara gubernur yang dikirim adalah Gubernur al-Madînah –Abû Bakr ibn
Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm. Diantara isi instruksinya sebagai termaktub diatas. Para
gubernur berupaya merealisasikan perintah tersebut dengan meminta para ahli untuk
mewujudkannya. Diantara para ahli yang diminta untuk melakukan penelitian dan
penulisan hadis adalah Ibn Syihâb al-Zuhriy.

Ketika instruksi tersebut sampai kepada mereka, para ahli, sebenarnya, enggan menulis
kembali hadis yang ada pada mereka atau menulis hadis yang ada dalam hafalan mereka.
Karena tingkat intelektualitas mereka diukur dengan hafalan bukan tulisan. Ini terlihat
dari ungkapan sebagian mereka:

‫إن المراء أكرهونا على كتابة الحاديث‬.

Artinya: … para penguasa memaksa kami untuk menulis hadis-hadis …

Karena alasan yang rasional dari instruksi tersebut ditambah lagi bertebarnya hadis palsu
maka para ahli berupaya merealiasikannya. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan berikut:

… 2]… ‫]لول أحاديث سألت علينا من المشرق ننكرها ل نعرفها ما كتبت حديثا ول أذنت في كتابه‬

Artinya: Kalau bukan karena hadis-hadis dari Timur yang kami ingkari lagi tidak kami
ketahui yang kamu tanyakan kepada kami, maka aku tidak akan menulis hadis dan
mengizinkan untuk menuliskannya …

Terdapat rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam menulis hadis. Pertama, sebelum
ditulis, hendaklah dilakukan penelitian sebagai ungkapan berikut (‫)أنظر‬. Dalam penelitian
hendaklah mengikuti sunnah para shahâbiy, dengan meminta saksi bagi yang
mengemukakan hadis, sebagaimana diterapkan oleh Abu Bakr, Umar dan Utsmân, dan
saksi dan sumpah, sebagaimana diterapkan oleh Aliy. Kedua, objek yang diteliti adalah
hadis Rasûlullâh (sebagaimana ungkapan berikut: ‫)ما كان من حديث رسول ال صلى ال عليه و سلم‬.
Karena masa ini adalah masa tâbi’ûn, sehingga ada kemungkinan terdapat perkataan
shahâbat dan tâbi’ûn. Maka objek yang diteliti kemudian ditulis hanyalah hadis Nabi
Saw.

Dari segi produk, perintah Umar ibn ’Abd al-’Azîz menuntut tulisan (‫)فاكتبوه‬.

Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fiy ‘Ulûm al-Hadis, (…: …, …), h. …

Muhammad ibn Ja’far al-Kattâniy, al-Risâlat al-Mustathrifat li Bayân Masyhûr Kutub


al-Sunnah, (Bairût: Dâr al-Fikr, …), h. …

[1]

:‫ عن عبد ال بن دينار قال‬،‫ أخبرنا يحيى بن سعيد‬،‫ أخبرنا يزيد بن هارون‬:‫عمرة بنت عبد الرحمن وعروة بن الزبير‬
‫ أن انظر ما كان من حديث رسول ال صلى ال‬،‫“كتب عمر بن عبد العزيز إلى أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم‬
‫ فإني قد خفت دروس العلم وذهاب أهله‬،‫”عليه وسلم أو سنة ما ضية أو حديث عمرة بنت عبد الرحمن فاكتبه‬.

‫ “ما بقي أحد أعلم بحديث عائشة‬:‫ “قال لي عمر بن عبد العزيز‬:‫ عن محمد بن عبد الرحمن قال‬،‫أخبرت عن شعبة‬
‫ “وكان عمر يسألها‬:‫ قال‬.”‫”منها يعني عمرة‬.
[2] Al-Mizziy, Tahdzîb al-Kamâl, juz VI, h. 466.

:‫ قال‬.‫ “كنت أطوف أنا و ابن شهاب و مع ابن شهاب اللواح و الصحف‬:‫ عن أبيه‬،‫و قال عبد الرحمن بن أبي الزناد‬
‫ زاد في رواية قال وقال الزهري‬.”‫“و كنا نضحك به‬

‫… لول أحاديث سألت علينا من المشرق ننكرها ل نعرفها ما كتبت حديثا ول أذنت في كتابه‬

Komentar RSS feed


Like
Be the first to like this post.

Tinggalkan Balasan

Alamat surel anda tidak akan ditampilkan. Required fields are marked *

Nama *

Email *

Situs web

Komentar

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr
title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code>
<pre> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>

Komentar tulisan

Beritahu saya mengenai komentar-komentar selanjutnya melalui surel.

Beritahu saya tulisan-tulisan baru melalui surel.

« Sejarah Hadis: Prakodifikasi


Sumber Hadis »

Recent entries
o Inkar al-Sunnah [‫]إنكار السنة‬
o Tugas Buat Saudara ?
o Buchari’s Family-02 [‫]أسرة بخاري‬
o Buchari’s Familiy [‫]أسرة بخاري‬
o BuchariBersama Duta Besar Arab Saudi [‫]يخاري مع سفير خادم الحرمين‬
o Sumber Hadis
o Sejarah Hadis: MasaKodifikasi
o Sejarah Hadis: Prakodifikasi
o Pengertian Sunnah [‫]تعريف السنة‬
o Hello world!
Browse popular tags
Meta
o Daftar
o Masuk log
o RSS Entri
o Komentar RSS

C. SEJARAH PEMBUKUAN AL-QUR'AN

A. SEJARAH PEMBUKAAN MUSHAF AL QUR'AN

1. Sejarah Pembukuan Mushaf AI Qur'an pada Masa Rasulullah

Kita telah mengetahui Al-Qur'an itu diturunkan secara berangsur-angsur.

Rasulullah menerima A1-Qur'an melalui malaikat Jibril kemudian beliau ,membacakan

serta. mendiktekannya kepada para sahabat yang mendengarkannya.

Pada priode pertama sejarah pembukuan Al-Qur'an dapat dikatakan bahwa setiap

ayat yang diturunkan kepada Rasulullah selain beliau hafal sendiri juga dihafal dan

dicatat oleh para sahabat. Dengan cara tersebut Al-Qur'an terpelihara di dalam dada dan

ingatan Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an

surat Al-Qiyamah 17 :
Artinya :

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan

(membuatmu pandai,) membacanya.

Ayat di atas memebrikan petunjuk kepada kita bahwa al-qur’an itu dijamin kemurniannya

dan terpelihara serta terkumpul dengan baik sejak saat turunnya sampai sekarang ini.

Pengumpulan ayat Al-Qur’an ini dibantu oleh para sahabat, setiap ayat turun langsung

dicatat pada plepah kurma, kulit binatang, bahkan pada tulang-belulang hewan.

Kelompok pencatat Al-Qur’an ini cukup banyak, sebagaimana diriwayatkan sebuah hadis

yang berbunyi :

Artinya :

Ambillah (pelajarilah) Al-Qur’an itu dari tempat orang (sahabatku): Abdullah ibnu

Mas’ud, Salim, Muadz ibnu Jabal dan Ubay bin Kaab. (H.R Bukhari).

Tugas mencatat wahyu itu telah selesai semuanya menjelang wafatnya Rasulullah SAW.

Semua naskah yang berserakan itu telah terkumpul dan terpelihara dengan baik, akan

tetapi belum disusun dalam satu mushaf.

2. Pembukuan Al-Qur’an masa Khulafaur Rasyidin

Pada waktu Abu Bakar diangkat menjadi khalifah beliau segera memerintahkan agar

naskah yang tersimpan di rumah Rasulullah disalin dan disusun kembali. Pekerjaan ini
dilakukan setelah terjadi perang Yamamah yang mengakibatkan meninggalnya 70 orang

penghafal Al-Qur’an, dan setelah musailamah Al-Kazzab sebagai Nabi palsu

dihancurkan. Gagasan mengumpulkan Al-Qur’an pada masa itu adalah dari sahabat Umar

ibnu Khattab. Umar merasa khawatir akan hilangnya sebagian Al-Qur’an dari

penghafalnya yang telah gugur dalam pertempuran.

Demikianlah khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, penulis suhuf-suhuf di

zaman Rasulullah untuk mengumpulkan suhuf-suhuf Al-Qur'an baik yang terdapat pada

pelepah kurma, tulang hewan maupun dari para penghafal Al-Qur'an yang masih hidup.

Dengan demikian kaum muslimin pada saat itu sepakat meyakini, bahwa mushaf Abu

Bakar adalah mushaf Al-Qur'an yang sahih yang diakui oleh semua sahabat tanpa ada

yang membantah.

Pada masa Urnar bin Khattab tidak ada lagi kegiatan dalam rangka mengumpulkan A1-

Qur'an oleh karena itu pada masa ini Khalifah Umar menitik beratkan kegiatannya pada

penyiaran agama Islam.

Pada masa Khalifah Usman bin Affan wilayah kekuasaan Islam sudah semakin luas, oleh

sebab itu semakin beraneka ragam pula bangsa-bangsa bukan Arab yang memeluk

Agama Islam. Maka timbul lagi persoalan yang berhubungan dengan kitab suci Al-

Qur'an Salah seorang sahabat yang bernama Hudzaifah ibnu Yaman yang baru pulang

dari pertempuran. melaporkan kepada Khalifah Usman bahwa timbul perbedaan pendapat

tentang qiraat (bacaan) Al-Qur'an di kalangan kaum muslimin, bahwa setiap kabilah

mengaku bacaannya adalah Yang paling baik dibanding bacaan kabilah yang lain.
Hudzaifah mengusulkan kepada khalifah agar segera diambil kebijaksanaan untuk

mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut, sebelum terjadi pertengkaran tentang kitab suci

Al Qur'an di antara mereka seperti yang terjadi pada orana Yahudi dan Nasrani tentang

Taurat dan Injil. Usul itu segera diterima Khalifah Usman segera mengirim utusan untuk

meminta mushaf kepada Hafsah yang disimpan di rumahnya untuk disalin (diperbanyak).

Untuk memperbanyak mushaf ini kembli khalifah Usman menunjuk Zaid sebagai

ketuanya dengan anggota-anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan

Abdurahman bin Harits.

