Anda di halaman 1dari 10

GAMBARAN HISTOLOGI TRANSDIFERENSIASI EPITEL PALATUM

SEKUNDER MENCIT (MUSMUSCULUS)

SALOMO HUTAHEAN
DYAH RATNA BUDIANI

Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam


Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN

Palatum sekunder adalah struktur di langit-langit mulut yang membatasi


rongga mulut dengan rongga nasofaring. Perkembangan palatum sekunder pada
vertebrata dari penonjolan jaringan di kedua sisi dalam maksila hingga menjadi
struktur fungsional yang memisahkan kedua rongga itu terjadi melalui serangkaian
proses yang rumit dan bervariasi antar kelas. Pada mencit, sebagaimana pada
hewan mamalia pada umumnya, proses ini melibatkan sejumlah kejadian dasar yang
penting pada perkembangan hewan, yaitu gerakan morfogenesis, sintesis senyawa
matriks spesifik, adesi sel, kematian sel, dan transdiferensiasi. Seluruh rangkaian
proses harus terkoordinasi dengan tepat, baik dari segi waktu maupun dari segi
jumlah dan jenis senyawa yang terlibat, Karena jika tidak demikian dapat
menyebabkan kegagalan penutupan palatum (Ferguson, 1988) .
Kegagalan penutupan palatum pacta masa embrio akan terwujud sebagai
cacat langit-langit mulut bercelah ( cleft palate) pada saat lahir. Pada manusia, cacat
jenis ini memiliki angka kejadian yang tinggi. Gorlin dkk dalam Kerrigan, dkk. (2000)
menempatkan cleft palate and lip di urutan tertinggi dari seluruh jenis cacat bawa
lahir yang dikenal pada penduduk dunia dengan angka rata-rata 1 kejadian per 700
kelahiran. Sampai saat ini etiologi cleft palate belum sepenuhnya terungkap, tetapi
telah diketahui bahwa faktor genetis dan faktor paparan agensia-agensia toksik dari
lingkungan (seperti etanol, retnoid, kafein, dioksin, dan berbagai jenis obat-obatan)
terhadap embrio yang sedang berkembang terminate di dalamnya.
Berdasarkan urutan kejadian perkembangannya, proses penutupan palatum
sekunder dapat dibagi ke dalam 4 tahapan, yaitu: 1.pertumbuhan vertikal 2.bilah
palatum dari tonjolan bilateral maksila, diikuti pertumbuhan menaik ( shelf
elevation) , dilanjutkan dengan tumbuh horizontal, dan diakhiri dengan fusi kedua
bilah palatum (palatal fusion) membentuk struktur sinambung yang menutup
sempurna langit-langit mulut. Fusi sinambung 2 bilah paltum dimungkinkan terjadi
Karena ujung epitel dari kedua sisi (Medial Edge Epithelia / MEE) bertransdiferensiasi
menjadi mesenkim (Kaartinen dkk) 1997; Martinez-Alvarez dkk., 2000). Shelf
elevation dan palatal fusion adalah 2 tahap paling genting dari proses palatogenesis.
Pada penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa antikonfulsi fenitoin (5,5-
difenilhidantoin) yang diberikan pada induk mencit bunting selama masa
organogenesis berlangsung dapat menginduksi cleft palate pada hingga 31,1 % dari
fetus hidup yang diperoleh (Hutahaean, 1998). Dari penelitian tersebut diduga "
hambatan penutupan palatum akibat fenitoin terjadi tahap akhir yaitu sebagai
gangguan transdiferensiasi pada tahap fusi. Dugaan tersebut masih perlu di teliti
penelitian ini dilakukan untuk mengkaji lebih lanjut tahapan spesifik perkembangan
palatum yang dihambat fenitoin .

