Anda di halaman 1dari 4

Selasa, 15 April 2003

Identitas Politik Islam di Hindia Belanda

Oleh J.H. Wenas

November 1922, masih dalam suasana New Economic Policy gaya Vladimir Ilyich Lenin, Moskow menggelar
Kongres Komintern ke-4. Intinya, perjuangan proletariat internasional perlu bekerja sama dengan gerakan-gerakan
lain sedunia. Trotsky bicara, begitu pula tokoh-tokoh Komunis lainnya seperti Radek, Bucharin dan Lumantjarski.
Tak ketinggalan pemuda nekad asal Indonesia, namanya Tan Malaka. Pidatonya dalam bahasa Jerman menggagas
pentingnya Komunisme berkonspirasi dengan gerakan Islam di hemisfir Timur.

Tentu, bukannya Tan Malaka tak sadar bila sejak Kongres Sarekat Islam ke-6, Oktober 1921, garis politiknya
bersama Semaun sudah patah arang dengan poros Agus Salim-Abdul Muis. Tapi ia rupanya yakin ada titik temu
mengingat kerap kali umpatan “het zondige kapitalisme” (kapitalisme berdosa) dilontarkan kedua ulama besar itu—
walaupun kurang jelas juga bagaimana “het heilige kapitalisme“ (kapitalisme suci) mau diberi makna. Selain itu, ia
tahu bila visi Agus Salim memang memuat semangat Pan-Islamisme, dan the grand old man itu tengah mencari
platform bersama Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang dikenal memiliki jaringan baik lokal maupun di
pusat Islam, Timur Tengah.

Bagi Tan Malaka ini lebih merupakan keyakinan horisontal daripada vertikal. Ia berpidato, “…kalau saya berdiri di
depan Tuhan, saya seorang Muslim, bila saya berdiri di depan manusia saya bukan Muslim, sedangkan Tuhan telah
berkata bahwa di kalangan manusia ada banyak setan”. [Poeze, 1976] Bahwa Kremlin kemudian kurang
menanggapi Tan Malaka adalah diskusi tersendiri. Yang jelas, konspirasi Komunisme dan Islam di Timur tidak
pernah terjadi, karenanya juga tak pernah terdengar istilah Pan-Communislamica. Alhamdulillah.

Namun, mengapa Tan Malaka menengok kepada Islam di Hindia Belanda? Substansi pertanyaan ini sebetulnya
ingin meminta penjelasan bagaimana identitas politik Islam di Hindia Belanda telah berkembang dan terbentuk
terutama pada masa pra kebangkitan nasional.

Akulturasi
History is barely a simple straight line. Senantiasa terjadi anomali di sana-sini, walaupun bukan berarti inferensi tak
dapat ditarik. Di satu sisi, merupakan fakta bahwa sudah sejak zaman Vereenigde Oostindische Compagnie maupun
zaman Nederlands-Indi๋, hampir semua bentuk perlawanan—baik secara militan maupun kultural—berputar pada
tokoh-tokoh Islam. Salah satunya Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Ini masih ditambah
dukungan dari Kiai Maja. Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Mudik Padang dan Mansiangan dalam perang Padri (1819-
1832) adalah contoh lainnya.

Bahkan soal perlawanan kultural, sudah sejak zaman Wali Songo pertengahan abad ke-15, seperti ditunjukkan
Raden Mas Said (Sunan Kalijaga) yang masuk ke dalam wilayah kebudayaan dan kesenian dalam dakwahnya. Islam
diekspresikan melalui seni ukir, wayang, gamelan dan suluk. Diyakini bahwa tradisi Sekatenan dan Grebeg Maulud
adalah ciptaan karib sekaligus murid Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) itu.

Di sisi lain, senandung suluk Malang Sumirang, umpamanya, bernyanyi “nora Selam lamun dereng kupu kapir”
atau “bukan Islam jika belum menjadi kafir” juga merupakan fakta bahwa Islam memang tidak pernah benar-benar
“melebur” Jawa. [P.J. Zoetmulder, SJ, 1935] Apakah ini berarti bahwa itikad Syariah hanya diterima sejauh struktur
okultisme Jawa asli tidak dirusak?