Setelah selesai memperbanyak mushaf, maka Usman menyerahkan kembali mushaf yang

asli kepada Hafsah. Kemudian lima mushaf lainnya dikirim kepada penguasa di Mekah,

Kuffah, Basrah dan Suriah, dan salah satunya dipegang oleh Khalifah Usman bin Affan

sendiri.

Demikianlah sejak saat itu mushaf Al Qur'an ter"ebut dinamai mushaf al Imam atau lebih

dikenal dengan mushhaf Usmany, karena disalin pada masa khalifah Usman bin Affan.

di 12:11 AM
Label: SEJARAH PEMBUKUAN AL-QUR'AN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADIS

April 10, 2009 pukul 12:40 am · Disimpan dalam Uncategorized

Oleh: Ikbal Zakaria

A.Pengertian Ilmu Hadist


Menurut Prof Dr T.M Hasbi Asidiq, Ilmu Hadist ialah : ilmu yang berkaitan dengan
hadist.definisi ini dikemukakan mengingat ilmu yang behubungan dengan hadist sangat
banyak macamnya. Hal ini disebabkan karena ulama yang membahas masalah ini juga
banyak, karenanya dijumpai sejumlah istilah yang berkaitan dengan ilmu hadist.

Diantara ulama ada yang menggunakan sejarah ilmu hadsit, ilmu usul Al hadist atau ilmu
musthalah hadist. Ilmu hadist dibagi menjadai dua bagian :
1. Ilmu Hadist Riwayah
Ilmu yang mangetahui perkataan, perbuatan takrir dansifat-sifat Nabi. Dengan kata lain
ilmu hadist riwayah adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang datang dari Nabi
baik perkataan, perbuatan, ataupun takrir.
2. Ilmu Hadist Dirayah
Ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan,
cara-cara menerima dan menyampaikan hadist dan sifat-sifat rawi. Oleh karena itu yang
menjadi objek pembahasan dari ilmu hadist dirayah adalah keadaan matan, sanad dan
rawi hadist
B. Perkembangan Ilmu Hadist
Orang yang melakukan kajian secara mendalam mendapati bahwa dasar-dasar dan
pokok-pokok penting bagi ilmu riwayah dan menyampaikan bertita dijumpai didalam Al
Quran dan Sunnah Nabi. Allah Swt berfirman :

Artinya : “Hai oarang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti” (Qs Al Hujrat 6)

Sedangkan didalam sunnah Rasulullah Saw:


Artinya : “Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar sesuatu berita, yaitu
hadist lalu ia menyampaikan berita itu sebagaimana yang didengar dan mungkin saja
orang yang menerima berita itu lebih faham dari orang yang mendengar. (H.r At
Tirmidzy)
Dalam uapaya melaksanakan perintah Allah dan Rasul nya para sahabat telah
menetapkan hal-hal yang menyangkut penyampaian suatu berita dan penerimaannya,
terutama jika mereka meragukan kejujuran si pembawa berita . berdasarkan hal itu,
tampak nilai dan pembahasan mengenai isnad dalam menerima dan menolak suatu berita.
Didalam pendahuluan kitab Shahih Muslim, dituturkan dari Ibnu Sirin, “dikatakan, pada
awalnya mereka tidak pernah menanyakan tentang isnad, namun setelah terjadi peristiwa
fitnah maka mereka berkata, “sebutkanlah pada kami orang-orang yang meriwayatkan
hadist kepadamu”.
Apabila orang-orang yang meriwayatkan hadist itu adalah ahlu sunnah, maka mereka
ambil hadistnya . jika orang-orang yang meriwayatkan hadistitu adalah ahli bidah maka
mereka tidak mengambilnya.
Berdasarkan hal ini, maka suatau berita tidak bisa diterima kecuali setelah diketahui
sanadnya. Karena itu muncullah ilmu jarah wa ta’dil, ilmu mengenai ucapan para perawi,
cara untuk mengetahui bersambung (Muttasil) atau terputus (munqati)-nya sanad,
mengetahui cacat-cacat yang tersembunyi. Mmuncul pula ucapan-ucapan sebagai
tambahan dari hadist sebagian perawi meskipun sangat sedikit karena masih sedikitnya
para perawi yang tercela pada masa-masa awal. Kemudian para ulama dalam bidang itu
semakin banyak, sehinggga muncul berbagai pembahasaan didalam banayak cabang ilmu
yang terkait denag hadist, baik dari aspek kedhabitannya, tata cara menerima dan
menyampaikannnya, pengetahuan tentang hadist-hadist yang nasikh dari hadist-hadist
yang mansukh dll. Semua itu masih disampaikan ulama secara lisan
Lalu masalah itu pun semakin berkembang lam kelamaan ilmu hadist ini mulai ditulis
dan dibukukan, akan tetapi masih terserap diberbagai tempat didalam kitab-kitab lain
yang bercampur dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul fiqih dan ilmu hadist
contohnya ilmu Ar Risalah dan Al Umm Imam Syafi’I.
Ilmu hadist mengalami perkembangan yang sanagat luart biasa pada awal abad ke tiga
hijriyyah. Hanya saja, perkembangan itu masih berkutat pada upaya mengatahui yang
bisa diterima dan ditolak karenanya pembahasan seputar periwayatan dan hadist yang
diriwayatkan. Menurut sejarah ulama yang pertama-tama menghimpun ilmu hadist
riwayat adalah Muhammad Ibnu Shihab Al Juhri atas perintah dari khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Al Zuhri adalah salah satu seorang tabiin kecil yang banayak mendengar
hadist dari para sahabat dan tabi’in besar.
Sedangkan ilmu hadist dirayah sejak pertengahan abad kedua Hijriyyah telah dibahas
oleh para ulama hadist, tetapi belum dalam bentuk kitab khusus dan belum merupakan
disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada masa Al Qadhi Ibnu Muhammad Al
Ramahurmudzi (265-360 H), barulah kemudian dibukukan dalam kitab khusus yang
dijadikan sebagai disiplin ilmu yang berdidri sendiri.
Setelah itu barulah diikuti oleh ulama-ulama berikutnya seperti Al Hakim Abdul Al
Naysaburi dll. Pada masa ulama konten porer ilmu hadist dirayah dinamakan dengan
Ulumul Hadist dan pada masa terakhir ini lebih mashur. Akhirnya ilmu-ilmu itu semakin
matang , mencapai puncaknya dan memiliki istilah sendiri yang terpisah dengan ilmu-
ilmu lainnya. Hal ini terjadi pada abad ke empat Hijriyyah para ulama menyusun ilmu
msthalah dalam kitab tersendiri, orang yang pertama menyusun kitab ini adalah Qadli
Abu Al Fasih Baina Ar Rawi wa Al-wa’i.
C. Cabang-cabang Ilmu Hadist
Cabang-cabang ilmu hadsit dikelompokan menjadi beberapa hal sebagai berikut :
1. Ilmu Rijal Al Hadist
Ilmu untuk mengetahui para perawi hadist dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadist
ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam bidang ilmu hadist, karena pada saat ini ada
dua yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijal Al Hadist memberikan pengertian kepada
persoalan khusus persoalan seputar sanad
2. Ilmu Al Jarah wa Ta’dil
Ilmu yang membahas kecacatan rawi, seperti keadilan dan kedhabitannya. Sehingga
dapat ditentukan siapa diantara perawi itu yang dapat diterima atau ditolak hadsit yang
diriwayatkannya. Ilmu jarah wa ta’dil ini dikelompokan oleh sebagian ulama kedalam
ilmu hadist yang pokok pembahasannya berpangkal kepada sanad dan matan
3. Ilmu Tarikh Ruwat
Ilmu untuk mengetahui para pwrawi hadist yangberkaitan dengan usaha periwayatan
mereka terhadap hadist. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada
aspek kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan
4. Ilmu Ilalil Hadist
Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang mencacatkan keshahihan
hadist, seperti mengatakan muttasil terhadap hadist munqati menyebat hadist marfu
kepada hadsit mauquf.
5. Ilmu Nasikh wa Mansukh
Ilmu yang membahas hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan
dengan cara menentukan sebagiannya sebagai nasikh dan sebagian lainnya sebagai
mansukh, bahwa yang datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang dinamakan
nasikh.
6. Ilmu Asbabi Wurudil Hadis
Ilmu yang menerangkan sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya nabi
menuturkan itu. Ulama yang mula-mula meyusun kitab ini adalah Abu Hafash Umar ibnu
Muhammad Ibnu Rajak Al Ukbary, dari murid Ahmad
7. Ilmu Ghraib Al Hadist
Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafad-lafad hadist
yang jauh dan sulit dipahami, karena lapad-lapd tersebutjarang digunakan.
Sesudah berlalu masa sahabat, yakni abad pertama dan para tabi’in pada tahun 150 H.
mulailah bahasa arab yang tinggi tidak diketahui lagi umum. Satu-satu orang saja lago
yang mengetahuinya. Oleh karena itu, berusahalah para ahli mengumpul kata-kata yang
dipandang tidak dapat dipahamkan oleh umum dan kata-kata yang kurang terpakai dalam
pergaulan sehari-hari dalam sesuatu kitab dan mengsarahkannya.
8. Ilmu Al Tashif
Ilmu pengetahuan yang berusaha menanamkan tentang hadist-hadist yang sudah diubah
titik atau sakalnya atau bentuknya.
9. Ilmu Muktalif Al Hadist
Ilmu yang membahas hadist-hadist yang menurut lainnya bertentangan atau berlawanan,
kemudian ia menghilangkan pertentangan tersebut atau mengkompromikan antara
keduanya, sebagaimana juga ia membahas tentang hadist-hadist yang sulit difahami isi
atau kandungannya dengan cara menghilangkan kemuskilan atau kesulitannya serta
menjelaska hakikatnya
10. Ilmu Talfiqiel Hadist
Ilmu yang membahaskan tentang cara mengumpulkan antara hadist-hadist yang
berlawanan lahirnya
Dikumpulkan itu adakalanya dengan mentahkhisiskan yang Am atau mentaqyidkan yang
mutlak atau dengan memandang banyak kali terjadi.
Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadist diantara para ulama besar yang
telah berusaha menuyusun ilmu ini ialah Al Imamusy Syafi’I, Ibnu Qutaibah, Ibnul Jauzy
kitabnya bernama At Tahqiq sudah disarahkan oleh Ustad Ahmad Muhammad Syakir.