©2004 Digitized by USU digital library 1


II. TINJAUAN PUSTAKA

Palatum pada mamalia adalah struktur langit-langit mulut yang membatasi


rongga nasofaring dengan rongga mulut. Secara anatomi palatum dibedakan antara
palatum keras (palatum durum)yang menempati wilayah anterior dan palatum lunak
(palatum mole) yang menempati wilayah posterior langit-langit mulut. Sedangkan
dari sudut perkembangannya palatum dibedakan antara palatum pertama (primary
palate) dengan palatum kedua (secondary palate) (Kent, 1987).
Pada hewan vertebrata dasar dari dinding skeleton kranium dibangun oleh
neurokranium.Pada chondri chtyes neurokranium bagian ventral berfungsi ganda,
yaitu sebagai lantai otak sekaligus sebagai atap rongga mulut. Mulai dari teleostei
neurokranium yang menjadi lantai otak tersebut dilapisi wilayah ventralnya oleh
tulang-tulang derivat palatokuadrat. Struktur tulang ini disebut palatum pertama.
Dengan demikian yang menjadi atap rongga nasofaring pada hewan kelas ini adalah
palatum pertama. Pada tetrapoda sepasang tonjolan bilateral jaringan fibromuskuler
tumbuh dari sisi dalam dinding maksila sebelah kiri dan kanan lain bertemu di
daerah medial langit-langit mulut. Struktur baru ini disebut palatum kedua
(secondary palate) yang membagi rongga oronasofaring menjadi rongga mulut dan
rongga nasofaring. Pada manusia palatum pertama (premaksila) menempati wilayah
langit-langit mulut anterior mulai dari foramen incisivus hingga batas lateral gigi
taring, sedangkan palatum kedua adalah seluruh wilayah posteriornya (Kent,1987).
Dalam penelitian ini yang dimaksudkan sebagai perkembangan palatum
(palatogenesis) adalah proses pembentukan palatum kedua.
Perkembangan palatum (palatogenesis) melibatkan koordinasi proses-proses
dasar perkembangan. Edelman (1983) menggunakan istilah proses-proses dasar
(primary processes) untuk menunjuk kejadian-kejadian yang menjadi landasan bagi
berlangsungnya perkembangan, yang terdiri dari: pembelahan sel, migrasi sel,
interaksi dan adesi sel, diferensiasi sel, dan kematian sel,(apoptosis) . Keseluruhan
kejadian tersebut juga terminate secara spesifik pada tahap-tahap tertentu dari
palatogenesis (Ferguson, 1988).
Ferguson (1988) membagi palatogenesis ke dalam 4 tahap, yaitu
pertumbuhan awal bilah palatum (initial palatal shelvas growth) , pertumbuhan
seperti mendaki (shelves elevation), pertumbuhan horizontal (horizontal shelves
growth), dan fusi (palatal fusion). Pada manusia seluruh kejadian tersebut
berlangsung antara minggu ke-7 hingga ke-12 kehamilan, sedangkan pada mencit
percobaan sekitar hari ke-9 hingga ke-15 kebuntingan (Kerrigan, dkk., 2000).
Pada mamalia pertumbuhan awal palatum dimulai dari terbentuknya tonjolan
bilateral dari sisi dalam dinding maksila. Pada awalnya pertumbuhan bilah terjadi
secara vertikal dengan kedua ujung bilah mengarah ke dasar mulut. Pada tahap
berikutnya ujung-ujung bilah palatum akan tumbuh menaik seperti mendaki hingga
menempatkan diri di atas punggung lidah yang sedang berkembang.Tahap ini
diperkirakan juga sebagai salah satu tahap kritis keberhasilan palatogenesis, Karena
seperti ditunjukkan oleh Burdett, dkk. Dalam Ferguson (1988) terdapat 2 puncak
sintesis DNA sepanjang palatogenesis yaitu pada saat awal pertumbuhan bilah dan di
sekitar waktu shelves elevation.
Kemampuan bilah palatum tumbuh mendaki disebabkan oleh daya ungkit diri
(intrinsic shelves elevating force) yang terbentuk di bilah palatum oleh berbagai
faktor terutama akumulasi spesifik .Hialuronan secara regional di bilah palatum.
Pada tahap ini distribusi hialuronan di bilah palatum lebih banyak di aspek oral
daripada di aspek nasalnya. Hialuronan adalah senyawa yang sangat polar dengan
kemampuan mengikat air hingga ratusan kali lebih besar daripada berat molekulnya.

