Cerpen
Cerpen
B
ila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung
itu, tidak akan ada yang menyanggah bahwa perempuan
ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut
kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun,
lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin mengakar, pada
sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang
menambahkan kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia
ternobat sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan,
belum ada yang sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun.
Tapi, hanya ada satu Banun Kikir yang karena riwayat kekikirannya
begitu menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat pada Banun-
banun yang lain, sepatutnyalah ia menjadi lakon dalam cerita ini.
***
”Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya
Rimah suatu ketika. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing
perihal Banun Kikir tiada kunjung reda.
”Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut
sendiri,” gerutu Nami, anak kedua Banun.
”Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka
tuduhkan, kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-
umur akan jadi orang tani,” bentak Banun.
”Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian
paham bagaimana tabiat petani sejati.”
***
***
Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur
dengan daun kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih
menyandang julukan si Banun Kikir. ”Nasi tak terasa sebagai nasi bila
dimasak dengan elpiji,” kilah Banun saat menolak tawaran Rimah yang
hendak membelikannya kompor gas. Rimah sudah hidup
berkecukupan bersama suaminya yang bekerja sebagai guru di ibu
kota kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak Banun yang
lain. Sejak menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap
Jumat, Banun datang berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran.
”Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak
pernah ada,” sesal Rimah suatu hari.
”Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon
suami, padahal belum, bukan?”
”Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan
jodohmu!” sela Banun.
”Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”
**-**-**-**-**-**-**-**-**-**-**-**
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/