Anda di halaman 1dari 30

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Tradisi Pembuatan Sie Reuboh

Penelitian pendahuluan dilakukan dengan wawancara dan survei


terhadap 20 orang responden yang yang dipilih secara purposif dan berdomisili di
Aceh Besar dengan tujuan untuk melihat gambaran umum pembuatan sie
reuboh. Kriteria pemilihan panelis ini adalah (1) warga asli Aceh Besar dan
berdomisili di Aceh Besar, (2) berusia ≥ 45 tahun, (3) mampu dan biasa
memasak dan mengolah sie reuboh, dan (4) biasa mengkonsumsi sie reuboh.
Hasil wawancara terhadap panelis secara ringkas disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil wawancara panelis


Karakteristik n %
Memasak sie reuboh dikaitkan dengan kesempatan khusus
Ya (idul Fitri, Meugang, Idul Adha) 11 55
Tidak 9 45
Jumlah daging yang digunakan
1-2 kg 10 50
3-4 kg 7 35
> 4 kg 3 15
Perlakuan terhadap sie rebouh yang tidak habis
Diolah kembali 10 50
Disimpan 10 50
Tempat menyimpan sie reuboh
Kuali tanah, tidak tertutup rapat 9 45
Lemari (masih menggunakan kuali tanah, tidak tertutup) 10 50
Lemari es 1 5
Pemanasan ulang sie reuboh
1 hari sekali 8 40
2 hari sekali 10 50
3 hari sekali 2 10
Waktu untuk mengkonsumsi sie reuboh hingga habis
1 minggu 5 25
2 minggu 9 45
3 minggu 5 25
4 minggu 1 5
Bumbu yang digunakan untuk membuat sie reuboh
Lengkap 10 50
Tidak lengkap 10 50
Bagian daging yang digunakan
Paha 17 85
Semua bagian 3 15
Waktu memasak sie reuboh hingga matang
0,5-1 jam 13 65
1-2 jam 7 35
26

Berdasarkan hasil survei dan wawancara (Tabel 6) terhadap 20 orang


responden, diperoleh kesimpulan bahwa secara umum sie reuboh biasanya
dimasak di hari-hari khusus yaitu Idul Fitri, Idul Adha, dan pada hari Meugang
(salah satu tradisi masyarakat Aceh dalam menyambut bulan puasa, Idul fitri, dan
Idul Adha yaitu dengan melaksanakan pemotongan hewan pada satu atau dua
hari sebelum hari besar tersebut). Sebagian besar panelis menggunakan daging
sapi bagian paha dengan jumlah 1-2 kg. Jumlah ini ternyata lebih sedikit jika
dibandingkan dengan kebiasaan terdahulu dimana setiap satu kali pemasakan
sie reuboh menggunakan 5-7 kg daging sapi, hal ini diduga terkait dengan faktor
ekonomi dimana harga daging sapi yang semakin mahal.
Setengah dari responden melakukan pemanasan ulang sie reuboh dua
hari sekali, waktu untuk menghabiskan sie reuboh hingga habis sekitar 2 minggu.
Waktu untuk memasak sie seuboh hingga matang adalah 0,5-1 jam dan resep
sie reuboh terdiri atas 2 jenis, yaitu yang menggunakan bumbu lengkap dan
kurang lengkap. Resep lengkap menggunakan bumbu bawang putih, cabe rawit,
cabe merah, cabe merah kering, bubuk kunyit, lengkuas, jahe, dan cuka aren.
Resep kurang lengkap tidak menggunakan bawang putih, lengkuas, dan jahe.

Hasil Uji Resep Sie Reuboh


Resep standar yang sesuai dengan definisi operasional adalah resep
yang menggunakan komposisi dan berat bahan-bahan dengan ukuran tertentu
dari waktu ke waktu dan mampu menghasilkan produk dengan cita rasa yang
konsisten. Hasil wawancara terhadap panelis didapatkan macam dan jumlah
bahan yang sering digunakan untuk pembuatan sie reuboh. Hasil tersebut
kemudian dicatat dan dikelompokkan menjadi beberapa kelompok besar. Hasil
wawancara bumbu-bumbu dan berat daging yang sering digunakan dalam
pembuatan sie reuboh dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.
Hasil wawancara didapatkan bahwa bumbu sie seuboh yang sering
digunakan adalah bumbu lengkap dan kurang lengkap. Bumbu sie reuboh yang
lengkap terdiri atas garam, cuka aren, cabe merah keriting segar, cabe rawit,
bawang putih, bubuk kunyit, lengkuas, jahe, dan cabe merah kering. Sie reuboh
yang menggunakan bumbu kurang lengkap adalah sie reuboh yang tidak
menggunakan bawang putih, lengkuas dan jahe. Basis yang digunakan sebagai
dasar perhitungan resep standar sie reuboh untuk mendapatkan rerata
27

persentase bumbu atau rempah yang digunakan adalah berat daging sapi
sebesar 2000 gram.
Resep standar sie reuboh didapatkan dari hasil wawancara dan survei
masyarakat yang telah terbiasa memasak dan mengkonsumsi sie reuboh, uji
beda perpasangan, dan terakhir adalah dengan uji kesukaan panelis. Berat
lemak sapi standar yang dipakai untuk membuat sie reuboh didapatkan dengan
membagi berat lemak dari hasil wawancara dibagi dengan berat daging sapi (600
g : 2000 g). Dengan demikian dihasilkan persentase sebesar 0,3% untuk berat
lemak sapi. Hasil berat standar untuk bahan lainnya diperoleh dengan cara yang
sama.
Persentase lemak sapi yang harus digunakan untuk membuat sie reuboh
adalah 0,3%, air 0,125%, cabe merah 0,05%, cabe rawit dan cabe merah kering
0,01% serta cuka aren sebanyak 0,075%. Bagian berat semua bahan pelengkap
sie reuboh dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Persentase bumbu berdasarkan berat daging


Berat Persen bahan per Persen bahan per
Bahan
(g) jumlah berat daging
Daging sapi 2000 59.88
Lemak sapi 600 17.96 0.3
Lengkuas 40 1.20 0.02
Jahe 40 1.20 0.02
Bawang putih 20 0.60 0.01
Cabe merah 100 2.99 0.05
Cabe Rawit 20 0.60 0.01
Cabe merah kering 20 0.60 0.01
Bubuk kunyit 50 1.50 0.025
Cuka aren 150 4.49 0.075
Garam 50 1.50 0.025
Air 250 7.49 0.125
Jumlah 3340 100.00

Hasil Uji Organoleptik Resep Sie Reuboh

Uji Beda Resep. Uji organoleptik yang dilakukan untuk menemukan


resep standar yang akan digunakan dalam penelitian lanjutan meliputi dua
metode, yaitu dengan uji beda berpasangan (different paired test) dan uji
28

kesukaan. Hasil wawancara dan survei terhadap 20 orang panelis diperoleh


kesimpulan bahwa dalam resep pembuatan sie reuboh terdiri atas 2 jenis yaitu
(1) bumbu lengkap, dan (2) bumbu kurang lengkap. Dari hasil wawancara
tersebut maka dilakukan uji organoleptik terhadap produk sie reuboh dengan
menggunakan kedua resep yang didapatkan.
Kriteria panelis yang digunakan yaitu (1) berusia ≥ 45 tahun dengan
alasan sie reuboh merupakan masakan tradisional Aceh yang diwariskan secara
turun-temurun, sehingga panelis yang berusia ≥ 45 tahun lebih memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak mengenai sie reuboh, (2)
warga asli Aceh Besar dan berdomisili di Aceh Besar, dikarenakan sie reuboh
adalah masakan khas daerah Aceh Besar (3) biasa mengkonsumsi sie reuboh,
(4) bersedia menjadi panelis untuk uji organoleptik. Kriteria ini digunakan
mengingat karakteristik dari uji organoleptik ini adalah panelis yang digunakan
berfungsi seperti instrumen yang tugasnya adalah menganalisis apakah terdapat
perbedaan antara dua sampel yang diujikan atau tidak, meskipun perbedaan itu
sangatlah kecil (Jellinek 1985), sehingga uji ini memerlukan sensitivitas yang
tinggi.
Uji beda berpasangan dilakukan untuk melihat apakah resep sie reuboh
yang berbumbu lengkap dan berbumbu kurang lengkap dapat dibedakan oleh
panelis. Sedangkan uji kesukaan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
resep mana yang lebih disukai oleh panelis. Jumlah panelis yang digunakan
adalah 30 orang. Sesuai dengan pendapat Jellinek (1985), bahwa jumlah orang
yang terlibat pada uji beda adalah minimal 10 orang, namun jumlah panelis 20
hingga 30 orang adalah lebih baik.
Tabel 8 Hasil uji beda panelis (%) terhadap sie reuboh
Uji beda sie reuboh n %
Bisa membedakan 21 70
Tidak bisa membedakan 9 30
Total 30 100

