Anda di halaman 1dari 11

Menurut Prof.

Howard Barrows dan Kelson PBL adalah krurikulum dan proses pembelajaran,
dan didalam di dalam kurikulumnya dibahas masalah-masalah yang menuntut mahasiswa
mendap[atkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir memecahkan masalah dan
memiliki strategi belajar sendiri, sehingga memiliki kecakapan berpartisopasi dalam tim,
proses pembelajaran menggunakan metode pendekatan yang sistematik untuk memecahkan
masalah yang nanti diperlukan dalam karir dan kehidupan sehari-hari.

Menurut Dutch (1994) PBL adalah metode instruktisional yang menantang mahasiswa
“belajaar untuk belajar”, bekerja sama untuk mencari solusi bagi yang nyata.

B. Manfaat PBL

Menutur Smith (2005)

1. Meningkatkana kecakapan pemecahan masalahnya,

2. Lebih mudah mengingat,

3. Meningkatkan pemahaman,

4. Meningkatkan pengetahuannya yang relevan dengan dunia praktik,

5. Mendorong mereka penuh pemikirannya, membangun kemempuan,

kepemimpian, dan kerja sama kecakapan belajar dan motifasi belajar

Dalam Problem Base Learning (PBL), proses belajar mengajar berpusat

padapembelajar (Learner Center) yang membuat pembelajar terbedakan.

Sedangkan pendekatan dengan Teacher Center sudah dianggap tradisional dan perlu diubah
Ching and Gallow.2000) dikarenakan “pendidikan bukanlah satu- satunya orang yang
memiliki sumber pengetahuan.”

http://www.vilila.com/2010/10/pbl-tcl-dan-scl.html

Model lingkungan belajar konstruktivistik tersebut memberikan landasan yang kuat


dalam mendesain pendekatanproblem-based learning. Proses pembelajaran dengan
pendekatanproblem-based learning dijalankan dengan 8 langkah, yaitu: (1) menemukan
masalah, (2) mendefinisikan masalah, (3) mengumpulkan fakta-fakta, (4) menyusun dugaan
sementara, (5) menyelidiki, (6) menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan, (7)
menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif, (8) menguji solusi
permasalahan (Fogarty, 1997).

Menemukan masalah. Pebelajar diberikan masalah berstrukturill-defined yang diangkat dari


konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan permasalahan diungkapkan dengan kalimat-
kalimat yang pendek dan memberikan sedikit fakta-fakta di seputar konteks permasalahan.
Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada pebelajar untuk melakukan
penyelidikan. Pebelajar menggunakan kecerdasaninter dan intra-personal untuk saling
memahami dan saling berbagi pengetahuan antar anggota

1
kelompok terkait dengan permasalahan yang dikaji.

Berdasarkan strukturnya, masalah dalam pembelajaran dapat digolongkan menjadi dua


jenis, yaitu masalah yang terdefinisikan secara jelas (well-defined) dan masalah yang tidak
terdefinisikan secara jelas (ill-defined) (Hudoyo, 2002; Jensen, 1993; Qinet al.,
1995).Pengambilan masalah dari konteks nyata sangat bermanfaat bagi pebelajar dalam
mengembangkan kemampuannya memecahkan masalah. Hasil-hasil penelitian tentang
pemecahan masalah yang dipraktikan dalam kelas dengan masalah berstrukturill-defined
memberikan dampak-dampak sebagai berikut. (1) Penemuan masalah dapat meningkatkan
kreativitas. (2) Memotivasi pebelajar yang menjadikan belajar terasa menyenangkan. (3)
Masalah dengan strukturill-defined membutuhkan keterampilan yang berbeda dengan
masalah yang berbentukstandard-problem. (4) Mendorong pebelajar memahami dan
memperoleh hubungan-hubungan masalah dengan disiplin ilmu tertentu. (5) Informasi yang
masuk ke dalam memori jangka panjang lebih diperkuat dengan menggunakan masalah yang
berstrukturill-defined (Krulik & Rudnick, 1996). Mendefinisikan masalah. Pebelajar
mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri. Permasalahan dinyatakan dengan
parameter yang jelas. Pebelajar membuat beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu
disediakan. Pada langkah ini, pebelajar melibatkan kecerdasanintra-personal dan kemampuan
awal yang dimiliki dalam memahami dan mendefinisikan masalah. Mengumpulkan fakta-
fakta. Pebelajar membuka kembali pengalaman yang sudah

