Potret buram dunia pendidikan Indonesia turut menjadikan buram pula sistem
kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan kita. Sebaliknya fenomena kebangsaan,
kenegaraan dan kemasyarakatan Indonesia yang ‘sakit’ menjadikan sistem pendidikan
Indonesia selalu buram dan menjadi obyek penderita bersama sub-sub sistem
kemasyarakatan yang lain. Pada semua bidang yang saling terkait seolah telah
menjadi semacam ‘lingkaran setan’ yang tak berujung. Kita telah tersesat jalan dalam
rimba belantara globalisasi yang gemerlap dan ‘terang benderang’ yang dipenuhi
aura kemajuan Iptek, informasi, komunikasi dan peradaban material tanpa pondasi
peradaban mental spiritual serta sosial budaya yang kokoh.
Salah satu ciri penting dari perjalanan sejarah panjang (kerajaan Nusantara) Indonesia
adalah instabilitas politik. Latar belakang sejarah ini tampaknya yang
melatarbelakangi terumuskannya cita-cita nasional para pendiri republik sebagai
tertuang dalam pembukaan UUD 1945 untuk membangun negara kebangsaan yang
stabil, demokratis, berkeadilan, berketuhanan, maju, makmur dan sejahtera. Suatu
tatanan negara modern yang belum pernah ada dalam sejarah Indonesia dan bahkan
belum ada contohnya di dunia.
Bangunan negara kebangsaan yang modern ini lahir di tengah dunia yang dalam
berbagai bidang kehidupan modern telah mantap, baik dalam bidang ‘ekonomi, ilmu
pengetahuan maupun teknologi’, tiga dimensi kehidupan modern yang menguasai tata
hubungan Internasional sejak akhir abad ke 19. Tampaknya para pendiri Republik
sadar bahwa ketertinggalan masyarakat bangsa Indonesia, pada saat proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, hanya dapat diatasi melalui proses transformasi
budaya, yaitu dari budaya feodal ke budaya demokratis, budaya tradisional ke budaya
modern, dari budaya masyarakat terjajah menuju budaya masyarakat negara merdeka,
dari budaya nepotism ke budaya meritokrasi.
Namun, 65 tahun setelah Indonesia merdeka kita menyaksikan betapa masih jauhnya
cita-cita membangun bangsa yang cerdas dan sistem budaya yang maju dengan
realitas negara, bangsa dan masyarakat kita. Pendidikan nasional belum dapat
melaksanakan tugas konstitusionalnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan
memajukan kebudayaan nasional.
Era Globalisasi
Era globalisasi telah menyeret negara-negara bangsa di dunia masuk ke dalam global
village yang mau tak mau membuat setiap bangsa harus ikut tenggelam dan
menyelam di dalamnya. Siapa yang lengah bakal terlindas, siapa yang cerdik bakal
berjaya dan eksis.
Tekanan arus kekuatan ‘kapitalis global’ telah menjadi hambatan sekaligus tantangan
tambahan yang tak kalah hebatnya dengan beban sikap mental dan budaya feodal
paternalistik pada kebanyakan anak bangsa Hindia Belanda ini. Koencaraningrat
berdasarkan kerangka analisa sistem nilai budaya dari Clyde Kluckhonh merinci sikap
mental bangsa Indonesia yang tidak ‘cerdas’ dan tidak sesuai dengan masyarakat yang
berkebudayaan nasional unggul sebagai : tidak percaya diri, tidak berdisiplin murni,
tidak bertanggung jawab, bermental menerabas (instant) dan meremehkan mutu.
(Koencaraningrat, 1985)
Keterpurukan Indonesia akibat terjangan krisis multi dimensi saat ini justru
menunjukkan betapa carut marutnya sistem berbangsa, bernegara dan bermasyarakat
Indonesia. Pancasila sebagai ultimate goal, falsafah adi luhung , ideologi dan way of
life kebangsaan Indonesia, seakan hanyalah menjadi slogan tak bermakna. Sementara
berbagai elemen bangsa sibuk dengan ego dan spirit komunalisme kelompoknya
masing-masing tanpa berefleksi, berkesadaran dan progresif aktif membangun
kerangka dan rumusan bonum commune bagi kebahagiaan dan kesejahteraan bersama
sebagai suatu bangsa.