Hasil perhitungan uji beda pada Tabel 8 menunjukkan bahwa 21 panelis


dapat membedakan sie reuboh yang diujikan. Mengacu pada tabel signifikansi uji
beda berpasangan (Roessler et al. 1978 diacu dalam Jellinek 1985), bahwa pada
uji beda berpasangan menggunakan 30 panelis, jumlah minimum panelis yang
menjawab benar dengan selang kepercayaan 5% adalah 20 orang (Lampiran 5).
29

Hasil uji beda berpasangan yang dilakukan terhadap sie reuboh ini ada
21 panelis yang mampu membedakan, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan (pada selang kepercayaan 5%) antara sie reuboh
berbumbu lengkap dan kurang lengkap. Rekap data hasil uji beda dapat dilihat
pada Lampiran 8. Untuk menentukan resep mana yang dipakai dalam penelitian
selanjutnya maka dilakukan uji kesukaan terhadap sie reuboh.

Uji Kesukaan Resep. Daya terima terhadap suatu makanan ditentukan


oleh rangsangan yang timbul oleh makanan melalui panca indera penglihatan,
penciuman, pencicipan, dan pendengaran. Namun demikian faktor utama yang
akhirnya mempengaruhi daya terima terhadap makanan adalah rangsangan
citarasa yang ditimbulkan oleh makanan. Oleh karena itu, penting sekali
dilakukan penilaian citarasa untuk menjajaki daya penerimaan konsumen
(Soekarto 1985).
Selanjutnya dikatakan pula bahwa penilaian citarasa makanan dengan
menggunakan indera manusia sebagai alat penilaian dikenal dengan istilah
penilaian organoleptik/ inderawi/ sensori. Cara ini sering disebut juga penilaian
subjektif karena sepenuhnya tergantung pada kemampuan/ kepekaan inderawi
manusia. Pengujian organoleptik dapat dilakukan dalam berbagai cara, salah
satu diantaranya adalah uji hedonik (kesukaan). Hasil uji kesukaan terhadap
resep secara ringkas disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil uji kesukaan panelis (%) terhadap sie reuboh


Kesukaan terhadap resep n %
Bumbu lengkap
22 73.33
Bumbu kurang lengkap
8 26.67
Total 30 100

Tabel 9 menunjukkan bahwa sebanyak 73,33% panelis menyukai sie


reuboh dengan bumbu lebih lengkap. Penentuan kesukaan terhadap resep
ditentukan dengan penjumlahan skor kesukaan, dimana resep yang memiliki skor
kesukaan yang tertinggi akan menjadi resep yang disukai oleh panelis. Uji
hedonik atau kesukaan pada sie reuboh dilakukan untuk mengetahui daya terima
produk pada dua resep yang berbeda. Skala pengukuran tingkat kesukaan yang
digunakan pada uji organoleptik pada tahap ini adalah sebanyak 5 skala, yaitu
30

(1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) biasa, (4) suka, dan (5) sangat suka
(Jellinek 1985). Rata-rata hasil uji hedonik terhadap warna, rasa, aroma, dan
tekstur sie reuboh disajikan pada Gambar 4.
.
5
4,1 4,17

Rata-rata kesukaan panelis


4,07
3,87 3,77
4 3,57
3,27 3,33

3
Bumbu
lengkap
2
Bumbu
kurang
1
lengkap

0
Warna Rasa Tekstur Aroma
Kesukaan

Gambar 4 Rata-rata kesukaan panelis terhadap sie reuboh

Penilaian mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada


beberapa faktor, antara lain cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya (Winarno
1997). Tabel 9 dan Gambar 4 memperlihatkan bahwa resep berbumbu lengkap
memiliki rata-rata kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan resep yang kurang
lengkap
Hasil uji ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa antara resep pertama
dan kedua hanya berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap daya terima rasa dan
aroma dari sie reuboh yang dihasilkan. Hal ini diduga dikarenakan adanya
perbedaan penggunaan bumbu baik dalam hal jumlah maupun macamnya pada
kedua resep. Resep pertama merupakan resep yang menggunakan lebih banyak
dan beragam bumbu (bumbu lengkap) sehingga menghasilkan sie reuboh yang
mempunyai rasa dan aroma yang lebih baik menurut panelis. Dari hasil uji beda
berpasangan dan uji kesukaan, maka resep sie reuboh yang digunakan pada
penelitian tahap lanjutan adalah resep sie reuboh dengan bumbu lengkap dan
dengan demikian resep tersebut dijadikan sebagai resep standar.

Penelitian Lanjutan

Penelitian lanjutan bertujuan untuk melihat pengaruh pemanasan sie


reuboh terpilih terhadap kesukaan, kandungan gizi, dan jumlah total mikroba.
Analisis kandungan gizi meliputi kadar protein, daya cerna protein secara in vitro,
dan kerusakan lemak meliputi bilangan peroksida, asam lemak bebas, dan TBA.
31

Sie reuboh terpilih disimpan selama 12 hari dan dilakukan pemanasan sebanyak
6 kali, yaitu pada penyimpanan hari ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, dan 12. Uji kimia dan
jumlah mikroba dilakukan di setiap pemanasan dan untuk uji kesukaan dilakukan
pada hari ke-0, 4, 8, dan 12.
Sie reuboh dibuat dalam dua belanga tanah yang berbeda dan dilakukan
di waktu yang bersamaan. Fungsi pembuatan sie reuboh dalam dua belanga ini
adalah sebagai ulangan dari perlakuan pemasakan. Setiap akan melakukan
pemanasan kembali, ditambahkan air sebanyak 100 ml ke dalam belanga yang
bertujuan untuk mencegah produk menjadi hangus.

Kandungan Gizi Sie Reuboh selama Pemanasan


Teknik pengolahan dengan pemanasan mampu menghasilkan produk
yang memiliki cita rasa yang luar biasa dibandingkan dengan teknik lain (Winarno
1993). Namun demikian Kinsman et al. (1994) menyatakan bahwa pengolahan
dengan panas dapat menyebabkan zat gizi menurun bila dibandingkan dengan
bahan segarnya.
Pemanasan selama pemasakan menghasilkan perubahan pada
penampilan dan bahan-bahan fisik dari jaringan otot. Perubahan tersebut
tergantung pada waktu pemasakan dan kondisi suhu (Kinsman et al. 1994).
Pemanasan diatas 60°C dapat menyebabkan molekul protein, karbohidrat,
lemak, dan asam nukleat menjadi tidak stabil (Hawab 1999).
Analisis kandungan gizi yang dilakukan selama pemanasan berulang
meliputi kadar air, lemak, protein, dan daya cerna protein. Hasil analisis dapat
dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Hasil analisis kandungan gizi sie reuboh selama pemanasan berulang
Daya cerna protein
Pemanasan Air (%) Lemak (%bk) Protein (%bk)
(%)
Kontrol 58.77 20.68 82.36 87.42
1 56.56 19.47 81.06 85.17
2 55.43 20.13 78.37 85.06
3 54.54 23.79 74.20 83.49
4 57.72 23.83 71.01 83.09
5 55.52 21.18 68.17 80.92
6 58.27 24.95 62.60 79.83
32

Kadar Air

Kadar air sangat penting dalam menentukan daya awet dari bahan
makanan karena mempengaruhi sifat fisik, kimia, perubahan mikrobiologi, dan
perubahan enzimatis. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan
penerimaan konsumen, kesegaran, dan daya tahan bahan. Kandungan air yang
tinggi dalam bahan menyebabkan daya tahan bahan rendah. Untuk
memperpanjang daya tahan suatu bahan, sebagian air dalam bahan harus
dihilangkan dengan berbagai cara tergantung dari jenis bahan (Winarno 1997).
Rara-rata umum kadar air sie reuboh pada penelitian ini adalah 56,69%
dan berkisar antara 54,54-58,77%. Setiap akan melakukan pemanasan kembali,
ditambahkan air sebanyak 100 ml ke dalam belanga yang bertujuan untuk
mencegah produk menjadi hangus. Dalilah (2006) dan Anshori (2002)
menyatakan dalam penelitiannya bahwa kadar air daging sapi segar memiliki
rata-rata sebesar 75,13% dan 75,31%. Penurunan rata-rata kadar air daging sapi
segar akibat adanya pemanasan pada sie reuboh kontrol dibandingkan dengan
hasil penelitian Dalilah (2006) dan Anshori (2002) adalah 21,78-21,96%.
Kadar air sie reuboh kontrol adalah 58,77% selanjutnya mengalami
penurunan sampai pada pemanasan ke-3. Kadar air sie reuboh mengalami
kenaikan pada pemanasan ke-4 dan ke-6. Histogram perubahan kadar air pada
sie reuboh selama pemanasan disajikan pada Gambar 5.

