Anda di halaman 1dari 12

SEX AND GENDER

“Keperawanan” Laki-laki

PRODI ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

2010
Hasil Survei Pada Hari Aids Sedunia

Setiap tanggal 1 Desember diperingati sebagai Hari Aids sedunia. Di


Indonesia sendiri, setiap peringatan Hari Aids selalu dibarengi lembaga survei
yang beramai-ramai melakukan survei mengenai keperewanan remaja perempuan.
Tahun inipun tak lepas dengan adanya survei tersebut yang dilakukan di beberapa
kota besar di Indonesia yang menunjukkan data bahwa 51% remaja Jabodetabek,
51% remaja Surabaya, 52% remaja Medan, 37% remaja Jogja , dan 47% remaja
Bandung telah melakukan hubungan seks pra nikah. Survei tersebut dilakukan
terhadap remaja perempuan yang ada di kota-kota tersebut sehingga data tersebut
kemudian dijadikan acuan kuantitas ketidakperawanan perempuan di Indonesia.

Dari adanya hasil survei itu, banyak orang berpendapat bahwa semakin
rendahnya martabat bangsa Indonesia juga disebabkan salah satunya oleh
rendahnya martabat perempuan. Oleh karena mereka tidak mampu menjaga
kesucian mereka yang sangat “diwanti-wanti” oleh orang tua khususnya ibu
mereka. Dari hal itulah dapat ditafsirkan bahwa terdapat tuntutan lebih terhadap
seorang perempuan semenjak ia lahir dibandingkan seorang pria.

Arti Penting Konsep

Dalam tulisan ini akan diangkat suatu topik sex dan gender dengan
memfokuskan pada keperjakaan seorang laki-laki yang dalam hal tulisan diambil
judul keperawanan laki-laki. Keperjakaan laki-laki hampir tidak pernah
dipermasalahkan sementara disisi lain kaum perempuan terlihat terbebani dengan
kesucian mereka atau status keperawanan yang ia sandang. Bahkan hal ini
semakin menambah daftar panjang ketidaksetaraan gender yang mungkin belum
pernah kita sadari sebelumnya. Serta akan dibahas salah satu penyelesaian
masalah ketidaksetaraan gender ini dengan konsep interaksionisme simbolik,
digunakannya perspektif ini tidak terlepas dari pemaknaan mengenai maskulinitas
dan feminitas seseorang oleh masyarakat.

Berbicara mengenai ketidaksetaraan gender, ada baiknya jika kita


memikirkan apa yang membedakan perempuan dengan laki-laki? Kita memahami
gender yang kontradiksi dengan jenis kelamin, dimana jenis kelamin lebih
mengarah kepada ciri biologis seseorang yang membedakan laki-laki dengan
perempuan. Penekanannya pada organ-organ reproduksi, serta tampilan fisik
individu tersebut. Sementara gender merupakan suatu ciri sosial, itu berarti bahwa
perilaku dan sikap individu yang dianggap pantas bagi kaum laki-laki atau
perempuan oleh suatu kelompok atau masyarakat yang merupakan bagian dari
gender itu sendiri.

Dengan konsep seperti itu, akibatnya adalah konsep gender berbeda antara
satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Dari sisi sosiologinya sendiri
makna gender yakni sebuah perangkat yang masyarakat gunakan untuk
mengendalikan para anggotanya. Jelaslah bahwa gender memberi sekaligus
menutup peluang bagi setiap individu untuk mendapatkan kekuasaan,
kepemilikan, bahkan prestise.

Keperawanan itu “Mahkota” yang Penuh Konsekuensi

Menganalisa permasalahan mengenai “keperawanan” laki-laki dengan


teori mengenai gender, bahwa unsur kebiasaan dan budaya kita tidak dapat
dilepaskan dari salah satu permasalahan ketidaksetaraan gender. Kita tahu bahwa
dari jaman nenek moyang kita, orientasi keperawanan seorang perempuan selalu
dianggap “mahkota” sehingga keperawanan merupakan sesuatu yang
terimplementasi sama mahalnya dengan sebuah mahkota.