Cabang-cabang Ilmu Hadits


Posted by Kajian Tafsir Hadits | Posted in Kajian Hadits | Posted on 20.57
untuk membaca artikel yang bersangkutan. Silahkan klik saja!!
1. Ilmu Rijal al-Hadits
2. Tarikh Arruwah
3. Ilmu al-Jarh wa at-Ta'dil
4. Ilmu 'ilal al-Hadits
5. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
6. Ilmu Gharib al-Hadits
7. Ilmu Mukhtalif al-Hadits
8. Ilmu Nasikh wa Mansukh
9. Ilmu Tashif wa at-Tahrif

A. Sejarah

perkembangan ilmu pengetahuan islam pada masa Rasulullah SAW.

Pertumbuhan
ilmu pengetahuan telah terjadi sejak Rasulullah
mendakwahkan agama islam, wahyu pertamanya yaitu surat Al – alaq ayat 1 -
5 bercerita tentang dasar – dasar ilmu pengetahuan, didalam wahyu tersebut
terdapat perintah untuk membaca, Allah pun menegaskan bahwa hakikat ilmu datangnya
dari Allah dan awalnya manusia tidak mengetahui apa – apa. Kata Iqra’
pada ayat ke-1 surat Al- alaq memiliki makna yang beragam, seperti menelaah,
mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu, membaca baik teks maupun bukan teks.
Pada
masa rasulullah, ilmu pengetahuan lebih banyak berkembang dibidang ilmu-ilmu pokok
tentang agama (ushuluddin), dan ilmu akhlak (moral). Akan tetapi ilmu – ilmu
lainnya tetap berkembang walaupun tidak sepesat ilmu agama dan akhlak. Saat itu
pun mulai terjadi proses pengkajian ilmu yang lebih sistematis, diantaranya dasar
– dasar ilmu tafsir yang dikembangkan oleh para sahabat rasulullah.

Diantara
ahli tafsir dimasa Rasulullah yaitu khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay Ibnu Ka’ab, Zaid Ibnu Tsabit, Abu
Musa Al-’Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Dan dari kalangan khalifah empat yang
paling banyak dikenal riwayatnya tentang tafsir adalah Ali bin Abi Thalib r.a.

Ibnu
Abbas adalah anak paman Rasulullah SAW, sekaligus murid
dari Rasulullah. Ia dikenal sebagai ahli bahasa/penterjemah Al-Qur’an. Dia adalah
sahabat yang paling pandai/tahu tentang tafsir Al-Qur’an. Dia mempunyai biografi
yang menunjukkan kebolehan ilmunya dan kedudukannya yang tinggi dalam hal
penggalian
secara mendalam tentang rahasia-rahasia Al-Qur’an.

Selain
Ibnu Abbas, sahabat nabi yang termasuk ahli tafsir ialah Ibnu Mas’ud r.a.
Ia adalah salah seorang yang pertama masuk Islam pada usia 6 tahun. Dari segi hubungan
kenabian ia adalah seorang yang sangat baik dan terdidik. Karena pertimbangan itulah
sahabat lain memandangnya sebagai seorang sahabat yang lebih banyak mengetahui
bidang
Kitabullah Al-Qur’an, mengetahui tentang muhkam dan mutasyabih, halal dan haram.

Selain
para ahli tafsir, kaum yang berjasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman
rasulullah yaitu kaum sufi (ahli ilmu). Kaum sufi yaitu kaum yang menyebarkan ajaran
islam ke berbagai belahan dunia. Pada zaman rasulullah, mereka mempelajari al-Quran
secara langsung dengan Rasulullah s.a.w. mereka adalah orang-orang yang menyediakan
dirinya semata-mata untuk Allah s.w.t dan Rasul-Nya.

Al-Quran
pada jaman Rasulullah SAW.

Pengumpulan
Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:

Pertama
: al Jam’u fis Sudur

yaitu
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima
wahyu.

Kedua : al Jam’u
fis Suthur
yaitu
menyuruh para sahabat untuk menuliskannya kembali setelah dibacakan oleh Rasulullah.
Biasanya sahabat menuliskan Al-Qur’an pada ar-Riqa’ (kulit binatang), al-Likhaf
(lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan
jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu mencapai 40 orang.

Pada zaman Rasulullah


hadits tidak dituliskan sebab:

a) Nabi
sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan
beliau sebagai catatan pribadi.

b)
Rasulullah berada di tengah-tengah ummat Islam sehingga dirasa tidak sangat perlu
untuk dituliskan pada waktu itu.

c)
Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas.

d)
Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada al-Qur’an.

e)
Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan
da’wah
yang sangat penting.
Perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa Rasulullah terus berkembang sampai sekarang, khususnya
dalam bidang ekonomi. Banyak teori tentang ilmu pengetahuan yang sudah ada sejak
jaman Rasulullah dan digunakan didalam zaman yang modern seperti sekarang ini,
diantaranya
teori invisible hands yang berasal dari Nabi Saw dan sangat populer di kalangan
ulama. Teori ini berasal dari hadits Nabi Saw. sebagaimana disampaikan oleh Anas
RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dalam
hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut :

“Harga
melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran
kepada
Rasulullah dengan berkata: “ya Rasulullah hendaklah engkau menetukan harga”.
Rasulullah SAW. berkata:”Sesungguhnya Allah-lah yang menetukan harga, yang
menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku
menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang
kezaliman
dalam darah maupun harta.”

ucapan
Nabi Saw itu mengandung pengertian bahwa harga pasar itu sesuai dengan kehendak
Allah yang sunnatullah.