80
d abcd ab bcd abc cd
Rata-rata kadar air sie

a
58.77 56.56 55.43 57.72 55.52 58.27
60 54.54
reuboh (%)

40

20

0
Kontrol 1 2 3 4 5 6
Pemanasan ke

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 5 Rata-rata kadar air sie reuboh selama pemanasan

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 20), pemanasan sie reuboh


memberikan pengaruh yang nyata (α<0,05) terhadap kadar air sie reuboh. Uji
lanjut Duncan (Lampiran 21) memperlihatkan bahwa adanya perbedaan yang
33

nyata antara kontrol dengan pemanasan ke-2, 3, dan 5 yaitu menunjukkan


semakin banyak pemanasan maka semakin rendah kadar air sie reuboh.
Adanya proses pemanasan menyebabkan semakin rendahnya kadar air,
tetapi hal ini tidak terlihat pada pemanasan ke-4 sampai ke-6. Dengan semakin
banyaknya proses pemanasan justru semakin meningkatkan kadar air sie
reuboh. Hal ini diduga terkait dengan adanya penambahan air sebanyak 100 ml
pada saat setiap kali pemanasan dilakukan. Dan karena adanya laju penguapan
yang berbeda-beda pada saat pemanasan, laju penguapan ini tidak bisa dikontrol
secara sempurna mengingat kelembaban lingkungan setiap saat dapat berubah.
Air yang terikat di dalam otot daging dapat dibagi menjadi tiga
kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar
4-5% sebagai lapisan monomolekuler pertama. Air terikat agak lemah sebagai
lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, kira-kira sebesar 4%, dan
lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein,
berjumlah kira-kira 10% (Soeparno 1998). Air yang terikat secara kimia lebih
sulit untuk dibebaskan dibandingkan dengan air bebas dan air terikat pada
lapisan kedua.
Pada pemanasan awal, air bebas dalam otot akan dibebaskan terlebih
dahulu, dan hal ini diduga menjadi penyebab turunnya kadar air selama
pemanasan ke-1 sampai ke-3. Terjadinya penurunan kadar air ini pun didukung
dengan adanya penambahan garam pada sie reuboh. Menurut Huffman et al
(1996), penambahan garam pada bahan pangan dapat menggantikan kedudukan
air dalam jaringan bahan pangan tersebut sehingga dapat membatasi air yang
tersedia dan mengeringkan protoplasma. Dengan demikian air yang ada dalam
daging akan keluar dan kedudukan air digantikan oleh garam sampai tercapai
suatu tekanan osmosis dan seimbang. Akibatnya sisa cairan dalam daging
semakin mengental dan protein akan menggumpal (terdenaturasi), selanjutnya
daging akan mengkerut.
Semakin banyaknya pengulangan pemanasan yang dilakukan terhadap
sie reuboh, jaringan otot daging pun semakin lunak. Hal ini diduga karena
adanya proses denaturasi protein daging oleh panas. Proses denaturasi protein
akibat pemanasan dapat membebaskan molekul air terikat di lapisan pertama
dan kedua karena adanya kerusakan pada struktur primer, sekunder, dan tersier
protein sehingga kemampuan untuk mengikat airnya sangat menurun sehingga
meningkatkan kadar air produk itu sendiri dan jaringan menjadi lunak (Wismer-
34

Pedersen (1972) diacu dalam Soeparno (1998), sehingga diduga pada


pemanasan ke-4 sampai ke-6 bertambahnya air disebabkan oleh bebasnya
molekul air pada bagian tersebut.

Kadar Protein
Protein merupakan bagian yang sangat penting karena pada sebagian
besar jaringan tubuh, protein adalah komponen terbesar setelah air. Protein juga
merupakan sumber asam-asam amino, yang mengandung unsur C, H, O, dan N
yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Winarno 1997).
Kadar protein sie reuboh berkisar antara 62,60-82,36% (bk). Secara
keseluruhan besarnya kadar protein dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Dalilah (2006) menunjukkan bahwa kadar protein
kasar pada daging sapi segar sebesar 19,00% bb. Hasil penelitian terhadap sie
reboh kontrol didapatkan kadar protein kasar sebesar 33,95% bb (82,36% bk).
Berdasarkan berat basah didapatkan kenaikan kadar protein kasar daging sapi
segar menjadi sie reuboh kontrol sebesar 44,04%. Kadar protein dari hasil
produk olahan daging lainnya dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Kadar protein hasil olahan daging (% bk) secara in vitro


Produk olahan lain Sie
Daging Segar reuboh
Sosis Bakso Dendeng Panggang Abon
kontrol
Sapi* 76,40 35,36 36,70 36,30 51,04 39,87 82,36
Domba** 80,78 32,25 39,87 39,00 54,09 36,23 -
Ayam 91,03 43,85 54,18 39,53 79,30 38,49 -
boiler***
Ayam 47,21 37,19 35,26 46,09 58,08 38,42 -
kampung****
Sumber : * Dalilah (2006)
** Ridwan (2006)
*** Nurjamilah (2006)
**** Riyanto (2006)

Tabel 11 memperlihatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh oleh Dalilah


(2006), Ridwan (2006), dan Nurjamilah (2006), bahwa kadar protein produk
olahan daging menjadi lebih rendah dibandingkan dengan daging segar.
Penelitian yang dilakukan oleh Riyanto (2006) kadar protein produk olahan
daging ayam kampung yaitu daging panggang yang hanya mengalami
peningkatan kadar protein yaitu sebesar 10,87%.
35

Mengacu pada Riyanto (2006), kenaikan kadar protein hasil olahan


dibandingkan dengan produk segarnya disebabkan rendahnya kadar air pada
produk olahan yang disebabkan proses pengolahan oleh panas. Penurunan
kadar air selama proses pemasakan dapat meningkatkan kadar protein pada
produk olahan. Ranken (2000) menyebutkan bahwa pemanasan dengan suhu
tinggi akan menyebabkan kehilangan air yang lebih tinggi sehingga akan
meningkatkan jumlah lemak, karbohidrat, dan protein.
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 24) terhadap kadar protein
menunjukkan bahwa pemanasan pada sie reuboh berpengaruh nyata (α<0,05)
terhadap penurunan kadar protein. Uji lanjut Duncan (Lampiran 25) menunjukkan
adanya perbedaan untuk semua perlakuan ulangan pemanasan kecuali
pemansan ke-1.
Rata-rata kadar protein (%bk)

100 a
a b c
82.36 d e
81.06 78.37 74.29 f
80 71.01 68.17
62.6
60

40

20

0
Kontrol 1 2 3 4 5 6
Pemanasan ke

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 6 Rata-rata kadar protein sie reuboh selama pemanasan

Gambar 6 memperlihatkan bahwa terjadinya penurunan kadar protein


selama pemanasan. Winarno (1997) menyatakan bahwa pemanasan (perebusan
dan penggorengan) yang dilakukan secara berlebihan atau waktu yang lama
tanpa penambahan karbohidrat, dapat mengakibatkan nilai gizi protein akan
berkurang karena terbentuknya ikatan silang dalam protein. Protein merupakan
senyawa yang reaktif terhadap panas, dimana sisi aktif beberapa asam amino
dapat bereaksi dengan komponen lain misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak
dan produk oksidasinya. Namun Hawab (1999) menyatakan bahwa pemanasan
100°C tidak sampai merusak molekul protein secara total. Pemanasan sie
reuboh ini memakai suhu 115°C dengan demikian masih ada sebagian protein di
dalam sie reuboh yang tidak rusak.
36

