Suatu kehormatan yang besar bagi kami memperoleh kesempatan menyampaikan Pidato
Kebudayaan “Negara Versus Korupsi: MencariIndonesia dalam Agama dan
Kebudayaan” di Taman Ismail Marzuki. Terlebih lagi, kesempatan ini diberikan di dalam
sepertiga akhir bulan mulia Ramadhan 1425 H.
Saat dimana kita kian mendekatkan diri kepada-Nya sembari berkaca diri terhadap
pencapaian moral spiritual individual dan kesalehan sosial kita. Untuk kehormatan yang
membahagiakan ini kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada Dewan Kesenian Jakarta, yang telah memelihara suatu tradisi positif
untuk menciptakan kedekatan hubungan rakyat dengan rakyat dan rakyat dengan
pemimpin.
Usaha ini perlu dipelihara dan didorong terus, mengingat makin berjaraknya hubungan
keduanya. Dus, karena berjaraknya hubungan ini, isu-isu dan agenda bangsa menjadi
elitis kian menjauh dari kepentingan kalangan akar rumput. Tradisi tatap muka ini, sangat
mungkin menghadirkan kehangatan bersosialisasi, sekaligus memberi kesempatan para
pemimpin untuk belajar langsung dari kebersahajaan rakyatnya.
Para hadirin dan hadirat yang terhormat, para budayawan, para seniman, para aktivis,
para cendekiawan, para mahasiswa dan kawan-kawan tercinta,
Dalam kesempatan yang terhormat dan penuh kebahagian ini, sungguh tepat bila kita
merenungkan sejenak perjalanan reformasi yang mengamanatkan demokratisasi ,
pemberantasan korupsi, perbaikan ekonomi dan jaminan keamanan. Perihal proses
demokratisi, kita bersyukur kepada Allah SWT, karena rakyat telah berhasil
melaksanakan pemilu legislatif, DPD dan pemilihan presiden langsung ; suatu tradisi
berdemokrasi yang begitu penting dan akan menentukan nasib bangsa dan negara kita.
Harus diakui secara jujur, perjalanan nasib bangsa dan negara kita telah mengalami
berbagai musim pancaroba dan gelombang pasang surut yang melahirkan harapan
sekaligus kecemasan. Kecemasan yang mendalam selama sewindu krisis multidimensi ini
bahkan berimbas pada krisis identitas bangsa. Taufiq Ismail (2003) secara sinis memotret
kondisi ini dalam, “Tak Tahu Aku Apa Jati Diriku Kini”:
Kita hampir paripurna jadi bangsa porak poranda,
Senada dengan gambaran di atas, dalam bahasa lain yang futuristik, pujangga
Ronggowarsito (1802-1873) menulis “Serat Kalatidha” memprediksi munculnya “jaman
edan”, suatu masa krisis sebuah bangsa. Secara bijak, pujangga ini menasihati kita agar
tetap “eling” dan “waspada”.
Kita menaruh harapan besar pada upaya pemberantasan korupsi sebagaimana telah
dijanjikan oleh presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono yang kini bekerja keras
dengan kabinetIndonesia Bersatu. Selain keberadaan berbagai perundangan untuk
penyelenggaraan tata pemerintahan yang bebas KKN, rencana program 100 hari dengan
terapi kejut seperti me”Nusakambang”kan para koruptor patut kita apresiasi dan tunggu
pengejawantahannya. Larangan yang diserukan Komite Pemberantasan Korupsi supaya
pejabat tidak menerima parsel juga merupakan angin segar pertanda mulai muncul
gerakan mengurangi masuknya pintu-pintu budaya KKN.
Jauh sebelum hingar bingar Pemilu, ormas tertua di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah bersama-sama telah mengikat janji untuk bahu membahu
memerangi budaya korupsi. Kita juga bersyukur dengan maraknya jaringan lembaga-
lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non pemerintah sejak beberapa tahun silam
membentuk koalisi anti korupsi di setiap kabupaten dan provinsi melalui Gerakan Rakyat
Anti Korupsi (GeRAK).
