Anda di halaman 1dari 10

Fenomena Kelompok Alay di Masyarakat dan Implikasinya dengan Desain dalam Kaitannya dengan Perilaku

Konsumsi Benda Pakai dan Non-Pakainya

Dalam bermasyarakat, terjadinya fenomena-fenomena baru merupakan sumber yang dapat


menimbulkan dinamika dan membuat perubahan di dalamnya, baik itu berhubungan dengan
nilai-nilai material maupun berhubungan dengan nilai-nilai non-material. Fenomena tersebut
dapat terjadi dari adanya suatu penemuan baru yang disosialisasikan di masyarakat, misalnya
dengan adanya penemuan teknologi termutakhir yang membuat masyarakat berbondong-
bondong menggunakannya, seperti halnya ketika handphone Blackberry dipasarkan dan
digemari masyarakat. Fenomena juga dapat terjadi karena adanya kemunculan kelompok-
kelompok di masyarakat yang memiliki suatu karakteristik atau ciri khas yang dapat
menonjolkan dirinya di masyarakat, kelompok ini dapat terbentuk karena adanya kesamaan
selera, gaya hidup, pola konsumsi atau lainnya, contohnya adalah kelompok atau geng motor
di kalangan kota besar yang beranggotakan anak usia remaja.
Remaja merupakan masa menjelang dewasa dimana masa ini merupakan peralihan dari
seorang anak menjadi dewasa muda. Masa remaja ini secara fisiologis ditandai dengan
timbulnya pubertas dan perubahan-perubahan biologis dan sifat. Masa peralihan yang ditandai
dengan berbagai perubahan ini menimbulkan suatu perasaan ketidakpastian (uncertainty)
dalam diri remaja (Kosasih, 2004. h.31). Dari sekitar 213 juta jumlah penduduk Indonesia,
sekitar 30% diantaranya atau 62 juta adalah remaja berusia 10-24 tahun. Jumlah yang cukup
signifikan ini merupakan latar belakang mengapa fenomena-fenomena sosial yang
bermunculan di masyarakat biasanya berasal dari atau seputar kalangan remaja.
Begitu pula dengan fenomena munculnya kelompok anak muda atau remaja yang dinamakan
kelompok “alay”, dinamakan seperti demikian oleh kelompok lain yang mengidentikkan orang-
orang dalam kelompok alay tersebut sebagai kelompok dengan selera rendah dan pola pikir
yang rendah pula. Kemunculan alay yang biasanya mudah diteliti dari gaya hidup dan cara
berkomunikasi dengan bahasa verbalnya ini diperkirakan sejak 1 atau 2 tahun belakangan.
Mengenai alay tersebut, selain merupakan sebuah fenomena baru, beberapa pihak
menyebutnya sebagai ideologi baru, ada yang menyebutnya sebagai subkultur dan bahkan
lebih jauh lagi mengidentifikasikannya sebagai awal mula terbentuknya generasi baru.
Desain merupakan bentuk pemecahan masalah, masalah tersebut dapat muncul karena
adanya kebutuhan yang tidak atau belum terpenuhi dengan barang atau alat yang sudah
tercipta sebelumnya. Kebutuhan juga dapat muncul karena adanya suatu fenomena baru yang
menyebabkan manusia membutuhkan suatu alat yang merupakan menjadi pemecahan
masalah ataupun yang bersifat menyempurnakan sistem kerja atau fungsi dari alat yang
sudah didesain sebelumnya. Dalam kaitannya dengan fenomena kelompok alay, kelompok
alay memiliki perilaku konsumsi tertentu akan kebutuhan-kebutuhan benda pakai dan non-
pakai dalam rangka memenuhi kebutuhan selera dan gaya hidupnya.
Namun seperti yang disebutkan di atas, kelompok alay diidentikkan sebagai kelompok yang
memiliki kemampuan pendidikan dan ekonomi rendah, sehingga ada ketidaktercapaian dalam
upaya mengikuti gaya hidup kelas atau kelompok yang memiliki kemampuan ekonomi dan
pendidikan lebih tinggi, disini ditemukan implikasi fenomena tersebut dengan desain dimana
dapat ditemui desain-desain baru yang berupaya meniru atau mengimitasi bentuk-bentuk
desain yang dilakukan produsen-produsen tertentu dan memasarkannya dengan harga
pasaran yang dapat terjangkau oleh semua kalangan termasuk di antaranya kelompok
tersebut.