Muchtadi (1989) menjelaskan lebih lanjut bahwa sumber utama


menurunnya nilai gizi protein bahan pangan selama pengolahan dan pemasakan
adalah reaksi pencoklatan non-enzimatis (reaksi Maillard). Reaksi Maillard
dengan beberapa gula (khususnya gula pereduksi) dapat menyebabkan
penurunan kualitas protein, yaitu hilangnya residu asam amino dan penurunan
kecernaan protein. Penurunan nilai gizi yang disebabkan oleh reaksi Maillard
selama pengolahan dan pemasakan terjadi karena adanya reaksi antara gula
pereduksi dengan protein (asam amino) daging yang ditambah bumbu.
Reaksi Maillard dapat terjadi akibat adanya protein, gula pereduksi
(glukosan dan fruktosa), dan panas. Otot daging mengandung glikogen, oleh
enzim atau asam gikogen dipecah menjadi glukosa, sehingga reaksi Maillard
terjadi selama pemanasan.
Sie reuboh merupakan makanan khas Aceh yang memadukan daging
dan lemak dalam pembuatannya. Interaksi antara protein daging dan lipid yang
teroksidasi karena pengaruh panas juga dapat menyebabkan penurunan nilai gizi
protein. Muchtadi (1989) menyatakan bahwa produk-produk yang terbentuk saat
oksidasi lipid dapat bereaksi dengan protein terutama asam amino triptofan dan
asam-asam amino yang mengandung belerang dapat rusak teroksidasi oleh
radikal bebas dan hidroperoksida.

Daya Cerna Protein (In Vitro)


Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisa menjadi asam-asam amino
oleh enzim-enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah daya cerna atau
nilai kecernaan. Jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan
oleh tubuh dalam jumlah tinggi ditunjukkan oleh suatu protein yang mudah
dicerna. Sebaliknya suatu protein yang sukar dicerna berarti jumlah asam-asam
amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah, karena sebagian
besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses (Muchtadi et al. 1993).
Daya cerna protein sie reuboh berkisar antara 79,83-87,42%. Penelitian
Dalilah (2006) menyatakan bahwa daya cerna daging sapi segar sebesar 79,03
%. Daya cerna protein daging mengalami peningkatan setelah diolah menjadi sie
reuboh. Daya cerna sie reuboh kontrol yang mencapai 87,42% menunjukkan
bahwa 87,42% dari seluruh protein yang dikandungnya dapat dicerna secara in
vitro. Besarnya daya cerna protein sie reuboh selama pemanasan dapat dilihat
pada Gambar 7.
37

100 a
ab bc

Rata-rata daya cerna protein (%)


87.42 ab b cd d
85.17 85.06 83.49 83.09 80.92 79.83
80

60

40

20

0
Kontrol 1 2 3 4 5 6
Pemanasan ke

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 7 Rata-rata daya cerna protein sie reuboh selama pemanasan

Tabel 12 menunjukkan bahwa proses pengolahan panas memberikan


pengaruh yang berbeda terhadap daya cerna protein pada setiap produk olahan
daging. Peningkatan daya cerna protein terlihat pada produk bakso dan sie
reuboh pada pemanasan kontrol. Peningkatan daya cerna protein pada sie
reuboh diduga karena adanya proses denaturasi selama proses pemanasan.
Denaturasi protein mengakibatkan terbukanya susunan tiga dimensi
molekul protein menjadi struktur yang acak (Lehninger 1998). Dengan
terbukanya lipatan protein menyebabkan enzim pencernaan lebih mudah untuk
menghidrolisis dan mudah memecah protein menjadi monomer-monomer.
Tabel 12 Daya cerna protein berbagai olahan daging (%) secara in vitro
Produk olahan lain Sie
Daging Segar reuboh
Sosis Bakso Dendeng Panggang Abon
kontrol
Sapi* 79,03 89,60 83,27 61,59 59,73 58,87 87,42
Domba** 78,09 79,68 90,77 64,13 75,41 70,26 -
Ayam 90,71 86,51 82,33 71,35 77,88 73,84 -
boiler***
Ayam 85,46 80,80 93,20 53,97 71,53 60,77 -
kampong****
Sumber : * Dalilah (2006)
** Ridwan (2006)
*** Nurjamilah (2006)
**** Riyanto (2006)

Rendahnya daya cerna protein abon, dendeng, dan daging panggang


dibandingkan dengan sosis dan bakso diduga berkaitan dengan suhu yang
digunakan dalam pengolahan. Proses pembuatan bakso dan sosis yang dapat
menyebabkan denaturasi antara lain penggilingan dan perebusan. Suhu yang
38

dipakai untuk perebusan bakso hanya sekitar 80°C. Pemanasan yang dilakukan
dalam pembuatan sosis berkisar antara 65°C. Dalam pembuatan abon dilakukan
pengukusan dengan menggunakan suhu 95°C, penggorengan dengan suhu
150°C, dan pengerigan dengan oven pada suhu 130°C. Pembuatan daging
panggang menggunakan suhu sekitar 120°C dan dendeng mengalami
pengeringan pada suhu 70°C dan penggorengan pada suhu 120°C. Penggunaan
suhu yang tinggi dan pengolahan yang lebih dari satu kali pada abon, dendeng,
dan daging panggang diduga dapat menyebabkan tidak hanya terjadi denaturasi
tetapi juga raseminasi protein sehingga daya cerna dari ketiga produk olahan ini
lebih rendah.
Menurut Sediaoetama (1991) protein tergolong baik bila daya cernanya
sama atau lebih besar dari 80%, sehingga nilai kecernaan protein sie reuboh
selama proses pemanasan dalam penelitian ini tergolong baik karena berkisar
antara 79,83-87,42%. Hanya pada pemanasan ke-6 kualitas daya cerna sie
reuboh lebih rendah dari 80% dan berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran
26) terhadap daya cerna protein menunjukkan bahwa pemanasan berulang pada
sie reuboh berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap penurunan daya cerna protein.
Uji lanjut Duncan (Lampiran 27) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
untuk pemanasan kontrol, ke-3, 4, 5, dan 6.
Perlakuan pemanasan berulang terhadap sie reuboh dapat menyebabkan
tidak hanya terjadi denaturasi akan tetapi terjadi juga reseminasi protein, reaksi
Maillard, dan terbentuknya ikatan silang dalam protein seperti lisinoalanin dan
lantionin. Menurut Winarno (1997) terbentuknya ikatan silang akan menurunkan
kecernaaan protein. Gambar 8 memperlihatkan bahwa pemanasan berulang
dapat meningkatkan penurunan daya cerna protein sie reuboh.

10
Penurunan daya cerna

8,68
8 7,44
protein (%)

6 4,95
4,50
4 2,70
2,57
2

0
1 2 3 4 5 6
Pemanasan ke

Gambar 8 Persentase penurunan daya cerna protein sie reuboh


39

Perlakuan pemanasan yang terus berulang pada sie reuboh merupakan


pemanasan dengan menggunakan suhu lebih tinggi dari 100°C. Winarno (1997)
menyatakan bahwa penggunaan suhu pemasakan lebih dari 100°C
menyebabkan menurunnya kecernaan. Suhu tinggi menyebabkan tidak hanya
membuka lipatan protein akan tetapi sudah sampai memotong potein menjadi
bagian-bagian kecil yang mungkin sudah menjadi protein asing bagi enzim.
Winarno menambahkan denaturasi berat menyebabkan protein terpotong dan
bersifat irreversible. Protein yang telah terdegradasi tidak dikenali lagi oleh
enzim. Enzim memiliki daya kerja yang spesifik sehingga hanya memecah
protein-protein yang dikenalinya saja.
Adanya interaksi antara semua komponen-komponen yang ditambahkan
dalam pembuatan sie reuboh diduga pula dapat mempengaruhi penurunan daya
cerna protein sie reuboh selama pengulangan pemanasan. Muchtadi (1993)
menjelaskan bahwa menurunnya daya cerna protein pada suatu makanan
olahan dapat terjadi karena adanya interaksi antara komponen protein dan lipid,
misalnya terjadinya raseminasi asam amino (bentuk L menjadi bentuk D) dan
juga reaksi antara asam amino.
Perubahan bentuk asam amino L menjadi D diduga menyebabkan enzim
pencernaan tidak reaktif. Asam amino bentuk D tidak dapat dimanfaatkan oleh
tubuh. Demikian juga ikatan peptide L-D, D-L, atau D-D tidak dapat diserang oleh
enzim proteolitik sehingga daya cerna protein menurun (Muchtadi 1993).
Peranan senyawa-senyawa anti nutrisi terhadap penyerapan protein yang
terdapat secara alami dalam bahan pangan dapat mengakibatkan kerusakan
protein (Muchtadi 1989). Senyawa anti nutrisi ini sebagian terdapat dalam
rempah-rempah, misalnya senyawa tanin yang terdapat pada kunyit dan
lengkuas.