Meskipun perlu terus mengkritisi efektivitas gerakan populis tersebut, kita berharap
ormas-ormas lain untuk terlibat aktif dan kreatif menyambut semangat perang
memberantas korupsi. Secara moral, lembaga dan ormas keagamaan memiliki otoritas
menyerukan kepada institusi maupun individu anggotanya untuk menolak keras setiap
sumbangan haram yang terindikasikan korupsi. Seruan atau slogan-slogan pemberantasan
budaya korupsi seyogianya selalu dikelola secara cerdas dan berkesinambungan,
mengimbangi kampanye konsumtivisme, hedonisme dan materialisme yang setiap hari
gencar mengepung pemirsa lewat berbagai media massa.
Terdapat ungkapan ‘the fish rots from the head’, ikan membusuk dari kepala. Dalam
kalimat lain dinyatakan, ‘Bayangan selalu mengikuti sang badan’. Intinya adalah budaya
paternalistik kita masih kuat. Rakyat cenderung melihat contoh dari apa yang dilakukan
pemimpinnya. Karenanya, budaya paternalistik ini seyogianya mampu kita kelola untuk
merekonstruksi perubahan mental pada elitnya. Jika para elit pimpinan bangsa
menghendaki perubahan, perubahan itu pun harus dimulai dari pucuk pimpinan. Mustahil
mengharapkan muncul perubahan budaya melawan korupsi, apabila elit pemimpin justru
merasa nyaman dengan praktik tersebut. Mustahil mengharap negara berani
membersihkan koruptor jika pemimpin kita membiarkan inefisiensi birokrasi tetap
terjadi.
Pada dasarnya, semua agama mengajarkan idealisme yang baik bagi penganutnya.
Idealisme seperti bersahaja, bersih dan peduli jika dikerjakan dari yang kecil-kecil oleh
pemimpin-pemimpin besar kita, maka merupakan bagian dari pengobatan penyakit sosial
seperti korupsi.
Pemimpin yang peduli tidak akan membiarkan kemungkaran terjadi di depan mata
mereka. Mereka tidak saja menjaga fisik dan lingkungan sosial yang bersih, namun lebih
dari itu kebersihan moral dan nurani akan selalu dipelihara. Mereka merasa
kepemimpinan adalah amanah yang harus dijunjung tinggi, namun tetap dengan sikap
bersahaja terhadap rakyat yang dipimpinnya. Mereka yang bersahaja akan jauh dari sikap
tamak yang selalu menginginkan kelebihan materialisme dan hedonisme, -sumber godaan
melakukan korupsi-.
Kebesaran seorang tokoh pemimpin yang bersahaja, bersih dan peduli tidak datang secara
sekejap dan tiba-tiba. Ia terlahir dari proses transformasi nilai yang lama ditempa sejak
dini dalam lingkungan keluarga. Transformasi nilai tidak datang mendadak dalam kuliah-
kuliah di perguruan tinggi atau lembaga-lembaga pendidikan formal. Kepuasan kita
selama ini hanya pada verbalisme (Nurcholish Madjid, 2004) Yaitu perasaan telah
berbuat sesuatu karena karena telah mengucapkannya sehari-hari. Seolah-olah kalau kita
bicara kitab suci, sabda Tuhan, sabda Allah, dan suri tauldan para Rasul, para nabi, para
aulia itu semuanya sudah selesai (Mohamad Sobary, 2004). Kebersahajaan, kebersihan
dan kepedulian tidak akan terwujud hanya karena dikatakan dan dibicarakan setiap hari –
betapapun kita sering dan rajinnya melakukan –melainkan harus dengan tindakan
keteladanan yang berani, teguh dan istiqamah. “Mengapa kamu semua mengatakan
sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya?! Sungguh besar dosanya di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya”
Kalau kita tengok sejarah, transformasi nilai yang dialami tokoh-tokoh pemimpin
berawal dari didikan sejak kecil pada keluarga mereka. Di rumah tangga, patut diadakan
dialog-dialog tata nilai atau ajaran yang meskipun normatif, tidak melulu diajarkan secara
normatif. Diperlukan pendekatan secara dialektis dalam keluarga sehingga terlatih jika
ada bandingan-bandingan. Ketika orang bicara bersih dan bersahaja, maka bersih dan
bersahaja tidak bisa dijejalkan kepada anak sebagai sesuatu yang jadi. Ketika masih
kanak-kanak kita tentu hapal bahwa kebersihan sebagian dari iman, namun bagaimana
kebersihan sebagian dari iman itu supaya tidak tinggal kata-kata.