Dengan stereotip seperti itu para perempuan dihadapkan suatu realita


bahkan dua permasalahan sekaligus yakni bahwa mereka bisa saja bangga dengan
“mahkota” mereka itu. Sementara disisi lain mereka secara tidak langsung
dihadapkan dengan suatu tanggung jawab besar untuk menjaga “mahkota” mereka
agar tidak hilang sebelum mereka “siap” untuk menghilangkannya. Patokan
keperawanan seorang wanita inipun lebih jelas dibanding dengan seorang laki-laki
yakni dengan adanya selaput vagina pada alat kelamin perempuan.

Ada beberapa kemungkinan yang bisa menyebabkan keperawanan seorang


wanita hilang sekaligus dengan sobeknya selaput vagina itu yakni bahwa wanita
itu telah melakukan hubungan seks pra nikah/ nikah serta bahwa perempuan itu
berprofesi sebagai seorang atlit yang menuntut dirinya untuk bergerak aktif.
Melihat survei keperawanan remaja perempuan di Indonesia yang menunjukkan
bahwa sebagian besar remaja perempuan sudah tidak perawan lagi salah satunya
disebabkan dari lemahnya kontrol pemerintah serta pendidikan dalam
mengedukasi mereka mengenai seksualitas yang seharusnya ditanamkan sejak
usia dini dan sebaiknya masyarakat menganggap hal itu bukan sesuatu yang tabu
lagi, akibatnya adalah mereka melakukan hubungan seks bebas diluar nikah

Dilihat dari aspek psikologisnya, dengan adanya “wanti-wanti” untuk


menjaga keperawanan itu, seorang perempuan dari kecil sudah dibiasakan oleh
orang tuanya untuk bertingkah laku sefeminim mungkin serta diwajibkan untuk
menjaga pergaulannya. Dan dari sisi sosiologisnya yakni penegendalian yang
dilakukan masyarakat terhadap anggotanya untuk bertindak sebagaimana
mestinya sesuai dengan kebiasaan mereka. Sementara itu dari pihak laki-laki
sendiri sejak dini mereka seakan-akan sudah dibiarkan “bebas” oleh orang tua dan
orang-orang disekitarnya untuk berperilaku selayaknya tingkah laku seorang laki-
laki yang menurut mereka itu “maskulin”. Bahkan laki-laki menjadi luput dari
“tuntutan” orang tua terhadap anak laki-lakinya untuk menjaga
keperwanan/keperjakaan mereka.

Alasan Do Free Sex dan Efeknya

Mencoba melihat kembali seks bebas yang dilakukan remaja Indonesia


dalam hal ini perempuan, bahwa sangat dimungkinkan dengan adanya kontradiksi
pola perlakuan dan perilaku terhadap anak laki-laki dan perempuan. Hal itu juga
berkontribusi dalam alasan mengapa para remaja ini do free sex. Dan selama ada
kontradiksi dua hal tersebut, seks bebaspun akan terus ada. Pada muaranya bahwa
survei yang sering dilakukan itu selalu memberi data mengenai keperawanan
maupun ketidakperawanan perempuan. Sebenarnya dengan penunjukkan data
tersebut ke publik, hal itu membuat seorang perempuan malu dan tertekan
(khususnya bagi remaja, pasti orang tua mereka semakin memprotektif krhidupan
mereka terlabih dalam hal sosial, mereka akan cenderung tertutup dan bahkan
tidsaak mengenallingkungan sosial mereka dengan kata lain anti sosial) dan
kejadian seperti itu sangat merugikan perempuan.
Sementara dari laki_laki sendiri, mereka hampir tidak pernah terkena
imbas dari pemberitaan hasil survei tersebut padahal mereka sendiri juga
disinyalir sedikit banyak andil dalam tingginya angka ketidakperawanan remaja
perempuan itu. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, kaum laki-laki masih bisa
hidup sebagaimana laki-laki yang maskulin menurut pemikirannya dan orang-
orang atau masyarakat sekitarnya.

