Uncategorized category
• visual basics
• visual basic 6
Dikatakan wahaitu ilaihi atau auhaitu bila kita berbicara kepada seseorang agar tidak
diketahui orang lain. Wahyu adl isyarat yg cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan berupa
rumus dan lambang dan terkadang melalui suara semata dan terkadang pula melalui
isyarat dgn anggota badan.
Al-wahyu adl kata masdar/infinitif dan materi kata itu menunjukkan dua dasar yaitu
tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu maka dikatakan bahwa wahyu adl pemberitahuan
secara tersembunyi dan cepat yg khusus diberikan kepada orang yg diberitahu tanpa
diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi kadang-kadang juga bahwa yg
dimaksudkan adl al-muha yaitu pengertian isim maf’ul yg diwahyukan.
Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi Ilham sebagai bawaan dasar manusia
seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa ‘Susuilah
dia ..’. .
Ilham berupa naluri pada binatang seperti wahyu kepada lebah Dan Tuhanmu telah
mewahyukan kepada lebah ‘Buatlah sarang di bukit-bukit di pohon-pohon kayu dan di
rumah-rumah yg didirikan manusia’. {An-Nahl 68}.
Isyarat yg cepat melalui rumus dan kode seperti isyarat Zakaria yg diceritakan Alquran
Maka keluarlah dia dari mihrab lalu memberi isyarat kepada mereka ‘Hendaknya kamu
bertasbih di waktu pagi dan petang’. {Maryam 11}.
Bisikan dan tipu daya setan utk menjadikan yg buruk kelihatan indah dalam diri manusia.
Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kamu. . Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh yaitu
setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin sebagian mereka membisikkan kepada
sebagian yg lain perkataan-perkataan yg indah-indah utk menipu mereka.
Apa yg disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah utk dikerjakan.
Sedang wahyu Allah kepada para nabi-Nya secara syar’i mereka definisikan sebagai
kalam Allah yg diturunkan kepada seorang nabi. Definisi ini menggunakan pengertian
maf’ul yaitu almuha . Ustad Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam
Risalatut Tauhid adl pengetahuan yg didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dgn
disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah melalui perantara ataupun
tidak. Yang pertama melalui suara yg menjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama
sekali. Beda antara wahyu dgn ilham adl bahwa ilham itu intuisi yg diyakini jiwa
sehingga terdorong utk mengikuti apa yg diminta tanpa mengetahui dari mana datangnya.
Hal seperti itu serupa dgn perasaan lapar haus sedih dan senang.
Definisi di atas adl definisi wahyu dgn pengertian masdar. Bagian awal definisi ini
mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dgn suara hati atau kasyaf tetapi
pembedaannya dgn ilham di akhir definisi meniadakan hal ini.
Sumber Studi Ilmu-Ilmu Quran terjemahan dari Mabaahits fii ‘Uluumil Quraan Manna’
Khaliil al-Qattaan
NUZUL QUR'AN
Tuesday, 16 September 2008
Peristiwa Nuzul al-Quran terjadi pada malam Jumaat, 17 Ramadhan, di Gua Hira’
tahun ke-41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Al-Quran merupakan mukjizat yang
paling besar yang dikurniakan kepada Nabi Muhammad SAW. Kita hendaklah beriman
dan mempercayai isi kandungan al-Quran. Beriman dengan al-Quran merupakan salah
satu dalam Rukun Iman.
Arti Nuzul al-Quran: ‘Nuzul’ berarti turun atau berpindah, yaitu berpindah dari
tempat sebelah atas ke tempat di sebelah bawah (turun dari langit ke bumi). ‘Al-
Quran’ pula bermaksud bacaan atau himpunan. Ia dikatakan bacaan karena al-Quran
itu untuk dibaca oleh manusia. Ia juga dikatakan himpunan kerana dalam al-Quran itu
terhimpun ayat-ayat yang menjelaskan pelbagai perkara yang meliputi soal tauhid, ibadat,
jinayat, muamalat, munakahat dan sebagainya.
Nama-Nama Lain: Selain disebut al-Quran, ia juga disebut al-Kitab, al-Furqan, An-Nur,
al-Zikr dan lain-lain.
Kehebatan al-Quran:
Tuntutan al-Quran: Sesungguhnya al-Quran mempunyai tiga hak yang wajib ke atas umat
Islam untuk menunaikannya.
Tak terhitung banyaknya penjelasan Quran yang telah dibuat sejak masa kenabian. Tidak ada
buku lain di dunia ini yang begitu banyak diperhatikan orang selain Quran. Menggambarkan
secara singkat semua kitab-kitab tafsir sangat tidak mungkin, meskipun dalam sebuah buku,
apalagi dalam tulisan ringkas berikut ini. Akan tetapi apa yang akan kami tulis di sini hanyalah
sebuah perkenalan dari beberapa kitab tafsir terkenal yang merupakan acuan Ma’rifatul
Quran. Meskipun sampai saat ini sudah banyak kitab tafsir yang ditulis, banyak tafsir dan
ribuan buku tetap menggunakan rujukannya. Tujuannya di sini adalah sekedar memberikan
gambaran umum acuan-acuan yang sering digunakan itu.
Tafsir Ibnu Jarir: Nama tafsirnya adalah Jami’ al-Bayan disusun oleh Allamah Abu Ja’far
Muhammad ibnu Jarir al-Tabari (wafat 310 H). Alamah Tabari adalah seorang mufasir yang
menguasai bidangnya, muhadist, dan beliau adalah ahli sejarah. Diberitakan bahwa beliau
menulis terus menerus selama empat puluh tahun dan menulis empat puluh halaman setiap
harinya (al-Bidayah wa al-Nihayah, volume. 11, hal.145). Banyak orang menuduhnya syiah,
tetapi para ahli sejarah menolak tuduhan itu, yang benar adalah beliau merupakan pengikut
Sunnah.