Kelompok Alay

Informasi mengenai istilah alay kebanyakan dapat diperoleh dari sumber internet, karena
media sebaran utama kelompok alay adalah pada media internet, dan reaksi yang datang dari
kalangan yang mendiskusikan, mendefinisikan bahkan mencemooh juga ditemukan di
internet.
Definisi Alay
Terdapat berbagai macam media pertukaran informasi di internet seperti situs jaringan, situs
jejaring sosial ataupun blog yang menyinggung mengenai alay, namun ada sebuah situs yaitu
www.wekickpedia.com yang dapat dikatakan paling mula dalam mendefinisikan apa yang
dimaksud dengan alay, sehingga sumber tersebut banyak di-post di situs lainnya sebagai
sumber terpercaya. Di dalam situs tersebut menyebutkan bahwa:
“Alay adalah anak layangan (A: anak, Lay: layangan) yaitu orang-orang kampung norak yang
baru bisa berlagak jadi KOOL (bukan cool, tapi KOOL = Koalitas Orang Lowclass). Alay sering
diidentikkan dengan narsisme, kenorakan dan ya, apapun yang buruk.”
Alay merupakan kanker yang perlahan membunuh negara Indomienesia dan merusak
imagenya. Dalam ilmu sosiologi, dikenallah strata yang berarti tingkatan seseorang/ kelompok
dalam suatu komunitas dan alay-lah yang menempati strata terbawah dalam negara Indonesia
dan sampai kapanpun strata mereka tidak akan bertingkat bahkan bisa turun apabila ada
golongan baru. Alay itu murahan, maka kalian dapat menemukan alay dimana-mana
kemanapun kalian berjalan di Indonesia, menjadi alaypun murah dan dapat instan dianggap
keren, jadi dengan alasan itu alaypun juga seperti jamur karena tersebar dimana-mana asal
ada hal yang mendukung, yaitu narsisme berlebihan, kenorakan, dan sedikit uang buat beli
barang-barang fashyuunZ supaya bisa jadi KOOL.”
Definisi dan penjelasan di atas tidak diketahui jelas ditulis oleh siapa, walaupun ditulis dengan
bahasa yang tidak baku dan tatanan kalimat yang tidak baku pula (dengan sedikit bagian yang
dikurangi demi kelayakan) namun maksud pendefinisian alay itu jelas, bahwa apa yang
sebagian besar orang pikirkan mengenai alay adalah negatif dengan pandangan yang
merendahkan.
Pendefinisian alay oleh orang-orang yang merasa jauh lebih baik dari kelompok alay tersebut
merupakan sebuah justifikasi, yang dimaksud dengan orang-orang di kelompok alay adalah
kalangan remaja, namun istilah yang dipergunakan adalah “anak” yang menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadaminta adalah 1) turunan yang kedua, 2)
manusia yang masih kecil, 3) binatang yang masih kecil, 4) orang yang berasal dari atau
dilahirkan di, 5) orang yang termasuk dalam sesuatu golongan pekerjaan, 6) bagian yang kecil
pada suatu benda. Istilah anak dipadu dengan istilah layangan (permainan yang dibuat dari
kertas yang dapat dinaikkan ke udara dengan tali), permainan ini jarang ditemui di daerah
kota besar, banyak ditemui di pinggiran kota atapun pedesaan. Istilah alay atau anak layangan
merujuk pada anak-anak di luar kota besar yang sudah bermain layangan pada siang hari
sehingga berwajah lusuh dan berkeringat karena kepanasan, lalu istilah ini memiliki konotasi
dengan segala sesuatu yang berbau kampungan, udik dan norak.
Ada sumber lain yang menyebutkan bahwa “alay” merupakan singkatan dari “anak lebay”,
lebay adalah istilah populer yang banyak digunakan saat ini untuk menyebut sesuatu yang
berlebihan.
Identifikasi Kelompok Alay
Menurut pengamatan dari beberapa sumber, remaja yang digolongkan dalam kelompok alay
ini adalah remaja berusia 13 hingga golongan remaja akhir menuju dewasa muda yaitu sekitar
usia 21 tahun. Remaja yang tergolong alay biasa diidentikkan dengan beberapa ciri sebagai
berikut:
1. Latar Belakang Keluarga
Remaja yang berasal dari pinggiran kota besar, dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah,
biasanya tingkat pemenuhan kebutuhannya kurang. Kelompok alay mendapat cemoohan
paling keras mengenai ke-kampungan-nya ataupun ke-udik-kannya, mereka dianggap sebagai
anak-anak non-kota besar yang berusaha untuk menjadi keren ataupun bergaya seperti halnya
anak-anak di kota besar yang umumnya berasal dari kalangan ekonomi menengah ataupun
menengah ke atas.
Usaha yang dilakukan kelompok alay untuk menjadi keren ini dianggap gagal, karena
sebagaimanapun kerasnya, daya beli yang mereka miliki tidak tinggi sehingga hanya mampu
membeli tiruan atau kualitas kedua dari suatu produk. Ataupun tidak mengenakannya namun
bergaya seolah-olah mereka dapat mencapai kekerenan gaya tersebut.
2. Latar Belakang Pendidikan
Remaja yang menempuh pendidikan di sekolah-sekolah yang bukan merupakan sekolah
favorit, sekolah swasta yang kurang populer dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau
Sekolah Teknik Mesin (STM). Hal ini disimpulkan dari beberapa objek kajian yang diteliti dari
situs jejaring sosial Facebook, dimana ciri-ciri alay (tertulis di poin 3 dan 4) terdapat sebagian
besar pada siswa-siswi sekolah-sekolah tersebut di atas.
Jika dilihat dari hubungannya dengan poin 1, dimungkinkan karena hanya sedikit orangtua dari
