METODOLOGI
B. Metode
1. Bobot Jenis
Piknometer yang bersih dan kering ditimbang, diisi dengan minyak
dan dimasukkan ke dalam termostat yang telah ditetapkan suhunya pada
25oC, dibiarkan selama 15 menit. Setelah itu, dikeringkan bagian luarnya
dan ditimbang. Perlakuan tersebut diulang dengan menggunakan air suling.
A. Hasil Pengamatan
1. Warna Minyak (SNI 06-2385-1998)
2. Bobot Jenis
B. Pembahasan
Minyak Pala
Minyak pala merupakan salah satu minyak atsiri yang permintaannya cukup
tinggi di pasar internasional. Minyak pala dikenal pula dengan nama oleum
myristicae, oleum myrist atau minyak miristica. Minyak ini mudah menguap dan
didapat dari hasil distilasi uap (penyulingan) biji pala dan fuli. Selain biji dan fuli,
minyak pala merupakan komoditas ekspor andalan Maluku, dan merupakan
sumber pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah.
Pala merupakan tanaman rempah asli Maluku (Purseglove et al. 1995), dan
telah diperdagangkan dan dibudidayakan secara turun-temurun dalam bentuk
perkebunan rakyat di sebagian besar Kepulauan Maluku. Pala Indonesia memiliki
nilai tinggi di pasar dunia karena aromanya yang khas dan rendemen minyaknya
tinggi.
Produksi minyak pala dunia mencapai 300 t/tahun, terutama berasal dari
Indonesia dan Sri Lanka dengan pasar utama (75%) Amerika Serikat. Minyak pala
di beberapa negara Eropa berasal dari Grenada. Untuk mengukur senyawa yang
ada pada minyak pala dilakukan proses fraksionasi dengan menggunakan
kromatografi gas atau spektrofotometri massa.
Di dunia terdapat dua tipe minyak pala, yaitu minyak pala Indian Timur
(East Indian) dan minyak pala Indian Barat (West Indian). Minyak pala Indonesia
termasuk minyak pala Indian Timur. Minyak pala Indian Timur memiliki berat
jenis 0,885–0,915 g/ml dan larut dalam alkohol 90% (v/v) dengan perbandingan 1
bagian minyak dan 3 bagian alkohol. Minyak pala Indian Barat mempunyai berat
jenis 0,86–0,88 g/ml dan larut dalam alkohol 90% (v/v)dengan perbandingan 1
bagian minyak dan 4 bagian alkohol (Anonim 2008b). Selain itu, minyak pala dari
Indian Timur memiliki kandungan myristicin hingga 13,50%, sedangkan Indian
Barat konsentrasi myristicin di bawah 1%. Minyak pala sebaiknya disimpan
dalam kondisi dingin dan terlindung dari cahaya langsung.
Minyak pala memiliki karakteristik dari tidak berwarna sampai dengan
kuning muda, berbau tajam, dan beraroma rempah. Komponen utama minyak pala
adalah α-pinene, camphene, β-pinene, sabinene, myrcene, α-phellandrene, α-
terpinene, γ-terpine, limonene, 1,8-ceniole, linalool, terpine-4-ol, safrole, methyl
eugenol dan myristicin (Anonim 2008c).
Menurut Djasula Wangi Indonesia (2008), minyak pala Indonesia memiliki
berat jenis (25oC) 0,847–0,919, rotasi optik +10 C hingga +30 C, indeks refraksi
(25 C 1,472–1,495, kandungan residu mudah menguap maksimum 60 mg (2,50%)
minyak mineral negatif, minyak lemak negatif, dan larut dalam etanol 90%
dengan perbandingan 1:3.
Minyak pala yang diperoleh dari proses hidrodistilasi biji memperlihatkan
karakteristik warna/fisik yang normal Kandungan minyak biji tua dengan umur
panen 7 bulan berkisar 7,95−11,92%.
Minyak pala dengan formulasi C10H16 mempunyai sifat tidak beracun dan
tidak menyebabkan iritasi, tetapi bila digunakan dalam konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan pingsan karena kandungan myristicin yang tinggi mempunyai efek
halusinasi seperti narkotik. Minyak pala dari fuli memiliki kadar myristicin lebih
tinggi dibanding minyak pala dari biji. Bila minyak pala diproses lebih lanjut akan
menghasilkan 84% trimyristin, suatu kristal beracun turunan dari safrole yang
merupakan senyawa dari methylene dioxyphenyl dengan rumus kimia C 45H86O6
(Erowid 2001), biasanya digunakan untuk sabun, detergen, dan parfum.
1. Warna Minyak
Buah pala mengandung zat-zat minyak terbang (myristin, pinen, kamfer, dipenten,
safnol, eugenol, iso-eugenol, alkohol), gliserida (asam miristat, asam oleat,
borneol, giraniol), protein, lemak, pati, gula, vitamin A, B1 dan C. Biji pala
mengandung minyak terbang, memiliki wangi dan rasa aromatis yang agak pahit.