Sebanyak tigapuluh jilid tafsirnya menjadi acuan dasar para mufsir berikutnya. Dalam
menjelaskan ayat-ayat, ia mengutip pandangan berbagai cendikiawan, kemudian mencari
posisi pandangan yang tepat berdaskan argumen dan bukti-bukti yang ada. Seharusnya,
setiap periwayatan dipilah dan dipilih, akan tetapi dia telah memasukkan penuturan yang kuat
dan lemah dalam penjelasannya. Oleh karena itu tidak setiap penuturan dalam kitab tafsirnya
bisa dijadikan pijakan.
Tafsir Qurtubi: Judul tafsirnya Al-Jami li-Ahkam al-Quran. Ditulis oleh cendikiawan Andalusia
(Spanyol), namanya Abu ‘Abdullah Muhammad ibnu Ahmad Abi Bakar ibnu Farah al-Qurtubi
(wafat 671 H). Dia merupakan pengikut mazhab imam Malik dan terkenal sebagai ahli ibadah
dan zuhud. Hal-hal mendasar dari kitabnya adalah membuat kesimpulan-kesimpulan
berdasarkan apa yang tertera dalam Quran, pada saat bersamaan dia juga menjelaskan kata-
kata sulit, membahas keindahan gaya dan bahasa Quran, dan mengaitkannya dengan tradisi
dan berbagai riwayat sehingga sangat menarik. Tafsirnya berjumlah duabelas jilid.
Tafsir Ibnu Katsir: Ditulis oleh al-Hafiz ‘Imam al-din Abu al-Fida’ Ismail ibnu Katsir al-
Damashqi (wafat 774 H), seorang cendekiawan abad ke 8. Tafsirnya telah diterbitkan dalam
empad jilid. Dia menekankan penjelasannya berdasarkan penuturan. Ciri utama tafsirnya
adalah penggunaan telaah hadist (karena dia adalah muhadist), oleh karena itu tafsirnya
menempati posisi istimewa di kalangan mufasir.
Tafsir Al-Kabir: merupakan karya besar Imam Fakhr al-Din l-Razi (wafat 606 H). Judul
aslinya adalah Mafatih al-Ghayb, tetapi dikenal dengan Tafsir Al-Kabir. Imam Razi merupakan
ahli filsafat Islam, sehingga tidak heran dalam tafsirnya banyak hal-hal rasional dan
kontroversial secara ilmiah dan banyak keterangan ingkar dari sekte-sekte sesat. Namun
demikian tafsirnya merupakan, dengan caranya sendiri, sesuatu yang unik untuk memahami
Quran. Selanjutnya, jalan lapang memahami Quran yang ditegaskan oleh keterpaduan ayat-
ayat Quran, merupakan keterangan sangat berharga. Namun Imam Razi menulis sendiri kitab
tafsirnya hanya sampai surat Al-Fath. Selebihnya diselesaikan oleh orang lain. Bagian lain
yaitu dari surat Al-Fath sampai akhir ditulis oleh Qadi Shihab al-Din ibnu Khalil al-Khawali al-
Dimashqi (wafat 639 H) atau oleh Shaykh Najm al-Din Ahmad ibnu Muhammad al-Qamuli
(wafat 777 H). (Kashaf al-Zunun jilid 2, hal. 4)
Tafsir al-Bahr al-Muhit: Tafsir ini ditulis oleh Allamah Abu Hayyan al-Gharnati al-Andalusi
(w. 754H) yang ahli di bidang sintaksis dan retorika di samping ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya.
Hasilnya tafsirnya berisi hal-hal berkaitan sintaksis kalimat dan retorika. Dia menekankan
pada telaah kata di setiap ayat, perbedaan struktur dan hal-hal khusus lainnya.
Ahkam al-Quran oleh al-Jassas: Ditulis oleh Imam Abu Bakar al-Jassas al-Razi (w. 370 H)
salah seorang pengikut mazhab Hanafi. Hal-hal terkait dengan hukum-hukum dan aturan
dalam Quran merupakan obyek penafsirannya. Ia menjelaskan ayat-ayat dalam sebuah
rangkaian, dan dia menjelaskan rincian hukum dari ayat yang mengandung perintah-perintah.
Dalam hal ini banyak tafsir serupa yang telah ditulis tetapi tafsir ini lebih mengesankan
dibanding yang lain.
Tafsir al-Durr al-Manthur: Tafsir ini ditulis oleh Allamah Jalal al-Din al-Suyuti (w. 910H).
Judul lengkapnya adalah al-Durr al-Manthur fi al-Tafseer bi I’Ma’thur. Di sini Allamah Suyuti
mencoba mengumpulkan semua periwayatan tafsir Quran. Senarnya banyak ahli hadist
seperti Hafiz ibn Jarir, Imam Baghawi, Ibn Marduwayh, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah dan lain-
lainnya telah malkukannya sendiri-sendiri. Allamah al-Suyuti merangkum semuanya dalam
kitab tafsirnya. Namum demikian dia telah menyingkat nama-nama penafsir sehingga bila
dibutuhkan bisa merujuk langsung pada kitab aslinya. Oleh karena itu di dalam buku tafsirnya
selalu dijumpai riwayat yang kuat maupun lemah. Sehingga setiap riwayat yang ada tidak
begitu saja dapat dipercaya sebelum melihat kembali ke kitab aslinya. Ada kalanya juga al-
Suyuti menegaskan bahwa sebuah riwayat sangat kuat. Tetapi karena beliau
kurang memahami kritik hadist, masih tetap sulit untuk menjadikan hal itu sebagai pijakan.
Tafsir al-Mazhari: Tafsir ini ditulis oleh Qadi Thanaullah Panipati (w 1225 H). Dia
menamakan tafsirnya Al-Tafseer al-Mazhari, yaitu nama guru spritualnya, Mirza Mazhar Jani-
Janan Dehlavi. Tafsirnya sangat sederhana dan sangat bermanfaat untuk melacak ayat-ayat.