Kadar Lemak
Lemak merupakan bagian integral dari semua bahan. Lemak berperan
dalam menambahan kalori serta memperbaiki tekstur dan citarasa bahan pangan
(Winarno 1997). Kandungan lemak pada daging sapi segar menurut Departemen
Kesehatan RI (1995) adalah 14%. Rerata umum kadar lemak sie reuboh pada
penelitian ini adalah 22,00% bk dan berkisar antara 19,47-24,95 % bk (Gambar
9). Adanya peningkatan kadar lemak pada sie reuboh dikarenakan adanya
40

penambahan lemak sapi pada proses pembuatan sie reuboh yaitu seberat 600 g
untuk 2000 g daging sapi.
Hasil analisis ragam (Lampiran 22) menunjukkan pemanasan
memberikan pengaruh yang nyata (α<0,05) terhadap kadar lemak sie reuboh
dengan uji lanjut Duncan (Lampiran 23) terlihat adanya perbedaan antara
pemanasan ke-1, 3, 4, 5, dan 6. Gambar 9 menunjukkan bahwa semakin banyak
pemanasan semakin meningkatkan kadar lemak sie reuboh.
Menurut Soeparno (1998), daging atau otot selain memiliki depot protein
juga memiliki depot lemak yang biasa disebut lemak intramuskular. Lemak
intramuskular terletak diantara ikatan serabut otot atau antara matriks-matriks
otot. Pemanasan yang berulang diduga menyebabkan lemak tersebut terurai
menjadi monomer-monomer lemak (asam lemak) sehingga mudah berpenetrasi
ke dalam matriks-matriks otot akibatnya jumlah lemak meningkat dengan
banyaknya ulangan pemanasan.

c c c
30
Rata-rata kadar lemak (%bk)

23.79 23.83 24.95


ab ab b
25 a
20.68 20.13 21.18
19.47
20

15

10

0
Kontrol 1 2 3 4 5 6
Pemanasan ke

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 9 Rata-rata kadar lemak sie reuboh selama pemanasan

Kerusakan Lemak Sie Reuboh selama Pemanasan (Asam Lemak Bebas,


Bilangan Peroksida, dan Bilangan TBA)

Dua hal penting yang dipertimbangkan mengapa pengolahan pangan


perlu dilakukan. Yang pertama adalah untuk mendapatkan bahan pangan yang
aman untuk dimakan sehingga nilai gizi yang dikandung bahan pangan tersebut
dapat dimanfaatkan secara maksimal. Yang kedua adalah agar bahan pangan
tersebut dapat diterima, khususnya diterima secara sensori, yang meliputi
41

penampakan (aroma, rasa, mouthfeel, dan aftertaste) dan tekstur (kekerasan,


kelembutan, konsistensi, kekenyalan, dan kerenyahan).
Di satu sisi pengolahan dapat menghasilkan produk pangan dengan sifat-
sifat yang diinginkan yaitu aman, bergizi dan dapat diterima dengan baik secara
sensori. Di sisi lain, pengolahan juga dapat menimbulkan hal yang sebaliknya
yaitu menghasilkan senyawa toksik sehingga produk menjadi kurang atau tidak
aman, kehilangan zat-zat gizi dan perubahan sifat sensori ke arah yang kurang
disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna, tekstur, bau dan rasa yang
kurang atau tidak disukai. Hasil analisis kerusakan lemak pada sie reuboh akibat
pemanasan tersaji pada tabel 13.

Tabel 13 Hasil analisis kerusakan lemak sie reuboh selama pemanasan


Asam lemak bebas (ml Bilangan peroksida
Pemanasan Bilangan TBA
NaOH 0,1 N/100 ml) (mg O2/100g)
Kontrol 9.78 3.57 0.99
1 11.03 5.56 1.03
2 12.60 7.23 1.25
3 16.03 8.40 1.36
4 15.87 10.00 1.56
5 15.93 11.13 1.92
6 19.86 13.32 2.25

Asam Lemak Bebas

Jumlah asam-asam lemak bebas yang semakin meningkat merupakan


tanda dari adanya proses ketengikan dalam bahan pangan. Asam-asam lemak
bebas dihasilkan dari proses hidrolisis karena terdapatnya sejumlah air dalam
lemak atau minyak. Hasil hidrolisa lemak dalam bahan pangan tidak hanya
mengakibatkan bau yang tidak enak, tetapi juga dapat menurunkan nilai gizi,
karena kerusakan vitamin larut lemak dan asam lemak esensial dalam lemak
(Ketaren 1989).
Total asam tertitrasi sie reuboh selama pemanasan berkisar antara 9,78-
19,86 ml NaOH 0,1 N/ 100 g. Kadar asam lemak sie reuboh sebelum perlakuan
pemanasan (kontrol) adalah 9,78 ml NaOH 0,1 N/ 100 g, selanjutnya mengalami
peningkatan sampai pemanasan ke-6. Histogram perubahan kadar asam lemak
bebas pada sie reuboh selama pemanasan disajikan pada Gambar 10.
42

25
d

Rata-rata asam lemak bebas


19.86
c c

(mlNaOH 0,1N/100g)
20 c
16.03 15.87 15.93
b
15 a 12.6
a
11.03
9.78
10

0
Kontrol 1 2 3 4 5 6
Pemanasan ke

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 10 Rata-rata kadar asam lemak bebas sie reuboh selama pemanasan

Hasil analisis ragam (Lampiran 30) terhadap kadar asam lemak


menunjukkan bahwa pemanasan berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap kenaikan
kadar asam lemak pada sie reuboh setelah pemanasan berulang. Uji lanjut
Duncan (Lampiran 31) menunjukkan bahwa perlakuan pengulangan pemanasan
berbeda nyata antara pemanasan kontrol, ke-2, 3, 4, 5, dan 6.
Gambar 10 menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan berulang
mengakibatkan meningkatnya kadar asam lemak bebas pada sie reuboh.
Bilangan asam lemak bebas yang semakin tinggi mengindikasikan kerusakan
lemak akibat pemanasan pada sie reuboh dalam penelitian ini. Semakin tinggi
kadar asam lemak suatu bahan pangan maka semakin tinggi pula kerusakan
lemak akibat proses pengolahan pangan itu sendiri.
Asam-asam lemak bebas dapat dihasilkan dari proses oksidasi lemak
atau minyak. Pemanasan akan mengakibatkan adanya proses oksidasi antara
lemak atau minyak dengan oksigen, selanjutnya proses oksidasi akan
membentuk peroksida-peroksida dan terurainya asam-asam lemak yang disertai
dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam
lemak bebas. Semakin tingginya kadar asam lemak bebas pada setiap
pemanasan pertanda bahwa sie reuboh telah mengalami tanda-tanda kerusakan.

