Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tanaman kakao (Thlobroma cacao L) sebagai tanaman penghasil coklat sudah
lama dikenal di Indonesia. Perkembangan realnya yang sangat pesat terjadi pada
tahun 1970-an, terutama pada perkebunan rakyat atau petani. Saat ini, lebih dari 70%
biji kakao Indonesia diproduksi dari perkebunan rakyat.
Pada percaturan kakao dunia, bahwa Indonesia adalah penghasil kakao nomor
tiga terbesar di dunia. Posisi nomor satu dan nomor dua ditempati masing-masing oleh
Negara Pantai Gading dan Ghana dari benua Afrika.
Pemanfaatan biji kakao yang diproduksi di Indonesia adalah sebagian besar
(lebih dari 85%) untuk ekspor. Hanya sebagian kecil saja (kurang dari 15%) sebagai
pasokan bahan baku pabrik dalam negeri yang akan diolah lebih lanjut menjadi
produk bahan baku pangan.
Produk utama hasil olahan biji kakao oleh pabrikan adalah lemak kakao, cake,
dan tepung ampas kakao. Dari berbagai produk dasar ini, dapat diolah menjadi pangan
lebih lanjut seperti coklat batangan, kue, permen, minuman, berbagai jenis es, ataupun
kosmetik.
Pada akhir tahun 2008, luas areal kakao di Bali hampir mencapai 12.000
hektar dengan produksi sekitar 6500 ton biji kering. Tiga kabupaten terpenting
penghasil kakao Bali berturut-turut adalah Jembrana (37,10%), Tabanan(35,90%), dan
Buleleng (10,20%). Berikutnya adalah lima kabupaten lainnya yaitu Badung,
Karangasem, Gianyar, Bangli, dan Klungkung.

1.2 Rumusan Masalah


Peluang pasar kakao Indonesia baik dalam maupun luar negeri sangat terbuka.
Penduduk Indonesia yang sangat besar (kurang lebih 200 juta orang) adalah potensi
pasar dalam negeri yang sangat menjanjikan.
Pasar luar negeri (ekspor) juga sangat terbuka. Kondisi sosial politik Indonesia
yang relatif lebih stabil dibandingkan dengan Negara-negara penghasil kakao di benua
Afrika, merupakan pertimbangan tersendiri bagi konsumen luar negeri kakao
Indonesia.
Pasar ekspor kakao Indonesia selama ini (juga dikenal sebagai pasar
tradisional ekspor kakao) adalah Negara-negara Amerika. Ekspor kakao ke Amerika
hampir 100% merupakan biji kakao kering non fermentasi (non fermented bean) yang
dikenal sebagai produk bermutu sangat rendah.
Dalam prakteknya, mutu biji kakao Indonesia yang sangat rendah
menyebabkan posisi tawar produk kakao Indonesia masih sangat lemah. Dalam
perdagangan internasional, kakao Indonesia masih mendapat perlakuan kurang adil.
Dengan alasan mutu rendah, maka kakao Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat
kena potongan harga (Automatic Detention) bisa mencapai US $ 320 per ton.
Demikian juga kakao Indonesia yang masuk ke China, kena bea masuk hingga 15%.
Tentu semuanya ini akhirnya berpengaruh terhadap nilai jual kakao yang langsung
diterima oleh petani produsen.
Memasuki era pasar global, justru pasar yang terbuka lebar adalah pasar Asia
dan pasar Eropa. Masyarakat Eropa dan China sangat terkenal dengan tuntutan mutu
produk kualitas baik (baca : biji kakao bekualitas fermentasi). Sudah barang tentu ada
korelasi linier antara peningkatan mutu produk dengan peningkatan harga produk
yang bersangkutan.
Biji terfermentasi adalah salah satu terpenting prasyarat atau parameter dari
tigabelas syarat mutu biji kakao sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2323-
2002). Secara lengkap tigabelas parameter mutu untuk mutu biji kakao adalah kadar
air, jumlah biji per seratus gram, biji terfermentasi, biji biru, kadar biji berjamur,
kadar kotoran, biji ganda, biji pipih, biji berserangga, biji berkecambah, kadar lemak,
kadar kulit ari biji atau shell dan kadar daging biji atau contain. Kecuali biji
terfermentasi parameter-parameter lainnya relative mudah dicapai sesuai standar yang
telah ditentukan.
Membuat produk biji kakao terfermentasi melalui proses pengolahan
fermentasi adalah suatu proses peningkatan mutu (kualitas) yang juga sekaligus
sebagai “proses produksi” karena terjadi “pertambahan nilai” akibat proses dimaksud.
Produk biji kakao terfermentasi (fermented bean) biasanya dihargai lebih mahal 25%
sampai dengan 30% dibandingkan dengan produk biji kakao asalan (non fermented
bean) sudah barang tentu untuk membuat produk biji fermentasi dibutuhkan sejumlah
“korbanan ekonomis” tertentu dibandingkan dengan pembuatan produk kakao biji
asalan (non fermented bean).
1.3 Tujuan
Tujuan daripada penyusunan proposal ini adalah sebagai acuan atau pedoman
dalam rangka manajemen usaha pengolahan kakao fermentasi dalam persfektif
volume tertentu dan waktu tertentu yang ingin dilaksanakan.
BAB II
BAHAN DAN ALAT

