Anda di halaman 1dari 11

Klasifikasi Reaksi Adversi

A. Reaksi adversi yang terjadi pada orang normal.

1. Overdosis yaitu reaksi adversi yang secara langsung berhubungan dengan


pemberian dosis yang berlebihan. Contoh : depresi pemapasan karena obat
sedatif.
2. Efek samping yaitu efek farmakologis suatu obat yang tidak diinginkan tetapi
juga tak dapat dihindarkan yang terjadi pada dosis terapeutik. Misalnya efek
mengantuk pada pemakaian antihistamin.
3. Efek sekunder yaitu reaksi adversi yang secara tidak langsung berhubungan
dengan efek farmakologis primer suatu obat.
4. Contoh: penglepasan antigen atau endotoksin sesudah pemberian antibiotik
(reaksi Jarisch-Herxheimer)
5. Interaksi obat yaitu efek suatu obat yang mempengaruhi respons satu atau lebih
obat-obat lain misalnya induksi enzim suatu obat yang mempengaruhi
metabolisme obat lain.

B. Reaksi adversi pada orang-orang yang sensitif.

1. Intoleransi yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh efek farmakologis yang
meninggi. Misalnya gejala tinitus pada pemakaian aspirin dosis kecil.
2. Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak berhubungan dengan efek
farmakologis dan tidak juga disebabkan reaksi imunologis, misalnya primakuin
yang menyebabkan anemia hemolitik.
3. Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat tejadi pada pasien tertentu. Gejala yang
ditimbulkan adalah melalui mekanisme imunologis. Jadi reaksi alergi obat
merupakan sebagian dari reaksi adversi.
4. Pseudoalergi (reaksi anafilaktoid) yaitu tejadinya keadaan yang menyerupai reaksi
tipe I tanpa melalui ikatan antigen dengan IgE (lgE independenf). Beberapa obat
seperti opiat, vankomisin, polimiksin B. D tubokurarin dan zat kontras
(pemeriksaan radiologis) dapat menyebabkan sel mast melepaskan mediator
(seperti tipe I). Proses di atas tanpa melalui sensitisasi terlebih dahulu (non-
imunologis).

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau
menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (Tipe
I s/d IV). Untuk memudahkan pengertian patogenesis dan pengobatannya, dalam makalah
im digunakan klasifikasi Gell dan Coombs.

Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat)


Manifestasi klinis yang tejadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen
dengan IgE yang telah terbentuk yang menyebabkan kontraksi otot polos. meningkatnya
permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus.

• Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Kadang-kadang kejang bronkus. disertai


kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan ini bisa sangat gawat karena
pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas.
• Urtikaria.
• Angioedema.
• Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi beberapa menit setelah
suntikan seperti penisilin.

Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah
pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial
membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis. Penyebab yang tersering
adalah penisilin.

Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :

1. Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE.


2. Fase aktivasi, yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik.
Akibat aktivasi ini sel mast/basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk
granul yang dapat menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor, yaitu fase terjadinya respons imun yang kompleks akibat
penglepasan mediator.

Tipe II

Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi oleh karena terbentuknya IgM
/ IgG oleh paparan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki
reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat mengaktifkan komplemen melalui
reseptro komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia
hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat
juga merupakan reaksi alergi tipe ini.

Tipe III

Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini
mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan disini ialah IgM dan IgG. Kompleks
ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :


1. Urtikaria. angioedema, eritema. makulopapula, eritema multiforme, dan lain-Iaih.
Gejala tersebut sering disertai pruritus.
2. Demam.
3. Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi.
4. Limfadenopati.
5. Lain-Iain :

• kejang perut, mual


• neuritis optik
• glomerulonefritis
• sindrom lupus eritematosus sistemik
• gejala vaskulitis lain

Gejala tadi timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah
mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam waktu 1-5 hari.

Tipe lV

Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell
Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi.
Reaksi terjadi karena respons sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.

Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity) :

1. Cutaneous Basophil Hypersensitivity


2. Hipersensitivitas kontak (contact Dermatitis)
3. Reaksi tuberkulin
4. Reaksi granuloma

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,
sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini
yaitu nitrofurantoin, Nefritis interstisial, ensefalomielitis, dan hepatitis juga dapat
merupakan manifestasi reaksi alergi obat.