Bilangan Peroksida
Bilangan peroksida menunjukkan terjadinya suatu reaksi oksidasi yang
terjadi pada minyak atau lemak yang dipanaskan dan adanya kontak minyak
dengan udara. Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan
derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat
43

mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida


(Ketaren 1986). Bilangan peroksida dapat digunakan sebagai petunjuk adanya
kerusakan oksidatif pada minyak atau lemak. Peroksida merupakan produk
pertama dari reaksi otooksidasi.
Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau tengik yang disebut
proses ketengikan. Proses ketengikan sangat dipengaruhi oleh adanya
prooksidan dan antioksidan. Prooksidan akan mempercepat terjadinya oksidasi
sedangkan antioksidan akan menghambatnya (Winarno 1997).
Bilangan peroksida sie reuboh selama pemanasan berkisar antara 3,57-
13,32 mg O2/100 g. Bilangan peroksida pada sie reuboh kontrol adalah 3,57 mg
O2/100 g selanjutnya mengalami peningkatan sampai pemanasan ke-6.
Histogram perubahan bilangan peroksida pada sie reuboh selama pemanasan
disajikan pada Gambar 11.

15 g
Rata-rata bilangan peroksida

f 13.32
e 11.13
d 10.00
(mg O2/100g)

10 c 8.40
b 7.23
5.56
a
5 3.57

0
Kontrol 1 2 3 4 5 6
Pemanasan ke

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 11 Rata-rata bilangan peroksida sie reuboh selama pemanasan

Hasil analisis ragam (Lampiran 28) terhadap bilangan peroksida


menunjukkan bahwa pengulangan pemanasan berpengaruh nyata (α<0,05)
terhadap peningkatan bilangan peroksida sie reuboh. Uji lanjut Duncan
(Lampiran 29) terlihat bahwa perlakuan pemanasan mengakibatkan perbedaan
yang nyata untuk semua perlakuan pemanasan.
Gambar 11 memperlihatkan bahwa pemanasan berulang meningkatkan
bilangan peroksida pada sie reuboh. Bilangan peroksida ini mengindikasikan
kerusakan lemak akibat pemanasan pada sie reuboh dalam penelitian ini.
Semakin tinggi bilangan peroksida suatu bahan pangan maka semakin tinggi
pula kerusakan lemak akibat proses pengolahan pangan khususnya pemanasan.
44

Peningkatan bilangan peroksida secara nyata selama pemanasan


menunjukkan bahwa telah terjadi reaksi oksidasi pada produk. Proses oksidasi
dapat terjadi bila ada kontak antara minyak atau lemak dengan oksigen. Oksidasi
ini terjadi pada ikatan tidak jenuh dalam asam lemak. Pada suhu kamar sampai
suhu 100°C, setiap 1 ikatan tidak jenuh dapat mengabsorbsi 2 atom oksigen,
sehingga terbentuk persenyawaan peroksida yang bersifat labil (Ketaren 1986).
Menurut Ketaren (1986), bahan pangan akan bersifat sangat beracun dan
tidak dapat dimakan jika bilangan peroksida dalam bahan pangan lebih dari 100
mg O2/100g. Oleh karena itu, sie reuboh yang mengalami pemanasan berulang
sebanyak enam kali dan penyimpanan selama 12 hari masih dapat dikonsumsi
karena kadar peroksida sie reuboh masih berada di bawah 100 O2/100 g.
Oksidasi dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida
dengan peningkatan oksigen pada ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh.
Kenaikan bilangan peroksida merupakan salah satu indikator dan peringatan
bahwa produk sebentar lagi akan berbau tengik dan mengalami kerusakan. Pada
saat produk yang mengandung minyak atau lemak berbau tengik, bilangan
peroksida turun karena akan terurai (Ketaren 1986).
Pembentukkan peroksida juga mempunyai korelasi dengan tipe dan
jumlah radikal bebas dalam lemak serta kecepatan proses oksidasinya
tergandung dari tipe lemak dan kondisi penyimpanan (Ketaren 1986). Kandungan
gula yang tinggi dapat berperan untuk menghambat porses timbulnya reaksi
oksidasi dan ketengikan (Winarno 1997).

Bilangan TBA (Thiobarbituric Acid)

TBA adalah suatu test kimia untuk uji ketengikan yang dapat digunakan
pada bermacam-macam bahan dan merupakan uji yang paling sering digunakan
untuk mengukur ketengikan. Uji TBA merupakan uji yang spesifik untuk hasil
oksidasi asam lemak tidak jenuh dan dapat digunakan pada produk makanan
sehari-hari yang proporsi asam lemak tidak jenuhnya rendah Kelebihan lain dari
uji ini adalah pereaksi TBA dapat digunakan langsung untuk menguji lemak
dalam suatu bahan tanpa mengekstraksi fraksi lemaknya (Ketaren 1986).
TBA mengukur warna merah muda yang dihasilkan oleh pereaksi TBA
dengan malonaldehid. Warna merah muda ini diketahui merupakan bentuk
kondensasi produk antara dua molekul TBA dengan satu molekul malinic
dialdehid. Malonaldehid merupakan produk oksidasi lanjut yang berasal dari
45

aldehid tidak jenuh yang merupakan hasil pemecahan hidroperoksida. Uji TBA
memiliki kelemahan, yaitu TBA tidak stabil dan terurai dalam kondisi yang panas
dan tinggi asam, terutama bila ada peroksida. Produk uraian ini dapat menyerap
pada gelombang yang sama dengan TBA (Ketaren 1986).
Bilangan TBA sie reuboh selama pemanasan berkisar antara 0,99-2,25
ppm. Bilangan TBA sie reuboh sebelum perlakuan pemanasan (kontrol) adalah
0,99 ppm dan sampai pemanasan ke-6 bilangan TBA mengalami peningkatan
sampai 2,25 ppm. Histogram perubahan kadar TBA pada sie reuboh selama
pemanasan disajikan pada Gambar 12.
Rata rata bilangan TBA (ppm)

3 e
2.25
d
c 1.92
2 b
b 1.56
a a 1.25 1.36
0.99 1.03
1

0
Kontrol 1 2 3 4 5 6
Pemanasan ke

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 12 Rata-rata bilangan TBA sie reuboh selama pemanasan

Hasil analisis ragam (Lampiran 32) menunjukkan bahwa proses


pemanasan berulang berpengaruh nyata pada kadar TBA (α<0,05). Berdasarkan
hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 31) diketahui bahwa perlakuan pengulangan
pemanasan berbeda nyata antara pemanasan kontrol, dengan pemanasan ke-2,
3, 4, 5, dan 6. Perlakuan pemanasan mengakibatkan meningkatnya kadar TBA
pada sie reuboh. Kadar TBA yang semakin tinggi mengindikasikan kerusakan
lemak akibat pemanasan berulang pada sie reuboh dalam penelitian ini semakin
rendah.
Gambar 12 memperlihatkan bahwa selama pemanasan terjadi
peningkatan kadar TBA pada sie reuboh. Meningkatnya kadar TBA dan
menurunnya bilangan peroksida pada suatu produk dapat menjadi salah satu
tanda terjadinya ketengikan dan kerusakan produk. Dikarenakan belum
terjadinya penurunan pada bilangan peroksida selama pemanasan berulang
pada sie reuboh, maka dapat dinyatakan bahwa produk masih dapat dikonsumsi
46

tetapi tanda-tanda awal dari kerusakan sudah ada yaitu dengan TBA meningkat
(Ketaren 1986).

Jumlah Mikroba

Analisis kuantitatif mikroba pada bahan pangan penting dilakukan untuk


mengetahui mutu bahan pangan dan menghitung proses pengawetan yang akan
diterapkan pada bahan pangan tersebut. Jumlah dan jenis jasad renik pada
makanan yang telah diolah selain dipengaruhi oleh sifat bahan pangan juga
dipengaruhi oleh ketahanan mikroorganisme terhadap proses pengolahan yang
diterapkan terhadap makanan tersebut (Fardiaz 1992).
Metode yang dilakukan dalam penentuan jumlah total mikroba pada
penelitian ini adalah metode hitungan cawan. Prinsip dari metode hitungan
cawan adalah jumlah mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada medium
agar, mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat
dilihat langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop
(Fardiaz 1992).
Gambar 13 memperlihatkan kurva pertumbuhan mikroba selama
pemanasan berulang yang terlihat persis dengan kurva pertumbuhan
mikroorganisme umumnya, yaitu berbentuk hutuf u terbalik. Menurut Fardiaz
(1992) pertumbuhan mikroorganisme melalui beberapa fase, yaitu fase
pertumbuhan, fase logaritma, fase pertumbuhan yang mulai terhambat, dan fase
kematian. Fase pertumbuhan dan fase logaritma terdapat pada sie reuboh
kontrol sampai pemanasan ke-3, fase pertumbuhan tetap berjadi pada
pemanasan ke-3 samapai 4, fase pertumbuhan mulai terhambat terlihat pada
pemanasan ke-4 sampai pemanasan ke-6.
b b
Rata-rata jumlah mikroba (log