anak-anak kalangan menengah ke bawah yang mampu atau mau memperjuangkan anaknya
untuk bersekolah di sekolah yang secara umum. Memang tidak semua sekolah yang
disebutkan di atas menghasilkan anak-anak yang dapat digolongkan sebagai anak dari
kelompok alay ataupun sebaliknya, tidak semua anak yang digolongkan dalam kelompok alay
hanya berasal dari sekolah-sekolah yang disebutkan di atas, namun umumnya yang dapat
diamati seperti demikian.
3. Gaya Penulisan Bahasa dalam Berkomunikasi
Penemuan atau kemunculan teknologi mutakhir yang kian lama kian marak terutama dalam
bidang sosial dan komunikasi menjadi latar belakang utama terhadap banyak ditemukannya
anak remaja yang digolongkan dalam kelompok alay. Hal ini berhubungan erat dengan asal
penggolongan generasi apakah kelompok alay tersebut, Mikael Kosasih menyebutkan bahwa:
“Remaja saat ini yaitu remaja yang mengalami masa remajanya pada masa sekitar pergantian
millenium (tahun 2000) sering disebut sebagai generasi Y. Rhenald Kasali mengidentifikasi
lima generasi (cohort) yang ada di Indonesia, yaitu cohort kemerdekaan (generasi 45, lahir
1920-1935), yaitu cohort tritura (lahir 1936-1950), cohort perang dingin (lahir 1951-1960),
cohort komputer (lahir 1961-1970) dan cohort internet (lahir 1971-1980) sementara posisi
generasi Y diidentifikasikan olehnya sebagai generasi yang dilahirkan oleh generasi komputer
dan generasi internet yang sudah mengenal komputer (Kasali, 2001. h. 311).”
“Generasi Y diperkirakan merupakan generasi yang terbentuk dari individu-individu yang
dilahirkan antara tahun 1981-1985. Di Amerika, generasi Y merupakan sebutan bagi generasi
yang muncul setelah generasi X (lahir 1966-1980) dan generasi Baby Boomer (lahir 1946-
1965).”
Menurut penjelasan di atas, anak remaja yang tergolong dalam kelompok alay yaitu yang pada
tahun ini berusia sekitar 13-21 tahun termasuk dalam generasi Y. Kemudahan dalam
mengakses informasi menjadi ciri mudah bagi identifikasi generasi Y, seperti halnya yang
dialami oleh kelompok alay, akses internet begitu mudah, tidak harus membuka komputer lalu
mencari sambungan komunikasi internet, hanya dengan membuka beberapa fitur di telepon
seluler maka mereka dapat langsung terhubung ke internet.
Variasi bahasa dari kelompok alay biasanya berbentuk gaya penulisan, dapat ditemui dalam
pesan singkat atau short message service (SMS) atau di dalam situs jejaring sosial seperti di
Friendster, Facebook, Twitter atau situs jejaring sosial lainnya dimana mereka mengungkapkan
aspirasinya dalam bentuk “status” atau “shout-out”, dapat diidentifikasi dari penggunaan cara
penulisan bahasa Indonesia yang telah mengalami komodifikasi dalam penulisannya. Kata-
kata bahasa Indonesia yang digunakan divariasikan hurufnya, misalnya yang paling umum,
mengganti huruf “k” menjadi “q” dalam kata “aku” menjadi “aqu”, huruf “t” menjadi “d” atau
“dh” seperti dalam “ingat” menjadi “ingadh”, mereka gemar mengulang huruf dalam satu kata
berulang-ulang tanpa pemaknaan berarti dan menambahkan huruf lagi di belakangnya,
misalnya menulis “dalam” dengan “dalemmb” atau menulis “jalan” dengan “jallanndt”. Ciri
lain dari gaya ini yaitu dicampurkannya huruf besar dan huruf kecil dalam satu kata, bukan
hanya di awal kata, gaya penulisan ini pun gemar menyampuradukkan antara huruf biasa
dengan angka-angka, seperti menulis “ganteng” menjadi “GuAn73nGzz”, atau menulis
“capek” dengan “cH4pWe”.
Berikut adalah sedikit dari variasi kata umum gaya penulisan yang digunakan oleh kelompok
alay:
Tabel 1. Variasi bentukan kata kelompok alay
Kata asal Bentukan kata baru
aku akk, akku, akyu, aq, aqq, akko, akkoh, aquwh, quwh, q, qoh, dsb.
kamu kamuh, kammo, kamoh, kamuwh, qmuwhhhh, kamyu, qamu, qmoh, qmowh, qmu, kow,
kauu, dsb.
iya ia, iaa, iia, ea, ay, yuu, yuhuu, dsb.
maaf mff, mav, maav, muup, muph, muphh, mu’uph, muphs,
mabs, muubz, muubh, muufs, mmmm fffhh, mapt, dsb.
add ett, etths, aad, edd, dsb.
siapa cppa, cp, ciuppu, siappva, dsb.
apa uppu, apva, aps, av, aff, dsb.
rumah uMzz, humPzz, dsb.
lagi agi, agy, gy, dsb.
gue w, wee, wa, 9, 9w, dsb
Menurut keterangan yang diperoleh dari obrolan dengan remaja yang dianggap sebagai salah
satu bagian dari kelompok alay ini, semakin banyak variasi yang dibuat, akan menjadi semakin
seru, seperti ada kompetisi disini, dimana mereka gemar membuat variasi yang semakin tidak
dimengerti oleh orang-orang di luar kelompoknya. Gaya penulisan ini dapat dianggap sebagai
salah satu media untuk menunjukkan adanya suatu bentuk superioritas dari kelompok alay,
dimana kelompok alay dianggap sebagai golongan inferior jika dilihat dari poin 1 dan 2, yaitu
tingkat perekonomian dan tingkat pendidikannya, sementara dalam hal ini kelompok alay
“menguasai” variasi bahasa yang mereka ciptakan (walaupun siapapun dalam kelompok alay
biasanya tidak mau mengakui ke-alay-annya dan menolak disebut “alay”).
Dalam bentuk kalimat, di bawah ini merupakan contoh kalimat di status Facebook beberapa
remaja kelompok alay:
1. “cXnK qMoh tO cKiDnAAAAaaaAaAaaaa……”
maksud tulisan: “Sayang, kamu tuh sakitnya”.