Namun demikian dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang-kadang


gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal
(sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18-24
jam setelah obat dioleskan.

Diagnosis

1. Anamnesis

Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling penting
untuk diagnosis alergi obat, karena cara-cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit
dan hasilnya juga belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala
yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena penyakit dasarnya.
Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu
macam obat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah :

1. Catat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, dan juga obat
yang sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat.
2. Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi.

1. Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala.
Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala alergi
obat baru timbul 7-10 hari setelah pemakaian pertama.

4. Cara lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya. Alergi obat
sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling, berulang-ulang, serta
dosis tinggi secara parenteral.
5. Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu.
6. Diagnosis alergi obat sangat mungkin. bila gejala menghilang setelah obat
dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama.
7. Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan
terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.

2. Uji kulit

Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin,
insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih diragukan nilainya.
Hal ini karena beberapa hal, antara lain :

1. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh
obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya, hasilnya
kurang dapat dipertanggung jawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui hasil
metabolismenya serta obat-obat yang mempunyai berat molekul besar (insulin,
ACTH, serum serta vaksin yang mengandung protein telur).
2. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein,
tiamin), sehingga uji positif yang tejadi adalah semu (false positive).
3. Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian
besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten,
oleh sebab itu sukar untuk menentukan antigennya.

Uji kulit yang disebutkan di atas adalah uji kulit yang lazim dipakai untuk reaksi alergi
tipe I (anafilaksis). Uji kulit untuk tujuan lain seperti untuk melihat reaksi lambat belum
diketahui sebagai prosedur yang berguna, demikian pula peran uji tempel (patch test)
untuk menilai reaksi alergi tipe I. Uji tempel bermanfaat hanya untuk obat-obat yang
diberikan secara topikal (tipe IV).
3. Pemeriksaan laboratorium

Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat tipe I terutama ditunjang dengan
pemeriksaan uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas pada beberapa macam obat.
Dikenal pemeriksaan RAST (Radio Allergo Sorbent test) yaitu pemeriksaan untuk
menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen. Tetapi untuk obat, jenis
antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi
seperti pada pasien yang mungkin timbul bila dilakukan uji kulit atau bila tidak dapat
dilakukan uji kulit (karena seluruh kulit rusak, minum antihistamin dan kulit tidak sensitif
lagi).

Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada anemia hemolitik dapat
ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan trombositopenia dengan
pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.

Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III.
Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan pemeriksaan
laboratorium untuk reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya pun sering tidak
memuaskan. Untuk jelasnya tipe reaksi, manifestasi klinik, uji laboratorium dan
pemakaian obat masa depan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Identifikasi dan penatalaksanaan reaksi alergi obat

Tipe reaksi Karakteristik klinik Uji laboratoirum Penggunaan obat


selanjutnya
Gell and Coombs Urtikaria, angioedema, Uji kulit, uji radio- Desensitisasi
mengi, hipotensi, alergosorben
Tipe 1 nausea, muntah, nyeri
abdomen, diare

Anemia hemolitik,
granulositopenia,
trombositopenia Darah perifer lengkap
Gell and Commbs (DPL) Indikasi kontra
Demam, urtikaria,
Tipe 2 arthralgia,
limfadenopati 2-21 hari
sesudah mulai terapi Kadar komplemen

Gell and Coombs Eritema, blister (kulit Indikasi kontra


melepuh)
Tipe 3
Ruam makulo popular
(dapat bergabung)
Uji tempel

Gell and Coombs Lesi sasaran tertentu Agaknya Indikasi


kontra
Tipe 4 Lesi sasaran, Mungkin uji tempel, uji
keterlibatan membran kulit intradermal (reaksi Pemakaian hati-hati
Morbilliform mukosa, deskuamasi lambat)
kulit
Tidak ada
Utikaria, mengi, Indikasi kontra
angioedema, hipotensi Tidak ada
Indikasi kontra
Eritema multiforme

Steven-Johnson/TEN

Tidak ada
Pencegahan dengan
Dermatitis, eksfoliativa, prednison dan
demam, limfadenopati antihistamin untuk
Anafilaktoid sensitivitas terhadap
radiokontras

Indikasi kontra

DPL, enzim hati,


kreatinin, urinalisis

HSS/DRESS

HS : Hypersensitivity Syndrome, DRESS : Drug Rash with Eosinophilia and Systemic


Symptom

Pengobatan

Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu
pasien memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi
bila tidak mungkin berikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil
kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang rumus
imunokimianya berlainan.

Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala yang
ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pengobatan kasus yang lebih berat
tergantung pada erupsi kulit yang tejadi dan derajat berat reaksi pada organ-organ lain.
Apapun penyebabnya pengobatannya lebih kurang sama.

Pada kelainan kulit yang berat seperti pada sindrom Steven Johnson, pasiennya harus
dirawat, karena selain harus mendapat kortikosteroid, yang lebih penting lagi adalah
pemasukan kalori dan cairan perlu dijaga. Perawatan kulit juga memerlukan waktu
berhari-hari sampai berminggu-minggu. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder
sehingga pasien perlu diberikan antibiotik.

Kelainan sistemik yang berat seperti anafilaksis, dibicarakan tersendiri pada bab
anafilaksis. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah
memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum,
kelainan darah, hati, nefritis interstisial, dan lain-Iain diperlukan kortikosteroid dosis
tinggi (60-100 mg prednison atau ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan selanjutnya
prednison tersebut diturunkan dosisnya secara bertahap selama satu sampai dua minggu.

Pencegahan

Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi alergi obat yaitu
memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Jangan hanya untuk menyenangkan
pasien atau kita sendiri. Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap 30
kematian karena penisilin, ternyata hanya 12 pasien yang mempunyai indikasi yang jelas.

Jika sudah tepat indikasinya. barulah ditanyakan secara teliti riwayat alergi obat di masa
lalu, terutama yang ada hubungannya dengan yang akan kita berikan. Sering pasien
menyebutkan alergi terhadap bermacam-macam obat yang sebenarnya kurang masuk
akal, tetapi untuk sementara hal ini harus kita terima saja. Selanjutnya kepada pasien
diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan. Masalah reaksi
silang di antara obat juga harus diperhatikan. Seperti penisilin dengan sefalosporin,
gentamisin dengan kanamisin atau streptomisin, sulfa dengan obat-obat golongan
sulfonilurea.

Pada pasien dengan riwayat alergi obat, atau dicurigai alergi obat sedangkan obat atau
tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau kalau ada
fasilitas dengan pemeriksaan laboratorium. Jika negatif, obat tadi boleh diberikan namun
tetap harus berhati-hati. Tetapi bila hasil uji positif dan obat memang harus diberikan,
dipertimbangkan cara pemberian obat secara desensitisasi. Sedangkan bagi obat-obat
yang uji kulit tidak bermakna dilakukan pemberian obat secara provokasi dan bila
reaksinya positif kembali kita melakukan prosedur desensitisasi (Gambar 1 ).
Baik prosedur uji provokasi maupun desensitisasi selalu mengandung risiko yang
kadang-kadang dapat menimbulkan kematian. Karena itu diperlukan beberapa syarat
untuk melakukannya.

1. Indikasi kuat dan tak ada obat atau alternatif lain.


2. Pasien dan keluarganya diberitahu perihal tujuan tindakan ini, serta untung
ruginya.
3. Dilakukan di rumah sakit yang mempunyai obat dan peralatan untuk
menanggulangi keadaan darurat.
4. Dilakukan oleh dokter yang berpengalaman.
5. Umumnya rute pemberian obat pada desensitisasi atau provokasi sesuai dengan
rute pemberian yang akan diberikan.
6. Pada desensitisasi pasien dipasang infus, yang sewaktu-waktu bisa dipergunakan
bila terjadi keadaan darurat.
7. Uji kulit dilakukan segera sebelum pemberian obat. Jangan menunggu berhari-
hari kemudian obat baru diberikan, karena uji kulit sendiri menimbulkan
sensitisasi.