5
4.28 4.21
ab
4 ab
ab ab 3.32
3.05
koloni/ ml)

a 2.69 2.85
3
2.2
2

0
Kontrol 1 2 3 4 5 6
Pemanasan ke

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 13 Rata-rata jumlah mikroba selama pemanasan


47

Jumlah mikroba sie reuboh selama pemanasan berkisar antara 2,20-4,28


log koloni per ml dan secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 13. Hasil
analisis ragam (Lampiran 34) menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan tidak
berpengaruh nyata (α > 0,05) terhadap pertumbuhan jumlah mikroba sie reuboh.
Penelitian yang dilakukan oleh Murhadi (1994) terhadap efektifitas bumbu
rendang terhadap jumlah mikroba menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan
dapat menekan perkembangan mikroba selama penyimpanan. Pemanasan
selama 5 menit (70-75°C) setelah waktu penyimpanan dapat menurunkan total
mikroba terutama setelah penyimpanan 12 dan 24 jam. Pemanasan tersebut
sangat efektif menurunkan total mikroba masing-masing dari 3,1x103 koloni/g
menjadi berkurang mendekati jumlah 5,0x102 koloni/g.
Ketahanan mikroba terhadap panas mempunyai peranan penting dalam
menentukan tipe mikroorganisme mana yang akhirnya banyak terdapat setelah
perlakuan pemanasan (Fardiaz 1992). Kandungan air yang tinggi dalam medium
pemanasan akan mempercepat proses denaturasi protein mikroba yang diduga
akibat terbentuknya gugus sufhidril (-SH) yang mengakibatkan peningkatan
kapasitas mengikat air oleh protein. Adanya air yang terikat pada protein inilah
yang mempermudah pemecahan ikatan-ikatan peptida atau protein sehingga
ketahanan panas mikroba menurun.
Batas aman yang ditetapkan SNI untuk jumlah mikroba dalam bahan
makanan adalah 106 atau 6 log koloni/ ml. Jumlah tertinggi mikroba dalam sie
reboh terdapat pada pemanasan ke tiga yaitu sebesar 4,28 log koloni/ ml dan
jumlah ini masih dalam batas aman yang ditetapkan oleh SNI.
Penelitian Edy (1998) diacu dalam Suyasa (2002) menyatakan bahwa
bumbu rendang memiliki aktivitas antimikroba terhadap flora mikroba yang
terdapat pada ekstrak daging, santan serta campuran daging dan santan. Efek
penghambatan bumbu rendang terhadap beberapa bakteri yang diujikan diduga
karena adanya aktivitas antimikroba rempah-rempah dalam bumbu terutama
cabe merah selain dari pengaruh pemanasan itu sendiri. Komponen antimikroba
setelah dipanaskan akan terurai menjadi komponen-komponen yang lebih mudah
berpenetrasi ke dalam sel mikroba, merusak dinding sel, sitoplasma, dan
mengkoagulasi protein sel mikroba sehingga menyebabkan kematian mikroba.
Senyawa alifatik selain kapsaisin seperti senyawa disulfida yang terdapat
pada bawang merah, alisin pada bawang putih, kurkumin pada kunyit, dan
48

senyawa antimikroba pada komponen rempah-rempah lainnya bersifat saling


memperkuat efek penghambatan bumbu sie reuboh terhadap mikroba.
Penambahan asam (cuka aren) juga diduga memiliki pengaruh terhadap
jumlah mikroba pada sie reuboh. Pemberian asam ke dalam bahan pangan
daging mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya mendapatkan citarasa
yang diinginkan serta berkhasiat dalam mencegah pertumbuhan mikroba, karena
dapat menurunkan pH pada bahan pangan.

Uji Kesukaan Sie Reuboh setelah Pemanasan Berulang


Uji kesukaan terhadap sie reuboh setelah pemanasan berulang terdiri dari
respon terhadap warna, aroma, rasa, dan keempukan. Menurut Meigaard et al.
(2000), dalam uji kesukaan indera yang berperan adalah indera penglihatan,
pencicipan, peraba, dan pendengara. Untuk produk pangan yang paling jarang
digunakan adalah indera pendengaran. Pelaksanakan penilaian kesukaan ini
diperlukan panel. Panel ini terdiri dari orang atau kelompok yang bertugas
menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subjektif.
Panelis yang digunakan dalam penelitian lanjutan ini terdiri dari 30 orang
panelis. Uji kesukaan ini bertujuan untuk melihat tingkat kesukaan panelis
terhadap karakteristik sie reuboh yang telah mengalami pemanasan berulang.

Warna
Warna makanan memiliki peranan utama dalam penampilan makanan,
meskipun makanan tersebut lezat, tetapi bila penampilan tidak menarik waktu
disajikan akan mengakibatkan selera orang yang akan memakannya menjadi
hilang (Moehyi 1992). Warna biasanya merupakan tanda kemasakan atau
kerusakan dari makanan, seperti perlakuan penyimpanan yang memungkinkan
adanya perubahan warna. Oleh karena itu untuk mendapatkan warna yang
sesuai dan menarik harus digunakan tehnik memasak tertentu atau dengan
penyimpanan yang baik (Meilgaard et al. 2000).
Rerata umum kesukaan warna sie reuboh pada penelitian ini adalah 5,06
dan berkisar antara 4,68-5,28 (biasa-agak suka) dan secara keseluruhan dapat
dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 14),
pemanasan berulang sie reuboh memberikan pengaruh yang nyata (α<0,05)
terhadap kesukaan warna. Hasil uji lanjut (Lampiran 15) menunjukkan bahwa
pemanasan ke-2, 4, dan 6 memberikan perbedaan yang nyata.
49

Gambar 14 menunjukkan adanya penurunan kesukaan terhadap warna


sie reuboh pada pemanasan ke-6 (hari ke-12) yaitu warna menjadi semakin
pekat. Semakin pekat sie reuboh selama pemanasan berulang diduga
disebabkan karena oleh adanya proses pencoklatan yang terjadi karena reaksi
Maillard. Reaksi Maillard adalah suatu reaksi gula dengan senyawa amino
dimana tahap akhir akan membentuk polimer coklat atau melanoidin
(Apriyantono 2001).

ab b b
6 a
5.28 5.21
Rata-rata kesukaan warna

5.06
5 4.68

0
Kontrol 2 4 6
Pemanasan ke-

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 14 Rata-rata kesukaan warna sie reuboh selama pemanasan

Aroma
Aroma adalah rasa dan bau yang sangat subyektif serta sulit diukur,
karena setiap orang mempunyai sensitifitas dan kesukaan yang berbeda.
Meskipun mereka dapat mendeteksi, tetapi setiap individu memiliki kesukaan
yang berlainan (Meilgaard et al. 2000). Timbulnya aroma makanan disebabkan
oleh terbentuknya senyawa yang mudah menguap. Aroma yang dikeluarkan
setiap makanan berbeda-beda. Selain itu, cara memasak yang berbeda akan
menimbulkan aroma yang berbeda pula (Moehyi 1992).
Rata-rata umum kesukaan aroma sie reuboh pada penelitian ini adalah
5,22. dan berkisar antara 4,99-5.38 (biasa-agak suka) dan secara keseluruhan
dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 14),
pemanasan berulang sie reuboh memberikan pengaruh yang tidak nyata
(α>0,05) terhadap kesukaan aroma selama pemanasan berulang.
Pemberian rempah-rempah pada makanan dapat meningkatkan citarasa,
aroma, nilai organoleptik, merangsang selera, dan merangsang pencernaan
(Sinaga 2006). Kandungan lemak dalam daging pun ikut menentukan kualitas
50

daging, karena lemak merupakan komponen yang menentukan dan membentuk


citarasa dan aroma khas pada daging (Buckle et al. 1985).