Maskulinitas dan Feminitas dalam Masyarakat Jawa

Salah satu contoh mainset yang juga menyebabkan ketidaksetaraan gender


yaitu dalam masyarakat jawa ditanamkan bahwa seorang anak laki-laki haruslah
“ngglidhik” dalam artian mereka harus berperilaku “usil”. Sedang seorang
perempuan haruslah halus jiwa dan raganya, mereka harus berperilaku
sebagaimana pemaknaan feminim menurut pandangan masyarakat jawa. Serta kita
pun sering mendengar istilah bahwa seorang perempuan itu tidak lebih dari
“konco wingking” atau teman belakang

Selama ini, masyarakat memandang wajah Jawa sebagai wajah


ketertindasan. Kultur Jawa adalah kultur yang tak memberi tempat bagi
kesejajaran antara lelaki dan perempuan. Dalam budaya Jawa, perempuan dituntut
memiliki kompetensi tiga ur (sumur, dapur, kasur) atau 3M (macak, manak,
masak). Kompetensi itu menuntut perempuan cakap memasak, mencuci,
berdandan, dan melayani suami di atas kasur.

Penindasan juga tampak pada pilihan bahasa untuk menyebut perempuan


dalam bahasa Jawa. Seperti disampaikan Junaidi Abdul Munif dalam artikel
“Mencari Akar Patriarkisme” (Suara Merdeka, 24 Maret 2010), kultur Jawa
menyebut perempuan adalah wadon. Wadon berasal dari bahasa Sansekerta yang
berarti abdi, abdi dari lelaki. Sebutan lain adalah wanita, akronim dari wani ditata.

Efek Ketidaksetaraan Gender

Dari contoh kasus seperti itu, jelaslah bahwa faktor budaya dan
pemaknaan mengenai maskulinitas dan feminitas sangat berpengaruh besar dalam
ketidaksetaraan gender. Akibatnya hal ini semakin membatasi akses serta
pergerakan dalam diri perempuan itu sendiri, karena yang tampak adalah
diskriminasi keberadaan kaum perempuan. Disisi lain walaupun muncul kaum-
kaum feminisme, tapi tetap mereka harus hidup dibawah panji laki-laki dan
seolah-olah mereka menerima begitu saja pandangan dan pemaknaan feminitas
dari masyarakat tempat ia tumbuh dan berkembang. Sehingga adanya kaum
feminisme itu sendiri bisa disebut hanya sebuah “sampul” bagi kehidupan mereka
dengan “isi” masih sama seperti hakikat kehidupan mereka sebagai seorang
perempuan dalam masyarakat itu.

Beban bagi seorang perempuan itu juga bertambah tatkala mereka


dihadapkan dengan nilai bangsa serta moral bangsa yang turun akibat adanya
pemberitaan mengenai survei keperawanan perempuan yang memposisikan diri
mereka sebagai orang yang paling berpengaruh serta bertanggungjawab dalam
aspek moral kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan adanya pemberitaan
yang semakin memperjelas ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam
tugas dan kewajiban mereka yang sebenarnya lebih mengarah kepada tugas dan
kewajiban mereka kepada orang lain. Seharusnya pemerintah, media, serta
masyarakat kita mulai sadar dengan dampak dari hal tersebut yakni adanya
ketidaksetaran gender itu sendiri.

Interaksionisme Simbolik Untuk Ketidaksetaraan Gender

Untuk menjawab permasalahan ketidaksetaraan gender ini ada baiknya


jika kita melihat serta memadukannya dengan konsep interaksionisme simbolik.
Karena pada analisis sebelumnya dijelaskan bahwa, salah satu penyebab
ketidaksetaraan gender itu adalah pemaknaan dari masyarakat terhadap simbol
maskulinitas dan feminitas seseorang. Hal itu juga merupakan persoalan yang
sering kali muncul dalam teori-teori sosial yakni tentang hubungan antara individu
dan masyarakat, yang kemudian mengantar kita kepada pertanyaan besar
mengenai bagaimana masyarakat membentuk individu dan bagaimana pengaruh
individu itu dalam masyarakat tersebut?

Sama halnya dengan konsep perspektif interaksionisme simbolik oleh


George H Mead yang lebih mengarah pada proses-proses interaksi sosial dan
akibat-akibatnya bagi individu-individu dan masyarakat. Menurut Mead dalam
bukunya yang berjudul : Mind, Self, and Society bahwa ketiga konsep tersebut
dapat menjelaskan secara gamblang mengenai hubungan antara individu dengan
masyarakat. Berikut penjelasannya :

1. Mind (akal budi)

Mead menjelaskan bahwa pikiran ada oleh karena suatu proses sosial.
Sementara itu, proses pemaknaan mengenai sesuatu atau simbol pada dasarnya
bukan merupakan hasil dari akal budi itu melainkan dengan adanya situasi sosial.
Sama halnya dengan pemaknaan mengenai feminitas dan maskulinitas dalam
masyarakat kita pada umumnya, dimana seharusnya setiap individu sepatutnya
bertingkah laku feminin dan maskulin dengan akal budinya untuk memposisikan
dirinya di dalam sebuah masyarakat atau diri orang lain sehingga perbuatan yang
mereka lakukan itu memiliki arti serta mereka atau orang lain bisa menafsirkan
pikiran-pikirannya dan tingkah lakunya dengan tepat.