Sebanyak 8-17% minyak terbang yang dikeluarkan merupakan bahan terpenting
pada fuli (Achmad dan Rasyidah, 2000).
2. Bobot Jenis
Perhitungan bobot jenis minyak atsiri adalah dengan cara
membandingkan kerapatan minyak pada suhu 25oC terhadap kerapatan air suling
pada suhu yang sama. Bobot jenis dapat dpengaruhi oleh hal-hal seperti bobot
bahan yang disuling, lama penyulingan maupun interaksi antara keduanya.
Semakin lama penyulingan maka bobot jenis minyak yang dihasilkan akan
semakin besar karena dengan bertambah lamanya penyulingan, kemungkinan
terjadinya kenaikan suhu pemanasan dalam ketel penyulingan sangat besar. Hal
ini dapat menyebabkan fraksi-fraksi berat yang mempunyai titik didih tinggi
terekstraksi. Semakin banyaknya fraksi yang terekstrak menyebabkan bobot
jenisnya semakin besar.
Besar kecilnya bobot jenis berhubungan dengan perbandingan
komponen-komponen senyawa yang terkandung di dalamnya. Pada penyulingan
bahan yang lebih kecil, fraksi-fraksi berat minyak relatif lebih banyak terekstrak
oleh uap air sehingga menaikkan bobot jenis. Selain itu, adanya bahan-bahan
inpuritis yang ada dalam minyak juga dapat menaikkan bobot jenis minyak.
Dari praktikum diperoleh bahwa minyak pala 0.813. Berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) syarat bobot jenis untuk minyak pala yang ada
di Indonesia yaitu mulai dari 0.847 sampai 0.919. Selisih hasil antara pengamatan
dengan SNI mungkin disebabkan pada waktu penimbangan bobot minyak pala ,
piknometer yang digunakan belum benar-benar kering atau masih mengandung
air. Sehingga dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Selain itu, bisa juga
disebabkan oleh penyulingan yang tidak terlalu lama sehingga yang terekstrak
hanyalah fraksi-fraksi ringannya saja.
3. Indeks Bias
Prinsip dari uji indeks bias adalah cahaya yang datang dari media yang
kurang rapat dengan sudut tertentu menuju media yang lebih rapat, akan
dibelokkan atau dibiaskan mendekati garis normal (sudut bias semakin kecil).
Demikian juga sebaliknya, bahwa cahaya yang datang dari media yang lebih rapat
dengan sudut tertentu menuju media yang kurang rapat akan menjauhi garis
normal (sudut bias semakin besar).
Besar kecilnya indeks bias minyak berhubungan dengan perbadingan
komponen yang ikut tersuling. Pada penyulingan bahan yang waktunya lama,
akan dihasilkan minyak yang mengandung molekul-molekul yang berantai
panjang, seperti seskwiterpen dan fraksi yang banyak mengandung ikatan tidak
jenuh serta mudah berpolimerisasi seperti monoterpen atau terpen yang mengikat
oksigen. Molekul-molekul berantai panjang itu menyebabkan nilai indeks bias
tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guenther (1987), dimana semakin tinggi
nilai indeks bias yang dihasilkan maka rantai hidrokarbonnya makin panjang.
Semakin panjangnya rantai karbon minyak atsiri, maka minyak tersebut akan
makin sukar menguap, sehingga mutu minyak atsiri yang dihasilkan makin
rendah.
Dari hasil praktikum diperoleh data bahwa Minyak pala hasil praktikum
memiliki nilai indeks bias sebesar 1.6781. Menurut Yusreni (1990), nilai indeks
bias minyak pala Indonesia adalah sebesar 1.472-1.494. Dari sini dapat dilihat
bahwa nilai indeks bias minyak pala hasil praktikum memiliki selisih dengan
indeks bias minyak pala standar Indonesia. Hal ini bisa jadi disebabkan karena
minyak memiliki kerapatan yang lebih tinggi sehingga berkas cahaya yang datang
melewati minyak akan dibiaskan semakin lebar.
4. Putaran Optik
Pada setiap jenis minyak yang mempunyai atom kiral akan memutar
bidang polarisasi cahaya. Bila arah putaran ke kanan (dextro rotary) bertanda
positif dan bila arah putaran ke kiri (levo rotary) bertanda negatif. Lama
penyulingan akan mengakibatkan putaran optik semakin besar karena
seskwiterpen yang dihasilkan semakin banyak dan komponen ini mempunyai
kemampuan memutar bidang polarisasi cahaya ke kanan..
Dari hasil praktikum diperoleh Minyak pala hasil praktikum menunjukkan
nilai putaran optik sebesar +7,9 (putaran ke kanan). Namun menurut Yusreni
(1990), nilai putaran optik minyak pala Indonesia adalah sebesar (+10o) – (+30o)
(putaran ke kanan). Nilai ini menunjukkan perbedaan yang sangat jauh.