Selain itu, fakta isolasi eksistensial masyarakat Badui di daerah Lebak, Banten, menarik untuk dicermati lebih jauh.
[N.J.C. Geise, OFM, 1952] Bahwa kaum Padri di Minangkabau—yang kental dengan Wahhabisme—merasa perlu
melakukan purifikasi “Islam komunal” menjadi “Islam betulan”, jelas merupakan diskursus akulturasi dalam
konteks ini.

Sistem Tanam Paksa


Demikianlah, ada resepsi dan ada resistensi. Namun dialektika terpenting revivabilitas Islam ke dalam politik massa
kelihatannya sulit dipisahkan dari terjadinya disintegrasi dalam struktur komunal pedesaan terutama sejak ongkos
imperialisme Belanda secara semena-mena diletakkan di atas pundak Jawa-Madura melalui Cultuurstelsel atau
Sistem Tanam Paksa antara 1830-1870.

Mengapa Sistem Tanam Paksa (STP) perlu dijalankan, terkait dengan konfigurasi geopolitik Eropa. Kekuasaan
Napoleon Bonaparte atas wilayah Belanda (saat itu disebut Republik Batavia) sejak 1795—yang kemudian dibentuk
menjadi Kerajaan Belanda pada tahun 1806, sebelum akhirnya diinkorporasi ke dalam Kekaisaran Perancis pada
tahun 1810—telah menguntungkan Inggris untuk menguasai beberapa koloni Belanda seperti Afrika Selatan dan Sri
Lanka.

Setelah Napoleon jatuh Kerajaan Belanda memperoleh kembali kemerdekaannya melalui Kongres Wina tahun
1815. Namun Belgia yang termasuk ke dalam kedaulatannya memberontak pada tahun 1830, berlanjut dengan
proses perceraian di antara keduanya hingga 1839. Lepasnya Afrika Selatan, Sri Lanka serta masalah Belgia,
berdampak pada menipisnya arus kas Kerajaan Belanda. Arti sederhananya: “Krismon”.

Tak ada pilihan, Gubernur-Jenderal Johannes van den Bosch harus tega menerapkan STP. Sejak berlakunya
kebijakan itu tahun 1830, petak-petak sawah tradisional dibabat menjadi sentra-sentra produksi tanaman komoditas
sesuai selera pasar Eropa. Hasil produksi dibeli oleh Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM), badan usaha
yang berfungsi sebagai bank sirkulasi dan penyangga sejak 1824. Melalui NHM, di mana monarki juga menjadi
pemegang saham penting, mengalirlah laba usaha sepenuhnya ke pihak Belanda.

Tata ruang pertanian ditentukan berdasarkan rencana ekspor. Tanaman indigo menjadi pilot project di bumi
Priangan, lalu meluas ke berbagai wilayah dengan tanaman komoditas lainnya seperti kopi, gula, tembakau maupun
rempah-rempah. Terabaikannya tanaman pangan rakyat, terutama padi, harus dibayar dengan ancaman bahaya
kelaparan. Muncul masalah social impoverishment.

Tentang hal ini, Charles A. Gimon menulis, “About 1845, a series of poor harvests led to greater poverty and even
famine on Java—famine that was aggravated because the best lands were being used for tobacco, sugar or coffee
instead of rice, and because the land in general had been exhausted by overproduction. Yang juga menarik adalah
catatan Gimon bahwa, “Van den Bosch had specified that local farmers should be given leeway to grow their own
food, but colonial officials under him ignored these orders in pursuit of ever larger cash crops. ” Mungkin, inilah
nenek-moyang virus KKN yang kita kenal sejak zaman Orde Baru hingga zaman korupsi gotong-royong hari ini.

Berbeda dibandingkan periode VOC yang mengatur monopoli di tingkat perdagangan, STP artinya adalah monopoli
di tingkat produksi. Terjadi integrasi vertikal kebijakan dari agro-politics ke agrarian politics. Pada titik inilah
imperialisme berhadapan langsung dengan tradisi komunal.

