Anda di halaman 1dari 13

II.

METODOLOGI

A. Bahan dan Alat


Bahan-bahan utama yang digunakan dalam praktikum ini adalah minyak
nilam, minyak mawar, minyak sereh, dan minyak pala. Bahan-bahan
pembantu yang digunakan adalah air suling, alkohol 90%, alkohol 95%,
larutan PP 1%, dan KOH 0.1 N.
Alat-alat yang diperlukan dalam praktikum ini adalah piknometer,
termostat, refraktometer, polarimeter, tabung reaksi, gelas ukur, pipet tetes,
erlenmeyer, cawan porselen, penangas air, buret dan timbangan.

B. Metode
1. Bobot Jenis
Piknometer yang bersih dan kering ditimbang, diisi dengan minyak
dan dimasukkan ke dalam termostat yang telah ditetapkan suhunya pada
25oC, dibiarkan selama 15 menit. Setelah itu, dikeringkan bagian luarnya
dan ditimbang. Perlakuan tersebut diulang dengan menggunakan air suling.

2. Indeks Bias (SNI 06-3735-1998)


Prisma pada refraktometer dibersihkan dengan alkohol, kemudian di
atas prisma diteteskan minyak menggunkana pipet tetes. Prisma dirapatkan
dan diatur slidenya sehingga diperoleh garis batas yang jelas antara terang
dan gelap, saklar diatur sampai garis batas berimpit dengan titik potong dari
dua garis bersilangan, setelah itu indeks bias dibaca.
Indeks bias (25oC) = nt - 0.0004(t-25)
t = Suhu kamar (oC)
nt = Indeks bias pada suhu kamar
0.0004 = Faktor koreksi minyak terhadap mutu yang nilainya dapat
berubah sesuai dengan suhu yang dipakai
3. Putaran Optik
Sumber cahaya dinyalakan sampai mendapatkan kilauan penuh pada
alat polarimeter. Setelah itu, tabung polari diisi dengan minyak hingga
penuh dan diusahakan jangan sampai ada gelembung udara. Tabung
ditempatkan di bawah alat pemeriksa di antara analizer dan polaryzer.
Analizer diputar sampai diperoleh lapang pandang yang terletak antara gelap
dan terang, kemudian dibaca nilai putaran optik minyak. Dengan cara yang
sama, dilakukan pula terhadap air suling.
Putaran optik = Pembacaan contoh – Pembacaan blanko
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
1. Warna Minyak (SNI 06-2385-1998)

Jenis Minyak Atsiri Warna Minyak


- Minyak Nilam Kuning Keemasan
- Minyak Pala Kuning Pucat
- Minyak Mawar Kuning Bening
- Minyak Sereh Kuning Jernih

2. Bobot Jenis

Jenis Minyak Bobot Aquades Bobot Minyak Bobot Jenis


(gram) (gram)
Minyak Nilam 9,76 9,32 0,95
Minyak Sereh 9,72 8,64 0,888
Minyak Mawar 9,76 9,95 1,02
Minyak Pala 10,35 8,6 0,831

3. Indeks Bias (SNI 06-3735-1998)

Jenis Minyak Indeks Bias


Minyak Nilam 1,6614
Minyak Sereh 1,649
Minyak Mawar 1,6615
Minyak Pala 1,6781

4. Putaran Optik (SNI 06-3735-1998)

Jenis Minyak Pembacaan Pembacaan Putaran


Contoh Blanko Optik
Minyak Nilam 5,17 0 5,17
Minyak Sereh 1,8 0 1,8
Minyak Mawar 81 0 81
Minyak Pala 7,9 0 7,9

5. Kelarutan dalam Alkohol 90% (SNI 06-3735-1998)

Jenis Minyak ml Alkohol Perhitungan


Minyak Nilam 14 0,071
Minyak Sereh 43 0,02
Minyak Mawar 3 0,33
Minyak Pala 3 0,33
6. Sisa Penguapan (SNI 06-3735-1998)

Jenis Minyak Berat Contoh Berat Sisa Penguapan Sisa Penguapan %


(gram) (gram)
Minyak Nilam 4 3,94 98
Minyak Sereh 5 3,7 74
Minyak Mawar 5 4,61 92,2
Minyak Pala 5 3,34 66,8