©2004 Digitized by USU digital library 2


Dengan demikian perubahan konsentrasi hialuronan yang kecil saja di suatu wilayah
jaringan dapat menimbulkan perubahan kesetimbangan osmosis yang besar
(Ferguson, 1988) .
Akumulasi hialuronan yang lebih tinggi di aspek oral bilah palatum memicu
hidrasi dan pembengkakan wilayah setempat sehingga densitas sel di wilayah
tersebut menjadi lebih rendah. Densitas sel yang lebih rendah mendorong
pembelahan sel yang lebih giat sehingga pertumbuhan aspek oral menjadi lebih
cepat dibandingkan dengan pertumbuhan aspek nasal menyebabkan ujung- ujung
bilah menjadi tumbuh seperti mendaki. Selain hialuronan, kolagen tipe I juga turut
membangun daya ungkit diri bilah palatum dengan cara mengorganisasi diri dalam
bentuk berkas memanjang dari dasar hingga ujung bilah. Sintesis hialuronan di bilah
palatum distimuIasi oleh EGF dan TGF-β1 (Ferguson, 1988).
Tahap pertumbuhan mendaki hanya membutuhkan waktu yang singkat yaitu
beberapa menit hingga jam. Setelah itu bilah palatum yang kini sudah menempati
posisi di atas lidah akan tumbuh saling mendekat secara horizontal dari kedua arah
hingga terjadi kontak antara kedua ujungnya. Proses tumbuh horizontal melibatkan
aktivitas pembelahan sel dan sintesis senyawa matriks ekstrasel (Ferguson, 1988).
Kontak antara 2 ujung bilah palatum memicu serangkaian proses yang
diarahkan pada keberhasilan fusi palatum membentuk struktur sinambung yang
kokoh menutup sempurna langit-langit mulut. Sebelum kontak terjadi bilah palatum
telah rnemiliki struktur histologi seperti pada Gambar 4, yaitu jaringan mesenkim
sebagai struktur tubuh bilah palatum dan jaringan epitel melapisi sisi luarnya.
Demikian juga telah dapat dibedakan epitel di 3 wilayah, yaitu di aspek oral, epitel
aspek nasal dan epitel aspek medial (Medial Edge Epithelium/MEE). Kontak terjadi
antar MEE dari kedua bilah yang segera diikuti oleh pembentukan anyaman epitel.
Usia anyaman epitel tersebut ternyata sangat singkat Karena setelah anyaman
terbentuk sel-selnya dengan segera terdegradasi. Degradasi MEE menyebabkan
lapisan mesenkim dari kedua arah dapat tumbuh membentuk struktur sinambung
(Kaartinen dkk, 1997; Griffith & Hay, 1992). Terdapat beberapa pendapat tentang
degradasi anyaman epitel MEE, yaitu melalui kematian sel (apoptosis) ( Shapiro &
Sweney dalam Kerrigan, 2000) atau melalui migrasi sel ke aspek oral dan nasal bilah
(Bittencourt & Bolognese, 2000) atau melalui transdiferensiasi epitel menjadi
mesenkim (Kaartinen,dkk.1997). Pendapat yang umum diterima saat ini adalah
bahwa kemungkinan ketiga kejadian tersebut terminate dalam fusi bilah palatum
tetapi pada wilayah epitel yang berbeda (Kerrigan, 2000).
Growth factor kunci yang berperan dalam, transdiferensiasi MEE adalah
Transforming Growth Factor-β3 (TGF-β3). Taya, dkk. (1999) melaporkan bahwa
mencit TGF-β3 knockout ternyata lahir dengan cacat celah langit-langit. Demikian
juga telah dilaporkan bahwa pada palatum ayam yang secara normal sel-selnya tidak
Mengekspresikan TGF-β3 kondisi langit-langit mulutnya selalu bercelah (celah langit-
langit fisiologis). Pada percobaan invitro ternyata celah tersebut dapat distimulasi
menutup melalui pemberian TGF-β3 (Sun, dkk., 1998).
Selain growth factor, senyawa matriks ekstrasel hialuronan diperkirakan turut
berperan dalam transdiferensiasi MEE. Yamada (1983) mengemukakan bahwa agar
transdiferensiasi epitel ke mesenkim dapat berlangsung dibutuhkan 3 syarat, yakni
degradasi membrana basalis, pelonggaran tautan sel, dan tersedianya ruang antarsel
yang lebih longgar.
Kerja TGF-β3 dalam transdiferensiasi MEE Blavier (2001) ditunjukkan terkait
dengan sintesis enzim-enzim Matrix Metalloproteinase (MMP) khususnya hidrasi
jaringan yang dipicunya melengkapi 2 kondisi lain yang diperlukan untuk
transdiferensiasi tersebut.
Cacat celah langit-langit (cleft palate) termasuk salah satu jenis cacat bawa
lahir yang sering dijumpai di masyarakat. Berdasarkan data yang dikumpulkan sejak