diperolehnya dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar melibatkan


kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang berhubungan dengan
permasalahan. Pada tahap ini, pebelajar mengorganisasikan informasi-informasi dengan
menggunakan istilah “apa yang diketahui (know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”,
dan “apa yang dilakukan (need to do)” untuk menganalisis permasalahan dan fakta-fakta
yang berhubungan dengan permasalahan. Menyusun dugaan sementara. Pebelajar menyusun
jawaban-jawaban sementara terhadap permasalahan dengan melibatkan kecerdasanlogic-
mathematical. Pebelajar juga melibatkan kecerdasaninterpersonal yang dimilikinya untuk
mengungkapkan apa yang dipikirkannya, membuat hubungan-hubungan, jawaban dugaannya,
dan penalaran mereka dengan langkah-langkah yang logis.

Menyelidiki. Pebelajar melakukan penyelidikan terhadap data-data dan informasi yang


diperolehnya berorientasi pada permasalahan. Pebelajar melibatkan kecerdasan majemuk
yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai informasi dan fakta-fakta yang
ditemukannya. Guru membuat struktur belajar yang memungkinkan pebelajar dapat
menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan memahami (multiple ways of knowing
and understanding) dunia mereka.
Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan. Pebelajar

menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksikannya melalui gambaran


nyata yang mereka pahami. Pebelajar melibatkan kecerdasanverbal-linguistic memperbaiki
pernyataan rumusan masalah sedapat mungkin menggunakan kata yang lebih tepat.
Perumusan ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan, dan menunjukkan secara
jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari, serta memberikan tujuan yang jelas dalam
menganalisis data.

Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif. Pebelajar berkolaborasi


mendiskusikan data dan informasi yang relevan dengan permasalahan. Setiap anggota
kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk mendiskusikan permasalahan dari berbagai

2
sudut pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah berada pada tahap
menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi.
Kolaborasi menjadi mediasi untuk menghimpun sejumlah alternatif pemecahan masalah yang
menghasilkan alternatif yang lebih baik ketimbang dilakukan secara individual.
Menguji solusi permasalahan. Pebelajar menguji alternatif pemecahan yang sesuai dengan
permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip antar anggota kelompok untuk
memperoleh hasil pemecahan terbaik. Pebelajar menggunakan kecerdasan majemuk untuk
menguji alternatif pemecahan masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat, membuatplot
untuk mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternatif pemecahan.

Pendekatanproblem-based learning yang bertolak dari pembelajaran konstruktivistik


memuat urutan prosedural yangnon-linear. Pembelajaran cenderung tidak berawal dan
berakhir (Willis & Wright, 2000). Pembelajaran berjalan dalam suatu siklus dengan tahapan-
tahapan berulang (recursive) (Wilson & Cole, 1996). Pembelajaran dengan
pendekatanproblem based-learning juga memberikan peluang bagi pebelajar untuk
melibatkan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang dimiliki pebelajar (Fogarty,
1997; Gardner, 1999b). Keterlibatan kecerdasan majemuk dalam pemecahan masalah dengan
pendekatanproblem based learning dapat menjadi wahana bagi pebelajar yang memiliki
kecerdasan majemuk beragam untuk melibatkan kemampuannya secara optimal dalam
memecahkan masalah.

Guru membentuk kelompok-kelompok pebelajar yang jumlah anggotanya 4-5 orang


(Boud & Felleti, 1997). Masing-masing kelompok mengumpulkan fakta-fakta dari
permasalahan, merepresentasi masalah, merumuskan model-model matematis untuk
penyelesaiannya, dan melakukan pengujian dengan perhitungan, dan menyajikan hasilnya di
depan kelas.

Guru berperan sebagai pembimbing dan menstimulasi pebelajar berpikir untuk


memecahkan masalah. Sebagai fasilitator, guru melatih kemampuan pebelajar berpikir secara
metakognisi. Ketika pebelajar menghadapi tantangan permasalahan dan diminta untuk
mencari pemecahannya, ia berada dalam situasi kesenjangan antar skema berpikir yang
dimilikinya dengan informasi-informasi baru yang dihadapinya. Pada saat ini, pebelajar
membutuhkan bantuan-bantuan untuk mencari pemecahan masalah agar kesenjangan dapat
dihilangkan. De Porteret al (2001) menyatakan, dalam situasi ini pebelajar mengambil resiko
yang dapat menjadi pembangkit minat belajar. Ketika pebelajar dihadapkan dengan
permasalahan, mereka keluar darizona nyaman kemudian bertualang untuk masuk ke dalam
situasi baru yang penuh resiko.