June 22, 2009 - Posted by Henry Santoso | Religius

B. ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN

Posted Agustus 13, 2008 by ojie in agama, sejarah. 7 Komentar

KHULAFAUR RASYIDIN PADA MASA ISLAM


Adapun Kata "khilafah" atau "khalifah" adalah berasal dari kata kerja
"kh-l-f" yang artinya menggantikan atau berada di belakang sesuatu yang
lain. Khalifah artinya seorang pengganti yang berada di belakang orang
lain yang digantikannya. Khilafah adalah kata benda yang
mengabstraksikan proses penggantian itu.
Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya tidak ada Nabi setelah aku, dan
akan ada para khalifah, dan banyak (jumlahnya)." para sahabat bertanya,
"Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi SAW menjawab, "penuhilah
bai'at yang pertama, dan yang pertama. Dan Allah akan bertanya kepada
mereka apa-apa yang mereka pimpin." (HR. MUSLIM) Rasulullah SAW
berwasiat kepada kaum muslimin, agar jangan sampai ada masa tanpa
adanya khalifah (yang memimpin kaum muslimin). Jika hal ini terjadi,
dengan tiadanya seorang khalifah, maka wajib bagi kaum muslimin
berupaya mengangkat khalifah yang baru, meskipun hal itu berakibat pada
kematian.Sabda Rasulullah SAW : "Barang siapa mati dan dipundaknya
tidak membai'at Seorang imam (khalifah), maka matinya (seperti) mati
(dalam keadaan) jahiliyyah."
Rasulullah SAW juga bersabda : "Jika kalian menyaksikan seorang
khalifah, hendaklah kalian taat, walaupun (ia) memukul punggungmu.
Sesungguhnya jika tidak ada khalifah, maka akan terjadi Kekacauan."
(HR. THABARANI) sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan (kepada
kita) untuk taat kepada khalifah. Allah berfirman : "Hai orang-orang
yang berfirman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri
diantara kamu." (AN NISA :59). Kaum muslimin telah menjaga wasiat
Rasulullah SAW tersebut sepanjang 13 abad. Selama interval waktu itu,
kaum muslimin tidak pernah menyaksikan suatu kehidupan tanpa ada
(dipimpin) seorang khalifah yang mengatur urusan-urusan mereka. Ketika
seorang khalifah meninggal atau diganti, ahlul halli wal 'aqdi segera
mencari, memilih, dan menentukan pengganti khalifah terdahulu. Hal ini
terus berlangsung pada masa-masa islam (saat itu). Setiap masa, kaum
muslimin senantiasa menyaksikan bai'at kepada khalifah atas dasar taat.
Ini dimulai sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga periode para Khalifah
dari Dinasti 'Utsmaniyyah.
Kaum muslimin mengetahui bahwa khalifah pertama dalam sejarah Islam
adalah Abu Bakar ra, akan tetapi mayoritas kaum muslimin saat ini,
tidak mengetaui bahwa Sultan 'Abdul Majid II adalah khalifah terakhir
yang dimiliki oleh umat Islam, pada masa lenyapnya Daulah Khilafah
Islamiyyah akibat ulah Musthafa Kamal yang menghancurkan sistem kilafah
dan meruntuhnya Dinasti 'Utsmaniyyah. Fenomena initerjadi pada tanggal
27 Rajab 1342 H.
Dalam sejarah kaum muslimin hingga hari ini, pemerintah Islam di bawah
institusi Khilafah Islamiah pernah dipimpin oleh 104 khalifah. Mereka
(para khalifah) terdiri dari 5 orang khalifah dari khulafaur raasyidin,
14 khalifah dari dinasti Umayyah, 18 khalifah dari dinasti 'Abbasiyyah,
diikuti dari Bani Buwaih 8 orang khalifah, dan dari Bani Saljuk 11
orang khalifah. Dari sini pusat pemerintahan dipindahkan ke kairo, yang
dilanjutkan oleh 18 orang khalifah. Setelah itu khalifah berpindah
kepada Bani 'Utsman. Dari Bani ini terdapat 30 orang khalifah. Umat
masih mengetahui nama-nama para khulafaur rasyidin dibandingkan dengan
yang lain. Walaupun mereka juga tidak lupa dengan Khalifah 'Umar bin
'Abd al-'Aziz, Harun al-rasyid, Sultan 'Abdul Majid, serta khalifah-
khalifah yang masyur dikenal dalam sejarah.
Adapun nama-nama para khalifah pada masa khulafaur Rasyidin sebagai
berikut:
1. Abu Bakar ash-Shiddiq ra (tahun 11-13 H/632-634 M)
2. 'Umar bin khaththab ra (tahun 13-23 H/634-644 M)
3. 'Utsman bin 'Affan ra (tahun 23-35 H/644-656 M).
4. Ali bin Abi Thalib ra (tahun 35-40 H/656-661 M)
A. URUTAN LENGKAP KHALIFAH SETELAH KHULAFAUR RASYIDIN DALAM LINTASAN
SEJARAH PERJUANGAN ISLAM
Setelah mereka, khalifah berpindah ke tangan Bani Umayyah yang
berlangsung lebih dari 89 tahun. Khalifah pertama adalah Mu'awiyyah.
Sedangkan khalifah terakhir adalah Marwan bin Muhammad bin Marwan bin
Hakam. Masa kekuasaan mereka sebagai berikut:
1. Mu'awiyah bin Abi Sufyan (tahun 40-64 H/661-680 M)
2. Yazid bin Mu'awiyah (tahun 61-64 H/680-683 M)
3. Mu'awiyah bin Yazid (tahun 64-68 H/683-684 M)
4. Marwan bin Hakam (tahun 65-66 H/684-685 M)
5. 'Abdul Malik bin Marwan (tahun 66-68 H/685-705 M)
6. Walid bin 'Abdul Malik (tahun 86-97 H/705-715 M)
7. Sulaiman bin 'Abdul Malik (tahun 97-99 H/715-717 M)
8. 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (tahun 99-102 H/717-720 M)
9. Yazid bin 'Abdul Malik (tahun 102-106 H/720-724 M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (tahun 106-126 H/724-743 M)
11. Walid bin Yazid (tahun 126 H/744 M)
12. Yazid bin Walid (tahun 127 H/744 M)
13. Ibrahim bin Walid (tahun 127 H/744 M)
14. Marwan bin Muhammad (tahun 127-133 H/744-750 M)
Setelah mereka, khalifah berpindah ke tangan Bani Umayyah yang
berlangsung lebih dari 89 tahun. Khalifah pertama adalah Mu'awiyyah.
Sedangkan khalifah terakhir adalah Marwan bin Muhammad bin Marwan bin
Hakam. Masa kekuasaan mereka sebagai berikut :
I. Dari Bani 'Abbas
1. Abul 'Abbas al-Safaah (tahun 133-137 H/750-754 M)
2. Abu Ja'far al-Mansyur (tahun 137-159 H/754-775 M)
3. Al-Mahdi (tahun 159-169 H/775-785 M)
4. Al-Hadi (tahun 169-170 H/785-786 M)
5. Harun al-Rasyid (tahun 170-194 H/786-809 M)
6. Al-Amiin (tahun 194-198 H/809-813 M)
7. Al-Ma'mun (tahun 198-217 H/813-833 M)
8. Al-Mu'tashim Billah (tahun 218-228 H/833-842 M)
9. Al-Watsiq Billah (tahun 228-232 H/842-847 M)
10. Al-Mutawakil 'Ala al-Allah (tahun 232-247 H/847-861 M)
11. Al-Muntashir Billah (tahun 247-248 H/861-862 M)
12. Al-Musta'in Billah (tahun 248-252 H/862-866 M)
13. Al-Mu'taz Billah (tahun 252-256 H/866-869 M)
14. Al-Muhtadi Billah (tahun 256-257 H/869-870 M)
15. Al-Mu'tamad 'Ala al-Allah (tahun 257-279 H/870-892 M)
16. Al-Mu'tadla Billah (tahun 279-290 H/892-902 M)
17. Al-Muktafi Billah (tahun 290-296 H/902-908 M)
18. Al-Muqtadir Billah (tahun 296-320 H/908-932 M)
II. Dari Bani Buwaih 19.Al-Qahir Billah (tahun 320-323 H/932-934 M)
1. Al-Radli Billah (tahun 323-329 H/934-940 M)
2. Al-Muttaqi Lillah (tahun 329-333 H/940-944 M)
3. Al-Musaktafi al-Allah (tahun 333-335 H/944-946 M)
4. Al-Muthi' Lillah (tahun 335-364 H/946-974 M)
5. Al-Thai'i Lillah (tahun 364-381 H/974-991 M)
6. Al-Qadir Billah (tahun 381-423 H/991-1031 M)
7. Al-Qa'im Bi Amrillah (tahun 423-468 H/1031-1075 M)
III. Dari Bani Saljuk
1. Al Mu'tadi Biamrillah (tahun 468-487 H/1075-1094 M)
2. Al Mustadhhir Billah (tahun 487-512 H/1094-1118 M)
3. Al Mustarsyid Billah (tahun 512-530 H/1118-1135 M)
4. Al-Rasyid Billah (tahun 530-531 H/1135-1136 M)
5. Al Muqtafi Liamrillah (tahun 531-555 H/1136-1160)
6. Al Mustanjid Billah (tahun 555-566 H/1160-1170 M)
7. Al Mustadhi'u Biamrillah (tahun 566-576 H/1170-1180 M)
8. An Naashir Liddiinillah (tahun 576-622 H/1180-1225 M)
9. Adh Dhahir Biamrillah (tahun 622-623 H/1225-1226 M)
10. al Mustanshir Billah (tahun 623-640 H/1226-1242 M)
11. Al Mu'tashim Billah ( tahun 640-656 H/1242-1258 M)
Setelah itu kaum muslimin hidup selama 3,5 tahun tanpa seorang khalifah
pun. Ini terjadi karena serangan orang-orang Tartar ke negeri-negeri
Islam dan pusat kekhalifahan di Baghdad. Namun demikian, kaum muslimin
di Mesir, pada masa dinasti Mamaluk tidak tinggal diam, dan berusaha
mengembalikan kembali kekhilafahan. kemudian mereka membai'at Al
Muntashir dari Bani Abbas. Ia adalah putra Khalifah al-Abbas al-Dhahir
Biamrillah dan saudara laki-laki khalifah Al Mustanshir Billah, paman
dari khalifah Al Mu'tashim Billah. Pusat pemerintahan dipindahkan lagi
ke Mesir. Khalifah yang diangkat dari mereka ada 18 orang yaitu :
1. Al Mustanshir billah II (taun 660-661 H/1261-1262 M)
2. Al Haakim Biamrillah I ( tahun 661-701 H/1262-1302 M)
3. Al Mustakfi Billah I (tahun 701-732 H/1302-1334 M)
4. Al Watsiq Billah I (tahun 732-742 H/1334-1354 M)
5. Al Haakim Biamrillah II (tahun 742-753 H/1343-1354 M)
6. Al Mu'tadlid Billah I (tahun 753-763 H/1354-1364 M)
7. Al Mutawakkil 'Alallah I (tahun 763-785 H/1363-1386 M)
8. Al Watsir Billah II (tahun 785-788 H/1386-1389 M)
9. Al Mu'tashim (tahun 788-791 H/1389-1392 M)
10. Al Mutawakkil 'Alallah II (tahun 791-808 H/1392-14-9 M)
11. Al Musta'in Billah (tahun 808-815 H/ 1409-1426 M)
12. Al Mu'tadlid Billah II (tahun 815-845 H/1416-1446 M)
13. Al Mustakfi Billah II (tahun 845-854 H/1446-1455 M)
14. Al Qa'im Biamrillah (tahun 754-859 H/1455-1460 M)
15. Al Mustanjid Billah (tahun 859-884 H/1460-1485 M)
16. Al Mutawakkil 'Alallah (tahun 884-893 H/1485-1494 M)
17. Al Mutamasik Billah (tahun 893-914 H/1494-1515 M)
18. Al Mutawakkil 'Alallah OV (tahun 914-918 H/1515-1517 M)
Ketika daulah Islamiyah Bani Saljuk berakhir di anatolia, Kemudian
muncul kekuasaan yang berasal dari Bani Utsman dengan pemimpinnya
"Utsman bin Arthagherl sebagai khalifah pertama Bani Utsman, dan
berakhir pada masa khalifah Bayazid II (918 H/1500 M) yang diganti oleh
putranya Sultan Salim I. Kemuadian khalifah dinasti Abbasiyyah, yakni
Al Mutawakkil "alallah diganti oleh Sultan Salim. Ia berhasil
menyelamatkan kunci-kunci al-Haramain al-Syarifah. Dari dinasti
Utsmaniyah ini telah berkuasa sebanyah 30 orang khalifah, yang
berlangsung mulai dari abad keenam belas Masehi. nama-nama mereka
adalah sebagai berikut:
1. Salim I (tahun 918-926 H/1517-1520 M)
2. Sulaiman al-Qanuni (tahun 916-974 H/1520-1566 M)
3. Salim II (tahun 974-982 H/1566-1574 M)
4. Murad III (tahun 982-1003 H/1574-1595 M)
5. Muhammad III (tahun 1003-1012 H/1595-1603 M)
6. Ahmad I (tahun 1012-1026 H/1603-1617 M)
7. Musthafa I (tahun 1026-1027 H/1617-1618 M)
8. 'Utsman II (tahun 1027-1031 H/1618-1622 M)
9. Musthafa I (tahun 1031-1032 H/1622-1623 M)
10. Murad IV (tahun 1032-1049 H/1623-1640 M)
11. Ibrahim I (tahun 1049-1058 H/1640-1648 M)
12. Mohammad IV (1058-1099 H/1648-1687 M)
13. Sulaiman II (tahun 1099-1102 H/1687-1691M)
14. Ahmad II (tahun 1102-1106 H/1691-1695 M)
15. Musthafa II (tahun 1106-1115 H/1695-1703 M)
16. Ahmad II (tahun 1115-1143 H/1703-1730 M)
17. Mahmud I (tahun 1143-1168/1730-1754 M)
18. "Utsman IlI (tahun 1168-1171 H/1754-1757 M)
19. Musthafa II (tahun 1171-1187H/1757-1774 M)
20. 'Abdul Hamid (tahun 1187-1203 H/1774-1789 M)
21. Salim III (tahun 1203-1222 H/1789-1807 M)
22. Musthafa IV (tahun 1222-1223 H/1807-1808 M)
23. Mahmud II (tahun 1223-1255 H/1808-1839 M)
24. 'Abdul Majid I (tahun 1255-1277 H/1839-1861 M)
25. "Abdul 'Aziz I (tahun 1277-1293 H/1861-1876 M)
26. Murad V (tahun 1293-1293 H/1876-1876 M)
27. 'Abdul Hamid II (tahun 1293-1328 H/1876-1909 M)
28. Muhammad Risyad V (tahun 1328-1339 H/1909-1918 M)
29. Muhammad Wahiddin II (tahun 1338-1340 H/1918-1922 M)
30. 'Abdul Majid II (tahun 1340-1342 H/1922-1924 M)
Sekali lagi terjadi dalam sejarah kaum muslimin, hilangnya
kekhalifahan. Sayangnya, kaum muslimin saat ini tidak terpengaruh,
bahkan tidak peduli dengan runtuhnya kekhilafahan. Padahal menjaga
kekhilafahan tergolong kewajiban yang sangat penting. Dengan lenyapnya
institusi kekhilafahan, mengakibatkan goncangnya dunia Islam, dan
memicu instabilitas di seluruh negeri Islam. Namun sangat disayangkan,
tidak ada (pengaruh) apapun dalam diri umat, kecuali sebagian kecil
saja.Jika kaum muslimin pada saat terjadinya serangan pasukan Tartar ke
negeri mereka, mereka sempat hidup selama 3,5 tahun tanpa ada khalifah,
maka umat Islam saat ini, telah hidup selama lebih dari 75 tahun tanpa
keberadaan seorang khalifah. Seandainya negara-negara Barat tidak
menjajah dunia Islam, dan seandainya tidak ada penguasa-penguasa muslim
bayaran, seandainya tidak ada pengaruh tsaqofah, peradaban, dan
berbagai persepsi kehidupan yang dipaksakan oleh Barat terhadap kaum
muslimin, sungguh kembalinya kekhilafahan itu akan jauh lebih mudah.
Akan tetapi kehendak Allah berlaku bagi ciptaanNya dan menetapkan umat
ini hidup pada masa yang cukup lama.
Umat Islam saat ini hendaknya mulai rindu dengan kehidupan mulia di
bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Dan Insya Allah Daulah
Khilafah itu akan berdiri. Sebagaimana sabda Rasulullah "...kemudian
akan tegak Khilafah Rasyidah yang sesuai dengan manhaj Nabi". Kami
dalam hal ini tidak hanya yakin bahwa kekhilafahan akan tegak, lebih
dari itu, kota Roma (sebagai pusat agama Nashrani) dapat ditaklukkan
oleh kaum muslimin setelah dikalahkannya Konstantinopel yang sekarang
menjadi Istambul. Begitu pula daratan Eropa, Amerika, dan Rusia akan
dikalahkan. Kemudian Daulah Khilafah Islamiyah akan menguasai seluruh
dunia setelah berdirinya pusat Daulah Khilafah. Sungguh hal ini dapat
terwujud dengan Izin Allah. Kita akan menyaksikannya dalam waktu yang
sangat dekat.
B. PENGUMPULAN AL-QUR’AN PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
1. Al – Qur’an Pada Masa Khalifah Abu Bakar
Setelah Nabi wafat kaum muslimin mengangkat Abu Bakar Shiddik
menggantikan beliau sebagai khalifah yang pertama pada masa permulaan.
Kekhalifahan pemerintahan Abu Bakar timbul suatu keadaan yang mendorong
pengumpulan ayat – ayat Al – Qur’an dalam satu mushaf. Keadaan itu
ialah sebagian besar orang – orang yang hafa Al – Qur’an gugur syahidah