2. ”Eea smaa. smaa . . mapt lahirr batind ea cuu ? Heu .” maksud tulisan: “Iya, sama-sama,
maaf lahir batin ya, Cu”.

3. “Ahir’y msuup ckulla agiw . . . kungeund qliant qauwant .tvih pkl brakhir ump . .
smangadhhhttt .”

maksud tulisan: “Akhirnya masuk sekolah lagi, kangen kalian kawan, tapi PKL berakhir,
semangat”.

4. “Vvmz.. ..renE ba9! RapOrt utZ.. B9a!mna has!L Na ya9h.. .. tQodh jVjaa.. .. Mo9a m’mVaz
khan,,am!enn.. ,, “
maksud tulisan: “Hmmm, hari ini bagi rapot euy, bagaimana hasilnya ya, takut juga, semoga
memuaskan, amien.

5. “QoH tLuZ”aN uCHA bWaD tTeP qEqEUh cXnK qMo………. “


maksud tulisan: “Aku terus-terusan buat tetap keukeuh sayang kamu”.
Jika merunut dari penggunaan bahasa yang khas oleh kalangan anak muda, sedikit
mengadakan kilas balik, sempat terjadi juga pembabakan tertentu dalam penggunaan bahasa
pergaulan remaja atau yang lebih populer disebut sebagai “bahasa gaul”, contohnya yaitu
pada awal dekade 1980-an pada dunia hiburan dikenal sebuah trio penghibur (pelawak atau
komedi) yang menamai dirinya “Warkop DKI” yang beranggotakan Dono Kasino Indro (DKI),
ketiga tokoh film yang berlatar belakang bintang radio tersebut memiliki ciri khas dialek
bahasa Indonesia yang kedaerahan namun dibuat bergaya lebih ibukota, untuk
menghilangkan kesan kedaerahan mereka, taruhlah sebuah kata yang menjadi penunjuk kata
ganti orang pertama yaitu “saya” dalam bahasa betawi yaitu “gue”, Kasino yang berasal dari
Jawa Tengah dan Indro yang berasal dari Jawa Timur memiliki perbedaan penekanan kata
ketika mengucapkannya. Film-film Warkop DKI yang banyak dikenal 1980-an hingga 1990 awal
banyak mengangkat gaya bahasa gaul ke-jakarta-an seperti “gengsi dong”, “belagu lu”, “pale
lu peang” dan sejenisnya.

Gambar 3. Warkop DKI minus alm. Nanu, yang awalnya bergabung namun telah meninggal
dunia pada pembuatan 2 film awal Warkop

Berbeda dari pembabakan dekade 1980-an, pada dekade awal 1990, remaja memiliki acuan
gaya dari film populer seperti “Catatan si Boy” yang memunculkan gaya dan ciri khas
berbahasa lain dari yang dimunculkan oleh Warkop DKI, seperti dengan kata-kata “alamakjan”,
istilah “ne” untuk memanggil orang dan lainnya. Begitu juga dengan kemunculan bahasa gaul
versi Debby Sahertian yang diperkenalkan pada awal dekade 1990-an dan kini banyak
dikonotasikan sebagai bahasa “banci salon” dengan contoh menyebut “aku” dengan “akika”,
“lama” dengan “lambreta”, laki-laki menjadi “lekong” atau “perempuan” dengan “prempewi”.

Gambar 4. Potongan gambar dari film Catatan si Boy

Gambar 5. Debby Sahertian dan Kamus Gaulnya


Kelompok alay dengan variasi gaya bahasanya memang dapat dimasukkan dalam
pembabakan bahasa gaul ini, namun keterlibatan selera dan latar belakang sosial dalam
kelompok alay, membedakan karakteristik kelompok alay lebih dari sekedar kelompok yang
tumbuh dari kesamaan penggunaan variasi bahasa pergaulan.
4. Kegemaran Bergaya di Depan Kamera dan Memajang Foto Diri

Para remaja dalam kelompok alay berciri serupa dengan remaja generasi Y yang merupakan
attention seekers (pencari perhatian), mereka memiliki kegemaran dalam
mendokumentasikan gambar diri di berbagai tempat dengan pose yang sebagian besar dapat
dikatakan manja, pose seperti ini juga banyak dibicarakan sebagai pose yang menonjolkan sisi
narsisme (dapat dikatakan sangat membanggakan dirinya). Dengan merekayasa mimik muka,
remaja-remaja ini ingin terlihat lebih manis, lebih imut dan jauh lebih disukai dari wujud
mereka seperti biasa. Foto yang dihasilkan sebagian besar berasal dari kamera telepon seluler
yang kemampuan pikselnya rendah (sesuai dengan tipe telepon selulernya).

Kegiatan berfoto dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun, yang cukup dikenal dalam hal
foto diri remaja kelompok alay adalah bagaimana mereka mengambil sudut yang mereka
yakini akan menghasilkan foto terbaik. Sementara hasil fotonya biasanya digunakan sebagai
wallpaper di telepon seluler jika untuk kepentingan pribadi, dan juga dipajang sebagai foto
profil atau pengenal di situs jejaring sosial yang mereka ikuti.

Gambar 6. Foto dua remaja yang diambil dengan menggunakan kamera telepon seluler.
Sumber: Facebook.

Keaktifan dalam berfoto juga dilatarbelakangi oleh terjangkaunya harga telepon seluler
berkamera, berteknologi bluetooth juga kelengkapan plug USB yang memudahkan
perpindahan data dan juga maraknya mesin cetak foto cepat yang memudahkan hasil jepretan
kamera telepon selular untuk dicetak yang tentu saja menggantikan tren photobox (boks foto
dengan fitur foto yang dapat diubah dengan berbagai macam model dan variasi dengan
kualitas hasil foto cukup baik).