Inilah tantangan besar yang mesti direspon para pejuang kemanusiaan, pendekar
kebangsaan sosial Indonesia, kaum pendidik, guru-guru ‘bangsa’, pahlawan tanpa
tanda jasa yang otentik. Seperti para perintis republik dengan dukungan aura setting
politik pendidikan Etis di akhir abad 19 yang melahirkan generasi pergerakan
nasional awal yang membebaskan, tugas sejarah mereka kini adalah mencetak
generasi pelopor yang diharapkan dapat berperan menyelamatkan peradaban republik
‘zamrud katulistiwa’ Indonesia. Di tangan pendidikan dengan kaum pendidik di
garda depan lah nasib kapal RI dan penumpang masyarakat warganya dapat
diselamatkan.
Pendidikan Internasional
Pekerjaan maha berat para guru-guru ‘bangsa’ untuk melahirkan jatidiri bangsa yang
cerdas, berkebudayaan nasional yang unggul dan generasi yang berkualitas warga
negara internasional jauh-jauh hari telah dinubuatkan secara universal oleh Bapak
Pendidikan Nasional Indonesia, Kihajar Dewantara. Filosofi pendidikan Kihajar, di
depan sebagai suri tauladan dengan keluhuran budi pekerti/akhlak/etika-moral(ing
ngarso sung tulodo), di tengah membangun motivasi dan kekuatan ‘keagungan’
kehendak kepada pencapaian konstruksi bangunan keunggulan kompetitif (ing
madyo mbangun karso) dan di belakang mensupport/ me’rahmati’/memfasilitasi
dukungan setting-ruang bagi pemberdayaan, berkembangnya inovasi, kreativitas dan
kemandiriran (tutwuri handayani) masih sangat relevan untuk pendidikan Indonesia
kini dan masa depan.
Kitalah yang tak pernah menggalinya untuk meramu menjadi rumusan adonan
pendidikan yang mencerdaskan dan mampu berperan dalam proses transformasi
budaya kepada kebudayaan nasional yang unggul. Bahkan kita telah melupakan
permata berharga pendidikan ini dan justru merekayasa sistem pendidikan artifisial
yang cenderung ‘feodalistik-monolitik’ yang bukan memanusiakan manusia tapi
malah menghancurkan keunggulan modalitas sendi-sendi peradaban bangsa-bangsa
nusantara yang telah eksis sejak dahulu.
Dengan Learning to know insan pendidikan, baik pendidik maupun anak didik
dituntut untuk dapat terus menerus mengembangkan kualitas daya fikirnya. Termasuk
di dalamnya kemampuan berfikir rasional sehingga kemampuan nalarnya berkembang
dan tidak hanya menjadi ‘ABS’ (Asal Bos Senang) yang pasif. Hasilnya akan
melahirkan manusia yang mandiri, gemar membaca, selalu belajar, berfikir rasional
tidak semata-mata emosional , menjadi pribadi yang kritis dan selalu ingin tahu segala
sesuatu (curious). Curiousity (keingintahuan) sangat penting dalam hidup, hal itu
merupakan dasar bagi kemampuan berfikir yang baik yang akan menjadikan
seseorang menjadi pelajar seumur hidup.
Learning to be, belajar untuk menjadi (diri sendiri) merupakan tujuan paripurna dari
keseluruhan proses pendidikan, hidup dan kehidupan. Dalam bahasa hikmah
dikatakan, ‘barangsiapa mengenal dirinya maka sungguh-sungguh dia telah mengenal
Tuhannya’. Dengan mengenal jati dirinya seseorang menjadi hidup dengan kesadaran
yang penuh tentang unsur-unsur, dimensi-dimensi, potensi-potensi, kelebihan,
kekurangan, hak, kewajiban yang ada dalam dirinya. Dengan mengenal dirinya orang
memahami akan peran kemanusiaan yang mesti dijalankan dan dimainkannya dalam
hidup dan kehidupan. Dengan mengenal jatidirinya orang tahu dari mana dia ‘datang’
dan kemana dia akan kembali ‘pulang’.
Sebagai makhluk sosial yang berbudaya kita tidak bisa eksis dan hidup hidup sendiri
baik sebagai pribadi, kelompok maupun bangsa di tingkat percaturan dunia. Kita
mestilah Learning to live together (belajar untuk hidup bersama) dan masuk ke
dalam sistem global di era kesejagatan ini. Kita bisa mengambil pelajaran dari betapa
banyaknya kehancuran berbagai sistem dan peradaban akibat tidak mengindahkan
filosofi ‘hidup bersama’ ini. Dengan demikian kita dapat berkembang ‘bersama’
dalam harmoni (Mahatma Gandhi) dan membangun kehidupan bersama yang
harmonis dalam perbedaan.