Belajar denganproblem-based learning dapat mengembangkan kemampuan pemecahan


masalah. Keterampilan-keterampilan pemecahan masalah sangat bermanfaat dalam
memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Belajar dengan pendekatanproblem based-
learning berangkat dari permasalahan dalam konteks nyata yang dikaitkan dengan

pemecahan masalah secara matematis. Pembelajaran dengan pendekatanproblem-based


learning memuat langkah-langkah yang koheren dengan proses pemecahan masalah. Polya
(1981) mengajukan empat tahap strategi pemecahan masalah yaitu: (1) memahami masalah,
(2) menyusun rencana pemecahan, (3) menjalankan rencana pemecahan, (4) menguji kembali
penyelesaian yang diperoleh. Dwiyogo (2000) menemukan bahwa proses pemecahan masalah
yang dilakukan oleh pebelajar mencakup tahap-tahap memahami masalah, merepresentasi
masalah, menentukan model, melakukan kalkulasi, dan menyimpulkan jawaban.

3
Pembelajaran dengan pendekatanproblem-based learning. Penilaian pembelajaran
menurut paradigma konstruktivistik merupakan bagian yang utuh dengan pembelajaran itu
sendiri. Bertolak dari pandangan ini, maka penilaian pembelajaran pemecahan masalah
dengan pendekatanproblem-based learning dilaksanakan secara terintegrasi dengan proses
pembelajaran. Oleh karenanya, penilaian pembelajaran dilaksanakn secara nyata dan autentik.

Penilaian pembelajaran denganproblem-based learning dilakukan denganauthentic assesment.


O’Malley dan Pierce (1996) mendefinisikan authentic assesmentse bagi bentuk penilaian di
kelas yang mencerminkan proses belajar, hasil belajar, motivasi, dan sikap terhadap kegiatan
pembelajaran yang relevan. Penilaian dapat dilakukan dengan portfolioyang merupakan
kumpulan yang sistematis pekerjaan-pekerjaan pebelajar yang
dianalisis untuk melihat kemajuan belajar dalam kurun waktu tertentu dalam kerangka
pencapaian tujuan pembelajaran. Marzanoet al (1993) mengemukakan bahwa penilaian
dengan portfolio dapat dipakai untuk penilaian pembelajaran yang dilakukan secara
kolaboratif. Menurut Oliver (2000) penilaian kolaboratif dalam pendekatanproblem based
learning dilakukan dengan cara evaluasi diri (self-assessment) danpeer-assessment. Self-
assessmentadalah penilaian yang dilakukan oleh pebelajar itu sendiri terhadap usaha-
usahanya dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada tujuan yang ingin dicapai (standard)
oleh pebelajar itu sendiri dalam belajar (Griffin dan Nix, 1991). Peer-assessmentadalah
penilaian di mana pebelajar berdiskusi untuk memberikan penilaian terhadap upaya dan hasil
penyelesaian tugas-tugas yang telah dilakukannya sendiri maupun oleh teman dalam
kelompoknya (Griffin dan Nix, 1991). Proses penilaian pembelajaran pemecahan masalah
mencakup penilaian proses dan produk, bertolak dari langkah-langkah pembelajaran dengan
pendekatanproblem-based learning oleh Fogarty (1997), koheren dengan langkah-langkah
penilaian autentik pembelajaran kontekstual menurut Johnson (2002); dan Marzanoet al
(1993), serta tahap- tahap pemecahan masalah menurut Polya (1981) dan Dwiyogo (2000).
3. Pembelajaran Kooperatif

Landasan teoretik dan konseptual pembelajatan kooperatif berakar dari pandangan


filosofis dan perspektif psikologis. Masing-masing kawasan psikologi memiliki perspektif
yang khas berdasarkan hasil pelacakannya terhadap pembela-jaran kooperatif selama ini.
Kawasan-kawasan psikologi yang banyak memberikan perhatian adalah psikologi
behavioristik, psikologi sosial, dan psikologi kognitif. (a) Perspektif Filosofis: ModelGroup
Investigation.Ide model pembelajaran group investigation bermula dari perpsektif filosofis
terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman.
Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah bukuDemocracy and Education (Arends,
1998). Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya
merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang
kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob,et al., 1996),
adalah: (1) pebelajar hendaknya aktif,

learning by doing; (2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah
berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan
dan minat pebelajar; (5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling
memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat
penting; (6) kegiatan belajar berhubungan dengan dunia nyata.

Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru, demokratis, guru dan
pebelajar memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh
kesepakatan. Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor,

4
konsultan, sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses
pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait
dengan proses pemecahan masalah berkenaan dengan kemampuan meneliti apa hakikat dan
fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi yang
diperlukan dan pengorganisasian kelompok untuk memperoleh informasi tersebut.
Pemaknaan perseorangan berkenaan dengan inferensi yang diorganisasi oleh kelompok dan
bagaimana membedakan kemampuan perseorangan. Sarana pendukung model pembelajaran
ini adalah: lembaran kerja pebelajar, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk pebelajar dan
untuk guru, peralatan penelitian yang sesuai, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau
ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu. Sebagai dampak pembelajaran adalah pandangan
konstruktivistik tentang pengetahuan, penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang
efektif, pemahaman yang mendalam. Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah hormat
terhadap HAM dan komitmen dalam bernegara, kebebasan sebagai pebelajar, penumbuhan
aspek sosial, interpersonal, dan intrapersonal.

Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam modelgroup-investigation yang


kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya
merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial antar
pribadi (Arends, 1998).

Modelgroup-investigation memiliki enam langkah pembelajaran sebagai berikut.


1. Grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih
topik, merumuskan permasalahan),
2. Planning (menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa
melakukan apa, apa tujuannya),
3. Investigation (saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan
informasi, menganalisis data, membuat inferensi),

Howard Barrows (2005) menyatakan PBL merepresentasikan metode belajar yang


“Learn-by-doing” dan akar dasarnya adalah metode pemagangan (apprenticeship), dimana
pemula mempelajari pengetahuan dan keterampilan dari bidang yang dipilihnya dengan
mengerjakan sesuatu dibawah panduan dan pengajaran seorang yang ahli, sampai ia nantinya
mampu menghasilkan karyanya sendiri. PBL telah mengembangkan metode pembelajaran
ini, yang barangkali sama tuanya dengan peradaban manusia, dengan pemahaman baru
melalui penelitian tentang pendidikan dan pengalaman dalam tiga puluh tahun terakhir.
Selayaknya seorang pakar, seorang pengajar menjadi tutor yang akan memfasilitasi proses
pembelajaran, dan memungkinkan mahasiswa mengambil banyak manfaat saat mereka
belajar.
Strategi dalam PBL adalah memberikan mahasiswa “problem” dan tugas yang akan
mereka hadapi dalam dunia kerja dan dalam proses usaha mereka memecahkan masalah
tersebut mahasiswa akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan atas
masalah itu. Karena itu, sebaiknya urutan-urutan pembelajaran mahasiswa paralel dengan
urutan kejadian yang terjadi di dunia kerja sehingga mahasiswa akan mendapatkan
keterampilan kognitif dan pengetahuan yang mereka butuhkan di dunia kerja saat mereka
belajar dengan konteks dunia kerja. Dalam proses ini mahasiswa bertanggung jawab atas
pembelajaran mereka sendiri karena keterampilan itu yang akan mereka butuhkan nantinya
dalam kehidupan profesional mereka. Mereka menerapkan apa yang telah mereka ketahui,
menemukan apa yang perlu mereka ketahui, dan belajar bagaimana mendapatkan informasi
yang dibutuhkan lewat berbagai sumber termasuk sumber-sumber online, perpustakaan,
profesional dan para pakar. Singkatnya, PBL bertujuan untuk mengembangkan dan