2.1 Bahan dan Alat


Untuk dapat terlaksananya usaha “pengolahan kakao fermentasi” ini,
dibutuhkan sejumlah sarana dan prasarana berikut.
1. Bangunan sederhana untuk tempat usaha
2. Bahan baku, berupa biji basah kakao yang berkualitas baik
3. Alat-alat pengolah yaitu :
a. Bak/ peti kayu/ kampil, untuk fermentasi
b. Para-para/ terpal/ lantai jemur untuk pengeringan
c. Timbangan duduk/ gantung
d. Moisture tester untuk mengukur kadar air biji
e. Thermometer stik untuk mengukur suhu fermentasi
f. Pisau cut test, untuk membelah biji
g. Tampah/ nyiru untuk tempat sortasi biji kering
h. Karung goni/ kampil untuk pengepakan biji kering

2.2 Lokasi Usaha


Usaha pengolahan kakao fermentasi ini akan dilaksanakan pada salah satu
centra produksi kakao di daerah propinsi Bali, yang secara administrative tepatnya
berada di banjar dinas Belulang, desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten
Tabanan. Lokasi ini berjarak kira-kira 1 km dari kantor desa, 5 km dari kota
kecamatan dan 18 km dari kota kabupaten dengan kondisi sarana transportasi cukup
lancar.
BAB III
PEMBAHASAN