Gambar 8. Foto dua remaja yang digunakan sebagai foto profil di Facebook

Gambar 9. Foto profil lain yang ditemukan di Facebook

5. Perilaku dan Objek Konsumsi


Dari segi konsumsi, kegiatan ini sangat berkenaan dengan selera karena konsumsi merupakan
aktualisasi dari selera. Selera kelompok alay dianggap selera rendahan dan kampungan, baik
dalam memilih benda pakai seperti pakaian, telepon seluler ataupun aksesoris ataupun dalam
benda non pakai seperti tontonan dan bacaan. Secara terperinci mengenai konsumsi ini akan
diterangkan pada subbab berikutnya.

Kajian Perilaku Konsumsi Kelompok Alay

Kegiatan konsumsi pada dasarnya merupakan kegiatan menghabiskan guna barang. Jean P.
Baudrillard (2004. h.61) menyebutkan bahwa proses konsumsi dapat dilihat dalam dua
perspektif yaitu:
1. Sebagai proses signifikasi dan komunikasi, yang didasarkan pada peraturan (code) di mana
praktek-praktek konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Di sini konsumsi merupakan
sistem pertukaran, dan sepadan dengan bahasa.
2. Sebagai proses klasifikasi dan diferensiasi sosial, di mana kali ini objek-objek/ tanda-tanda
ditahbiskan bukan hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai
nilai yang sesuai (aturan) dalam sebuah hierarki. Disini konsumsi dapat menjadi objek
pembahasan strategis yang menentukan kekuatan, khususnya dalam distribusi nilai yang
sesuai aturan (melebihi hubungannya dengan pertanda sosial lainnya: pengetahuan,
kekuasaan, budaya dan lain-lain).
Konsumsi tidak menyeragamkan lebih banyak badan sosial daripada sekolah demi keuntungan
budaya. Bahkan konsumsi menuduhnya kesenjangan. Orang digoda untuk menempatkan
konsumsi partisipasi pertumbuhan pada barang-barang yang sama (?) dan produk-produk
yang sama (?), materi dan kebudayaan untuk memperbaiki kesenjangan sosial, pada hierarki
dan diskriminasi yang selalu lebih tinggi dari kekuasaan dan tanggung jawab. …merupakan
sistem diskriminasi yang nyata. (Baudrillard, 2004. h.58).
Dalam kegiatan konsumsi, kelompok alay ditempatkan sebagai konsumen, terdapat dua jenis
konsumen yaitu konsumen individu dan konsumen organisasi (Sumarwan, 2003. h.24), dalam
hal ini kelompok alay tergolong dalam konsumen individu karena yang menyirikan kegiatan
konsumsinya adalah selera kelompok namun pembelanjaannya bersifat individu. Adapun
konsumen individu adalah konsumen yang membeli barang dan jasa untuk digunakan sendiri,
dalam konteks barang dan jasa yang dibeli kemudian digunakan langsung oleh individu dan
sering disebut sebagai “pemakai akhir” atau “konsumen akhir” (ibid). Dalam melakukan
kegiatan konsumsi, terdapat perilaku khusus dari konsumen yang disebut perilaku konsumen
yang didefinisikan sebagai “perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam mencari, membeli,
menggunakan, mengevaluasi dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan akan
memuaskan kebutuhan mereka.” (Schiffman dan Kanuk (1994) dalam Sumarwan, 2003, hal.
25)
Dalam proses mengevaluasi lalu menggunakan produk atau jasa, khususnya yang dibicarakan
disini adalah produk, konsumen memiliki pertimbangan-pertimbangan, dalam proses ini,
dalam kajian kelompok alay, maka hal seleralah yang dianggapa paling mempengaruhi proses
tersebut, sementara selera memiliki struktur yang dapat diklasifikasikan sebagai
pertimbangan-pertimbangan sebelum terjadinya konsumsi akhir.

Sumber: Handout “Desain dan Gaya Hidup” oleh Yasraf Amir Piliang
Bagian pertama dari struktur tersebut adalah capital, yaitu modal, yaitu modal awal yang
dimiliki seseorang apakah itu pendidikan, status sosial ataupun ekonomi, lalu objective
condition atau kondisi objektif yang mengklasifikasikan kemampuan modal orang tersebut.
Beranjak ke tahap habitus yaitu pilihan akan kepantasan dan legalitas seorang terhadap
pilihannya yang lalu mendefinisikan sistem disposisi dari pilihannya tersebut, yang lalu
dilanjutkan dengan tahap practise atau dapat disebut sebagai tes kelayakan akan pilihan
tersebut yang lalu melahirkan sebuah gaya hidup yang bila disaring dengan sistem tanda akan
melahirkan selera.
Proses inilah yang dilalui dari sebuah terbentuknya selera kelompok alay yang dianggap
rendahan, proses terpatahkan di awal karena capital atau kepemiilikan modal dan
simbolic◊modal awal dalam economic capital pendidikan yang dianggap kurang, maka
kualitas dari proses◊capital lainnya dalam struktur terbentuknya selera tersebut menjadi
menurun. Dalam handout Desain dan Gaya Hidup: Selera, disebutkan bahwa selera adalah
milik pribadi seseorang (intrinsik), tetapi diaktualisasikan di dalam proses
‘konsumsi’(consumption), bersifat internal, sementara proses konsumsi (makan, menonton,
liburan, membaca, berkendaraan) adalah proses mengeksternalisasikan selera.
Proses konsumsi yang diamati disini adalah proses konsumsi benda pakai dan non-pakai oleh
kelompok alay yang menjadi sumber justifikasi dari kelompok tersebut.
a. Benda pakai
Dalam konsumsi benda pakai, yang dimaksud disini adalah benda yang digunakan oleh
seseorang dari kelompok alay yang memiliki kesamaan secara kelompok, baik benda yang
melekat di tubuh (sandang), yang bersifat aksesoris ataupun yang bersifat sebagai perangkat
komunikasi.
- Pakaian
Malcom Barnard dalam bukunya menyatakan, “Fashion, pakaian dan busana merupakan cara
yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, bukan hanya sesuatu seperti perasaan dan
suasana hati tetapi juga nilai-nilai, harapan-harapan dan keyakinan-keyakinan kelompok sosial
yang diikuti keanggotannya.” Sejalan dengan pernyataan tersebut, dalam memilih pakaian,
selera kelompok alay dapat dikatakan berkiblat pada orang-orang yang dianggap jauh lebih
baik daripada dirinya, dalam hal ini secara umum kelompok alay sangat menonjolkan fanisme
atau pengidolaan, atau dapat disebut juga sebagai eponim; gaya bahasa yang dilakukan
dengan cara meminjam sifat seorang tokoh yang namanya kondang dan legendaris, dan
tujuannya demi membangun citra hebat dari suatu objek (Wibowo dalam Kosasih, 2004. h. 41).