5
menerapkan kecakapan yang penting yakni pemecahan masalah, belajar sendiri, kerja sama
tim, dan pemerolehan yang luas atas pengetahuan (H.Barrows, 2005).
PBL kini telah meluas digunakan di seluruh dunia untuk semua tingkatan pendidikan,
mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan pascasarjana profesional. PBL juga optimal untuk
berbagai fakultas dan bidang. Berbagai fakultas yang mempunyai berbagai bidang baik
eksakta maupun non-eksakta, tentu memiliki suatu permasalahan yang secara tidak langsung
harus dapat dipecahkan oleh mahasiswa Tidak semua mata kuliah atau mata pelajaran
dimungkinkan untuk dilaksanakan dengan metode PBL. Mata kuliah tingkat lanjut lebih
cocok diajarkan dengan metode PBL karena dalam PBL pembelajaran mahasiswa dilakukan
dengan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang dimiliki mahasiswa dan
dari semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama individu. Mata
kuliah yang sangat relevan dilaksanakan dengan metode PBL adalah kelompok Mata Kuliah
Keahlian Berkarya (MKB). Mata kuliah selain kelompok MKB perlu ditingkatkan untuk
mendukung pelaksanaan mata kuliah ber-PBL dan mendukung paradigma studend-centered
learning. Proses pembelajaran dalam mata kuliah tersebut ditingkatkan dengan mengadopsi
pilar student-centered learning (Sudarman, 2007). Di sisi lain, mata kuliah kuantitatif lebih
cocok menggunakan metode PBL. Dalam PBL, mahasiswa diberikan soal hitungan yang
sederhana. Mahasiswa dapat mengerjakan soal tersebut cukup dengan membaca materi dari
text book. Dengan demikian, mahasiswa merasa percaya diri mengikuti perkuliahan hari
tersebut karena merasa bisa mengerjakan tugas yang diberikan. Lalu, ketika perkuliahan
dimulai dengan pembahasan tugas, mahasiswa bisa diminta satu per satu untuk mengerjakan
tugas di depan atau ditanya satu per satu. Pembahasan tugas tersebut dilanjutkan dengan
lecturing. Pada akhir pertemuan, inti materi hari tersebut serta kaitannya dengan materi untuk
pertemuan minggu selanjutnya ditekankan kembali. Pendidikan tinggi selain memberikan
teori-teori yang cukup, juga perlu memberikan contoh-contoh pemecahan problem nyata
dengan memanfaatkan teori-teori yang ada. Dengan demikian, pengembangan proses
pembelajaran secara alamiah disimulasi oleh masalah-masalah pada situasi nyata dimana
PBL menstimulasi proses belajar dengan menggunakan masalah-masalah tersebut pada
situasi nyata dari suatu bidang. Institusi, mahasiswa, pengajar masing-masing punya peran
yang saling menunjang. Para pengajar, terutama punya peran memberikan inspirasi agar
potensi mahasiswa dimaksimalkan. Para Pengajar harus mampu mengeluarkan kemampuan
setiap mahasiswa dan memungkinkan mereka berkembang. Para pengajar harus meneliti
ulang peran mereka kini. Untuk menghasilkan bibit mahasiswa yang baru, para pengajar dan
institusi juga harus berubah. Para pengajar juga harus “belajar” dan “belajar ulang” agar tetap
terus relevan dan menginspirasi mahasiswa kita untuk memaksimalkan potensi mereka.
PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik
konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih
sehingga pembelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan
masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu,
mahasiswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi
pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan
keterampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola
berpikir kritis (I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2007).
Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi bila masalah tersebut
bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri mahasiswa.
Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam
pertanyaan di sekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan….”, “mengapa bisa
terjadi….”, “bagaimana mengetahuinya…” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan
tersebut telah muncul dalam diri mahasiswa maka motivasi intrinsik mereka untuk belajar
akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran dosen sebagai fasilitator untuk

6
mengarahkan mahasiswa tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah”,
“apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan
tersebut dapat diketahui bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong
mahasiswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja
seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya. Lebih lanjut Arends
(2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh mahasiswa yang
diajar dengan PBL yaitu:
1. Inkuiri dan keterampilan melakukan pemecahan masalah,
2. Belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan
3. Keterampilan belajar mandiri (skills for independent learning).
Inkuiri dan keterampilan proses dalam pemecahan masalah telah dipaparkan
sebelumnya. Mahasiswa yang melakukan inkuiri dalam pembelajaran akan menggunakan
keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill) di mana mereka akan
melakukan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. PBL juga
bertujuan untuk membantu mahasiswa mahasiswa belajar secara mandiri. Pembelajaran PBL
dapat diterapkan bila didukung lingkungan belajar yang konstruktivistik. Lingkungan belajar
konstruktivistik mencakup beberapa faktor yaitu (Jonassen dalam Reigeluth (Ed), 1999:218):
kasus-kasus berhubungan, fleksibelitas kognisi, sumber-sumber informasi, cognitive tools,
pemodelan yang dinamis, percakapan dan kolaborasi, dan dukungan sosial dan kontekstual.
Kasus-kasus berhubungan, membantu mahasiswa untuk memahami pokok-pokok
permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat membantu mahasiswa belajar
mengidentifikasi akar masalah atau sumber masalah utama yang berdampak pada munculnya
masalah yang lain. Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu mahasiswa meningkatkan
kemampuan berpikir kritis yang sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari (I Wayan Dasna
dan Sutrisno, 2007). Fleksibelitas kognisi merepresentasi materi pokok dalam upaya
memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibelitas kognisi
dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk memberikan ide-
idenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi
dapat menumbuhkan kreativitas berpikir divergen di dalam mempresentasikan masalah. Dari
masalah yang mahasiswa tetapkan, mereka dapat mengembangkan langkah-langkah
pemecahan masalah, mereka dapat mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide
tersebut dapat didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan.
Sumber-sumber informasi, bermanfaat bagi mahasiswa dalam menyelidiki permasalahan.
Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak
dalam memanipulasi ruang permasalahan. Dalam konteks belajar sains, pengetahuan sains
yang dimiliki siswa terhadap masalah yang dipecahkan dapat digunakan sebagai acuan awal
dan dalam penelusuran bahan pustaka sesuai dengan masalah yang mereka pecahkan.
Percakapan dan kolaborasi, dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah.
Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi yang intensif
dimana terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan peserta diskusi dapat
membatu siswa mengembangkan komunikasi ilmiah, argumentasi yang logis, dan sikap
ilmiah. Dukungan sosial dan kontekstual, berhubungan dengan bagaimana masalah yang
menjadi fokus pembelajaran dapat membuat mahasiswa termotivasi untuk memecahkannya.
Dukungan sosial dalam kelompok, adanya kondisi yang saling memotivasi antarmahasiswa
dapat menumbuhkan kondisi ini. Suasana kompetitif antarkelompok juga dapat mendukung
kinerja kelompok. Dukungan sosial dan kontekstual hendaknya dapat diakomodasi oleh para
dosen untuk menyukseskan pelaksanaan pembelajaran (I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2007).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam
pembelajaran karena:

7
1. Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Mahasiswa yang belajar memecahkan
suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha
mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi
konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika mahasiswa berhadapan
dengan situasi di mana konsep diterapkan.
2. Dalam situasi PBL, mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara
simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka
lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam
aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran
berlangsung.
3. PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif mahasiswa
dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan
interpersonal dalam bekerja kelompok.
Gejala umum yang terjadi pada mahasiswa pada saat ini adalah “malas berpikir”
mereka cenderung menjawab suatu pertanyaan dengan cara mengutip dari buku atau bahan
pustaka lain tanpa mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap pendapat tersebut. Bila
keadaan ini berlangsung terus maka mahasiswa akan mengalami kesulitan mengaplikasikan
pengetahuan yang diperolehnya di kelas dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, pelajaran
di kelas adalah untuk memperoleh nilai ujian dan nilai ujian tersebut belum tentu relevan
dengan tingkat pemahaman mereka. Oleh sebab itu, model PBL mungkin dapat menjadi salah
satu solusi untuk mendorong mahasiswa berpikir dan bekerja dibanding menghafal dan
bercerita.Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode
ilmiah. Dengan demikian mahasiswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan
terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar
melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada mahasiswa.
Pengimplementasian Metode PBL dalam Pembelajaran Pembelajaran dapat
didefinisikan sebagai suatu proses yang mana suatu kegiatan berasal atau berubah lewat
reaksi dari suatu situasi yang dihadapi, dengan keadaan bahwa karakteristik-karakteristik dari
perubahan aktivitas tersebut tidak dapat dijelaskan dengan dasar kecendrungan-kecendrungan
reaksi asli, kematangan, atau perubahan-perubahan sementara dari organisme.(Learning is the
process by which an activity originates or is changed through reacting to an encountered
situation, provided that the characteristics of the change in activity cannot be explained on the
basis of native response tendencies, maturation, or temporary state of the organism) (Hilgard
dan Bower,1996,hal 2, di Bonoma,1987. Ada beberapa cara menerapkan PBL dalam
pembelajaran. Secara umum, penerapan model ini mulai dengan adanya masalah yang harus
dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh mahasiswa. Masalah tersebut dapat berasal dari
mahasiswa atau mungkin juga diberikan oleh pengajar. Mahasiswa akan memusatkan
pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, mahasiswa belajar teori dan
metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya (I Wayan
Dasna dan Sutrisno, 2007). Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-
langkah metode ilmiah. Dengan demikian mahasiswa belajar memecahkan masalah secara
sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman
belajar melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada mahasiswa. Berikut Diagram Sebab-
Akibat Pembentukan Suasana Akademik Kondusif: Gambar 4.2. Diagram Sebab-Akibat
Pembentukan Suasana Akademik Kondusif (Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri Program
Studi –BAN PT, 2002) Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL
paling sedikit ada delapan tahapan (Pannen, 2001), yaitu:
1.Mengidentifikasi masalah,
2.Mengumpulkan data,
3.Menganalisis data,