dalam perang Yamamah. Timbullah kekhawatiran akan hilangnya beberapa
ayat dari Al – Qur’an, jika semua huffazhul Qur’an sudah tidak ada lagi.
Yang mula – mula sadar akan hal ini ialah Umar bin Khatab, lalu beliau
mengingatkan khalifah akan bahaya yang mengancam keutuhan Al – Qur’an.
Umar menyarankan supaya khalifah mengambil langkah – langkah untuk
mengamankan Al – Qur’an, yaitu dengan mengumpulkan ayat – ayat Al –
Qur’an dalam satu mushaf. Umar bin Khatab pergi ke khalifah Abu Bakar
dan bermusyawarah dengannya dalam hal itu salah satu yang diucapkan
Umar adalah : “Saya berpendapat lebih baik anda memerintahkan manusia
untuk mengumpulkan Al – Qur’an”. Abu Bakar menjawab : “Bagaimana kita
akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw”. Umar balas menjawab : “Ini demi Allah akan membawa kebaikan”.
Umar masih terlibat dialog dengan Abu Bakar sehingga Allah melapangkan
dada Abu Bakar (menerima usulan Umar).
Lalu Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit sembari berkata padanya :
“Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang berakal cerdas dan
konsisten. Engkau telah menulis wahyu di zaman Rasulullah saw, maka aku
memintamu untuk mengumpulkannya”. Zaid menjawab : “Demi Allah,
seandainya engkau memaksaku untuk memindahkan satu gunung dari gunung
yang lain maka itu tidak lebih berat bagiku daripada perintahmu
kepadaku mengumpulkan Al – Qur’an”. Aku berkata : “Bagaimana engkau
melakukan sesuatu yang belum pernah Rasulullah saw?” Dia menjawab :
“Demi Allah, itu membawa kebaikan”. Abu Bakar senantiasa “membujukku”
hingga Allah melapangkan dadau, sebagaimana sebelumnya Dia melapangkan
dada Abu Bakar dan Umar. Maka akupun mulai mencari AL – Qur’an,
kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan – kepingan batu dan dari
hafalan – hafalan para penghapal, sampai akhirnya akan mendapatkan
akhir surat Taubah berada pada Abu Khuzaimah Al – Ansari. Zaid bin
Tsabit bertindak sangat teliti dan hati – hati.
2. Al – Qur’an Pada Masa Khalifah Umar bin Khatab
Pada masa khalifah Umar bin Khatab kegiatan penyiaran dan dakwah Islam
demikian pesat sehingga daerah khalifah Islam sampai ke Mesir dan
Persia Khalifah Umar bin Khattab mengarahkan pada kegiatan dakwah
tersebut. Kumpulan Al – Qur’an yang disimpan oleh Abu Bakar kemudian
disimpan oleh Umar hanya disalin menjadi satu shuhuf. Hal ini
dimaksudkan agar Al – Qur’an yang telah dikumpulkan itu terpelihara
dalam bentuk tulisan yang original atau bersifat standarisasi. Pada
masa itu masihbanyak para sahabat yang hafal Al – Qur’an yang dapat
mengajarkannya kepada para sahabat yang lain.
Setelah Umar wafat shuhuf itu disimpan oleh Hafsah Bin Umar denangan
pertimbanga bahwa Hafsah adalah istri Nabi Muhammad saw dan putri Umar
yang pandai membaca dan menulis.
3. Al – Qur’an Pada Masa Khalifah Usman
Pada masa khalifah Usman bin Affanm timbul hal – hal yang menyadarkan
khalifah akan perlunya memperbanyak naskah shuhuf dan mengirimkannya ke
kota – kota besar dalam wilayah negara Islam, kesadaran ini timbul
karena para huffazal Qur’an telah bertebaran ke kota – kota besar dan
diantara mereka terdapat perbedaan bacaan terhadap beberapa huruf dari
Al – Qur’an. Karena perbedaan dialek bahasa mereka. Selanjutnya masing
– masing menganggap mereka bacaannya yang lebih tepat dan baik.
Berita perselisihan itu sampai ketelinga Usman dan beliau menganggap
hal itu sebagai sumber bahaya besar yang harus segera diatasi. Beliau
memintan kepada Hafsah binti Umar supaya mengirimkan mushaf Abu Bakar
yang ada padanya.
Kemudian khalifah menugaskan : Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair,
Said bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin
(membukukan) menjadi beberapa shuhuf.
Setelah selesai penghimpunannya, mushaf asli dikembalikan ke Hafsah dan
tujuh mushaf yang telah disalin, masing – masing dikirimkan ke kota –
kota Kufah, Bashrah, Damaskus, Mekah, Madinah dan Mesir, khalifah
meninggalkan sebuah dari tujuh mushaf itu untuk dirinya sendiri. Dalam
penyalinan (pembukuan) Al – QUR’an itu dimana amat teliti dan tegas,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Jarir mengatakan berkenaan apa
yang telah dilakukan Usman “Ia telah menyatukan umat Islam dalam satu
mushaf dan satu shuhuf, sedangkan mushaf yang lain di sobek.
C. SEJARAH PERUNDANGAN ISLAM DI MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Zaman ini pula merangkumi zaman khalifah yang empat iaitu Abu Bakar
r.a, Umar ibn al-Khaţţāb, Uthman ibn al-Affān dan juga Ali ibn Abi
Tālib . Zaman ini bermula selepas kewafatan baginda yang bermula pada
tahun 11 Hijrah sehinggalah kewafatan khalifah al-Rāsyidin yang keempat
iaitu Ali bin Abi Tālib pada tahun 40 Hijrah . Jawatan Khalifah Islam
Pertama di sandang oleh Abu Bakar al-Siddiq dan diikuti oleh Umar ibn
al-Khaţţāb, Uthman Ibn al-Affān dan selepas itu Ali ibn Abi Talib.
Perundangan pada zaman Khalifah al-Rāsyidin ini juga masih berpegang
kuat kepada al-Quran dan Hadis. Ijtihad hanya akan digunakan apabila
tiadanya nas di dalam kedua-dua sumber tersebut
1. Metodologi Perundangan
Cara-cara khalifah al-Rāsyidin apabila muncul masalah-masalah hukum
ialah mereka akan terus merujuk kepada al-Quran. Seandainya mereka
menemui nas yang terkandung di dalam al-Quran mengenai masalah
tersebut, mereka akan menghukum menggunakan nas tersebut. Ini adalah
bertepatan dengan firmanNya: Al-nisa 59
Seterusnya, setelah merujuk al-Quran, tetapi tiada nas yang menyebut
tentang masalah tersebut mereka akan merujuk kepada Hadis serta fatwa-
fatwa Rasulullah. Selain daripada itu, mereka juga turut mengadakan
perbincangan dengan sahabat-sahabat lain sama ada ada di kalangan
mereka yang mengetahui atau mendengar tentang hadis-hadis Rasulullah
s.a.w mengenai perkara tersebut. Sekiranya ada, mereka akan menghukum
dengan perkara tersebut. Hal ini juga bertepatan dengan FirmanNya: Al-
Nisa 59.
Kemudian, setelah mengkaji di dalam al-Quran, Hadis, dan juga bertanya
kepada para sahabat yang lain tentang hadis ataupun fatwa Baginda s.a.w
dan tiada di antara mereka yang mengetahui tentangnya, meraka akan
mengadakan mesyuarat di antara ahli Fiqh dan juga Sahabat untuk
membincangkannya. Sekiranya terdapat persepakatan, mereka akan
menghukum berdasarkan persepakatan tersebut. Persepakatan ini dikenali
sebagai Ijma’ sahabat. Ia juga adalah salah satu sumber hukum dan dalil
kepada permasalahan yang timbul.
Seterusnya mereka akan berijtihad berpandukan al-Quran dan Hadis
sekiranya tiada nas yang jelas tentang sesuatu permasalahan pada ketika
itu. Ini adalah kerana pada ketika itu, banyak masalah baru yang telah
lahir dan tiada nas menyebut tentangnya. Permasalahan-permasalahan
tersebut juga tidak pernah berlaku pada zaman Rasulullah s.a w, maka,
tiada Hadis juga yang menyebut tentang permasalahan tersebut. Justeru
itu, jalan terbaik untuk para sahabat menyelesaikan masalah tersebut
adalah dengan berijtihad.
2. Sumber-Sumber Perundangan
Terdapat empat sumber perundangan yang digunakan pada zaman Khalifah
al-Rāsyidin iaitu:
a. Al-Quran
Pada zaman Abu Bakar, telah terjadi peperangan al-Yamamah yang
menyebabkan ramai kaum muslimin mati syahid termasuklah 70 orang di
antaranya yang terdiri daripada penghafaz al-Quran. Umar yang
mengetahui tentang perkara ini telah mencadangkan kepada Khalifah Abu
Bakar supaya mengumpulkan al-Quran di dalam satu Mushaf. Walaupun pada
mulanya beliau kurang bersetuju kerana perkara itu tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah s.a.w tetapi, apabila beliau mendapati banyak
kebaikan daripada cadangan tersebut. Beliau akhirnya memerintahkan Zaid
bin Thabit untuk mengetuai pengumpulan tersebut dan membentuk
jawatankuasa untuk membantu Zaid. Mereka menyalin ayat-ayat al-Quran
tersebut dan membandingkannya dengan hafalan para sahabat yang lain.
Pada Zaman pemerintahan khalifah Uthman ibn al-Affan pula telah
berlakunya penulisan al-Quran. Empat orang sahabat yang terlibat dengan
penulisan al-Quran iaitu Zaid ibn Thabit, Abdullah ibn al-Zubair, Sa’ad
ibn al-As dan Abdul Rahman ibn al-Harith telah menyalin semula mashaf
yang telah ditulis pada zaman Abu Bakar. Setelah siap di salin,
salinan-salinan mashaf itu di hantar ke setiap wilayah Islam iaitu
Kufah, Basrah, Damsyiq, Mekah dan juga Madinah. Mushaf-mushaf selainnya
dibakar atas arahan khalifah Uthman ibn Affan. Beliau sendiri turut
menyimpan satu mushaf yang dikenali sebagai Mushaf al-Imam.
b. Hadis
Sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam al-Quran, hadis adalah
sumber kedua dalam menetapkan hukum. Oleh yang sedemikian, pada zaman
Khalifah al-Rasyidin ini juga, Hadis turut menjadi sumber kedua selepas
al-Quran dalam perundangan Islam pada ketika itu. Di antara contoh-
contoh yang menunjukkan bahawa Khalifah al-Rasyidin berhujah
menggunakan Hadis Rasulullah s.a.w ialah pada zaman pemerintahan Abu
Bakar, seorang nenek telah datang bertemu beliau yang mendakwa dia
berhak mendapat pusaka. Beliau telah berkata kepada nenek tersebut
bahawasanya beliau tidak menjumpai di dalam al-Quran tentang nas yang
menyebut mengenai pusaka yang patut diterima oleh nenek tersebut.
Beliau juga telah memberitahu nenek tersebut yang beliau tidak tahu
mengenai hukum terhadap perkara perwarisan tersebut walaupun dari
Rasulullah sendiri. Oleh itu, Abu Bakar telah bertanya kepada para
sahabat yang lain mengenai hak perwarisan dan al-Mughirah ibn Syu’bah
bangun dan berkata: Maksudnya: Daku hadir bersama rasulullah s.a.w,
lalu Baginda memberikan kepadanya (nenek itu) 1/6 daripada harta
pusakanya. Serentak dengan itu, Muhammad ibn Maslamah telah memberi
saksi bahawa apa yang dikatakan oleh Mughirah adalah benar dan ekoran
daripada itu, Abu Bakar telah menghukum bahawa nenek tersebut mendapat
1/6 daripada harta pusaka .
Selain daripada Khalifah Abu Bakar, Uthman juga turut berhujah dengan
hadis sepertimana Abu Bakar. Contohnya, pernah di suatu ketika Uthman
telah pergi ke tempat mengambil wuduk dan meminta di ambilkan air untuk
berwuduk. Kemudian, beliau telah berkumur dan membasuh hidung, membasuh
muka 3 kali, kedua-dua belah tangan sebanyak tiga kali, menyapu air ke
kepala sebanyak tiga kali dan membasuh kedua kaki sebanyak 3 kali dan
beliau berkata bahawa beliau telah melihat Rasulullah berwuduk
sedemikian. Ini menunjukkan bahawa beliau juga melakukan sesuatu dan
menghukumkan sesuatu berdasarkan Sunnah Rasulullah s.a.w
c. Ijma’
Ijma’ ialah persepakatan di kalangan para mujtahid mengenai sesuatu
hukum syarak. Perselisihan hukum pada zaman khalifah al-Rasyidin
berbeza sedikit berbanding dengan zaman selain mereka kerana apabila
dikemukakan masalah hukum, mereka akan bermesyuarat untuk mendapatkan
fatwa. Jika berlaku perselisihan, mereka akan cuba berbincang untruk
mendapatkan persepakatan yang mana ia dinamakan Ijma’.
Pada ketika ini juga, para khalifah senang untuk bersepakat kerana
beberapa faktor. Di antaranya ialah kerana sebilangan besar dari mereka
tinggal di satu tempat sahaja dan ini memudahkan mereka untuk berkumpul
dan mencapai persepakatan. Selain daripada itu, periwayatan hadis juga
belum tersebar luas dan hal ini menyebabkan kurangnya percanggahan
terhadap sesuatu hukum. Seterusnya, sumber-sumber perundangan pada
ketika itu hanyalah sumber yang disepakati sahaja iaitu al-Quran,
Hadis, Ijma’ dan juga al-Qiyas. Ini menyebabkan para sahabat hanya
kerap merujuk kepada keempat-empat sumber ini sahaja. Sikap sahabat
yang amat berhati-hati dan warak juga turut menjadi salah satu faktor
kurangnya perselisihan dan terbentuknya persepakatan di antara mereka.
Walaupun kadangkala terdapat juga perselisihan yang berlaku, namun,
mereka tidak mudah memperkecilkan pendapat sahabat yang lain,
sebaliknya mereka akan cuba mempertimbangkannya dengan tidak menolaknya
bulat-bulat .
d. Ijtihad
Ijtihad juga adalah salah satu sumber perundangan pada zaman Khalifah
al-Rasyidin. Walaupun semasa hayat baginda Rasulullah s.a.w baginda
lebih berkuasa untuk berijtihad, namun, baginda turut mengamanahkan
para sahabat yang tertentu untuk berijtihad. Contohnya ialah ijtihad
Ali ibn abi Talib terhadap satu perselisihan ketika Baginda s.a.w
mengutuskan beliau ke Yaman dan bersabda: Maksudnya: Sesungguhnya Allah
S.W.T akan memberi petunjuk ke dalam hatimu dan mnetapkan lidah mu.
Sekalipun ijtihad adalah sumber perundangan, namun, hukum-hukum yang di
bina berdasarkan ijtihad ini kadangkala bercanggah kerana berbezanya
pandangan atau pendapat di antara sahabat.
3. Keistimewaan Perundangan
Di antara keistimewaan prundangan pada zaman Khalifah al-Rasyidin ialah
:
a. Telah berlakunya pengumpulan dan pembukuan al-Quran sepenuhnya.
Setiap salinan dikirimkan ke setiap wilayah Islam supaya tidak berlaku
perpecahan yang mungkin terjadi disebabkan oleh perselisihan dalam
pembacaannya.
b. Manakala hadis pada ketika itu belum lagi menjalani proses yang sama
sepertimana al-Quran sebaliknya masih berselerak, di hafal oleh para
sahabat dan periwayatannya hanya secara lisan. Periwayatan hadis pada
ketika itu juga masih belum meluas ekoran daripada tindakan para
Khalifah al-Rasyidin yang menetapkan syarat yang ketat sebelum menerima
sesebuah hadis.
c. Pada zaman ini juga telah terbentuknya satu sumber perundangan lain
selain al-Quran dan hadis iaitu Ijma para sahabat yang juga menjadi
salah satu sumber yang wajib diikuti sehingga kini.
by. deep sejarah.