Bersama penjelasan ayat-ayat Quran ia menyertakan berbagai riwayat dengan agak rinci,
sehingga dia telah berusaha memasukkan riwayat-riwayat setelah membandingkan dengan
penafsir lainnya.
Ruh al-Maani: Judul lengkapnya adalah Ruh al-Ma’ani fi Tafseer al-Quran al-’Azim wa al-
Sabal-Mathani dan ditulis oleh Allamah Mahmud al-Alusi (w. 1270 H) cendekiawan terkenal
pada periode Baghdad, dan berjumlah 30 jilid. Dia telah berusaha membuat tafsirnya
komprehensif. Ada pembahasan panjang lebar pada segi bahasa, penulisan, huruf, gaya
bahasa, dan pada segi hukum, pasal-pasal keimanan, kemurnian, filsafat, astronomi, mistis
dan soal-soal tradisi. Tampaknya dia tidak meninggalkan sisi-sisi logika dari penjelasannya.
Dalam hal riwayat hadist penulisnya sangat berhati-hati dan membandingkannya dengan
penafsir lainnya. Dari sudut ini tafsirnya sangat komprehensif, dan andilnya dalam
menafsirkan Quran sangat bermanfaat.
A. Pengertian Hadits
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari
Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.
Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas,
dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-
Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-
haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam
Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak
mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh
panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga.
Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa
dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
1. Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
2. Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan,
tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy.
3. Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat
mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama
membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun
Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia
diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak
syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak
cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada
yang disangka dusta dan tidak syadz.
Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak
adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW.
Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul.
II.B. Hadits yang terputus sanadnya
Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya
dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits
dha'if.
Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari
Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.
Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada,
baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang
ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua
orang perawi selain sahabat dan tabi'in.
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para
tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan
tabi'in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di
atas adalah termasuk hadits-hadits dha'if.
Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta
atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas
disebut hadits.
Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang
perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.
III.C. Hadits Mungkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan
dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat
yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits
yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa
disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits
sakit atau cacat).
Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari
beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang
dikompromikan.
Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya
tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad
(silsilah) maupun matan (isi).
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan
yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.
Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya)
yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat /
pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga
hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits
disebut juga hadits Mahfudz.
IV. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits
IV.A. Muttafaq 'Alaih
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber
sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.
IV.B. As Sab'ah
1. Imam Ahmad
2. Imam Bukhari
3. Imam Muslim
4. Imam Abu Daud
5. Imam Tirmidzi
6. Imam Nasa'i
7. Imam Ibnu Majah
IV.C. As Sittah
Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.
IV.D. Al Khamsah
Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam
Muslim.
IV.E. Al Arba'ah
Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari
dan Imam Muslim.
Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari,
Imam Muslim dan Ibnu Majah.
IV.G. Perawi
IV.H. Sanad
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada
orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun
atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran.
Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.
IV.I. Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa
perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.
http://id.wikipedia.org/wiki/hadits
HADITS ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya.
ATSAR ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW.
TAQRIR ialah keadaan Nabi Muhammad SAW yang mendiamkan, tidak mengadakan
sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat
di hadapan beliau.
SAHABAT ialah orang yang bertemu Rosulullah SAW dengan pertemuan yang wajar
sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman dan mati dalam keadaan
islam.
TABI'IN ialah orang yang menjumpai sahabat, baik perjumpaan itu lama atau sebentar,
dan dalam keadaan beriman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.
MATAN ialah lafadz hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, atau disebut
juga isi hadits.
Matnu'l Hadits adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang berakhir pada sanad
yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam,
sahabat ataupun tabi'in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun
perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam .
Sanad atau Thariq adalah jalan yang dapat menghubungkan matnu'l hadits kepada Nabi
Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .
Gambaran Sanad
Contoh:
Waktu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Bukhari berkata hadits
ini diucapkan kepada saya oleh A, dan A berkata diucapkan kepada saya oleh B, dan B
berkata diucapkan kepada saya oleh C, dan C berkata diucapkan kepada saya oleh D, dan
D berkata diucapkan kepada saya oleh Nabi Muhammad.
Menurut istilah ahli hadits, sanad itu ada permulaannya (awal) dan ada kesudahannya
(akhir). Seperti contoh diatas yang disebut awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah
D.
Klasifikasi Hadits
Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar
hukum) adalah:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang
dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
keshohihan suatu hadits.
2. Hadits Makbul adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat
diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan
Hadits Hasan.
3. Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak
begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat
serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul,
biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu
penting.
4. Hadits Dhoif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-
syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dhoif banyak macam ragamnya dan
mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya
syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.
• Hadits Maudhu': adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang
ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu
disengaja maupun tidak.
• Hadits Matruk: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang
diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
• Hadits Munkar: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang
diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau
jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada
hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits lemah yang berlawanan, misal yang satu
lemah sanadnya, sedang yang satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang
lemah sanadnya dinamakan hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits
Munkar.
• Hadits Mu'allal (Ma'lul, Mu'all): adalah hadits yang tampaknya baik, namun
setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini
terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya
bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang
ahli hadits.
• Hadits Mudraj (saduran): adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan
hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
• Hadits Maqlub: adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain),
disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
• Hadits Mudltharrib: adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi
dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada
yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
• Hadits Muharraf: adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan
karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
• Hadits Mushahhaf: adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik
kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
• Hadits Mubham: adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat
seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.
• Hadits Syadz (kejanggalan): adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang
makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai
kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi
pentarjihan.
• Hadits Mukhtalith: adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan
sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
• Hadits Muallaq: adalah hadits yang gugur (inqitha') rawinya seorang atau lebih
dari awal sanad.
• Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah
tabi'in.
• Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang
diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut
Mudallis.
• Hadits Munqathi': adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu
tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
• Hadits Mu'dlal: adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih
berturut turut, baik sahabat bersama tabi'in, tabi'in bersama tabi'it tabi'in, maupun
dua orang sebelum sahabat dan tabi'in.
• Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik
yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung
atau terputus.
• Hadits Maqthu': adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'in
serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak.
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhoif yang maudhu' tanpa
menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun kalau hadits dhoif itu bukan hadits maudhu'
maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Berikut
ini pendapat yang ada yaitu:
Pendapat Pertama Melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dhoif,
baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat
ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnul 'Araby.
Karena itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan berhujjah
dengan hadits dhoif untuk fadla'ilul amal. Ia memberikan 3 syarat dalam hal
meriwayatkan hadits dhoif, yaitu:
1. Hadits dhoif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhoif yang
disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat
dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal.
2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut, masih dibawah satu dasar
yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan)
3. Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits
tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya
hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.
[1] Hadits Mutawatir: adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat dusta.
[2] Hadits Ahad: adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits mutawatir.
1. Hadits Masyhur: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih,
serta belum mencapai derajat mutawatir.
2. Hadits Aziz: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun 2
orang rawi tersebut pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian setelah itu orang-
orang meriwayatkannya.
3. Hadits Gharib: adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang
menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi.
Adalah sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada nabiNya dengan melalui ilham atau
impian, yang kemudian nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut
dengan ungkapan kata beliau sendiri.
Pada hadits qudsi biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat :
Bid'ah
Yang dimaksud dengan bid'ah ialah sesuatu bentuk ibadah yang dikategorikan dalam
menyembah Allah yang Allah sendiri tidak memerintahkannya, Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya, serta para sahabat-sahabat Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya.
Kewajiban sebagai seorang muslim adalah mengingatkan amar ma'ruf nahi munkar
kepada saudara-saudara seiman yang masih sering mengamalkan amalan-amalan ataupun
cara-cara bid'ah.
Alloh berfirman, dalam QS Al-Maidah ayat 3, "Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai
Islam itu jadi agama bagimu." Jadi tidak ada satu halpun yang luput dari penyampaian
risalah oleh Nabi. Sehingga jika terdapat hal-hal baru yang berhubungan dengan ibadah,
maka itu adalah bid'ah.
"Kulu bid'ah dholalah..." semua bid'ah adalah sesat (dalam masalah ibadah). "Wa
dholalatin fin Naar..." dan setiap kesesatan itu adanya dalam neraka.
Beberapa hal seperti speaker, naik pesawat, naik mobil, pakai pasta gigi, tidak dapat
dikategorikan sebagai bid'ah. Semua hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk
ibadah yang menyembah Allah. Ada tata cara dalam beribadah yang wajib dipenuhi,
misalnya dalam hal sembahyang ada ruku, sujud, pembacaan al-Fatihah, tahiyat, dst. Ini
semua adalah wajib dan siapa pun yang menciptakan cara baru dalam sembahyang, maka
itu adalah bid'ah. Ada tata cara dalam ibadah yang dapat kita ambil hikmahnya. Seperti
pada zaman Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggunakan siwak, maka sekarang
menggunakan sikat gigi dan pasta gigi, terkecuali beberapa muslim di Arab, India, dst.
Menemukan hal baru dalam ilmu pengetahuan bukanlah bid'ah, bahkan dapat menjadi
ladang amal bagi umat muslim. Banyak muncul hadits-hadits yang bermuara (matannya)
kepada hal bid'ah. Dan ini sangat sulit sekali untuk diingatkan kepada para pengamal
bid'ah.
Didalam Kitab Khulaashah Ilmil Hadits dijelaskan bahwa kabar yang datang pada Hadits
ada tiga macam:
Untuk mengetahui apakah Hadits itu palsu atau tidak, ada beberapa cara, diantaranya:
• Adanya kesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran Islam. Misalnya dari
kaum Orientalis Barat yang sengaja mempelajari Islam untuk tujuan
menghancurkan Islam (seperti Snouck Hurgronje).
• Untuk menguatkan pendirian atau madzhab suatu golongan tertentu. Umumnya
dari golongan Syi'ah, golongan Tareqat, golongan Sufi, para Ahli Bid'ah, orang-
orang Zindiq, orang yang menamakan diri mereka Zuhud, golongan Karaamiyah,
para Ahli Cerita, dan lain-lain. Semua yang tersebut ini membolehkan untuk
meriwayatkan atau mengadakan Hadits-hadits Palsu yang ada hubungannya
dengan semua amalan-amalan yang mereka kerjakan. Yang disebut 'Targhiib' atau
sebagai suatu ancaman yang yang terkenal dengan nama 'At-Tarhiib'.
• Untuk mendekatkan diri kepada Sultan, Raja, Penguasa, Presiden, dan lain-
lainnya dengan tujuan mencari kedudukan.
• Untuk mencari penghidupan dunia (menjadi mata pencaharian dengan menjual
hadits-hadits Palsu).
• Untuk menarik perhatian orang sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ahli
dongeng dan tukang cerita, juru khutbah, dan lain-lainnya.
Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu
Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits
yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota
Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari
Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya.
Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.
"اكتبوا لبى شاه: فقال."يا رسول ال اكتبوا لى
“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain),
tuliskanlah untuknya.”[6]
2. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang
periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khlaifah
sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar
ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak
meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar.[10]
Namun pada dasarnya, periwayatan Hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak
daripada pemerintahn sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan عصر إكثار رواية
الحديث.
Keleluasaan periwayatan hadits tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi
Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar Selain itu, wilayah kekuasaan
Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan
riwayat secara maksimal.
Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda
dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam
masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga
mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif
dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu
melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat
dipercaya riwayatnya.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1. Perkembangan hadits pada masa Rasulullah bercorak antar lisan dan mengalami
pelarangan penulisan dengan alasan di antaranya; khawatir tercampur dengan al-Qur'an.