Teknik Pengolahan
Untuk mendapatkan produk olahan kakao fermentasi dengan kualitas sesuai
atau mendekati seperti apa yang dikehendaki oleh Standar Nasional Indonesia (SNI
01-2323-2002) maka harus ditempuh cara kerja olah sesuai Standar Prosedur
Operasional (SPO) seperti berikut.
1. Panen tongkol
Tongkol dipanen dalam keadaan masak optimal, dengan ciri fisual telah terjadi
perubahan warna kulit glondong dari hijau menjadi kuning atau dari merah
menjadi orange. Buah yang kelewat masak menyebabkan biji berkecambah di
dalam buah. Sedangkan buah yang belum cukup masak, hanya memiliki sedikit
pulp.
2. Sortasi tongkol
Dengan mendapatkan bahan baku (biji basah) yang baik harus dipisahkan antara
buah sehat, buah masak optimal, buah muda, buah kelewat masak, buah sakit
(terserang busuk buah, penggerek buah). Yang dipilih adalah buah sehat dan
masak optimal.
3. Pemecahan buah
Hindari kontaminasi biji dengan logam pada saat pemecagan tongkol. Pemecah
tongkol sebaiknya dibuat dari kayu (non logam).
4. Sortasi biji basah
Kumpulkan biji basah yang sehat serta masak optimal (cukup banyak pulp).
Sisihkan biji-biji dempet, sakit/ terserang busuk buah.
5. Pemeraman (fermentasi) biji basah
Biji basah dimasukkan dalam kotak/ bak/ kampil fermentasi ditutup dengan goni,
dan didiamkan selama lima hari. Pada hari kedua dan keempat, biji diaduk atau
dibalik secara merata. Dengan thermometer stik, suhu dalam tumpukan biji
diukur. Untuk terjadi fermentasi sempurna maka pada hari keempat dan kelima
suhu harus mencapai 45oC sampai dengan 50oC.
6. Pencucian biji terfermentasi
Tergantung pada permintaan user, kadang-kadang ada yang memasukkan
pencucian ke dalam Standar Prosedur Operasional. Akan tetapi tidak semua user
mensyaratkan pencucian. Keunggulan pencucian adalah biji setelah fermentasi
akan bersih, sulit bagi jamur untuk tumbuh serta lebih cepat dikeringkan.
Keburukannya, biji setelah fermentasi mudah pecah, lebih ringan dan perlu biaya
air. Pencucian dilakukan setelah biji diperam selama lima hari.
7. Pengeringan biji
Pengeringan dilakukan dengan terik atau panas matahari pada para-para/ terpal
ataupun lantai jemur. Dibutuhkan waktu selama empat sampai lima hari
pengeringan yaitu apabila diukur dengan moisture tester telah menunjukan kadar
air 7,0%.
8. Sortasi biji kering
Dipisahkan antara biji kempes, biji doble, kotoran dan benda asing. Dipilih biji-
biji bernas yang ukuran jumlahnya mencapai 80 sampai dengan 110 biji per
seratus gram biji kering pada kadar air 7,0%.
9. Pengepakan
Biji-biji kering terpilih selanjutnya dikemas dalam kampil. Tiap kemasan biasanya
dibuat volume 62,5 kg netto, sehingga dalam 1 ton produk diperlukan 16 kemasan
10. Penggudangan
Kemasan disimpan di dalam gudang yang memenuhi syarat yaitu tidak lembab,
tidak tercampur dengan barang atau benda lain serta terlindung dari serangan
hama gudang maupun pencurian.

Analisa Biaya dan Pendapatan Pengolahan Kakao Fermentasi


Penulis mencoba membuat analisa biaya dan pendapatan pengolahan kakao
fermentasi pada suatu tingkat asumsi-asumsi seperti berikut.
1. Harga biji kering kakao non fermentasi (asalan) tingkat kadar air
7,0% = Rp 15.000 per kg
2. Rendemen olah dari biji basah menjadi biji kakao kering fermentasi
kadar air 7,0% = 33%
3. Upah tenaga kerja setara pria dewasa = Rp 35.000 per hari
4. Harga jual kakao fermentasi adalah 27,5% lebih tinggi dari harga
jual kakao asalan (non fermentasi)
5. Biaya yang diperhiungkan dibatasi pada biaya “operasional” saja
sedangkan biaya investasi pada sarana pengolah dikesampingkan.
6. Proses pengolahan diawali dari pembelian bahan baku (biji basah)
7. Suku bunga komersial perbankan diperhitungkan 18% per tahun
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka analisa biaya dan pendapatannya adalah
seperti table berikut :
No Uraian Pengeluaran Pendapatan
(Rp) (Rp)
1 2 3 4