8
4.Memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya,
5.Memilih cara untuk memecahkan masalah,
6.Merencanakan penerapan pemecahan masalah,
7.Melakukan uji coba terhadap rencana yang ditetapkan, dan
8.Melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah.
Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat
berpikir, sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan
untuk mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills).
Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL.
Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan
kerja ilmiah seringkali menjadi ”masalah” bagi dosen dan siswa. Artinya, pemilihan masalah
yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah
yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya
tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh dosen pada
tahap ini. Walaupun dosen tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat
memfokuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan agar mahasiswa melakukan refleksi
lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini dosen harus berperan sebagai
fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakan. Suatu hal yang sangat
penting untuk diperhatikan dalam PBL adalah pertanyaan berbasis why bukan sekedar how.
Setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan mahasiswa dalam tahap tersebut
hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi kemampuan menjelaskan
permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Namun yang harus dicapai pada
akhir pembelajaran adalah kemampuannya untuk memahami permasalahan dan alasan
timbulnya permasalahan tersebut serta kedudukan permasalahan tersebut dalam tatanan
sistem yang sangat luas.
Infrastruktur dan Sumber Daya Pengajar dalam Menerapkan Metode PBL
Sebelum melaksanakan perkuliahan dengan metode PBL perlu dilakukan persiapan yang
lebih intensif. Dalam perkuliahan dengan metode PBL ada tiga komponen yang akan bekerja
yaitu (1) insitusi, (2) dosen dan asisten dosen, dan (3) mahasiswa. Ketiga komponen ini
bekerja sesuai peran atau tugas masing-masing untuk mencapai pembelajaran dalam mata
kuliah ber-PBL secara optimal. Institusi dalam PBL adalah perguruan tinggi atau satuan
pendidikan. Institusi ini akan mendukung pelaksanaan pembelajaran ber-PBL antara lain: (1)
mempersiapkan sarana perkuliahan, perpustakaan, dan alat-alat laboratorium, (2) menjamin
keterlaksanaan perkuliahan dengan mengganti kuliah yang tak terselenggara dan bila
diperlukan membentuk tim dosen mata kuliah, (3) menyediakan asisten perkuliahan, (4)
mempersiapkan sarana jaringan komputer, dan (5) merekam kehadiran perkuliahan
mahasiswa dalam database sehingga informasinya dapat digunakan untuk evaluasi
pelaksanaan mata kuliah ber-PBL. Dalam PBL, peran dosen dan asisten adalah sebagai
fasilitator pembelajaran dan membangun komunitas pembelajaran. Peran dosen adalah:
1.Mempersiapkan skenario yang akan dibahas pada tiap sesi dan mengatur silabus mata
kuliah dalam format Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS). Jumlah
sesi disesuaikan dengan cakupan materi, output, dan outcome dari perkuliahan.
2.Secara bertahap mempersiapkan materi perkuliahan dalam bentuk file elektronik dan
memberikan beberapa sumber antara lain buku referensi dan link website.
3.Mendorong para mahasiwa untuk mengeksplorasi pengetahuan yang diperlukan
selanjutnya. Dosen umumnya diharapkan untuk menahan diri tidak memberikan informasi,
sebaliknya mendorong dilakukannya diskusi dan pembelajaran antar para mahasiswa.
4.Sebagai evaluator. Walaupun peran dosen tidak lagi dominan dalam pelaksanaan
perkuliahan ber-PBL, namun tetap dosen bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan
pelaksanaan dan pencapaian tujuan perkuliahan. Untuk itu secara berkelanjutan, dosen perlu

9
mengevaluasi pelaksanaan perkuliahan dan melakukan perbaikan segera bilamana diperlukan
baik dari sisi content maupun proses.

Kajian Teoritis Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) merupakan salah satu


model pembelajaran untuk mengaitkan konten dengan konteks. Yang dimaksud dengan
konten adalah isi materi pelajaran, sedangkan konteks adalah situasi dunia nyata yang
dihadapi siswa sehari-hari. Konteks memberikan makna pada isi, yang semakin banyak
keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, semakin bermaknalah
isinya bagi mereka. Jadi sebagaian besar tugas guru menyediakan konteks. Semakin mampu
para siswa mengaitkan pelajaran-pelajaran akademis mereka dengan konteks ini, semakain
banyak makna yang akan mereka dapatkan dari pelajaran tersebut.(Johnson, 2002). Model
pembelajaran ini, dikenal juga dengan nama lain, seperti project based teaching, experience
based education, dan anchored instruction (Ibrahim dan Nur, 2004 dalam Suma, 2004),
problem based instruction (Jatmiko, 2004), serta authentic learning (Nurhadi, 2005: 109).
Pembelajaran berbasis masalah membantu siswa untuk belajar isi akademik dan keterampilan
memecahkan masalah dengan melibatkan siswa kepada situasi masalah dalam kehidupan
nyata sehari-hari. Dengan demikian, Problem Based Learning adalah suatu pendekatan
pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk
belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta memperoleh
pengetahuan dan konsep esensial dari materi pelajaran.