2. Pada masa Khulafa' al-Rasyidin, hadits mengalami pasang surut dengan adanya
pembatasan periwayatan pada masa Khalifah Abu Bakar – Umar r.a dan perluasan
periwayatan pada masa Khalifah Utsman – Ali r.a
3. Pada masa tabi'in, hadits lebih banyak diriwayatkan oleh perawi. Namun, pada masa
itu, banyak bermunculan hadits-hadits palsu yang bernuansa kepentingan politik
golongan.
DAFTAR PUSTAKA
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.
al-Khathib, Ajjaj. al-Sunnah Qabla Tadwin. Cairo : Maktabah Wahbah. 1963
______________. Ushulul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu. Dar al-Fikr. 1989
Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta : Bulan Bintang. 1995
Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits I. Penerj : Endang Soetari dan Mujiyo. Bandung : Remaja
Rosda Karya. 1995
Malik, Imam. al-Muwattha'.
Shiddiqiey, TM. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : Pustaka Rizki
Putra. 2001
Sulaiman, Hasan. Abbas, Alwi, Terj. Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram Jilid I.
Surabaya : Mutiara Ilmu. 1995
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara
Wacana. 2003
[1] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab al-Anbiya, no.50
[2] Ibid., bab al-Iman, no. 9
[3] Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadis Nabi, hal. 31
[4] H.R. Muslim dalam Syarh al-Nawawi, J. 18, hlm. 129
[5] Hasan Sulaiman Abbas Alwi, Terj. Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram Jilid I.
hlm. 16
[6] H.R. Ahmad Juz 12. hlm. 232
[7] Imam Malik, al-Muwattha', J. 2, hlm. 513
[8] Ajjaj al-Khathib, al-Sunnah Qabla Tadwin, hlm. 96
[9] Ibn Sa'ad, Juz 3, hlm. 135
[10] Ajjaj al-Khathib, Ushulul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, hlm. 97-98
Tulisan ini mengkaji persoalan hadis masa kodifikasi. Pembahasan yang akan dikaji
pengertian kodifikasi; Alasan Khalîfah memerintahkan para ahli untuk menuliskan hadis;
cara pembukuan hadis; hasil yang dicapai dan upaya kodifikasi selanjutnya.
1. Pengertian Kodifikasi
Kata kodifikasi secara bahasa berasal dari bahasa Inggris ”codification” yang berarti
”membukukan.” Dalam bahasa Arab, kata ini berarti ””التدوين. dalam bahasa Indonesia,
kata ini berarti ”pembukuan”.
Artinya: Menghimpun sesuatu yang tertulis dalam tulisan dan dihafal dalam dada serta
mensistematisirnya sehingga menjadi satu buku.
Pembahasan ini dibatasi pada kodifikasi hadis sejak awal abad kedua sampai keempat
hijrah.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli tentang pemrakarsa kodifikasi hadis secara
resmi. Secara umum, yang dikenal memprakarsai kodifikasi secara resmi dari kalangan
penguasa adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz. Akan tetapi, menurut ‘Ajjâj, kodifikasi hadis
telah lebih dahulu diprakarsai oleh ‘Abd al-‘Azîz ibn Marwan (w. 85 H.) –ayah ‘Umar
ibn ‘Abd al-‘Azîz sendiri, yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur di Mesir. Riwayat
tersebut menceritakan bahwa ‘Abd al-‘Azîz meminta Katsîr ibn Murrah al-Hadhramiy,
seorang tâbi’iy di Himsha yang pernah bertemu dengan tidak kurang dari 70 orang
shahâbiy veteran Perang Badar, untuk menuliskan hadîs-hadîs Nabi Saw yang pernah
diterimanya dari para shahâbiy selain Abiy Hurayrah, karena dia sudah memiliki catatan
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah yang didengarnya sendiri secara
langsung darinya (‘Ajjâj, 1989: 218) dan selanjutnya mengirimkannya kepada ‘Abd
al-‘Azîz sendiri. Perintah tersebut adalah pertanda bahwa kodifikasi secara resmi yang
diprakarsai oleh penguasa telah dimulai pada tahun 75 H. (ibid., 176 dan 218).
Pemrakarsa kodifikasi hadis adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-Azîz (memerintah 99/717-
101/719 H.). Pada tahap kedua kodifikasi hadis, para ahli diminta untuk menulis dan atau
menulis kembali hafalan dan tulisan para ahli yang memiliki hadis. Sementara para
ilmuan, ketika itu memandang “hafalan” merupakan simbol tingkat intelektual seorang
ilmuwan disamping itu, bangsa Arab dikenal sebagai ummat yang bangga dengan hafalan
()أمة تعتز بحفظها. Apa yang memotivasi ‘Umar mengambil kebijakan kodifikasi hadis
tersebut? Ada beberapa faktor yang mendorong ‘Umar melakukan kodifikasi hadis:
Pertama, kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadis, karena para shahâbiy banyak
yang meninggal dunia akibat sering terjadi peperangan dan usia lanjut.
Kedua, kegiatan pemalsuan hadis yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan
perbedaan aliran di kalangan umat Islam semakin marak. Keadaan ini, apabila dibiarkan
terus akan merusak kemurnian ajaran Islam, sehingga upaya menyelamatkan hadis
dengan cara membukukannya setelah melalui seleksi yang ketat harus segera dilakukan.
Ketiga, daerah kekuasaan Islam semakin luas, permasalahan yang dihadapi ummat
semakin banyak dan kompleks. Hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan
petunjuk dari hadis Nabi Saw, selain petunjuk Alquran.
Motif di atas dapat dilihat dalam surat yang dikirim ‘Umar kepada para gubernur.