1. Pembelian 1000 kg biji basah kakao @ Rp 5.000.000,00 -


5.000,00
2. Upah tenaga kerja dari saat persiapan s.d. 70.000,00 -
memasukkan biji kakao ke dalam peti
fermentasi, sebanyak 2 tksp = 2 x Rp
35.000,00
3. Upah tenaga kerja untuk mengaduk/ 35.000,00 -
membalik biji pada hari kedua, sebanyak 1
tksp = 1 x Rp 35.000,00
4. Upah tenaga kerja untuk mengaduk/ 35.000,00 -
membalik biji pada hari keempat, sebanyak
1 tksp = 1 x Rp 35.000,00
5. Upah tenaga kerja untuk proses 175.000,00 -
pengeringan sebanyak 1 tksp per hari,
selama 5 hari, mulai hari kelima sampai
hari kesepuluh = 1 x 5 x Rp 35.000,00
6. Upah tenaga kerja untuk sortasi biji kering 105.000,00 -
sebanyak 330 kg sebesar 3 tksp = 3 x Rp
35.000,00
7. Upah tenaga kerja untuk pengemasan biji 17.500,00 -
kering kakao fermentasi sebanyak 330 kg
sebesar 0,5 tksp = 0,5 x Rp 35.000,00
8. Upah tenaga kerja untuk penggudangan 17.500,00 -
sebanyak 330 kg biji kakao kering @ 62,5
kg , sebesar 0,5 tksp = 0,5 x . 35.000
9. Biaya bunga modal selama 10 hari (1 kali 326.975,00 -
proses produksi) = 1/3 x 18% x Rp
5.455.000
10 Penjualan 330 kg biji kering kakao - 6.311.250,00
. fermentasi @ Rp 19.125
TOTAL 5.801.100,00 6.311.250,00
Sisa Hasil Usaha 510.150,00

Proyeksi Volume Usaha


Dari analisa biaya dan pendapatan di atas dapat disimpulkan bahwa apabila
dilakukan pengelolaan usaha pengolahan kakao fermentasi sebesar volume 1.000 kg
biji basah, akan menghasilkan produk biji kering kakao fermentasi sebanyak 330 kg
selama proses produksi sepuluh hari, diperlukan modal operasional sebesar Rp
5.801.100,00 dan didapatkan sisa hasil usaha sebesar Rp 510.150,00. Apabila volume
fisik tetap, dan siklus produksi berjalan secara simultan sebanyak tiga kali dalam
sebulan, maka sisa hasil usaha yang diharapkan adalah 3 x Rp 510.150,00 = Rp
1.530.450,00 per bulan.
Apabila diharapkan pendapatan (sisa hasil usaha) minimal Rp 3.000.000,00
per bulan, maka volume fisik usaha harus dirancang menjadi 2 kali lipat yaitu sekitar
2.000 kg biji basah per satu kali proses produksi.
Alternatif lainnya yaitu volume fisik tetap 1.000 kg biji basah, akan tetapi
siklus produksi ditingkatkan secara pararel menjadi enam kali proses produksi per
bulan.
Sudah barang tentu jika ingin meningkatkan volume usaha pertimbangan-
pertimbangan seperti ketersediaan dan kemudahan bahan baku, permodalan, tenaga
kerja, sarana dan prasarana pengolahan serta pasar harus juga diperhitungkan.

Pemasaran
Pemasaran produk biji kering kakao fermentasi memiliki peluang yang sangat
terbuka. Pabrik-pabrik pengolah biji kakao dalam negeri, masih mengimpor biji kakao
fermentasi untuk memenuhi kebutuhannya. Demikian juga para eksportir yang tujuan
utama ekspornya adalah Negara-negara Eropa dan China. Pasar Eropa dan China
sangat membutuhkan biji kering fermentasi.
Di Bali sendiri telah ada beberapa pelaku bisnis yang mengkhususkan diri
pada produk biji kering kakao fermentasi. Para eksportir itu antara lain adalah PT.
Indo Cafco yang bergudang di KUD Denbantas Tabanan. PT. Bening yang memiliki
gudang dan sarana pengolahan kakao fermentasi di Desa Lalanglinggah, Kecamatan
Selemadeg Barat, Tabanan. PT. Bumi Tangerang Mesindotama adalah pabrikan kakao
terbesar di Indonesia, yang berlokasi di Kabupaten Tangerang, Banten yang telah
menunjuk perwakilannya di Bali yaitu PT. Bayu Jaya Kusuma di Perean, Baturiti-
Tabanan.
BAB IV
PENUTUP

Demikianlah secara singkat penyusunan proposal ini, yang penulis coba susun
secara pragmatis, logis, dan tidak idealis sehingga memungkinkan untuk
pelaksanaannya. Disadari sepenuhnya bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna
karena dalam penyusunannya sangat dibatasi oleh factor sumber informasi, biaya, dan
waktu. Akhirnya, semoga proposal ini bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.

Anda mungkin juga menyukai