Secara singkat dapat disimpulkan, kita menginginkan pemimpin bersahaja, bersih dan
perduli bukan karena kebetulan bersahaja, bersih dan perduli. Namun karena bersahaja
yang betul, tidak karena kebetulan. Bersih dan perduli pun yang betul, bukan karena
kebetulan. “Tugas kebudayaan bangsa kita mengubah, mentransformasi segala hal
apakah itu wisdom, apakah itu nilai-nilai dan semua perangkat ajaran dari tataran
normatif menjadi tataran yang menyejarah, membuat orang-orang jujur itu jujur
menyejarah.” (M. Sobary, 2004) .Barangkali inilah saatnya tatkala elit pemimpin kita
justru perlu belajar dari kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian dari rakyatnya.
Keteladanan yang berani, teguh dan istiqamah termasuk nilai budaya yang kita ingin
transformasikan sehingga menjadi gerakan nyata baik di tingkat elit pemimpin atau
rakyat. Keteladan yang berani dapat muncul oleh karena kesadaran ketuhanan yang
merata. Menurut Moh. Iqbal:
“The sign of a kafir is that he is lost in horizon, while the sign of a mukmin is that the
horizon lost in him”
Para hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Sesuai dengan pasal 32 UUD 1945 yang telah diamendemen, salah satu tugas
kebudayaan kita juga adalah mendorong pluralisme budaya. Negara memajukan
kebudayaan nasional dengan tetap menjamin kemerdekaan masyarakat dalam
melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaanya. Selanjutnya, negara
menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Kemajemukan budaya ini harus kita terus dorong tanpa perlu terjebak pada etnosentrime
sempit sehingga warisan adi luhung nenek moyang kita tetap eksis di tengah-tengah
pertempuran global elemen budaya asing.
Salah satu warisan adi luhung yang cukup relevan kita pelihara adalah wasiat
Ronggowarsito. Di tengah zaman “edan”, ketika budaya korupsi sudah mewabah
demikian dahsyat, nasihat untuk“eling” dan “waspodo” dapat dikontekstualisasi dengan
apa yang menjadi nilai-nilai kebangsaan di dalam UUD 1945.
Kita diharapkan ‘eling’ bahwa bangsa ini memiliki potensi untuk bangkit dan bersaing
dengan budaya bangsa lain (global). Kita menyadari , ‘eling’ sepenuhnya bahwa dengan
kesederhanaan ketika masa perjuangan mampu menghantarkan bangsa ini merdeka dari
penjajah.
“Waspodo” dapat dimaknai agar kita menghadirkan kesadaran penuh tentang jati diri
bangsa yang tidak ingin tereduksi justru karena budaya korupsi. Secara sederhana,
budaya ‘waspodo’ telah ditunjukkan oleh rakyat kita dalam Pemilu 2004 silam. Budaya
‘money politics’ sudah berkurang tidak seperti dikhawatirkan banyak pihak.
Wallahua’lam bishowaab,
Wabillahitaufik wal hidaayah,
Wassalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.