Diantara pesannya:
فإني خفت دروس العلم و ذهاب العلماء … و،أنظروا ما كان من حديث رسول ال صلى ال عليه و سلم فاكتبوه
فإن العلم ل يهلك حتى يكون سرا،(… ليفشوا العلم و ليجلسوا حتى يعلم من ل يعلمal-Kattâniy, t. th.: 5; Ibn
Sa’d, t. th.: II/387)[1]
Artinya: … telitilah hadis Rasûlullâh Saw dan tulislah, aku mengkhawatirkan upaya
pencarian ilmu dan mangkatnya para ahli … hendaklah ilmu disebarkan dan dikaji,
sehingga orang yang tidak tahu menjadi tahu, ilmu tidak sirna kecuali ia menjadi rahasia
…
Ketika instruksi tersebut sampai kepada mereka, para ahli, sebenarnya, enggan menulis
kembali hadis yang ada pada mereka atau menulis hadis yang ada dalam hafalan mereka.
Karena tingkat intelektualitas mereka diukur dengan hafalan bukan tulisan. Ini terlihat
dari ungkapan sebagian mereka:
Karena alasan yang rasional dari instruksi tersebut ditambah lagi bertebarnya hadis palsu
maka para ahli berupaya merealiasikannya. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan berikut:
… 2]… ]لول أحاديث سألت علينا من المشرق ننكرها ل نعرفها ما كتبت حديثا ول أذنت في كتابه
Artinya: Kalau bukan karena hadis-hadis dari Timur yang kami ingkari lagi tidak kami
ketahui yang kamu tanyakan kepada kami, maka aku tidak akan menulis hadis dan
mengizinkan untuk menuliskannya …
Terdapat rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam menulis hadis. Pertama, sebelum
ditulis, hendaklah dilakukan penelitian sebagai ungkapan berikut ()أنظر. Dalam penelitian
hendaklah mengikuti sunnah para shahâbiy, dengan meminta saksi bagi yang
mengemukakan hadis, sebagaimana diterapkan oleh Abu Bakr, Umar dan Utsmân, dan
saksi dan sumpah, sebagaimana diterapkan oleh Aliy. Kedua, objek yang diteliti adalah
hadis Rasûlullâh (sebagaimana ungkapan berikut: )ما كان من حديث رسول ال صلى ال عليه و سلم.
Karena masa ini adalah masa tâbi’ûn, sehingga ada kemungkinan terdapat perkataan
shahâbat dan tâbi’ûn. Maka objek yang diteliti kemudian ditulis hanyalah hadis Nabi
Saw.
Dari segi produk, perintah Umar ibn ’Abd al-’Azîz menuntut tulisan ()فاكتبوه.
[1]
: عن عبد ال بن دينار قال، أخبرنا يحيى بن سعيد، أخبرنا يزيد بن هارون:عمرة بنت عبد الرحمن وعروة بن الزبير
أن انظر ما كان من حديث رسول ال صلى ال،“كتب عمر بن عبد العزيز إلى أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم
فإني قد خفت دروس العلم وذهاب أهله،”عليه وسلم أو سنة ما ضية أو حديث عمرة بنت عبد الرحمن فاكتبه.
“ما بقي أحد أعلم بحديث عائشة: “قال لي عمر بن عبد العزيز: عن محمد بن عبد الرحمن قال،أخبرت عن شعبة
“وكان عمر يسألها: قال.””منها يعني عمرة.
[2] Al-Mizziy, Tahdzîb al-Kamâl, juz VI, h. 466.
: قال. “كنت أطوف أنا و ابن شهاب و مع ابن شهاب اللواح و الصحف: عن أبيه،و قال عبد الرحمن بن أبي الزناد
زاد في رواية قال وقال الزهري.”“و كنا نضحك به
… لول أحاديث سألت علينا من المشرق ننكرها ل نعرفها ما كتبت حديثا ول أذنت في كتابه
Tinggalkan Balasan
Alamat surel anda tidak akan ditampilkan. Required fields are marked *
Nama *
Email *
Situs web
Komentar
You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr
title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code>
<pre> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>
Komentar tulisan
Recent entries
o Inkar al-Sunnah []إنكار السنة
o Tugas Buat Saudara ?
o Buchari’s Family-02 []أسرة بخاري
o Buchari’s Familiy []أسرة بخاري
o BuchariBersama Duta Besar Arab Saudi []يخاري مع سفير خادم الحرمين
o Sumber Hadis
o Sejarah Hadis: MasaKodifikasi
o Sejarah Hadis: Prakodifikasi
o Pengertian Sunnah []تعريف السنة
o Hello world!
Browse popular tags
Meta
o Daftar
o Masuk log
o RSS Entri
o Komentar RSS
Pada priode pertama sejarah pembukuan Al-Qur'an dapat dikatakan bahwa setiap
ayat yang diturunkan kepada Rasulullah selain beliau hafal sendiri juga dihafal dan
dicatat oleh para sahabat. Dengan cara tersebut Al-Qur'an terpelihara di dalam dada dan
ingatan Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an
surat Al-Qiyamah 17 :
Artinya :
Ayat di atas memebrikan petunjuk kepada kita bahwa al-qur’an itu dijamin kemurniannya
dan terpelihara serta terkumpul dengan baik sejak saat turunnya sampai sekarang ini.
Pengumpulan ayat Al-Qur’an ini dibantu oleh para sahabat, setiap ayat turun langsung
dicatat pada plepah kurma, kulit binatang, bahkan pada tulang-belulang hewan.
Kelompok pencatat Al-Qur’an ini cukup banyak, sebagaimana diriwayatkan sebuah hadis
yang berbunyi :
Artinya :
Ambillah (pelajarilah) Al-Qur’an itu dari tempat orang (sahabatku): Abdullah ibnu
Mas’ud, Salim, Muadz ibnu Jabal dan Ubay bin Kaab. (H.R Bukhari).
Tugas mencatat wahyu itu telah selesai semuanya menjelang wafatnya Rasulullah SAW.