Pembelajaran berbasis masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk


mengajarkan proses-proses berpikir tingkat tinggi. Proses berpikir merupakan seperangkat
operasi mental, yang meliputi: pembentukan konsep, pembentukan prinsip, pemahaman,
pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan penelitian. Proses-proses tersebut pada
umumnya saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Proses-proses pembentukan
konsep, pembentukan prinsip, dan pemahaman merupakan proses-proses pengkonstruksian
pengetahuan. Proses-proses pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan penelitian
merupakan aplikasi konsep, prinsip, dan pemahaman (Santyasa, 2004). Pendekatan
pemecahan masalah merupakan suatu strategi atau pendekatan yang dirancang untuk
membantu proses pemecahan masalah sesuai dengan langkah-langkah yang terdapat pada
pola pemecahan masalah yakni mulai dari analisis, rencana, pemecahan, dan penilaian yang
melekat pada setiap tahap

Ada 4 (empat) ciri, Problem Based Learning, yaitu 1) pengajuan pertanyaan


(masalah), dimana masalah berpusat pada pertanyaan yang bermakna untuk siswa; 2)
terintegrasi dengan disiplin ilmu lain, dalam hal ini masalah yang diselidiki dapat ditinjau
dari berbagai sudut pandang mata pelajaran; 3) penyelidikan otentik, dimana siswa
menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat
ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen, membuat
inferensi, dan merumuskan kesimpulan; dan 4) menghasilkan produk atau karya dan
memamerkannya (Nurhadi, 2005: 110). Oleh karena itu, diperlukan keterlibatan guru secara
optimal mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian, sehingga Problem Based
Learning dapat berlangsung dengan efektif dan efesien.

Peran guru dalam Problem Based Learning adalah menyajikan masalah, mengajukan
pertanyaan, serta memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Problem Based Learning tidak dapat
dilaksanakan jika guru tidak mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan

10
terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Perilaku guru dalam Problem Based Learning
terlihat dari sintaks pembelajaran yang dilaksanakannya.

Langkah-langkah Pembelajaran

Terdapat 5 (lima) tahapan utama pada Problem Based Learning, yang dimulai dari guru
memperkenalkan siswa dengan suatu masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis
hasil kerja siswa (Suma, 2004), seperti pada tabel berikut:

TAHAP TINGKAH LAKU GURU


Tahap 1 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada
Orientasi siswa padaaktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya. Guru
masalah mendiskusikan rubrik asesmen yang akan digunakan dalam
menilai kegiatan/ hasil karya siswa
Tahap 2 Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan
Mengorganisasi siswamasalah tersebut
untuk belajar
Tahap 3 Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan
Membimbing penjelasan dan pemecahan masalah
penyelidikan individu
maupun kelompok
TAHAP TINGKAH LAKU GURU
Tahap 4 Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, model,
Mengembangkan dandan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan
menyajikan hasil karya temannya
Tahap 5 Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau
evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses
Menganalisis danyang mereka gunakan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah

Kesimpulan
1.Problem Based Learning (PBL) optimal untuk segala fakultas, tetapi tidak semua mata
kuliah dimungkinkan untuk dilaksanakan dengan metode PBL. Mata kuliah yang sangat
relevan dilaksanakan dengan metode PBL adalah mata kuliah kelompok Mata Kuliah
Keahlian Berkarya (MKB).
2.Secara umum pengimplementasian model ini mulai dengan adanya masalah yang harus
dipecahkan oleh mahasiswa. Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-
langkah metode ilmiah. Dengan demikian mahasiswa belajar memecahkan masalah secara
sistematis dan terencana.
3.Infrastruktur harus dipersiapkan dalam pelaksanaan PBL dengan baik. Institusi, mahasiswa,
pengajar masing-masing mempunyai peran yang saling menunjang. Para pengajar, terutama
mempunyai peran memberikan inspirasi agar potensi mahasiswa dimaksimalkan.

11

Anda mungkin juga menyukai