Prinsip uji provokasi atau desensitisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang sangat
kecil, kemudian dinaikkan perlahan-Iahan sampai dosis terapeutik tercapai. Meskipun uji
provokasi menyerupai desensitisasi, tetapi sebenarnya pada uji provokasi tidak selalu
tejadi desensitisasi karena sensitisasinya sendiri belum bisa dibuktikan. Prosedur
desensitisasi hanya memberi pasien keadaan bebas sensitisasi sementara, karena bila
suatu hari diperlukan pemakaian obat yang sama, prosedur tersebut harus diulangi
kembali. Perlu ditambahkan bahwa kedua prosedur tadi hanya untuk mencegah terjadinya
reaksi anafilaktik.

Di bawah ini diberikan contoh uji provokasi dengan anestesi lokal (TabeI 2).

Tabel 2. Uji provokasi dengan anesujii lokal

(dikulip dari J Allergy Cllin Immunol1978; 61:339)

Urutan Rute Dosis

No.
1. uji tusuk 1 : 100 (pengenceran)

2. uji tusuk tidak diencerkan

3. intrakutan 0,02 mL larutan 1 : 100

4. intrakutan 0,02 mL tidak diencerkan

5. subkutan 0, 1 mL tidak diencerkan


6. subkutan 1 mL tidak diencerkan

Catatan :

-Larutan obat tidak mengandung epinefrin

-Urutan no: 1 dan 3 boleh dilewatkan bila riwayat penyakit tak jelas.

Riwayat alergi obat

Struktur dan aktifitas obat


Sifat-sifat kimia fisika merupakan dasar untuk menjelaskan aktifitas biologis obat karena:
1.Sifat kimia fisika memegang peranan penting dalam pengagngkutan obat untuk
mencapai reseptor. Sebelum mencapai reseptor, molekul-molekul obat harus melalui
bermacam-macam membran, berinteraksi dengan senyawa-senyawa dalam cairan luar
dan dalam sel serta biopolimer. Disini sifat kimia dan fisika berperan dalam proses
penyerapan dan distribusi obat sehingga kadar obat pada waktu tertentu mencapai
reseptor dalam jumlah yang cukup besar.
2.Hanya obat yang mempunyai struktur dengan kekhasan yang tinggi saja yang dapat
berinteraksi dengan reseptor biologis, sifat kimia fisika harus menunjang orientasi khas
molekul pada permukaan reseptor.

Jenis-jenis kerja obat adalah sebagai berikut:


1.Obat berstruktur non spesifik
Obat berstruktur nonspesifik , obat yang bekerja secara langsung tidak tergantung
struktur kimia. Mempunyai struktur kimia bervariasi, tidak berinteraksi dengan struktur
kimia spesifik. Aktifitas
Biologis dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia fisika seperti: adsorpsi, kelarutan, aktifitas
termodinamika, tegangan permukaan, potensi oksidasi reduksi, mempengaruhi
permeabilitas, depolarisasi membran, koagulasi protein, dan pembentukan kompleks.
Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah :
•Anastetika umum
•Hipnotika tertentu
•Bakterisida tertentu
•Antiseptik
•Anti jamur

Ciri-ciri obat yang berstruktur nonspesifik adalah :


•Obat tidak bereaksi dengan reseptor spesifik
•Kerja biologisnya berlangsung dengan aktifitas termodinamika
•Bekerja dengan dosis yang relatif besar
•Menimbulkan efek yang mirip walaupun strukturnya berbeda
•Kerjanya hampir tidak berubah pada modifikasi struktur

2.Obat berstruktur spesifik


Yaitu obat-obat yang memberikan aktifitas biologis akibat adanya ikatan obat dengan
reseptor atau akseptor spesifik. Aktivitas biologisnya dihasilkan dari struktur kimia yang
mengadaptasikandirinya ke dalam struktur reseptor dalam bentuk tiga dimensi dalam
organisme dan membentuk kompleks.