Remaja dari kelompok alay adalah remaja yang dibesarkan oleh kemutakhiran teknologi, salah
satunya adalah televisi, maka televisi dapat menjadi sumber dari inspirasi gaya, dimana
mereka dapat mendapati selebritas yang setiap hari muncul di acara televisi, baik di acara
sinema elektronik, acara musik atau lainnya. Apa yang pantas digunakan oleh selebritas dapat
menjadi patokan dalam pilihan, untuk perempuannya selain berdandan wajar seperti remaja
perempuan kebanyakan, mereka tidak ragu untuk menggunakan pakaian yang bermerk tiruan
dari merk yang sudah ada. Jika merk-merk mapan yang sesungguhnya sudah digunakan oleh
selebritas pujaan yang memiliki daya beli tinggi, merk-merk tiruan yang harganya jauh lebih
terjangkau sudah dapat memenuhi seleranya (sementara bagi sebagian kalangan,
menggunakan merk palsu dengan kualitas yang sangat jauh dianggap memalukan).
Gambar 10. Merk-merk terkemuka yang banyak ditiru oleh produsen lokal: Mango, Guess dan
Skate.

Contohnya ketika Agnes Monica muncul di acara televisi dengan mengenakan tank-top
bermerk Mango, di saat yang sama perempuan di kelompok alay (dan tidak menutup
kemungkinan juga di luar kelompok alay) mengenakan tank-top tiruan dengan print merk yang
sama namun kualitas yang jauh berbeda. Itu sudah menimbulkan kebanggan tersendiri.
Begitu pula dengan lelakinya, biasanya berkiblat pada kekerenan para personil band yang
sedang naik daun yang menjadi pujaan penggemarnya; kaos hitam, jaket, celana yang
dimelorotkan hingga di bawah panggul dan rambut yang ditata khusus menggunakan jel
rambut adalah identitas paling umum yang ditiru dari personil band. Mereka kerap
mengenakan kaus-kaus skater tiruan tanpa mengindahkan peruntukan atau ideologi kelompok
lain (skater) yang menggunakannya. Begitu pula dengan meniru gaya emo kid, moptop,
britpop hingga harajuku, biasanya tidak dapat tampil maksimal karena terkadang memiliki
barang tiruan tidak menjadi masalah, namun penilaian yang muncul untuk kelompok alay tidak
hanya dari pemilihan item pakaian, namun cara pemadupadanannya yang menjadikannya
terlihat kurang pantas. Barnard menyebutkan pula, “..fashion, busana dan pakaian merupakan
dasar pembentukan kelompok-kelompok sosial tersebut, dan bukan sekedar
merefleksikannya.” (2009, h. 54), jadi kegagalan proses identifikasi terhadap sesuatu yang
dianggap keren dapat merefleksikan sebaliknya.

Gambar 11. Foto yang dianggap menunjukkan kegagalan padu padan pakaian kelompok alay
- Aksesoris
Serupa halnya seperti dalam pemilihan pakaian, pemilihan aksesoris pun didasarkan pada
kelayakan orang lain yang mengenakannya, entah itu selebritas ataupun remaja sebayanya.
Seperti ketika penggunaan gelang karet berisi pesan tulisan menjadi tren, gelang karet tiruan
dengan warna yang kurang solid dibanding versi aslinya juga merebak, dan inilah yang
segmentasinya kelompok alay.

Gambar 12. Gelang karet trendi yang banyak digunakan remaja kelompok alay. Sumber:
www.souvenirbandung.com

- Telepon seluler
Telepon seluler merupakan salah satu benda terpenting yang dimiliki saat ini, pilihan seorang remaja
dalam menentukan tipe dan merk telepon seluler apa yang akan dibelinya biasanya lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor sosial, seperti lingkungan pergaulannya (Kosasih, 2004, h. 33). Dalam pemilihan
telepon seluler, kelompok alay dapat diamati terutama dari segi ekonominya karena benda elektronik
tetap dianggap sebagai barang mahal, sehingga tidak heran jika telepon seluler yang dimilikinya adalah
telepon seluler sederhana, yang belum dapat mengakses internet dengan cukup baik, berkamera namun
kemampuan pikselnya rendah.

Jika dihubungkan dengan gaya bahasa mereka yang rumit, dapat dibayangkan betapa cocoknya jika
ditunjang oleh telepon seluler yang memiliki tombol memadai, namun dari pengamatan langsung,
kebanyakan dari mereka memiliki telepon genggam yang tombolnya tidak unggul, seperti telepon seluler
bermerk Esia yang harganya tidak lebih dari dua ratus ribu rupiah yang banyak digunakan oleh kelompok
alay karena harganya yang terjangkau.