Perbedaan nilai ini mungkin dapat disebabkan oleh kesalahan dalam pembacaan
pada polarimeter atau perlakuan yang berbeda dengan seharusnya.
5. Sisa Penguapan
Sisa penguapan minyak atsiri adalah banyaknya sisa dari minyak tersebut
setelah mengalami penguapan yang dinyatakan dalam persen bobot/bobot (%b/b).
Sisa penguapan merupakan senyawa-senyawa yang terdapat dalam minyak atsiri
yang tidak dapat menguap karena titik uap yang lebih tinggi.
Data praktikum menunjukkan minyak pala memiliki residu penguapan
sebesar 66.8 %, ini juga merupakan jumlah yang sangat tinggi. Menurut Yusreni
(1990), minyak pala memiliki residu penguapan sebesar 2.5 %. Hal ini berarti
minyak pala yang digunakan sudah rusak dan banyak mengandung senyawa-
senyawa lain yang tidak menguap pada 105oC. Pada praktikum ini diperoleh
residu penguapan yang sangat tinggi jauh melebihi literatur, ini mungkin terjadi
karena kesalahan dalam perhitungan atau perlakuan.
6. Kadar Asam
Bilangan asam adalah jumlah milligram KOH yang dbutuhkan untuk
menetralkan asam lemak bebas dalam 1 gram minyak. Bilangan asam digunakan
untuk mengetahui apakah minyak tersebut telah mengalami hidrolisis atau tidak.
Semakin tinggi bilangan asam dalam suatu minyak maka kualitas minyak tersebut
akan semakin jelek, minyak tersebut sudah rusak.
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh bahwa Minyak pala hasil
praktikum memiliki bilangan asam sebesar 0,32. Pada praktikum ini diperoleh
hasil bilangan asam yang rendah, hal ini menunjukkan minyak yang digunakan
masih bagus dan belum mengalami hidrolisis.
Minyak Mawar
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh balai penelitian tanaman hias
bahwa tanamana mawar memiliki rendeman, yaitu 0,14% dan 0,06%, Nilai indeks
bias tertinggi yaitu 1,45-1,47, dan Komponen utama penyusun absolut mawar
adalah fenil etil alkohol, sitronellol, dan geraniol. Pada mawar Americana Beauty
didominasi senyawa metil eugenol.
1. Warna Minyak
Pada praktikum kali ini minyak mawar yang diamati berwarna kuning
bening dan memiliki bau yang khas. Warna kuning ini disebabkan oleh adanya
reaksi organologam antara senyawa tertentu pada minyak mawar dengan besi
pada alat penyulingan yang digunakan. Sedangkan bau khas yang ditimbulkan
bisa disebabkan oleh proses aging atau pemeraman yang terjadi selama
penyimpanan. Karena minyak mawar yang digunakan sudah lama sehingga besar
kemungkinan terjadi aging yang menyebabkan terjadinya transformasi gugus
fungsi sehingga baunya semakin kuat.
2. Bobot jenis
Pada praktikum kali ini bobot jenis yang dihasilkan dari minyak mawar
yaitu sebesar 1,02. Nilai ini berbeda dengan nilai yang telah diteteapkan oleh BP
POM. Menurut POM (1979), bobot jenis minyak mawar yaitu sekitar 0,848
sampai 0,863. kesalahan ini bisa diakibatkan oleh ketidaktelitian praktikan dalam
mempersiapkan alat. Besar kemungkinan piknometer yang digunakan belum
benar-benar kering sehingga air yang masih tertinggal ikut tertimbang bersama
dengan minyak mawar. Kesalahan ini juga dapat diliat dari nilai bobot jenis yang
melebihi 1. Hal ini berarti bobot minyak lebih berat daripada bobot air. Sedangkan
berdasarkan teori, bobot jenis minyak selalu lebih rendah daripada air sehingga
hasil perhitungan bobot jenis seharusnya menunjukkan nilai dibawah 1.
3. Indeks Bias
Pada praktikum kali ini indeks bias untuk minyak mawar yaitu sebesar
1,6615. Sedangkan menurut balai penelitian tanaman hias, indeks bias tertinggi
untuk minyak mawar terdapat pada minyak mawar tabur yaitu sekitar 1,45-1,47.
Perbedaan nilai ini bisa disebabkan oleh lamanya waktu penyulingan sehingga
dihasilkan minyak yang mengandung molekul-molekul berantai panjang. Semakin
panjang molekul menyebabkan indeks bias semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Guenther (1987), dimana semakin tinggi nilai indeks bias yang
dihasilkan maka rantai hidrokarbonnya makin panjang. Semakin panjangnya
rantai karbon minyak atsiri, maka minyak tersebut akan makin sukar menguap,
sehingga mutu minyak atsiri yang dihasilkan makin rendah.
V. KESIMPULAN