Karakteristik obat berstruktur spesifik


•Efektif pada kadar rendah
•Modifikasi sedikit dalam struktur kimianya akan menghasilkan perubahan dalam
aktifitas biologisnya
•Melibatkan kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal
•Pada keadaan kesetimbangan, aktivitas biologisnya maksimal
•Melibatkan ikatan-ikatan kimia yang lebih kuat dibandingkan pada senyawa yang
berstruktur nonspesifik.
Mekanisme obat yang mungkin terjadi
•Bekerja terhadap enzim antagonis dengan cara pengaktifan, penghambatan, atau
pengaktifan kembali enzim-enzim tubuh.
•Penularan fungsi gen yang bekerja pada membran, yaitu dengan mengubah membran sel
dan mempengaruhi sistem transport membran.

Faktor-faktor yang mempengaruhi aktifitas biologis


•Sifat kimia fisika
•Koefisien partisi
Koefisien partisi adalah kelarutan relatif zat antara dua fase yang saling tidak tercampur.
•Derajat ionisasi

EFEK FARMAKOLOGI GUGUS SPESIFIK


Modifikasi dalam molekul suatu senyawa induk adalah salah satu cara untuk
mendapatkan obat baru, variasi dalam struktur akan mengubah aktivitas biologis yang
ditentukan oleh sifat :
•Fisika
•Distribusi ke sel dan jaringan
•Penembusan ke enzim dan reseptor
•Cara bereaksi ke target
•Eksresi

MODIFIKASI LAMANYA AKSI OBAT


Yaitu aksi yang diperpanjang atau diperpendek, biasanya diinginkan agar obat
mempunyai kerja yang diperpanjang, contoh :antibiotik sering diperlukan untuk
memperoleh konsentrasi yang tinggi dan harus dipertahankan dalam darah. Ada beberapa
cara yang digunakan untuk memperpanjang aksi obat:
•Esterifikasi: terutama untuk steroid seperti androgen, estrogen, progesteron, dan juga
antibiotik tertentu, sperti eritromisin, oleondromisin.
•Pembentukan kompleks, seperti: vit B-12, amfetamin tannat
•Pembentukan garam, contoh: garam penisilin seperti prokain penisilin
•Pengubahan senyawa-senyawa yang tidak jenuh menjadi jenuh, contoh prednison
menjadi prednisolon.
Jika ingin memperpendek lama kerja obat dapat dengan mengganti gugus kimia yang
stabil dengan yang labil, contoh: substitusi ion cl dari Cl-profamid dengan gugus metil
menjadi tolbutamid, karena gugus metil labil maka gugus ini segera teroksidasi menjadi
karboksilat yang memberikan suatu produk inaktif, waktu paruh tolbutamid hanya 5,7
jam sedangkan klorporamid 33 jam.

Berdasarkan sumbernya dewasa ini obat digolongkan menjadi 3 diantaranya adalah :


1.Obat alamiah
Obat alamiah adalah obat yang terdapat di alam, contohnya pada tanaman, kuinon dan
atropin, pada hewan contohnya minyak ikan dan hormon, serta mineral contohnya adalah
belerang, Kbr
2.Obat semisintetik
Obat semisintetik adalah obat hasil sintesis yang bahan dasarnya berasal dari obat bahan
alam, contoh morfin menjadi kodein dan diosgenin menjadi progesteron.
3.Obat sintetik murni
Obat sintetik murni adalah obat yang bahan dasarnya tidak berkhasiat, setelah disintesis
akan didapatkan senyawa dengan khasiat farmakologis tertentu. Contoh : obat-obatan
golongan analgetik-antipiretik, antihistamin dan diuretik.

Tiga fasa yang menentukan terjadinya aktifitas obat diantaranya adalah :


1.Fasa farmasetis
Fasa farmasetis meliputi proses pabrikasi, pengaturan dosis dan proses formulasi, bentuk
sediaan, pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya zat aktif. Fasa ini berperan dalam
ketersediaan obat untuk diserap oleh tubuh.
2.Fasa farmakokinetik
Fasa farmakokinetik meliputi proses penyerapan obat (Absorpsi), distribusi obat,
metabolisme obat, dan Eksresi obat (ADME). Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat
untuk mencapai sasaran atau reseptor sehingga dapat menimbulkan respons biologis.
3.Fasa farmakodinamik
Fasa farmakodinamik merupakan fasa terjadinya interaksi antara obat dengan reseptor
dalam jaringan sasaran. Fasa ini berperan dalam timbulnya respons biologis

Anda mungkin juga menyukai