7. Bilangan Asam (SNI 06-2385-1998)

Jenis Minyak Bobot Contoh ml Bilangan


(gram) KOH Asam
Minyak Nilam 4,02 3,2 0,447
Minyak Sereh 4 5,3 7,43
Minyak 4 4,7 6,6
Mawar
Minyak Pala 4 2,3 0,32

B. Pembahasan
Minyak Pala
Minyak pala merupakan salah satu minyak atsiri yang permintaannya cukup
tinggi di pasar internasional. Minyak pala dikenal pula dengan nama oleum
myristicae, oleum myrist atau minyak miristica. Minyak ini mudah menguap dan
didapat dari hasil distilasi uap (penyulingan) biji pala dan fuli. Selain biji dan fuli,
minyak pala merupakan komoditas ekspor andalan Maluku, dan merupakan
sumber pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah.
Pala merupakan tanaman rempah asli Maluku (Purseglove et al. 1995), dan
telah diperdagangkan dan dibudidayakan secara turun-temurun dalam bentuk
perkebunan rakyat di sebagian besar Kepulauan Maluku. Pala Indonesia memiliki
nilai tinggi di pasar dunia karena aromanya yang khas dan rendemen minyaknya
tinggi.
Produksi minyak pala dunia mencapai 300 t/tahun, terutama berasal dari
Indonesia dan Sri Lanka dengan pasar utama (75%) Amerika Serikat. Minyak pala
di beberapa negara Eropa berasal dari Grenada. Untuk mengukur senyawa yang
ada pada minyak pala dilakukan proses fraksionasi dengan menggunakan
kromatografi gas atau spektrofotometri massa.
Di dunia terdapat dua tipe minyak pala, yaitu minyak pala Indian Timur
(East Indian) dan minyak pala Indian Barat (West Indian). Minyak pala Indonesia
termasuk minyak pala Indian Timur. Minyak pala Indian Timur memiliki berat
jenis 0,885–0,915 g/ml dan larut dalam alkohol 90% (v/v) dengan perbandingan 1
bagian minyak dan 3 bagian alkohol. Minyak pala Indian Barat mempunyai berat
jenis 0,86–0,88 g/ml dan larut dalam alkohol 90% (v/v)dengan perbandingan 1
bagian minyak dan 4 bagian alkohol (Anonim 2008b). Selain itu, minyak pala dari
Indian Timur memiliki kandungan myristicin hingga 13,50%, sedangkan Indian
Barat konsentrasi myristicin di bawah 1%. Minyak pala sebaiknya disimpan
dalam kondisi dingin dan terlindung dari cahaya langsung.
Minyak pala memiliki karakteristik dari tidak berwarna sampai dengan
kuning muda, berbau tajam, dan beraroma rempah. Komponen utama minyak pala
adalah α-pinene, camphene, β-pinene, sabinene, myrcene, α-phellandrene, α-
terpinene, γ-terpine, limonene, 1,8-ceniole, linalool, terpine-4-ol, safrole, methyl
eugenol dan myristicin (Anonim 2008c).
Menurut Djasula Wangi Indonesia (2008), minyak pala Indonesia memiliki
berat jenis (25oC) 0,847–0,919, rotasi optik +10 C hingga +30 C, indeks refraksi
(25 C 1,472–1,495, kandungan residu mudah menguap maksimum 60 mg (2,50%)
minyak mineral negatif, minyak lemak negatif, dan larut dalam etanol 90%
dengan perbandingan 1:3.
Minyak pala yang diperoleh dari proses hidrodistilasi biji memperlihatkan
karakteristik warna/fisik yang normal Kandungan minyak biji tua dengan umur
panen 7 bulan berkisar 7,95−11,92%.
Minyak pala dengan formulasi C10H16 mempunyai sifat tidak beracun dan
tidak menyebabkan iritasi, tetapi bila digunakan dalam konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan pingsan karena kandungan myristicin yang tinggi mempunyai efek
halusinasi seperti narkotik. Minyak pala dari fuli memiliki kadar myristicin lebih
tinggi dibanding minyak pala dari biji. Bila minyak pala diproses lebih lanjut akan
menghasilkan 84% trimyristin, suatu kristal beracun turunan dari safrole yang
merupakan senyawa dari methylene dioxyphenyl dengan rumus kimia C 45H86O6
(Erowid 2001), biasanya digunakan untuk sabun, detergen, dan parfum.
1. Warna Minyak
Buah pala mengandung zat-zat minyak terbang (myristin, pinen, kamfer, dipenten,
safnol, eugenol, iso-eugenol, alkohol), gliserida (asam miristat, asam oleat,
borneol, giraniol), protein, lemak, pati, gula, vitamin A, B1 dan C. Biji pala
mengandung minyak terbang, memiliki wangi dan rasa aromatis yang agak pahit.
Sebanyak 8-17% minyak terbang yang dikeluarkan merupakan bahan terpenting
pada fuli (Achmad dan Rasyidah, 2000).