Guna mempertahankan keberlangsungan kehidupan sosial, maka para


aktor harus menghayati simbol-simbol dengan arti yang sama. Proses-proses
berpikir, bereaksi, dan berinteraksi menjadi mungkin karena simbol-simbol yang
penting dalam kelompok sosial itu mempunyai arti yang sama dan
membangkitkan reaksi yang sama pada orang yang menggunakan simbol-simbol
itu maupun pada orang yang bereaksi pada simbol-simbol itu.

2. Self (Diri)

Mengetahui mengenai konsep diri juga mempengaruhi perkembangan akal


budi itu sendiri. Senada dengan Mind bahwa Self ini juga bukan suatu obyek
melainkan sebuah proses sadar yang memiliki beberapa kemampuan seperti:

• Kemampuan mendefinisikan diri sendiri sebagaimana yang


telah seorang individu lakukan terhadap orang lain.

• Kemapuan untuk memberikan jawaban sebagaimana


“generalized other” atau aturan, norma-norma, hukum yang
memberikan jawaban kepadanya.
• Kemapuan untuk mengambil bagian dalam percakapannya
sendiri dengan orang lain.

• Kemampuan untuk menyadari apa yang sedang dikatakannya


dan kemapuan untuk menggunakan kesadaran itu guna
menentukan apa yang harus dilakukan pada tahap berikutnya.

Mead juga menjelaskan bahwa Self ini sifatnya dinamis melalui proses
sosialisasi, lebih jelasnya bahwa Self ini berkembang dalam 3 tahap yakni:

• Tahap bermain

Dalam tahap ini dijelaskan bahwa seorang anak bermain


dengan peran-peran dari orang-orang yang dianggap penting
olehnya. Sebagai contoh anak laki-laki mungkin akan
memainkan peran ayah sedangkan anak perempuan lebih suka
berperan sebagai ibu. Tahapan awal ini menjadi sangat penting
ketika perkembangan anak mulai terpengaruh oleh peran yang
mereka mainkan dan secara tidak langsung mereka bertingkah
laku seperti harapan orang lain dalam status tertentu.

• Tahap Pertandingan

Tahap lebih lanjut dalam proses penempatan diri, bahwa


dimana seorang lelaki atau perempuan seharusnya mampu
menjalankan peran mereka dengan memperhitungkan peran
lawan jenisnya. Dengan demikian dalam proses ini anak belajar
sesuatu yang melibatkan orang lain bahakan orang banyak serta
sesuatu yang sifatnya impersonal yaitu aturan-aturan, norma-
norma. Sama halnya ketika laki-laki menjalin relasi dengan
perempuan, mereka harus menghargai peran satu sama lain dan
tidak memaksakan kehendak.

• Tahap Generalized Other


Tahapan ini membicarakan mengenai ekspektasi, kebiasaan
dan standar umum dalam masyarakat. Dalam tahap ini seorang
anak baik laki-laki ataupun perempuan mengarahkan tingkah
lakunya berdasarkan standar umum, harapan, dan norma-norma
kehidupan masyarakat. Jadi, dalam terakhir ini anak menilai
tindakannya atau mendasarkan tindakannya kepada norma-
norma yang bersifat umum.

Konsep lain yang juga cukup penting yakni mengenai “I” dan “Me” yaitu
antara diri sebagai subyek dan diri sebagai obyek. Dalam kasus ketidaksetaraan
yang sedang kita singgung ini antara laki-laki dan perrempuan pada dasarnya
merupakan bentuk obyek dari suatu norma, ekspektasi, generalized other dari
orang lain ataupun masyarakat. Hanya saja di sini perempuan lebih banyak peran
ketika menjadi obyek dari sistem eksternalnya itu, maksudnya perempuan lebih
dikenai tanggung jawab yang lebih besar untuk mengontrol dirinya sehingga
selaras dengan sistem eksternalnya itu.