C. Sejarah Islam Masa Bani Umayyah

MASA UMAYYAH

Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika muawiyah


mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid
muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap
menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu
untuk mengagungkan jabatan tersebut, dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam
pengertian “Penguasa” yang diangkat oleh Allah. Khalifah besar Bani Umayyah ini
adalah :
- Muawiyah Ibn Abi Sufyan (661M-680M)

- Abd Al-Malik Ibn Marwar (685M-705M)

- Al-Walid Ibn Abd Malik (705M-715M)

- Umar Ibn Abd Al-Aziz (717M-720M)

- Hasyim Ibn Abd Al-Malik (724M-743M)

A. Kebijakan Politik Dan Ekonomi

Sistem Politik Dan Perluasan Wilayah

Dijaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Disebelah timur, Muawiyah dapat


menguasai daerah Khurasan sampai kesungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul.
Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibu Kota Bizantium, Konstantinopel.
Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd
Al-Malik, dia menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Baikh,
Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Mayoritas penduduk dikawasan ini
kaum Paganis. Pasukan islam menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41H / 661M.
pada tahun 43H / 663M mereka mampu menaklukkan Salistan dan menaklukkan
sebagian wilayah Thakaristan pada tahun 45H / 665M. Mereka sampai kewilayah
Quhistan pada tahun 44H / 664M. Abdullah Bin Ziyad tiba dipegunungan Bukhari. Pada
tahun 44H / 664M para tentaranya datang ke India dan dapat menguasai
Balukhistan,Sind, dan daerah Punjab sampai ke Maitan.