Semua naskah yang berserakan itu telah terkumpul dan terpelihara dengan baik, akan
Pada waktu Abu Bakar diangkat menjadi khalifah beliau segera memerintahkan agar
naskah yang tersimpan di rumah Rasulullah disalin dan disusun kembali. Pekerjaan ini
dilakukan setelah terjadi perang Yamamah yang mengakibatkan meninggalnya 70 orang
dihancurkan. Gagasan mengumpulkan Al-Qur’an pada masa itu adalah dari sahabat Umar
ibnu Khattab. Umar merasa khawatir akan hilangnya sebagian Al-Qur’an dari
Demikianlah khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, penulis suhuf-suhuf di
zaman Rasulullah untuk mengumpulkan suhuf-suhuf Al-Qur'an baik yang terdapat pada
pelepah kurma, tulang hewan maupun dari para penghafal Al-Qur'an yang masih hidup.
Dengan demikian kaum muslimin pada saat itu sepakat meyakini, bahwa mushaf Abu
Bakar adalah mushaf Al-Qur'an yang sahih yang diakui oleh semua sahabat tanpa ada
yang membantah.
Pada masa Urnar bin Khattab tidak ada lagi kegiatan dalam rangka mengumpulkan A1-
Qur'an oleh karena itu pada masa ini Khalifah Umar menitik beratkan kegiatannya pada
Pada masa Khalifah Usman bin Affan wilayah kekuasaan Islam sudah semakin luas, oleh
sebab itu semakin beraneka ragam pula bangsa-bangsa bukan Arab yang memeluk
Agama Islam. Maka timbul lagi persoalan yang berhubungan dengan kitab suci Al-
Qur'an Salah seorang sahabat yang bernama Hudzaifah ibnu Yaman yang baru pulang
dari pertempuran. melaporkan kepada Khalifah Usman bahwa timbul perbedaan pendapat
tentang qiraat (bacaan) Al-Qur'an di kalangan kaum muslimin, bahwa setiap kabilah
mengaku bacaannya adalah Yang paling baik dibanding bacaan kabilah yang lain.
Hudzaifah mengusulkan kepada khalifah agar segera diambil kebijaksanaan untuk
Al Qur'an di antara mereka seperti yang terjadi pada orana Yahudi dan Nasrani tentang
Taurat dan Injil. Usul itu segera diterima Khalifah Usman segera mengirim utusan untuk
meminta mushaf kepada Hafsah yang disimpan di rumahnya untuk disalin (diperbanyak).
Untuk memperbanyak mushaf ini kembli khalifah Usman menunjuk Zaid sebagai
ketuanya dengan anggota-anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan
Setelah selesai memperbanyak mushaf, maka Usman menyerahkan kembali mushaf yang
asli kepada Hafsah. Kemudian lima mushaf lainnya dikirim kepada penguasa di Mekah,
Kuffah, Basrah dan Suriah, dan salah satunya dipegang oleh Khalifah Usman bin Affan
sendiri.
Demikianlah sejak saat itu mushaf Al Qur'an ter"ebut dinamai mushaf al Imam atau lebih
dikenal dengan mushhaf Usmany, karena disalin pada masa khalifah Usman bin Affan.
di 12:11 AM
Label: SEJARAH PEMBUKUAN AL-QUR'AN
Diantara ulama ada yang menggunakan sejarah ilmu hadsit, ilmu usul Al hadist atau ilmu
musthalah hadist. Ilmu hadist dibagi menjadai dua bagian :
1. Ilmu Hadist Riwayah
Ilmu yang mangetahui perkataan, perbuatan takrir dansifat-sifat Nabi. Dengan kata lain
ilmu hadist riwayah adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang datang dari Nabi
baik perkataan, perbuatan, ataupun takrir.
2. Ilmu Hadist Dirayah
Ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan,
cara-cara menerima dan menyampaikan hadist dan sifat-sifat rawi. Oleh karena itu yang
menjadi objek pembahasan dari ilmu hadist dirayah adalah keadaan matan, sanad dan
rawi hadist
B. Perkembangan Ilmu Hadist
Orang yang melakukan kajian secara mendalam mendapati bahwa dasar-dasar dan
pokok-pokok penting bagi ilmu riwayah dan menyampaikan bertita dijumpai didalam Al
Quran dan Sunnah Nabi. Allah Swt berfirman :
Artinya : “Hai oarang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti” (Qs Al Hujrat 6)
A. Sejarah
Pertumbuhan
ilmu pengetahuan telah terjadi sejak Rasulullah
mendakwahkan agama islam, wahyu pertamanya yaitu surat Al – alaq ayat 1 -
5 bercerita tentang dasar – dasar ilmu pengetahuan, didalam wahyu tersebut
terdapat perintah untuk membaca, Allah pun menegaskan bahwa hakikat ilmu datangnya
dari Allah dan awalnya manusia tidak mengetahui apa – apa. Kata Iqra’
pada ayat ke-1 surat Al- alaq memiliki makna yang beragam, seperti menelaah,
mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu, membaca baik teks maupun bukan teks.
Pada
masa rasulullah, ilmu pengetahuan lebih banyak berkembang dibidang ilmu-ilmu pokok
tentang agama (ushuluddin), dan ilmu akhlak (moral). Akan tetapi ilmu – ilmu
lainnya tetap berkembang walaupun tidak sepesat ilmu agama dan akhlak. Saat itu
pun mulai terjadi proses pengkajian ilmu yang lebih sistematis, diantaranya dasar
– dasar ilmu tafsir yang dikembangkan oleh para sahabat rasulullah.
Diantara
ahli tafsir dimasa Rasulullah yaitu khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay Ibnu Ka’ab, Zaid Ibnu Tsabit, Abu
Musa Al-’Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Dan dari kalangan khalifah empat yang
paling banyak dikenal riwayatnya tentang tafsir adalah Ali bin Abi Thalib r.a.
Ibnu
Abbas adalah anak paman Rasulullah SAW, sekaligus murid
dari Rasulullah. Ia dikenal sebagai ahli bahasa/penterjemah Al-Qur’an. Dia adalah
sahabat yang paling pandai/tahu tentang tafsir Al-Qur’an. Dia mempunyai biografi
yang menunjukkan kebolehan ilmunya dan kedudukannya yang tinggi dalam hal
penggalian
secara mendalam tentang rahasia-rahasia Al-Qur’an.