Gambar 13. Empat contoh telepon seluler yang bermerk Huawei, yang sudah diinject dengan nomor Esia-
Bakrie Telekom dengan harga terjangkau

b. Benda non-pakai
Konsumsi benda non-pakai yang dimaksud disini adalah apa yang digunakan oleh kelompok alay namun
tidak dikenakan langsung pada tubuh, yang akan dibahas adalah mengenai musik dan acara televisi.
- Musik
Remaja kelompok alay dikenal sebagai remaja yang menye-menye (istilah yang digunakan untuk
menyebut manja dan remeh temeh), musik yang disukainya pun termasuk musik dapat dikatakan
berkarakteristik seperti itu, tak jauh dari band-band lokal baru yang dua tahun belakangan sangat marak
bermunculan, sedikit dari band-band ini yang berisikan bakat-bakat musik sesungguhnya. Majalah Rolling
Stone pernah mengatakan bahwa band-band ini adalah petaka musik Indonesia, karena selain kualitas
bermusiknya rendah, kualitas lirik lagu yang mereka miliki pun sama rendahnya, kebanyakan berisi
mengenai curahan hati mengenai sang penulis tentang pujaan hatinya, tak jarang terdengar merintih
cengeng karena berbunyi kekecewaan dan terdengar picisan karena terlalu gamblang dalam mengungkap
maksud, padahal lirik lagu seperti halnya sajak atau puisi.
Contoh lirik lagu:

Kedua lirik di atas sering menjadi sasaran kritik para pengamat musik, dimana tidak terdapat
penggambaran maskulinitas lelaki disana. Sehingga orang-orang yang menyukai lirik lagu atau band
bersangkutan dianggap memiliki selera rendah dan sama cengengnya dengan pembuat liriknya.
Segelintir band yang termasuk di dalam kategori ini yaitu Kangen Band, ST12, D’Masiv, Hijau Daun, Matta,
The Potters, Armada, Salju, Goliath dan The Moon.

Gambar 14. Kelompok Musik Kangen Band asal Lampung

Gambar 15. Kelompok Musik Hijau Daun asal Lampung

Remaja kelompok alay juga banyak yang melibatkan diri sebagai slankers yang menyukai kelompok musik
Slank, namun bagi slankers kelompok alay yang tidak menghargai ideologi Slank sendiri dan hanya
sebatas menyukai dan sering meramaikan pertunjukkan Slank, seringkali terlihat brutal dalam kerumunan
penonton dan tidak jarang menjadi penyebab kerusuhan antara penonton.
Untuk musik yang berasal dari luar negeri, remaja alay menunjukkan kesukaan mereka terhadap musik
emo seperti Avanged Sevenfold atau Bullet for My Valentine dan musik lain sejenisnya yang mereka
anggap keras dan dapat mewakili sisi lain dari diri mereka.

Gambar 16. Band Amerika Serikat Avenged Sevenfold

- Acara Televisi
John Fiske dalam Storey (2008, h. 31) berpendapat bahwa “Komoditas budaya- termasuk televisi- yang
dari situ budaya massa tersebar dalam dua ekonomi sekaligus: ekonomi finansial dan ekonomi kultural.
Ekonomi finansial dan ekonomi kultural. Ekonomi finansial terutama menaruh perhatian pada nilai tukar,
sedangkan ekonomi kultural terutama berfokus pada nilai guna-‘makna, kesenangan dan identitas sosial’.”
Televisi kini merupakan sumber dari nilai-nilai masyarakat, terutama berupa identitas sosial, perilaku
eponim dari remaja terhadap bintang televisi yang disukainya menjadi identitas baru yang dapat
mengaburkan tetapi juga menyeragamkan identitas dirinya dengan orang lain.
Acara televisi yang merupakan konsumsi utama dari kelompok alay adalah acara musik yang kini
menjamur dan dimiliki oleh hampir semua stasiun televisi swasta, karena disitulah terdapat band-band
atau kelompok musik kesayangan mereka, adanya informasi mengenai perkembangan musik apa yang
sedang tren (berikut gaya apa yang dikenakan band atau penyanyinya), dan disinilah tempat mereka
dapat berpartisipasi aktif. Contoh partisipasi aktifnya yang utama adalah karena acara-acara seperti Inbox
(SCTV), Hip Hip Hura (SCTV), Derings (TransTV) atau Hits (RCTI) merupakan acara yang dapat disaksilan
langsung secara gratis, mereka dapat menonton langsung acara tersebut jika acara tersebut diadakan di
kota tempat mereka tinggal.

Gambar 17. Acara Derings di TransTV


Jika tidak menyaksikan langsung, di acara Inbox mereka masih dapat menyalurkan aspirasinya dalam
bentuk Short Message Service (SMS) yang berisi permintaan lagu, tentu saja menggunakan gaya penulisan
mereka yang khas dan seringkali disertai foto diri yang dikirimkan melalui Multimedia Message Service
(MMS), untuk mereka yang memiliki kamera dengan teknologi minimal 3G dan dilengkapi dengan
videocall, acara Inbox menyediakan layanan permintaan lewat video yang memungkinkan mereka dapat
terpampang di televisi walaupun hanya 1-2 menit saja.

Gambar 18. Acara Live show Inbox di salah satu mall di Jakarta
Selain acara musik tersebut, remaja kelompok alay biasanya menyukai acara reality show yang
menampilkan (sebagian besar) skenario konflik dalam hubungan pacaran yang diangkat dalam televisi,
sebut saja Lemon Tea, Backstreet, Pacar Pertama, Mak Comblang, Cinta Monyet (SCTV), Termehek-mehek,
Orang Ketiga, Realigi (TransTV), Mata Mata (RCTI) dan acara lainnya.