Minyak pala diperoleh dengan melakukan penyulingan terhadap biji dan


fuli pala. Biji yang biasa digunakan dalam penyulingan bijipala adalah biji muda
karena memiliki kandungan minyak pala yang lebih tinggi. Minyak pala berwarna
kuning pucat sampai tak berwarna, mudah menguap, dan mempunyai bau khas
pala (Nurdjanah et al., 1990).
Minyak pala merupaka cairan jernih (hampir tak berwarna) sampai kuning
muda. Sifat-sifat kimia dari biji pala ternyata tidak berbeda dengan minyak dari
fuli pala. Minyak pala jika dibiarkan di udara terbuka akan berubah menjadi
kental karena peristiwa polimerisasi dan berbau terpentin atau berbau campuran
yang tidak menyenangkan (Lutony dan Rahmawati, 2002).
Patokan mutu mace oil yang ditetapkan berdasarkan EOA sebagai berikut :
a. Panampilan, warna, bau : cairan bening atau kuning
pucat, memiliki rasa dan bau khas pala.
b. Berat jenis, 250C : 0.880-0.930.
c. Putaran optik : 20-300.
d. Indeks refraksi, 250C : 1.4740-1.4880
e. Kelarutan dalam alkohol 80% : larut dalam 3 volume (Anonimous, 1970).

Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan warna minyak pala yaitu


berwarna kuning pucat dan berbau khas rempah-rempah. Menurut Ketaren (1985),
warna dari minyak atsiri disebabkan oleh reaksi organologam ; yaitu reaksi
senyawa minyak atsiri tertentu yang bereaksi dengan alat penyulingan. Warna
minyak yang kuning pucat disebabkan oleh bereaksinya salah satu senyawa dalam
minyak pala dengan logam besi pada alat penyulingan. Reaksi organologam
antara senyawa yang terdapat dalam minyak atsiri dengan senyawa besi dapat
menyebabkan perubahan warna dari berwarna kuning sampai berwarna coklat
gelap.

2. Bobot Jenis
Perhitungan bobot jenis minyak atsiri adalah dengan cara
membandingkan kerapatan minyak pada suhu 25oC terhadap kerapatan air suling
pada suhu yang sama. Bobot jenis dapat dpengaruhi oleh hal-hal seperti bobot
bahan yang disuling, lama penyulingan maupun interaksi antara keduanya.
Semakin lama penyulingan maka bobot jenis minyak yang dihasilkan akan
semakin besar karena dengan bertambah lamanya penyulingan, kemungkinan
terjadinya kenaikan suhu pemanasan dalam ketel penyulingan sangat besar. Hal
ini dapat menyebabkan fraksi-fraksi berat yang mempunyai titik didih tinggi
terekstraksi. Semakin banyaknya fraksi yang terekstrak menyebabkan bobot
jenisnya semakin besar.
Besar kecilnya bobot jenis berhubungan dengan perbandingan
komponen-komponen senyawa yang terkandung di dalamnya. Pada penyulingan
bahan yang lebih kecil, fraksi-fraksi berat minyak relatif lebih banyak terekstrak
oleh uap air sehingga menaikkan bobot jenis. Selain itu, adanya bahan-bahan
inpuritis yang ada dalam minyak juga dapat menaikkan bobot jenis minyak.
Dari praktikum diperoleh bahwa minyak pala 0.813. Berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) syarat bobot jenis untuk minyak pala yang ada
di Indonesia yaitu mulai dari 0.847 sampai 0.919. Selisih hasil antara pengamatan
dengan SNI mungkin disebabkan pada waktu penimbangan bobot minyak pala ,
piknometer yang digunakan belum benar-benar kering atau masih mengandung
air. Sehingga dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Selain itu, bisa juga
disebabkan oleh penyulingan yang tidak terlalu lama sehingga yang terekstrak
hanyalah fraksi-fraksi ringannya saja.