Ekspansi kebarat secara besar-besaran dilanjutkan dijaman Al-Walid Ibn Abd


Abdul Malik (705M-714M). Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman,
kemakmuran dan ketertiban. Umat islam merasa hidup bahagia, tidak ada pemberontakan
dimasa pemerintahanya. Dia memulai kekuasaannya dengan membangun Masjid Jami’
di Damaskus. Masjid Jami’ ini dibangun dengan sebuah arsitektur yang indah, dia juga
membangun Kubbatu Sharkah dan memperluas masjid Nabawi, disamping itu juga
melakukan pembangunan fisik dalam skala besar.
Pada masa pemerintahannya terjadi penaklukan yang demikian luas, penaklukan ini
dimulai dari Afrika utara menuju wilayah barat daya, benua eropa yaitu pada tahun
711M. Setelah Al Jazair dan Maroko dapat ditaklukkan, Tariq Bin Ziyad pemimpin
pasukan islam dengan pasukannya menyebrangi selat yang memisahkan antara Maroko
dengan Benua Eropa dan mendarat disuatu tempat yang sekarang dikenal nama Bibraltar
(Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan, dengan demikian Spanyol menjadi
sasaran ekspansi.

Selanjutnya Ibu Kota Spanyol Kordova dengan cepatnya dapat dikuasai, menyusul
setelah itu kota-kota lain seperti Sevi’e, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota
Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan islam memperoleh dukungan dari
rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Pada masa inilah
pemerintah islam mencapai wilayah yang demikian luas dalam rentang sejarahnya, dia
wafat pada tahun 96H / 714M dan memerintah selama 10 tahun.

Dijaman Umar Ibn Ab Al-Aziz masa pemerintahannya diwarnai dengan banyak


Reformasi dan perbaikan. Dia banyak menghidupkan dan memperbaiki tanah-tanah yang
tidak produktif, menggali sumur-sumur baru dan membangun masjid-masjid. Dia
mendistribusikan sedekah dan zakat dengan cara yang benar hingga kemiskinan tidak ada
lagi dijamannya. Dimasa pemerintahannya tidak ada lagi orang yang berhak menerima
zakat ataupun sedekah. Berkat ketaqwa’an dan kesalehannya, dia dianggap sebagai salah
seorang Khulafaur Rasyidin. Penaklukan dimasa pemerintahannya pasukan islam
melakukan penyerangan ke Prancis dengan melewati pegunungan Baranese mereka
sampai ke wilayah Septomania dan Profanes, lalu melakukan pengepungan Toulan
sebuah wilayah di Prancis. Namun kaum muslimin tidak berhasil mencapai kemenangan
yang berarti di Prancis. sangat sedikit terjadi perang dimasa pemerintahan Umar. Dakwah
islam marak dengan menggunakan nasehat yang penuh hikmah sehingga banyak orang
masuk islam, masa pemerintahan Umar Bin Abd Aziz terhitung pendek.

Dijaman Hasyim Ibn Abd Al-Malik (724-743M) pemerintahannya dikenal dengan


adanya perbaikan-perbaikan dan menjadikan tanah-tanah produktif. Dia membangun kota
Rasyafah dan membereskan tata administrasi. Hasyim dikenal sangat jeli dalam berbagai
perkara dan pertumpahan darah. Namun dia dikenal sangat kikir dan pelit. Penaklukan
dimasa pemerintahannya yang dipimpin oleh Abdur Rahman Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan
menyerang Bordeau, Poitiers, dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam
peperangan yang terjadi diluar kota Tours, Al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur
kembali ke Prancis pada tahun 114H / 732M. peristiwa penyerangan ini merupakan
peristiwa yang sangat membahayakan Eropa.

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik ditimur maupun barat.


Wilayah kekuasaan islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah
itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia
kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan Purkmenia, Ulbek, dan
Kilgis di Asia Tengah.

Khususnya dibidang Tashri, kemajuan yang diperoleh sedikit sekali, sebab


kurangnya dukungan serta bantuan pemerintah (kerajaan) waktu itu. Baru setelah masa
khalifah Umar Bin Abd Al-Aziz kemajuan dibidang Tashri mulai meningkat, beliau
berusaha mempertahankan perkembangan hadits yang hampir mengecewakan, karena
para penghafal hadits sudah meninggal sehingga Umar Bin Abd Al-Aziz berusaha untuk
membukukan Hadits.

Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa
politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya
dengan Hasan Ibn Ali ketika dia naik tahta yang menyebutkan bahwa persoalan
pergantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat islam.
Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya
gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang
saudara beberapa kali dan berkelanjutan.

Sistem Ekonomi

Bidang-bidang ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah terbukti berjaya
membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu:
- Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan
sector pertanian, beliau telah memperkenalkan system pengairan bagi tujuan
meningkatkan hasil pertanian.

- Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraftangan telah menjadi nadi


pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.

B. Sistem Peradilan Dan Pengembangan Peradaban

Meskipun sering kali terjadi pergolakan dan pergumulan politik pada masa
pemerintahan Daulah Bani Umayyah, namun terdapat juga usaha positif yang dilakukan
daulah ini untuk kesejahteraan rakyatnya.

Diantara usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayyah
dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh system
pemerintahan dan menata administrasi, antara lain organisasi keuangan. Organisasi ini
bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan untuk:

- Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha Negara.

- Pembangunan pertanian, termasuk irigasi.

- Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang

- Perlengkapan perang

Disamping usaha tersebut daulah Bani Umayyah memberikan hak dan


perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya.
Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan
kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga
kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim
(Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan
Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau
dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan
suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.

Disamping itu, kekuasaan islam pada masa Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam
pengembangan peradaban seperti pembangunan di berbagai bidang, seperti:

- Muawiyah mendirikan Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan


kuda dengan peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan
angkatan bersenjata.

- Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat


lambang Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai
lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.

- Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-Malik
membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal
dengan “The Dame Of The Rock” (Gubah As-Sakharah).

- Pembuatan mata uang dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan
keseluruh penjuru negeri islam.

- Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat
untuk orang-orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.

- Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Uthman sebagai
Amir Al-Bahri, tentu akan mengembangkan idenya dimasa dia berkuasa, sehingga
kapal perang waktu itu berjumlah 1700 buah.

Pada masa Umayyah, (Khalifah Abd Al-Malik) juga berhasil melakukan


pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab
sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.

Kemajuan Sistem Militer


Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani
Umayyah adalah kemajuan dalam system militer. Selama peperangan melawan kakuatan
musuh, pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur
kemudian mereka memadukannya dengan system dan teknik pertahanan yang selama itu
mereka miliki, dengan perpaduan system pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan
dan militer Dinasti Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat
baik dengan kemajuan-kemajuan dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani
Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa.

Secara garis besar formasi kekuatan tentara Bani Umayyah terdiri dari pasukan
berkuda, pasukan pejalan kaki dan angkatan laut.

C. Sistem Pergantian Kepala Negara Dan Keruntuhan Umayyah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah


lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain
adalah:
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru
(bid’ah) bagi tradisi Islam yang lebih menekankan aspek senioritas.
Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah ini
menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota
keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari
konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut
Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik
secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti
di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-
gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara
(Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman
sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa
Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan
wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu
menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab
yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup
mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul
beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, para
Ulama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan
agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah
munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-
Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan kaum
mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
Wallahul Musta,’an.
Diposkan oleh Rudi Arlan Al-farisi di 13.05
Label: Sejarah Peradaban Islam - Masa Umayyah

D. Islam Pada Masa Bani Abbasiyah


Posted: 7th April 2010 by M. Wahyu in Uncategorized
0

Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad,


mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu
pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan
kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan
kemudian diikuti oleh orang Mameluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai
mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.

Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia
Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasyiah mengklaim bahwa dinasti mereka
tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari
dinasti Fatimiyyah yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi
Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul
kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko,
Aljazair, Tunisua dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah
kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah
berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya
menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah
kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Ummayah bisa bertahan dan terus
memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar
Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Bagdad
(sekarang ibu kota Irak) sejak tahun 750. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan
menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan
melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini meredup setelah
naiknya bangsa tentara-tentara Turki yang mereka bentuk. Kejatuhan totalnya pada
tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang
menghancurkan Bagdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang
dihimpun di perpustakaan Bagdad.

Bani Abbasiyyah merupakan keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652)


yang juga merupakan paman dari Nabi Muhammad s.a.w., oleh karena itu mereka
termasuk ke dalam Bani Hasyim. Sedangkan Bani Umayyah yang merupakan salah satu
kabilah dalam Quraisy, bukan termasuk yang seketurunan dengan Nabi.
Muhammad bin Ali, cicit Saidina Abbas menjalankan kampanye untuk mengembalikan
kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Parsia pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa pemerintahan Khalifah
Marwan II, pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-
Abbas al-Saffah menang melawan pasukan Bani Umayyah dan kemudian dilantik
sebagai khalifah.
Kekhalifahan Abbasiyah adalah yang pertama kali mengorganisasikan penggunaan
tentara-tentara budak yang disebut Mamaluk pada abad 9. Dibuat oleh Al-Ma’mun
tentara-tentara budak ini didominasi oleh bangsa Turki tetapi juga banyak diisi oleh
bangsa Berber dari Afrika Utara dan Slav dari Eropa Timur. Ini adalah suatu inovasi
sebab sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran dari Turki.
Bagaimanapun tentara Mamaluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan
Abbasiyah. karena berbagai kondisi yang ada di umat muslim saat itu pada akhirnya
kekhalifahan ini hanya menjadi simbol dan bahkan tantara Mamaluk ini berhasil
berkuasa dan mendirikan kesultanan di Mesir, dengan menyatakan diri berada di bawah
kekuasaan (simbolik) kekhalifahan.

Ilmu Pengetahuan
Pada masa kekhalifahan ini dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di
bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah
diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani,
Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak diantara mereka bukan Islam dan
bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam
menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu
zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini
menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan
pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematik, dan astronomi
seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh
beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
Zaman ini juga menyaksikan lahir ilmuwan Islam terkenal seperti Ibnu Sina, Al-Kindi,
al-Farabi dan sebagainya.