Sementara jika dilihat dari relasi antara laki-laki dan perempuan dalam hal
ini “I” adalah seorang laki-laki dan “Me” adalah seorang perempuan. Didukung
dengan pola pikir sistem eksternalnya yakni norma, harapan, generalized other
dari masyarakat itu laki-laki memiliki kuasa untuk mengambil inisiatif, sementara
perempuan seringkal hanya menjadi obyek dari inisiatif tersebut.

3. Society (Masyarakat)

Betapa dominasi masyarakat dalam konsep “I” dan “Me”. Menurut


Mead, bahwa dominasi itu muncul karena masyarakat merupakan
organisasi sosial dimana akal budi (Mind) dan diri (Self) itu timbul.
Dan Mead juga menafsirkan masyarakat itu sebagai pola-pola
interaksi.

Meminimalisir Ketidaksetaraan Gender

Jadi, setelah melihat ketidaksetaraan gender dalam kasus


ketidakperawanan remaja perempuan Indonesia yang tinggi dengan memadukan
konsep interaksionisme simbolik George H Mead. Kita menjadi tahu bahwa
sistem masyarakat sangat berpengaruh besar terhadap permasalahan
ketidaksetaraan gender ini, serta dengan proses pemahaman bersama yang selaras
antara perempuan, laki-laki, dan masyarakat mengenai konsep gender
(maskulinitas dan feminitas) akan mampu meminimalisir tingkat ketidaksetaraan
gender.

Dengan demikian sangatlah bijak ketika sebuah masyarakat, mulai dari


yang terkecil yakni keluarga mulai mengubah pola perlakuan mereka terhadap
putra-putrinya untuk memperlakukannya secara adil dan setara. Adil dan setara
dalam hal ini tidak berarti sama, yang terpenting adalah bagaimana mereka atau
keluarga ini mampu mengedukasi anak-anaknya dari seksualitas khususnya. Agar
tidak muncul lagi survei ketidakperawanan remaja perempuan yang dirasa
menyudutkan pihak perempuan, tetapi muncul survei yang lebih obyektif lagi
sehingga tidak menimbulkan atau menambah pelik masalah ketidaksetaraan
gender. Karena jika diperhatikan, keluargalah yang paling bertanggunjawab akan
perkembangan anak-anaknya.

Meskipun didapati banyak perbedaan karakter antara sesuatu keluarga


dengan keluarga lainnya, namun kesamaan fungsi antar keluarga masih dapat
diidentifikasi. Kesamaan fungsi ini antara lain : (1) fungsi reproduksi, (2) fungsi
pengaturan seksual, (3) fungsi sosialisasi, (4) fungsi penempatan sosial, (5) kasih
sayang, (6) funsi perlindungan (Zanden, 1979 ; 406). Dilihat dari permasalahan
ketidaksetaraan gender bahwa fungsi keluarga secara universal yang terpenting
dalam mengedukasi anak-anaknya dalam hal seksualitas, yakni fungsi pengaturan
seksual. Fungsi ini memberi pedoman kepada para anggota mengenai bagaimana
mereka harus berperilaku dalam kehidupan seksual masing-masing sesuai dengan
nilai dan norma kelompoknya bersangkutan.

Sebagai konklusinya kesemuanya yang menyebabkan ketidaksetaraan


gender ini lebih mengacu kepada segala aspek kehidupan negara ini, baik dari
masyarakat, keluarga, pemerintah, serta media sampai saat ini entah secara sadar
atau tidak budaya patriarki masih kental menjiwai ideologi bangsa ini. Budaya
yang membuat kaum perempuan masih selalu termarginalkan dalam hal apapun.
Daftar Pustaka

Henslin, James M. 2007. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, edisi 6 jilid 2.


Jakarta: Penerbit Erlangga

Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka

S.U, Purwanto. 2007. Sosiologi Untuk Pemula. Yogyakarta: Media Wacana.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/05/26/110775/Patriarki-
antara-Timur-dan-Barat diakses tanggal 17 Desember 2010

Anda mungkin juga menyukai