Gambar 19. Program Reality Show di televisi

Sinema Elektronik atau sinetron pun menjadi konsumsi acara televisi yang disukai oleh remaja alay,
khususnya remaja puteri, dimana di dalam sinetron dapat ditemui bintang-bintang idola mereka. Sinetron
yang kini banyak ditayangkan di televisi masih seputar hubungan percintaan, percintaan yang dilarang
oleh orangtua, konflik rumah tangga ataupun konflik dalam persahabatan (yang sedikit sekali ditawarkan
seperti diwakili oleh sinetron “Kepompong”). Sinetron yang merupakan pencitraan kehidupan realita ke
layar kaca juga menawarkan citra kemapanan yang dapat dilihat dari sebagian besar sinetron yang di
dalamnya tokoh adalah atau sangat berdekatan dengan kehidupan yang mewah, ini sangat menjanjikan
mimpi namun juga berusaha ditiru oleh remaja alay yang secara latar belakang ekonomi berbeda dengan
sebagian besar tokoh yang diangkat di sinetron.

ANALISIS

Implikasi Desain dan Fenomena Alay dalam Kaitannya dengan Perilaku Konsumsi Benda Pakai dan Benda
non-Pakainya
Kelompok alay merupakan suatu fenomena di masyarakat, fenomena: orang, benda, kejadian yang
menarik perhatian atau luar biasa sifatnya (Poerwadaminta), keberadaan alay belum teruji jika dianggap
sebagai paham ataupun ideologi, begitu pula jika dikatakan sebagai subkultur (kepercayaan yang berbeda
dengan kebudayaan induk mereka yang bersumber pada gaya hidup atau simbol-simbol) atau lebih jauh
lagi jika disebut sebagai generasi (sekalian orang yang kira-kira sama waktu hidupnya; angkatan, turunan)
karena ketahanan dari kesamaan orang-orang yang menjadi bagian di dalamnya belum teruji secara
akurat.
Maka implikasi yang dapat disimpulkan dari fenomena dan desain berupa metateori sebagaimana
dijelaskan berikut:

Terjadinya fenomena dapat menyebabkan adanya perubahan signifikan yang menimbulkan adanya
kebutuhan-kebutuhan baru yang dapat diakomodir dengan adanya penciptaan desain baru guna
memenuhi kebutuhan tersebut.
Seperti telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, salah satu faktor yang menyebabkan adanya klasifikasi
kelompok alay adalah selera dari remaja yang termasuk di dalamnya, selera tersebut lalu diaktualisasikan
ke dalam perilaku konsumsinya.

Sementara, bentuk desain nyata yang merupakan perwujudan dari kebutuhan baru adalah seperti yang
disebutkan di subbab sebelumnya, dapat dilihat dari adanya peniruan

Gambar 20. Tank-top DKNY buatan Hongkong (kiri) dan tank-top DKNY buatan lokal yang digunakan salah
seorang remaja kelompok alay (kanan- merk terpotong)
Produk lainnya yang dianggap merupakan sarana akomodasi komunikasi yang sangat dibutuhkan oleh
kelompok alay adalah telepon seluler, sebelumnya telah dijelaskan fenomena smartphone Blackberry di
masyarakat, produk Blackberry adalah telepon seluler yang fiturnya lengkap dan canggih namun harga
dari telepon seluler ini pun cukup tinggi, yaitu kisaran umum 4 juta rupiah ke atas, tergantung pada
modelnya. Produk tandingannya yaitu Nokia E63, E71 dan yang teranyar E72 dibandrol tidak kurang dari 3
juta rupiah saat kemunculannya.
Maka produsen telepon seluler lain yang tidak sepopuler produsen Blackberry mencoba mencari
pemecahan dengan membuat telepon seluler yang menyerupai Blackberry namun dengan harga jauh
lebih terjangkau, contoh yang paling menonjol adalah produk Nexianberry (gambar). Karena banyak orang
termasuk remaja alay kini memilih telepon seluler dengan prinsip “yang penting bisa buka facebook”
namun gaya pun menjadi pertimbangan.

Gambar 21. Blackberry Bold, yang merupakan produk Blackberry paling populer dan digunakan banyak
orang (atas), produk smartphone keluaran produsen Nokia yang disebut sebagai tandingan Blackberry –
model E63 (bawah).

Gambar 22. Produk Nexianberry yang mengikuti Blackberry, terutama dalam hal kemampuan akses
internet mudahnya (atas), telepon seluler MITO yang secara fisik menyerupai produk Nokia E63, E71 dan
E72. Kedua produk diatas harganya tidak mencapai satu juta rupiah atau sepertiga dari produk yang
menjadi orientasinya,

Walaupun dengan adanya inovasi desain yang memungkinkan terciptanya smartphone dengan harga
terjangkau, sebenarnya harga dari produk yang meniru tersebut masih tergolong mahal, kelompok alay
masih dapat menggunakan telepon seluler biasa (bukan smartphone) untuk kemudahan mengakses
internet. Lain halnya dengan kemunculan produk Esia terbaru yang secara fitur menggiurkan karena
kemudahan akses internetnya namun dipasarkan dengan harga yang sangat terjangkau yaitu
Rp.299.000,00. dan pada peluncuran perdananya langsung terjual dalam jumlah banyak.

Gambar 23. Iklan telepon seluler Esia Gayaku


Kecermatan produsen dalam membaca perilaku konsumen (dalam hal ini kelompok alay) merupakan
modal utama untuk kemudian menghasilkan desain dan produk yang tepat sasaran.

Anda mungkin juga menyukai