Identitas & Alienasi Bourgeoisie


Ketidakadilan politik mengundang resistensi masyarakat. Pada situasi seperti itu seyogyanya jembatan komunikasi
dibangun, pengayoman dijalankan, dan—yang terpenting—keadilan sekurangnya bisa diharapkan. Para pangreh
praja (disebut Binnenlands Bestuur) seharusnya bekerja untuk urusan-urusan ini. Mereka adalah para bupati di
puncak hirarki birokrasi, disusul para patih, wedana, asisten wedana, mantri-mantri, dan juru tulis.

Tapi tak mengherankan, justru fungsi ini yang macet. Sudah sejak Maret 1808, ketika H.W. Daendels masih
Gubernur-Jenderal, diambil kebijakan bahwa para bupati dan aparatnya menerima gaji dari pemerintah. Masih
ditambah lagi dengan paket fringe benefits menarik dari Van den Bosch, baik by concession, in-kind maupun in
cash. STP membuat kelas borjuis dilanda perasaan kikuk. Di satu pihak, ada kewajiban mengambil peran protagonis
terhadap kebijakan ini, di pihak lain, sikap yang demikian menggerogoti keyakinan manunggal kawula-gusti di
benak rakyat. Lama kelamaan kaum kawula merasa para gusti telah menjadi tuli dan bisu terhadap keluh-kesah
mereka. Pangreh praja adalah subyek pelaku pemerintahan kolonial itu sendiri, sedangkan rakyat adalah obyek
penderita melulu.

Lalu dicari alternatif. Sosok ideal ditemukan dalam diri kaum ulama, yang ternyata tidak tuli dan bisu. Maka mereka
menjadi oasis dahaga keluh-kesah masyarakat. Perlahan tapi pasti, para ulama terpanggil untuk terus berjuang di
antara urusan hablun minallah dan hablun minannas. Dengan sendirinya referensi solusi beragam persoalan
komunal tersebut kental dengan nilai-nilai Islam. Tak terhindarkan pula, Islam lalu dituduh menjadi inspirator
berbagai gerakan rakyat, bahkan pengacau. Prof Sartono menulis: “Apabila di kota-kota pada umumnya para ulama
telah masuk dalam lingkungan birokrasi kolonial dalam fungsinya sebagai penghulu yang mengepalai administrasi
serta upacara agama, di daerah pedesaan peranan tradisional mereka dikatakan masih utuh.” [Sartono K., 1992]

Religiositas Islam mengisi vakum pengayoman masyarakat. Alienasi golongan pangreh praja dirumuskan dalam
fatwa para ulama. Garis telah ditarik dan identitas terbentuk. Kaum kolonialis yang bagi para ulama dicap kafir, ikut
menyeret para pangreh praja yang membantunya ke dalam katagori ini. Paling sedikit disebut sebagai setengah
kafir, atau “kafir indana” [Sartono K., 1966]. Fungsi kepemimpinan kaum ulama mengalami diversifikasi.

Islam dengan begitu masuk lebih jauh ke tingkat praxis politik pedagogi “pembebasan kaum tertindas”. Pesantren
menjadi semacam think-tank perlawanan politik massa, melampaui urusan kultural-keagamaan semata. Tradisi
patron-client feodal mulai dibongkar. Ulama menjadi simbol perlawanan “desa” terhadap “kota”.
Liberalisme
Sekitar tahun 1840-an, liberalisasi melanda Eropa menyusul serangkaian revolusi besar di benua itu. Negeri Belanda
tidak imun terhadap gejala ini, maka terjadilah revisi konstitusi tahun 1848—yang menjadi dasar konstitusi Belanda
hari ini. Dan menyunat peran arbitrasi personal monarki, sehingga para anggota parlemen Kamar Pertama (eerste
kamer) yang tadinya diangkat oleh monarki, kini dipilih melalui dewan-dewan provinsi. Begitu pula anggota
parlemen Kamar Kedua (tweede kamer), dipilih oleh rakyat (yang membayar pajak di atas jumlah tertentu).