3. Indeks Bias
Prinsip dari uji indeks bias adalah cahaya yang datang dari media yang
kurang rapat dengan sudut tertentu menuju media yang lebih rapat, akan
dibelokkan atau dibiaskan mendekati garis normal (sudut bias semakin kecil).
Demikian juga sebaliknya, bahwa cahaya yang datang dari media yang lebih rapat
dengan sudut tertentu menuju media yang kurang rapat akan menjauhi garis
normal (sudut bias semakin besar).
Besar kecilnya indeks bias minyak berhubungan dengan perbadingan
komponen yang ikut tersuling. Pada penyulingan bahan yang waktunya lama,
akan dihasilkan minyak yang mengandung molekul-molekul yang berantai
panjang, seperti seskwiterpen dan fraksi yang banyak mengandung ikatan tidak
jenuh serta mudah berpolimerisasi seperti monoterpen atau terpen yang mengikat
oksigen. Molekul-molekul berantai panjang itu menyebabkan nilai indeks bias
tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guenther (1987), dimana semakin tinggi
nilai indeks bias yang dihasilkan maka rantai hidrokarbonnya makin panjang.
Semakin panjangnya rantai karbon minyak atsiri, maka minyak tersebut akan
makin sukar menguap, sehingga mutu minyak atsiri yang dihasilkan makin
rendah.
Dari hasil praktikum diperoleh data bahwa Minyak pala hasil praktikum
memiliki nilai indeks bias sebesar 1.6781. Menurut Yusreni (1990), nilai indeks
bias minyak pala Indonesia adalah sebesar 1.472-1.494. Dari sini dapat dilihat
bahwa nilai indeks bias minyak pala hasil praktikum memiliki selisih dengan
indeks bias minyak pala standar Indonesia. Hal ini bisa jadi disebabkan karena
minyak memiliki kerapatan yang lebih tinggi sehingga berkas cahaya yang datang
melewati minyak akan dibiaskan semakin lebar.

4. Putaran Optik
Pada setiap jenis minyak yang mempunyai atom kiral akan memutar
bidang polarisasi cahaya. Bila arah putaran ke kanan (dextro rotary) bertanda
positif dan bila arah putaran ke kiri (levo rotary) bertanda negatif. Lama
penyulingan akan mengakibatkan putaran optik semakin besar karena
seskwiterpen yang dihasilkan semakin banyak dan komponen ini mempunyai
kemampuan memutar bidang polarisasi cahaya ke kanan..
Dari hasil praktikum diperoleh Minyak pala hasil praktikum menunjukkan
nilai putaran optik sebesar +7,9 (putaran ke kanan). Namun menurut Yusreni
(1990), nilai putaran optik minyak pala Indonesia adalah sebesar (+10o) – (+30o)
(putaran ke kanan). Nilai ini menunjukkan perbedaan yang sangat jauh.
Perbedaan nilai ini mungkin dapat disebabkan oleh kesalahan dalam pembacaan
pada polarimeter atau perlakuan yang berbeda dengan seharusnya.

5. Sisa Penguapan
Sisa penguapan minyak atsiri adalah banyaknya sisa dari minyak tersebut
setelah mengalami penguapan yang dinyatakan dalam persen bobot/bobot (%b/b).
Sisa penguapan merupakan senyawa-senyawa yang terdapat dalam minyak atsiri
yang tidak dapat menguap karena titik uap yang lebih tinggi.
Data praktikum menunjukkan minyak pala memiliki residu penguapan
sebesar 66.8 %, ini juga merupakan jumlah yang sangat tinggi. Menurut Yusreni
(1990), minyak pala memiliki residu penguapan sebesar 2.5 %. Hal ini berarti
minyak pala yang digunakan sudah rusak dan banyak mengandung senyawa-
senyawa lain yang tidak menguap pada 105oC. Pada praktikum ini diperoleh
residu penguapan yang sangat tinggi jauh melebihi literatur, ini mungkin terjadi
karena kesalahan dalam perhitungan atau perlakuan.