Penyebab runtuhnya IPTEK masa kejayaan Islam


keruntuhan khilafah dan kemunduran umat Islam itu banyak disebabkan oleh persoalan
internal umat Islam sendiri, seperti kecenderungan penguasa korup yang lebih
mementingkan uang dan kekuasaan, serta perpecahan di kalangan umat Islam.
Berbicara masalah ilmu pengetahuan dan teknologi, jika dibandingkan dengan
masyarakat Barat, umat Islam jauh tertinggal. Umat Islam senantiasa berteman akrab
dengan kebodohan, bahkan sumber daya alam yang melimpah ruah di negara-negara
berpenduduk muslim mayoritas tidak bisa membuat rakyatnya makmur. Penyebabnya,
ketidakmampuan mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Jika kita membandingkan
realitas umat Islam saat ini dengan realitas umat Islam di masa Khilafah Abbasiyah,
terlihat perbedaan yang mencolok…
Di zaman Abbasiyah umat Islam mampu menjadi sumber ilmu pengetahuan yang
dipegang Barat saat ini. Sedangkan umat Islam saat ini hanya menjadi konsumen dari
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan masyarakat Barat. Melihat
keterpurukan umat saat ini dan kemajuan umat Islam masa lampau muncul ide
membangun kembali “runtuhnya� peradaban Islam yang dikemas dalam bentuk
jihad membangun peradaban. Apa yang dimaksud dengan jihad membangun peradaban?
Untuk mengupas masalah ini Center for Moderate Muslim (CMM) bekerjasama dengan
Radio Republik Indonesia (RRI) menggelar dialog interaktif dengan narasumber M.
Hilaly Basya, Direktur Eksekutif Center for Moderate Muslim (CMM) pada tanggal 19
Juni 2006. Berikut petikannya:
Topik kita kali ini adalah “jihad membangun peradaban�. Mungkin kita sudah
pahami makna jihad karena sering kita dengar dan perbincangkan. Bisakah Anda
jelaskan yang dimaksud dengan peradaban? Kalau kita sudah paham tentang pengertian
jihad, maka kita harus pahami juga makna peradaban yang menjadi topik perbincangan
kita kali ini. Makna peradaban bisa kita pahami dari gambaran peradaban-peradaban
yang sudah ada dalam sejarah. Misalnya peradaban Islam dan Barat. Peradaban
biasanya selalu dikaitkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi, jihad
membangun peradaban berarti upaya bersungguh-sungguh membangun kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya makna peradaban lebih luas lagi dari apa
yang tadi saya katakan. Seperti persoalan kemanusiaan, kebudayaan, moralitas, dan
seterusnya.
Apakah peradaban didefinisikan hanya dikaitkan dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi? Dalam batas-batas tertentu peradaban selalu dikaitkan dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Anda, ilmu pengetahuan dan teknologi akan
memengaruhi aspek-aspek lain dari peradaban? Benar sekali.
Apa signifikansi jihad membangun peradaban ini? Peradaban Barat yang maju saat ini
memberikan kontribusi besar bagi kehidupan manusia secara umum. Artinya, seluruh
kehidupan manusia tertolong, katakanlah mendapatkan kemudahan akibat peradaban
Barat yang maju. Pentingnya membangun peradaban dalam rangka memudahkan
kehidupan manusia itu sendiri. Misalnya dalam transportasi. Transportasi saat ini lebih
mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan zaman dulu.
Adakah agenda atau langkah-langkah penting yang harus dilakukan dalam rangka
membangun peradaban? Sebelum membahas masalah ini, kita perlu mendapat
gambaran bagaimana umat Islam dahulu membangun peradaban dan bagaimana pula
masyarakat sekarang membangun peradaban. Setelah membahas masalah ini, saya kira
kita akan mempunyai gambaran bagaimana seharusnya kita membangun atau membuat
langkah-langkah dalam rangka membangun peradaban. Kita melihat bahwa saat ini
peradaban Islam tertinggal dari peradaban Barat. Apa sebenarnya yang menyebabkan
hal ini? Tradisi pengembangan ilmu pengetahuan di Barat dilakukan dalam rentang
waktu yang cukup lama. Kalau dihitung dari sekarang, sekitar 300 atau 400 tahun yang
lalu Barat mengembangkan teknologi secara tekun. Dari sini kita pahami bahwa
kemajuan Barat yang merupakan proses panjang dari ketekunan dan keuletan
masyarakat Barat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau
dibandingkan dengan masyarakat atau bangsa-bangsa Islam, kita melihat bahwa tradisi
pengembangan ilmu pengetahuan sebenarnya telah ada saat Islam baru tumbuh.
Sayangnya tradisi pengembangan ilmu pengetahuan ini terputus di tengah-tengah dan
barangkali sekarang baru beranjak untuk bangkit kembali.
Jadi, karena tradisi pengembangan ilmu pengetahuan terputus, maka umat Islam saat ini
tertinggal? Benar sekali. Banyak faktor yang menyebabkan keterputusan tradisi
pengembangan ilmu pengetahuan di tubuh umat Islam, seperti perpecahan internal dan
adanya orientasi yang berbeda di kalangan pemimpin Islam. Akibat keterputusan ini,
kita tertinggal dari masyarakat Barat dan kita membutuhkan sekitar 100 tahun untuk
berpikir kembali membangun ilmu pengetahuan di tubuh umat Islam. Apakah ide
“jihad membangun peradaban� ini merupakan terobosan baru atau merupakan
penyegaran dari ide yang telah ada sebelumnya? Saya kira jihad membangun peradaban
ini merupakan penyegaran. Artinya, konsep ini sebenarnya sudah ada dalam ajaran
Islam, tetapi karena umat Islam dipengaruhi oleh budaya dan lingkungannya, maka
konsep membangun peradaban ini menjadi layu di tengah perjalanan umat Islam dan
karena itu perlu kita segarkan kembali.
Ketertinggalan umat Islam dalam ilmu pengetahuan dan teknologi bisa kita analogikan
dengan kebodohan. Sedangkan kebodohan erat kaitannya dengan kemiskinan, dan dua
variable ini, kemiskinan dan kebodohan, saling memengaruhi. Bagaimana Anda melihat
kaitan kemiskinan dan kebodohan? Kebodohan atau ketertinggalan umat Islam dalam
ilmu pengetahuan sangat berpengaruh terhadap kemampuan umat Islam sendiri
mengembangkan ekonominya. Bisa kita lihat dalam perkembangan dan pertumbuhan
ekonomi masyarakat Islam. Indonesia pertumbuhan ekonominya sangat jauh sekali dari
kemakmuran karena ketidakmampuan ilmu pengetahuan. Sedangkan masyarakat yang
menguasai ilmu pengetahuan rata-rata lebih makmur daripada mereka yang tidak
menguasai ilmu pengetahuan. Semua ini terkait dengan kemampuan untuk melakukan
terobosan, inovasi dalam pengembangan ekonomi sekaligus persaingan ekonomi.
Kita mengetahui keterkaitan antara kebodohan dengan kemiskinan bahwa keduanya
saling memengaruhi. Apakah masyarakat Barat saat mengembangkan ilmu pengetahuan
ekonomi mereka telah kuat? Kita harus berangkat dari asumsi bahwa kemiskinan
disebabkan kebodohan. Karena itu kalau orang mau bangkit dari kemiskinan ia harus
pintar terlebih dahulu. Dalam ukuran-ukuran tertentu, masyarakat Barat saat
mengembangkan ilmu pengetahuan sebetulnya ekonomi mereka tidak begitu makmur.
Walaupun kita tahu masyarakat Barat sudah lama ekspansi perdagangan lewat
kolonialisme di Timur Tengah dan di Asia Tenggara. Seiring dengan pengembangan
ilmu pengetahuan terjadi peningkatan perdagangan sehingga peningkatan ilmu
pengetahuan diiringi dengan peningkatan perekonomian masyarakat Barat. Kalau kita
kembali ke masyarakat Islam, saya kira negara-negara Islam sebenarnya kaya. Negara-
negara Islam di Timur Tengah kaya akan sumberdaya alam, begitu juga dengan
Indonesia. Sebenarnya, kita kaya atau tidak sumberdaya alam, kita harus
mengembangkan ilmu pengetahuan, apalagi kaya sumberdaya alam. Seharusnya kita
mengembangkan ilmu pengetahuan. Buktinya, meskipun kita kaya sumberdaya alam, tapi
toh kita tidak bisa mengolahnya. Semua itu menunjukkan bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sangat penting.

Kemunduran Peradaban Islam


Setelah mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji sebab-
sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran
dan bahkan menguji letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT).
Kemunduran suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja.
Karena peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya
suatu perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau
elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor
dengan faktor lainnya – yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan
internal – berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor ekternal
terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya. Untuk menjelaskan faktor penyebab
kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hassan yang secara
khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan Islam yang terus
bertahan hingga abad ke 20. Faktor-faktor tersebut adalah sbb:
1. Faktor ekologis dan alami, yaitu kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada
adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada
suatu kawasan tertentu. Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada
sungai-sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis
seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi
pertahanan dari serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama,
Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai
bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan)
disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi
wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis yang
rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar
yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan
sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.
2. Faktor eksternal. Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam
adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari
tahun 1220-1300an. “Perang Salib�, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya
merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi
oleh tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.�
Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti
Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun
1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan
Mesir. Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.
3. Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat. Pada
tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya.
Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara
Islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati
negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat
dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai
mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi
kekuatan baru dalam dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah
penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim
diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu
berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan
jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi
oleh kualitas yang tinggi.
Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah
peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban
Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap
sebagai ancaman Barat. Sesudah kekhalifahan Islam jatuh, negara-negara Barat
menjajah negara-negara Islam. Pada tahun 1830 Perancis mendarat di Aljazair, pada
tahun 1881 masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris memasuki Mesir pada tahun 1882.
Akibat dari jatuhnya kekhalifahan Turki Uthmani sesudah Perang Dunia Pertama,
kebanyakan negara-negara Arab berada dibawah penjajahan Inggris dan Perancis,
demikian pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang
Dunia Kedua kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa
kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam
yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai kultur, etnik, ras dan bangsa dapat
dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan tehnik divide et impera sehingga konflik
intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi
menjadi negeri-negeri kecil.

Anda mungkin juga menyukai