Semangat liberal juga menuntut kedua daerah taklukan di selatan Belanda, yaitu provinsi Limburg dan Noord-
Brabant yang mayoritasnya beragama Katolik, diberikan status yang sama dengan provinsi lainnya. Dengan
sendirinya terjadi perluasan suffrage (hak pilih), terutama bagi konstituen partai Katolik di mana terdapat
representasi signifikan kaum industrialis. Yang tentu saja memiliki nafas liberal-egalitarian, sejalan dengan cita-cita
golongan liberal sendiri. Pada saat yang bersamaan, karya seperti Max Havelaar oleh Eduard Douwes Dekker,
adalah salah satu dari banyaknya kritik mengenai kerusakan Hindia Belanda yang turut mendorong percepatan
perubahan ini.

Berfungsinya institusi vox populi ini artinya adalah terlibatnya opini publik Belanda terhadap berbagai masalah di
wilayah-wilayah koloni. Alhasil, sejak 1870, Sistem Tanam Paksa ditinggalkan.

Liberalisme pada intinya adalah prinsip “tanpa campur tangan pemerintah”, yang sesungguhnya berada dalam
matriks motif kemakmuran ekonomi dan kemuliaan humanitarian. Walaupun, ironisnya, bagi kedua proponen
gagasan ini yaitu kalangan liberal dan konservatif, prinsip “negeri jajahan wajib memberi manfaat bagi negeri
induk” juga tidak ditinggalkan. Maka fakta marjinalisasi pribumi di Hindia Belanda yang jalan di tempat, adalah
akibat pertentangan antara kedua motif tersebut. Satu-satunya yang diubah oleh liberalisme adalah percepatan
ekspansi ekonomi Belanda sejak 1880 hingga permulaan Perang Dunia I (1914).

Liberalisasi menggeser STP. Pintu monopoli usaha di Hindia Belanda harus dibuka bagi modal partikelir. Lembaga
semacam NHM dianggap penghalang kebebasan pasar. Modernisasi dijalankan, yang terjemahannya adalah bank-
bank baru, variasi lembaga usaha, perluasan jalan-jalan kereta api, dinas-dinas pos dan komunikasi, termasuk
tuntutan fair play di bidang pertambangan, perkebunan maupun perdagangan komoditasnya. Hampir semua
perkebunan baru yang dibuka sesudah 1870 berasal dari aliran modal partikelir Eropa, tidak terbatas pada modal
Belanda saja. Tercatat bahwa kontak awal raksasa industri Siemens di Indonesia dimulai tahun 1855, begitu juga
Krupp, Thyssen dan Ferrostaal pada tahun 1880-an dan Mercedes-Benz sejak 1896. [Heinrich Seemann, 2000]

Liberalisasi berjalan dengan usaha penyesuaian di bidang UU Agraria—mengingat tanah dan rakyat adalah sebuah
kesatuan tradisional—untuk membuka ruang kebebasan investasi. Namun masuknya pengaruh individu-individu
partikelir ke “wilayah adat”, malah merupakan tekanan multidimensi terhadap struktur komunal pedesaan. Pada
akhirnya ini menjadi semacam serah-terima dominasi atas teritori produktif dari “aktor-aktor pemerintah” kepada
“tuan-tuan partikelir” demi perputaran keuntungan yang lebih cepat dan lebih besar. Mudah diduga, masalah Koelie
Ordonnantie (peraturan perburuhan) adalah soal penting lainnya yang juga perlu disesuaikan.