Selain
Ibnu Abbas, sahabat nabi yang termasuk ahli tafsir ialah Ibnu Mas’ud r.a.
Ia adalah salah seorang yang pertama masuk Islam pada usia 6 tahun. Dari segi hubungan
kenabian ia adalah seorang yang sangat baik dan terdidik. Karena pertimbangan itulah
sahabat lain memandangnya sebagai seorang sahabat yang lebih banyak mengetahui
bidang
Kitabullah Al-Qur’an, mengetahui tentang muhkam dan mutasyabih, halal dan haram.
Selain
para ahli tafsir, kaum yang berjasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman
rasulullah yaitu kaum sufi (ahli ilmu). Kaum sufi yaitu kaum yang menyebarkan ajaran
islam ke berbagai belahan dunia. Pada zaman rasulullah, mereka mempelajari al-Quran
secara langsung dengan Rasulullah s.a.w. mereka adalah orang-orang yang menyediakan
dirinya semata-mata untuk Allah s.w.t dan Rasul-Nya.
Al-Quran
pada jaman Rasulullah SAW.
Pengumpulan
Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
Pertama
: al Jam’u fis Sudur
yaitu
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima
wahyu.
Kedua : al Jam’u
fis Suthur
yaitu
menyuruh para sahabat untuk menuliskannya kembali setelah dibacakan oleh Rasulullah.
Biasanya sahabat menuliskan Al-Qur’an pada ar-Riqa’ (kulit binatang), al-Likhaf
(lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan
jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu mencapai 40 orang.
a) Nabi
sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan
beliau sebagai catatan pribadi.
b)
Rasulullah berada di tengah-tengah ummat Islam sehingga dirasa tidak sangat perlu
untuk dituliskan pada waktu itu.
c)
Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas.
d)
Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada al-Qur’an.
e)
Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan
da’wah
yang sangat penting.
Perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa Rasulullah terus berkembang sampai sekarang, khususnya
dalam bidang ekonomi. Banyak teori tentang ilmu pengetahuan yang sudah ada sejak
jaman Rasulullah dan digunakan didalam zaman yang modern seperti sekarang ini,
diantaranya
teori invisible hands yang berasal dari Nabi Saw dan sangat populer di kalangan
ulama. Teori ini berasal dari hadits Nabi Saw. sebagaimana disampaikan oleh Anas
RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dalam
hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut :
“Harga
melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran
kepada
Rasulullah dengan berkata: “ya Rasulullah hendaklah engkau menetukan harga”.
Rasulullah SAW. berkata:”Sesungguhnya Allah-lah yang menetukan harga, yang
menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku
menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang
kezaliman
dalam darah maupun harta.”
ucapan
Nabi Saw itu mengandung pengertian bahwa harga pasar itu sesuai dengan kehendak
Allah yang sunnatullah.
MASA UMAYYAH
Selanjutnya Ibu Kota Spanyol Kordova dengan cepatnya dapat dikuasai, menyusul
setelah itu kota-kota lain seperti Sevi’e, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota
Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan islam memperoleh dukungan dari
rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Pada masa inilah
pemerintah islam mencapai wilayah yang demikian luas dalam rentang sejarahnya, dia
wafat pada tahun 96H / 714M dan memerintah selama 10 tahun.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa
politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya
dengan Hasan Ibn Ali ketika dia naik tahta yang menyebutkan bahwa persoalan
pergantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat islam.
Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya
gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang
saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Sistem Ekonomi
Bidang-bidang ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah terbukti berjaya
membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu:
- Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan
sector pertanian, beliau telah memperkenalkan system pengairan bagi tujuan
meningkatkan hasil pertanian.
Meskipun sering kali terjadi pergolakan dan pergumulan politik pada masa
pemerintahan Daulah Bani Umayyah, namun terdapat juga usaha positif yang dilakukan
daulah ini untuk kesejahteraan rakyatnya.
Diantara usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayyah
dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh system
pemerintahan dan menata administrasi, antara lain organisasi keuangan. Organisasi ini
bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan untuk:
- Perlengkapan perang
Disamping itu, kekuasaan islam pada masa Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam
pengembangan peradaban seperti pembangunan di berbagai bidang, seperti:
- Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-Malik
membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal
dengan “The Dame Of The Rock” (Gubah As-Sakharah).
- Pembuatan mata uang dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan
keseluruh penjuru negeri islam.
- Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat
untuk orang-orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.
- Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Uthman sebagai
Amir Al-Bahri, tentu akan mengembangkan idenya dimasa dia berkuasa, sehingga
kapal perang waktu itu berjumlah 1700 buah.
Secara garis besar formasi kekuatan tentara Bani Umayyah terdiri dari pasukan
berkuda, pasukan pejalan kaki dan angkatan laut.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia
Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasyiah mengklaim bahwa dinasti mereka
tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari
dinasti Fatimiyyah yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi
Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul
kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko,
Aljazair, Tunisua dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah
kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah
berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya
menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah
kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Ummayah bisa bertahan dan terus
memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar
Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Bagdad
(sekarang ibu kota Irak) sejak tahun 750. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan
menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan
melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini meredup setelah
naiknya bangsa tentara-tentara Turki yang mereka bentuk. Kejatuhan totalnya pada
tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang
menghancurkan Bagdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang
dihimpun di perpustakaan Bagdad.
Ilmu Pengetahuan
Pada masa kekhalifahan ini dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di
bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah
diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani,
Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak diantara mereka bukan Islam dan
bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam
menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu
zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini
menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan
pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematik, dan astronomi
seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh
beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
Zaman ini juga menyaksikan lahir ilmuwan Islam terkenal seperti Ibnu Sina, Al-Kindi,
al-Farabi dan sebagainya.