6. Kadar Asam
Bilangan asam adalah jumlah milligram KOH yang dbutuhkan untuk
menetralkan asam lemak bebas dalam 1 gram minyak. Bilangan asam digunakan
untuk mengetahui apakah minyak tersebut telah mengalami hidrolisis atau tidak.
Semakin tinggi bilangan asam dalam suatu minyak maka kualitas minyak tersebut
akan semakin jelek, minyak tersebut sudah rusak.
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh bahwa Minyak pala hasil
praktikum memiliki bilangan asam sebesar 0,32. Pada praktikum ini diperoleh
hasil bilangan asam yang rendah, hal ini menunjukkan minyak yang digunakan
masih bagus dan belum mengalami hidrolisis.

7. Kelarutan dalam Alkohol 90 %


Menurut Ketaren (1985), salah satu faktor yang paling penting untuk
menentukan berhasilnya proses ekstraksi adalah mutu dari pelarut yang
digunakan. Pelarut yang ideal harus memiliki sifat sebagai berikut :
1. Dapat melarutkan semua zat wangi dengan cepat dan sempurna dan
sesedikit mungkin melarutkan zat lilin. Pigmen dan senyawa albumin.
2. Mempunyai titik didih yang rendah.
3. Tidak larut dalam air.
4. Innert, sehingga tidak bereaksi dengan komponen minyak bunga.
5. Mempunyai titik didih yang seragam dan jika diuapkan tidak tinggal dalam
minyak.
6. Murah, tidak beracun dan tidak mudah terbakar.
Berikut ini berbagai jenis pelarut yang biasa digunakan dalam ekstraksi*)
Jenis pelarut Titik didih (oC) Titik beku (oC)
Aseton 56.5 - 94.6
Metanol 64.7 - 97.8
Heksana 69.0 - 94.0
Etil alkohol 78.4 - 112.0
Isopropil alkohol 82.3 - 112.0
Etilen diklorida 83.5 80.5
*)
Perry dan Dangron (1984)
Masing-masing pelarut mempunyai efisiensi dan selektivitas yang
berbeda-beda dalam melarutkan senyawa tertentu. Pemilihan pelarut tersebut
didasarkan pada sifat polaritas, stabilitas dan harga.
Kelarutan minyak dalam alkohol dapat dilihat dari seberapa jauh minyak
tersebut larut dalam alkohol sampai jernih dengan perbandingan tertentu.
Kelarutan minyak dalam alkohol ditentukan oleh jenis komponen kimia yang
terkandung di dalam minyak. Pada umumnya minyak atsiri yang mengandung
persenyawaan oxygenated terpene lebih mudah larut daripada yang mengandung
terpene (Ketaren, 1975). Makin tinggi kandungan terpene maka daya larut akan
semakin rendah karena senyawa terpene mempunyai senyawa non polar yang
tidak mempunyai gugus-gugus fungsional.
Berdasarkan data yang diperoleh pada praktikum, pada minyak pala nilai
kelarutannya yaitu 1:3 atau sekitar 0,33. Hal ini berarti 1 ml etanol atau alkohol
90% dapat melarutkan sekitar 0,33 ml minyak pala. Nilai ini sama dengan yang
disyaratkan oleh Standar Nasional Indonesia yaitu untuk minyak pala sekitar 1 : 3
jernih seterusnya jernih.

Minyak Mawar
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh balai penelitian tanaman hias
bahwa tanamana mawar memiliki rendeman, yaitu 0,14% dan 0,06%, Nilai indeks
bias tertinggi yaitu 1,45-1,47, dan Komponen utama penyusun absolut mawar
adalah fenil etil alkohol, sitronellol, dan geraniol. Pada mawar Americana Beauty
didominasi senyawa metil eugenol.