Kristalisasi Identitas
Perang Diponegoro memang dapat diakhiri (1830), sedangkan the aftermath akibat Perang Banjarmasin sepanjang
1850-an masih terasa pahit. Sialnya Aceh malah mulai bergolak—dan ternyata berlangsung selama hampir 40 tahun
(1873-1912). Selingan-selingan perlawanan di antaranya adalah peristiwa Cikandi Udik tahun 1845, Ciomas tahun
1886, gerakan mesianistik Ahmad Ngisa tahun 1859, gerakan Srikaton tahun 1888, di samping misi “kebangkitan”
gerakan Haji Rifangi antara 1859-1860. Selain itu, di wilayah Banten terjadi pergolakan untuk “kembali ke zaman
kesultanan”. [Sartono K., 1992]

Hingga hadirnya sosok Snouck Hurgronje, persoalan Islam di Hindia Belanda relatif ditangani secara reaktif
ketimbang proaktif. Bagaimana sebenarnya posisi sejarah Snouck Hurgronje, merupakan tugas sejarawan untuk
mendefinisikannya. Bahwa ia adalah penasihat penting Van Heutsz dalam perang Aceh, adalah satu fakta tersendiri.
Bahwa mengapa nasihatnya dalam berbagai persoalan Islam di Hindia Belanda malah kemudian “menguntungkan”
Islam, adalah fakta lain yang menarik untuk diteliti lebih jauh.

Ibadah Haji adalah salah satu contoh. Karena fobia bila ibadah ini menjadi media “pertukaran gagasan politik dan
kebudayaan” di antara sesama hamba Allah dari berbagai latar belakang dunia Islam selama di Tanah Suci, maka
pada tahun 1825 diterapkan kebijakan fiskal sebesar 110 gulden per kepala calon haji. Harapannya, penetrasi Pan-
Islamisme ke dalam wilayah Hindia Belanda dapat dieliminasi. Atas pengaruh Snouck Hurgronje—yang pada 1885
sempat menyelundup ke Mekah untuk mempelajari Islam—diambil sikap yang lebih ramah. Maka pemerintah pun
menyatakan nihil obstat, sejauh tak ada unsur politik, bagi mereka yang ingin beribadah ke Tanah Suci. Dengan
demikian diharapkan ketidakpuasan yang meluas di balik berbagai bentuk perlawanan politik saat itu bisa
disalurkan, dijinakkan dan diredam melalui aktivitas ini.

Statistik jemaah haji berubah. Pada pertengahan 1850-an, jumlahnya masih sekitar 2.000 orang. Namun pada tahun
1886, jumlah ini menjadi 5.000 orang, tahun 1890 mencapai 7.000 orang, tahun 1896 sebanyak 11.700 orang. [J.
Vredebregt, 1962] Bersamaan dengan itu, arus pemikiran Islam mengalir masuk. Nama-nama seperti Jamaludin al-
Afgani, Muhammad Abduh, Muhammad Ibnu Abd al-Wahhab dibicarakan, dipelajari, bahkan dijadikan inspirasi.
Majalah Al Urwat al-Wutswa diselundupkan. [Deliar Noor, 1970]. Nama-nama besar seperti Ahmad Khatib,
Hasyim Asyari, Abdul Wahab Hasbullah, Bishri Sansuri, Ahmad Dahlan berada di antara jalur Mekah-Hindia
Belanda ini.

Bila Snouck Hurgronje berharap bahwa politik divide et impera bisa diterapkan melalui pergolakan pemikiran di
antara umat Islam sendiri, maka nampaknya ia hanya benar sebagian. Memang, kemudian terjadi perlawanan
terhadap tarekat sufi dan taqlid di bidang fiqih. Tasawuf dihantam habis-habisan. Ijma dibatasi bidangnya.
[Poespoprodjo, 1986]

Namun dinamika diskursus semacam itu sebetulnya malah menjadi “proses deteritorialisasi” kemanunggalan Islam
bersama rakyat. Dengan kata lain, Islam justru mengalami transformasi dari urusan lokal menjadi trans-lokal.
Ajaran hubbul wathon minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman) tetap berada dalam sanubari, dan tetap
masuk akal.

Jadi identitas perlawanan tidak terbongkar, sebaliknya justru diperkaya, bahkan meluas. Dengan begitu Islam
menyemai bibit-bibit kesadaran nasional, yang kemudian semakin mengkristal dalam dekade pertama abad ke-20.

J.H. Wenas, Departemen Hubungan Luar Negeri, DPP Partai Kebangkitan Bangsa.

Anda mungkin juga menyukai