5.29 5.38
6
5.20 4.99

Rata-rata kesukaan aroma


5

0
Kontrol 2 4 6
Pe manasan ke

Gambar 15 Rata-rata kesukaan aroma sie reuboh selama pemanasan

Rasa
Rasa makanan merupakan faktor kedua yang mempengaruhi citarasa
makanan setelah penampilan makanan itu sendiri (Moehyi 1992). Rasa
merupakan tanggapan atas adanya rangsangan kimiawi yang sampai di indera
pengecap lidah, khususnya jenis rasa dasar yaitu manis, asin, asam, dan pahit
(Meilgaard et al. 2000).
Pada konsumsi tinggi indera pengecap akan mudah mengenal rasa-rasa
dasar tersebut. Beberapa komponen yang berperan dalam penentuan rasa
makanan adalah aroma makanan, bumbu masakan dan bahan makanan,
keempukan atau kekenyalan makanan, kerenyahan makanan, tingkat
kematangan dan temperatur makanan (Meilgaard et al. 2000).
Rerata umum kesukaan warna sie reuboh pada penelitian ini adalah 5,20.
dan berkisar antara 4,82-5,63 (biasa - agak suka) dan secara keseluruhan dapat
dilihat pada Gambar 16. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 14),
pemanasan berulang sie reuboh memberikan pengaruh yang nyata (α<0,05)
terhadap peningkatan kesukaan rasa. Hasil uji lanjut (Lampiran 17) menunjukkan
bahwa hanya pada sie reuboh kontrol dan pemanasan ke-6, pemanasan ke-2
dan ke-6, serta pemanasan ke-4 dan ke-6 memberikan perbedaan yang nyata.
51

a a
6
a 5.08 5.09 b

Rata-rata kesukaan rasa


5 4.82 5.63

2
1

0
Kontrol 2 4 6
Pemanasan ke

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 16 Rata-rata kesukaan rasa sie reuboh selama pemanasan

Gambar 16 memperlihatkan bahwa selama proses pemanasan berulang


terjadi kenaikan kesukaan terhadap rasa sampai pemanasan ke-6. Hal ini diduga
karena dengan semakin banyaknya proses pemanasan yang dilakukan dapat
menyebabkan semakin meresapnya bumbu, adanya lemak pada sie reuboh
dapat berfungsi memberi rasa dan keharuman yang lebih baik pada makanan.
Kandungan lemak dalam daging pun ikut menentukan kualitas makanan, karena
lemak merupakan komponen yang menentukan dan membentuk citarasa dan
aroma khas pada makanan (Winarno 1997).

Tekstur (Keempukan)
Penilaian tekstur makanan dapat dilakukan dengan jari, gigi, dan langit-
langit (tekak). Dari nilai yang diperoleh diharapkan dapat diketahui kualitas
makanan. Menurut Meilgaard et al. (2000). Faktor tekstur diantaranya adalah
rabaan oleh tangan, keempukan, kemudahan dikunyah serta kerenyahan
makanan. Untuk itu cara pemasakan bahan makanan dapat mempengaruhi
kualitas tekstur makanan yang dihasilkan.
Rerata umum kesukaan keempukan sie reuboh pada penelitian ini adalah
5,12 dan berkisar antara 4,79-5,63 (agak suka - suka) dan secara keseluruhan
dapat dilihat pada Gambar 17. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 14),
pemanasan berulang sie reuboh memberikan pengaruh yang nyata (α<0,05)
terhadap kesukaan keempukan. Hasil uji lanjut (Lampiran 16) menunjukkan
bahwa pada sie reuboh kontrol, pemanasan ke-2 dan ke-4 ,asing-masing
berbeda nyata dengan dan pemanasan ke-6 memberikan perbedaan yang
52

nyata, yaitu kesukaan panelis terhadap keempukan sie reuboh semakin


meningkat dengan semakin berulangnya pemanasan.

a b

Rata-rata kesukaan keempukan


6 a
a 5.01 5.03 5.63
5 4.79

0
Kontrol 2 4 6
Pemanasan ke

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 17 Rata-rata kesukaan keempukan sie reuboh selama pemanasan

Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu


moderat (60-90°C) selama satu jam atau lebih. Denaturasi adalah perubahan
struktur protein dimana pada keadaan terdenaturasi penuh, hanya struktur primer
protein saja yang tersisa, protein tidak lagi memiliki struktur sekunder, tersier,
dan kuartener (Fennema 1996). Pada pemanasan ke-6 terhadap sie reuboh
mengakibatkan struktur jaringan mengalami kerusakan dan mengalami
pelunakan jaringan.
Pemanasan berulang pada daging akan membuat daging menjadi lebih
lunak daripada keadaan segarnya. Ketika daging dipanaskan atau dimasak
dengan pemanasan terdapat tiga hal yang mempengaruhi proses pelunakan
daging yaitu (1) lemak pada daging meleleh dan memberikan kontribusi terhadap
pelunakan daging, (2) jaringan penghubung kolagen menjadi terlarut di dalam
medium pemanasan, (3) serat-serat otot terpisah dan jaringan menjadi lebih
lunak (Soeparno 1998).

Keamanan Pangan Sie Reuboh


Keamanan pangan tradisional erat kaitannya dengan budaya praktek
higiene perorangan, keluarga dan masyarakat setempat, bahan mentah yang
digunakan, polusi lingkungan, serta kemajuan teknologi dalam pertanian dan
pengolahan pangan. Budaya praktek higiene perorangan sangat besar
peranannya dalam menentukan tingkat pencemaran mikroba dalam makanan
(Winarno 2004).
53

Makanan tradisional Indonesia, biasanya memerlukan persiapan dan


pemasakan yang relatif sangat lama. Bahkan beberapa jenis masakan terasa
lebih enak dan lezat bila sudah berumur beberapa hari (wayu), diantara
contohnya adalah gudeg, sayur lodeh, rendang, dan sambel goreng (Winarno
2004).
Teknologi modern telah maju dan pembuatan makanan yang aman
dikonsumsi telah diupayakan, namun foodborne disease masih tetap menjadi
masalah utama dalam kesehatan masyarakat. WHO mendefinisikan foodborne
disease atau keracunan makanan sebagai penyakit yang umumnya bersifat
infeksi atau racun yang disebabkan oleh agent yang masuk ke dalam tubuh
melalui makanan yang dicerna. Dari semua jenis keracunan makanan ternyata
lebih dari 90% disebabkan oleh kontaminasi mikroba, baik yang berasal dari air,
tanah, udara, peralatan, bahan, dan badan manusia (Winarno 2004).
Perlakuan sie reuboh selama pemanasan berakibat pada kerusakan
protein dan lemak. Penurunan mutu protein ditandai dengan semakin
menurunnya daya cerna protein selama pemanasan. Sedangkan kerusakan
lemak ditandai dengan angka asam lemak bebas, bilangan peroksida, dan
bilangan TBA yang semakin meningkat. Kandungan jumlah mikroba tetap berada
di bawah ambang batas yang telah ditetapkan oleh Dewan Standarisasi
Nasional.
Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Winarno (2004), bahwa keracunan
makanan lebih sering disebabkan oleh kontaminasi mikroba yang sudah di atas
ambang batas aman. Dengan demikian sie reuboh dapat digolongkan masih
aman untuk dikonsumsi selama penyimpanan 12 hari dengan pemanasan dua
hari sekali.
5,63

5,63
5,38
5,28

5,29

6
5,21

5,08
5,09
5,06

5,03
4,99

5,01
5,2

4,82

4,79
4,68

5
Rata-rata kesukaan

3
Kontrol
2
Pemanasan 2
1 Pemanasan 4
Pemanasan 6
0
Warna Aroma Rasa Keempukan
Kesukaan

Gambar 18 Rata-rata kesukaan secara keseluruhan selama pemanasan


54

Gambar 18 terlihat bahwa dari segi kesukaan terhadap warna, aroma,


rasa, dan keempukan, sie reuboh pada pemanasan ke-6 memiliki rata-rata
kesukaan aroma, rasa, dan keempukan yang lebih tinggi dari pemanasan yang
lain. Oleh karena itu, dari ketiga rata-rata tertinggi tersebut, dapat dinyatakan
bahwa sampai pemanasan ke-6 ternyata kesukaan terhadap aroma, rasa, dan
keempukan dapat dipertahankan dan masih dapat dikonsumsi dari segi
organoleptik (kesukaan).

Anda mungkin juga menyukai