1. Warna Minyak
Pada praktikum kali ini minyak mawar yang diamati berwarna kuning
bening dan memiliki bau yang khas. Warna kuning ini disebabkan oleh adanya
reaksi organologam antara senyawa tertentu pada minyak mawar dengan besi
pada alat penyulingan yang digunakan. Sedangkan bau khas yang ditimbulkan
bisa disebabkan oleh proses aging atau pemeraman yang terjadi selama
penyimpanan. Karena minyak mawar yang digunakan sudah lama sehingga besar
kemungkinan terjadi aging yang menyebabkan terjadinya transformasi gugus
fungsi sehingga baunya semakin kuat.

2. Bobot jenis
Pada praktikum kali ini bobot jenis yang dihasilkan dari minyak mawar
yaitu sebesar 1,02. Nilai ini berbeda dengan nilai yang telah diteteapkan oleh BP
POM. Menurut POM (1979), bobot jenis minyak mawar yaitu sekitar 0,848
sampai 0,863. kesalahan ini bisa diakibatkan oleh ketidaktelitian praktikan dalam
mempersiapkan alat. Besar kemungkinan piknometer yang digunakan belum
benar-benar kering sehingga air yang masih tertinggal ikut tertimbang bersama
dengan minyak mawar. Kesalahan ini juga dapat diliat dari nilai bobot jenis yang
melebihi 1. Hal ini berarti bobot minyak lebih berat daripada bobot air. Sedangkan
berdasarkan teori, bobot jenis minyak selalu lebih rendah daripada air sehingga
hasil perhitungan bobot jenis seharusnya menunjukkan nilai dibawah 1.
3. Indeks Bias
Pada praktikum kali ini indeks bias untuk minyak mawar yaitu sebesar
1,6615. Sedangkan menurut balai penelitian tanaman hias, indeks bias tertinggi
untuk minyak mawar terdapat pada minyak mawar tabur yaitu sekitar 1,45-1,47.
Perbedaan nilai ini bisa disebabkan oleh lamanya waktu penyulingan sehingga
dihasilkan minyak yang mengandung molekul-molekul berantai panjang. Semakin
panjang molekul menyebabkan indeks bias semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Guenther (1987), dimana semakin tinggi nilai indeks bias yang
dihasilkan maka rantai hidrokarbonnya makin panjang. Semakin panjangnya
rantai karbon minyak atsiri, maka minyak tersebut akan makin sukar menguap,
sehingga mutu minyak atsiri yang dihasilkan makin rendah.

V. KESIMPULAN

Irun kesimpulannya belum ya. Menurut kyo lebih baik disimpulin


klo udah jadi keseluruhan aja. Coz bahasan kita sama dari awal
sampe akhir, jadi lebih gampang narik kesimpulan klo udah
digabungin semua. Maaf ya run.....
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008b. Myristical Oil Alternative Names.
(http://www.utmedicalcenter.org/adam/health%20ilustrated
%20encyclopedia/1/002899.htm). [18 Maret 2008].
Anonim. 2008c. Traditional Medicine Nutmeg and Nutmeg Oil.
(http://www.wikipedia. org/ wiki/Nutmeg – oil. htm). [18 Maret 2008].
Erowid, H.T.M. 2001. General Information About Nutmeg. Encyclopedia
Britanica, Part VII Micropedia. (http://www.erowid.org/ plants/nutmeg-
fag.shtml). [18 Maret 2008].
Purseglove, J.W., E.G. Brown, S.L. Green, and S.R.J. Robbins. 1995. Spices.
Longmans, New York. p. 175−228.
Ditjen POM.1979.Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Hal:33,144,378,453,459,633.
Djasula Wangi Indonesia. 2008. Sell Nutmeg Oil. Djasula Wangi Indonesia.
(http://www.indonetwork-net/djasula-wangi/598536/nutmeg-oil.htm). [18
Maret 2008].
Guenther E. 1987. Minyak Atsiri Jilid I. Terjemahan S. Ketaren. UI Press, Jakarta
Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta.
Yusreni, 1990. Mempelajari Aspek pengujian dan Sertifikasi Mutu Minyak Atsiri
di Pusat Pengujian Mutu Barang (PPMB), Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai