Anda di halaman 1dari 4

Yang Muda, Yang (tak) Memimpin1

Oleh : Rijal Mumazziq Z2


Sungguh menarik apabila kita melihat kalender yang memampang Hari Sumpah Pemuda
(28 Oktober) berdekatan dengan Hari Pahlawan (10 Nopember). Ini bukan kebetulan yang
nirmakna, namun memiliki makna yang dalam. Pada 28 Oktober 1928, terjadi peristiwa
monumental yang menandakan terjadinya kaukus yang menihilkan sekat ideologis-sektarian,
mengaburkan batas kesukuan-primordial, dan melebur dalam entitas ke-Indonesiaaan. Pola
semacam ini kemudian berlanjut tatkala meletus The Battle Of Surabaya pada 10 Nopember
1945. Di sana, banyak sekali di antara para pejuang yang masih berusia muda yang rela
mempertaruhkan nyawanya demi negara tercinta. Mereka berjuang tanpa melihat perbedaan
agama, etnis, budaya dan latarbelakang sosial. Mereka lebur dalam satu kata, Indonesia!
Menarik apabila kita mengkaji peristiwa Sumpah Pemuda dari perpektif kepemimpinan
nasional saat ini, yang rata-rata dikuasai generasi usia senja. Saat Sumpah Pemuda diikrarkan,
para pemuda masih benar-benar “bau kencur”. Soegondo Djojopoespito masih 23 tahun,
Muhammad Yamin masih 25 tahun, Sunario Sastrowardoyo (kakek artis Dian Sastro) umurnya
26 tahun, Amir Syarifuddin malah masih berusia 21 tahun, komponis WR. Supratman masih 25
tahun, J. Leimena masih berusia 23 tahun, Mr. Sartono masih 24 tahun, dan Kartosoewirjo
berumur 28 tahun. Dari sekitar 750 peserta Kongres Pemuda II yang menyesaki gedung di Jalan
Kramat Raya 106 Jakarta itu, usianya juga berkisar 20-30 tahun. Sungguh, sebuah langkah
visioner-futuristik yang muncul dari para pemuda yang kemudian meleburkan diri dalam
Indonesia Muda itu. Bung Hatta, saat itu masih di Belanda, menyebut peristiwa Sumpah Pemuda
ini sebagai “sebuah letusan sejarah”.
Kongres Pemuda I (30 April-2 Mei 1926) dan II (27-28 Oktober 1928) ini, jika ditelusuri
secara genealogis-historis, dipengaruhi oleh Manifetso Politik 1925 yang secara prinsipil berisi
unity (persatuan), fraternity (kesetraan), dan liberty (kemerdekaan) yang terilhami semangat
revolusi Perancis meruah-ruah kala itu. Manifesto ini diproklamirkan Indonesische Vereniging
(Perhimpunan Indonesia), organisasi yang dipandegani para pemuda yang mencita-citakan
kemerdekaan seperti M. Hatta, Sunario Sastrowardoyo, Ali Sastroamidjojo, Natzir Pamuntjak,
Abdul Madjid, A. Soebardjo, Soekiman Wirjosandjojo, Iwa Kusumasumantri, Arnold Mononutu,
Darmawan Mangunkusumo, dan sebagainya. Dengan memakai nama Indonesia (Indonesische),
sesungguhnya langkah ini luar biasa berani dan nekat karena organisasi ini didirikan di jantung
penjajahan Belanda. Lagi-lagi, kita harus angkat topi karena para pemberani yang punya gagasan
besar ini masih dalam kisarann usia 25 tahun.
Yang Muda, yang (Tak) Berkarya
Jika dulu, gagasan dan cita-cita besar lahir dari benak pemuda-pemuda yang masih belum
melebihi batas usia 30 tahun, kini kondisinya berbalik 180 derajat. Sebagai bahan evaluasi, patut
dicatat bahwa sampai tahun 2005, pemuda Indonesia masih kekurangan akses terhadap ruang
pendidikan dan pekerjaan. Sampai saat ini sekitar 2,4 % pemuda buta huruf, 45 % belum
mendapatkan pendidikan dasar sembilan tahun. Kedua hal ini berkaitan pada ketersediaan akses
pemuda terhadap ruang-ruang pendidikan. Sementara tingginya pengangguran pemuda yang
mencapai 17,3 % dan masih adanya 20 % pemuda yang hidup di bawah garis kemiskinan
menunjukkan masih kurangnya akses pemuda terhadap ruang pekerjaan dan penghidupan yang
layak.

1 Makalah ini didiskusikan dalam MAPABA PMII STAIFAS Kencong Jember, Sabtu 6 Nopember 2010
2 Kader PMII Syariah IAIN Surabaya. “Karier” strukturalnya hanya mentok di Ketua Divisi Pengembangan
Intelektual PMII Syariah IAIN Surabaya (2004-2008)

1
Arah pendidikan di tanah air yang tak jelas juga turut memperkeruh masa depan para
pemuda. Prinsip-prinsip pendidikan hanya diarahkan pada taraf learning to know, yang tak
diimbangi konsep learning to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Akhirnya, para pemimpin di Indonesia hanya bermodal pengalaman dan finansial, bukan visi-
misi dan konsep kepemimpinan yang jelas. Lihatlah, para bupati, walikota, gubernur, anggota
dewan, ketua parpol, menteri, hingga presiden, adalah para sosok pemimpin yang dari usia telah
memasuki masa “senja”. Kita tidak meragukan pengalaman yang telah mereka miliki, namun
hanya resah karena tiadanya wajah muda yang memiliki inovasi dan kreatifitas teroritik maupun
praksis, yang mampu memunculkan harapan-harapan baru.
Apa Kabar, Generasi “Keong Racun”?
Kita mafhum, modernitas telah melahirkan orok globalisasi. Pada tataran budaya,
globalisasi, tanpa bermaksud menafikan sumbangsihnya, telah mengakibatkan hilangnya
identitas diri kawula muda dan pudarnya pesona nasionalisme. Budaya pop anak muda ditandai
dengan adanya ikon, idola dari dunia selebritas, gaya hidup, musik dan junk-food. Seorang anak
dikatakan gaul jika tahu atau paham musik-musik pop, up to date terhadap mode berbusana
maupun gaya rambut serta nongkrong di mall atau kafe. Generasi anak muda sekarang dapat
dikatakan sebagai generasi MTV, atau generasi Keong Racun (sebagaimana lirik lagunya yang
menggambarkan pergaulan anak muda sekarang). Tampilan luar dan citra yang dibangun adalah
sama dengan anak muda dari kota-kota besar di Amerika Serikat maupun Eropa. Tapi apakah
gaya yang mengglobal tersebut diimbangi dengan kemampuan yang juga mengglobal? Belum
tentu.
Faktor reproduksi mekanik melalui insdutri media yang sifatnya global memang sangat
signifikan. Media merupakan salah satu unsur pendukung terhadap terciptanya mass culture
(budaya massa) yang sanggup menyebar ke seluruh dunia. Dan, media eletronik menjadi
proyektor sekaligus agigator dahsyat yang menyihir kawula muda mengikuti tren-tren dunia
yang belum tentu cocok dengan identitas sebagai bangsa Indonesia.
Nasionalisme yang murai runtuh, di antaranya, ditandai dengan penggunaan istilah-istilah
asing (baca: Inggris) dalam percakapan dan pergaulan, agar dianggap gaul. Padahal, generasi
pencetus Sumpah Pemuda telah bersusah payah mencari sintesis bahasa terbaik di antara yang
baik, yaitu bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan.
Karakteristik lainnya adalah perubahan pola pikir ke arah pragmatisme. Hal ini ditandai
dengan minimnya kepedulian melestarikan warisan leluhur, seperti nilai-nilai budaya etika,
maupun produk kesenian. Apa yang dianggap masa lalu, harus dimasukkan ke "recycle bin"
sejarah. Indikasinya, berapa banyak di antara kita, para pemuda, yang mau bersusah payah
belajar kesenian-kesenian daerah. Ya, sebagai generasi Keong Racun, produk-produk Barat
(musik, life style, mode, dll) lebih memesona ketimbang warisan adiluhung kekek moyang kita.
Para pemuda, sedikit banyak telah mengalami guncangan citra diri (disturbance of self image).
Padahal, bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai dan merawat warisan leluhur, kata
Franklin D. Rosevelt. Mungkin, nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme para pemimpin masa
depan pantas dipertanyakan ulang.
Tentu, tak layak menggeneralisir bahwa generasi muda saat ini telah kehilangan identitas
diri sebagai bangsa Indonesia. Masih ada beberapa dari mereka yang mampu mempertahankan
identitas kebangsaannya, sekaligus merekonstruksi makna nasionalisme ala kawula muda.
Tetapi, sebagaimana kata pepatah Arab, syubbanul yaum rijalul ghad (pemuda saat ini adalah
pemimpin di masa depan), perlu upaya keras mengembalikan jiwa nasionalisme dan spirit
generasi muda agar mampu meneladani dan menapak jejak kegemilangan para pejuang pada 10
Nopember 1945 dulu.
Bila dulu nasionalisme cenderung artifisial (dibuat-buat) dan superfisial (permukaan
saja), chauvinistic, bersifat emosional, primordial, dan simbolik, maka sekarang nasionalisme
harus bersifat substantif, agar para pemuda mampu memaknai ulang spirit perjuangan para
pendahulu agar lebih rasional, aktual, substansial, dan tentu saja nasionalisme yang "gaul". Dan,
dalam posisi demikian inilah, seharusnya PMII mampu menjadi motor penggerak bagi
mahasiswa dalam kontribusinya mengembangkan semangat nasionalisme yang relevan dengan
konteks kekinian.
Tentu, tantangan demikian ini perlu disambut dengan tangan terbuka oleh PMII. Sebab
salah satu keunggulan PMII dibandingkan organisasi kemahasiswaan lainnya adalah bahwa PMII
selalu ready stock kader. Pesantren dan Madrasah Aliyah berbasis NU menjadi pemasok terbesar
kader-kader PMII. Posisi demikian ini menjadi nilai plus, sebab mayoritas kader memiliki basis
intelektual keislaman klasik yang mumpuni. Basis epistemologi ini tinggal dipoles dan diarahkan
agar terjadi proses dialektika antara keilmuan Islam dengan keilmuan “modern”. Apalagi hal ini
sesuai dengan kaidah al-Muhafadzat ala al-Qadim al-Salih wa al-Akhd bi al-Jadid al-Ashlah.
Dengan demikian peluang kader-kader PMII dalam melakukan pembibitan pemimpin masa
depan yang berkarakter nasionalis-Islami terbuka lebar.
Bagi penulis, langkah yang harus dilakukan oleh PMII adalah. Pertama, refungsionalisasi
dan reformulasi pengkaderan melalui Mapaba, PKD, dan PKL. Selama ini, pola pengkaderan di
PMII, hemat penulis, belum ke arah character building. Hanya “begitu-begitu” saja. Ke depan,
penulis berharap adanya penyatupaduan konsep pengkaderan ke arah character building.
Langkah ini bisa dilakukan oleh tiap Rayon maupun Komisariat hingga Cabang, dengan
mengenali potensi kader-kadernya agar menjadi KAMIL (Kader Militan).
Kedua, perlunya arah distribusi kader yang jelas. Selama ini jaring distribusi kader PMII
hanya di arahkan ke sektor-sektor politik, LSM, hingga birokrasi. Ke depan, saya mengharap,
adanya perluasan arah distribusi kader ke sektor-sektor yang lain seperti sektor swasta,
kewirausahaan dan lain sebagainya.
Ketiga, perlunya pengembangan kemampuan individual tiap kader. Di sini, PMII menjadi
fasilitator agar kemampuan para kader terus diasah dan meningkat. Misalnya, dalam ada di
antara sekian banyak kader yang memiliki kemampuan di bidang tarik suara, pencak silat,
kaligrafi, dan lain sebagainya. Maka, PMII secara kelembagaan menjadi fasilitator melalui
bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang dianggap mampu membangtu mengembangkan
talenta kader.
Dengan demikian, saya kira, harapan bahwa PMII akan menjadi kawah candradimuka
pemimpin masa depan, bisa terpenuhi jika langkah-langkah di atas bisa diaplikasikan. Saat ini
memang tugas kita memunculkan sosok-sosok pemuda yang punya karya nyata seperti Tan
Malaka, Soekarno, Hatta, Yamin, Sjahrir, dalam versi millenium. Mencari pemuda sekarang
yang memiliki talenta menjadi pemimpin di masa depan (syubbanul yaum, rijalul ghad). Krisis
kepemimpinan kaum muda inilah yang membuat berbagai pihak menjadi risau dengan masa
depan bangsa Indonesia, sebab generasi muda kinilah yang akan melanjutkan kepemimpinan
bangsa ini kelak. Maka, sekali lagi, tantangan yang dihadapi PMII adalah melahirkan sosok-
sosok pemuda calon pemimpin masa depan. Pemimpin yang berkarakter!
Menarik apabila sebelum mengakhiri tulisan ini, Penulis mengutip terma Aristotelian,
mengenai karakteristik (menjadi) seorang pemimpin. Yaitu harus memiliki ethos (karakter moral
yang menjadi dasar bagi kemampuan melakukan pendekatan), pathos (kemampuan untuk
menyentuh perasaan guna menggerakkan orang secara emosional), dan logos (kemampuan

3
memberikan alasan yang meyakinkan atas sebuah tindakan, guna menggerakkan orang secara
intelektual). Pertanyaannya, adakah di antara kita, para pemuda dan calon pemimpin masa depan,
yang memiliki tiga karakteristik di atas?

Alas Beton Soerabaia, 4 Nopember 2010

Anda mungkin juga menyukai