©2004 Digitized by USU digital library 3


tahun 1991 hingga 1994 dari 14 Rumah Sakit di 11 propinsi di Indonesia cacat celah
langit-langit dan celah bibir (cleft palate and lip) ditempatkan oleh Kadri, dkk. (1995)
di urutan ke-5 dari seluruh kejadian kecacatan yang di temukan. Gorlin dkk., dalam
Kerrigan, dkk. (2000) bahkan menempatkan cleft palate and lip di urutan tertinggi
dari seluruh jenis cacat bawa lahir yang dikenal pada penduduk dunia dengan angka
rata-rata 1 kejadian per 700 kelahiran.
Cacat celah langit-langit adalah manifestasi dari gangguan yang terjadi di
salah satu titik sepanjang proses palatogenesis. Kerrigan, dkk. (2000) menyatakan
bahwa terdapat 2 titik kritis dalam palatogenesis, yaitu keberhasilan bilah palatum
membentuk daya ungkit diri pada tahap shelves elevation dan keberhasilan
transdiferensiasi epitel ke mesenkim pada tahap fusi palatum.
Cacat celah pacta manusia menurut Wyzynski & Beaty (1996) telah dipastikan
antara lain dapat diinduksi oleh tembakau (merokok) , defisiensi vitamin tetapi juga
kelebihan terutama vitamin A, epilepsi dan obat-obatan antiepilepsi, pelarut organik,
alkohol, dan bahan-bahan kimia pertanian.
Penanganan cacat celah langit-langit yang dilakukan saat ini adalah melalui
tindakan operasi. Tergantung pada derajat abnormalitas struktur serta gangguan
perkembangan struktur lain di sekelilingnya, Tsukada dan Taniguchi (1993).
Menggambarkan prosedur operasi untuk koreksi cacat celah langit-langit sebagai
operasi yang mungkin mahal dan lama. Oleh karena itu upaya preventif menjadi
pilihan tindakan paling rasional dalam menekan angka kejadian cacat bawa lahir.
Upaya preventif seperti itu membutuhkan lnformasi tentang agensia potensial
penginduksi cacat dan mekanisme kerja hambatannya (Czeizel, 2001).
Fenitoin (5,5-difenilhidantoin) adalah senyawa sintetik yang digunakan
sebagai obat antikonfulsi (antiepilepsi, antikejang). Fenitoin yang diberikan pada ibu
hamil telah sering dilaporkan dapat menginduksi kelainan perkembangan pada bayi
yang secara umum disebut fetal hydantoin syndrome, dengan salah satu wujud
kecacatan berupa langit-langit mulut bercelah. Pada mencit percobaan, fenitoin yang
diberikan selama masa organogenesis(kebuntingan hari ke-7 hingga hari ke-
16)mampu menginduksi hingga 31 % cacat cleft palate pada fetus yang dihasilkan
(Hutahaean, 1998).

III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini,bertujuan untuk:


1. Mengkaji pengaruh fenitoin terhadap proses penutupan palatum sekunder
mencit secara in vitro
2. Memperoleh gambaran histologis palatum mencit akibat pemberian fenitoin
3. Menentukan tahapan spesifik palatogenesis mencit yang dihambat fenitoin.
Sedangkan manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah dalam kerangka
memperoleh informasi tentang mekanisme hambatan palatogenesis oleh fenitoin.
Informasi tentang mekanisme induksi cacat oleh berbagai agensia sangat penting
diungkap khususnya pada jenis cacat yang bersifat multi-causal seperti cleft palate.
cara tersebut dibagi ke dalam 2 kelompok.
Pengembangan upaya pencegahan cleft palate hanya mungkin dilakukan
apabila informasi–informasi dasar tentang seluk-beluk palatogenesis dan mekanisme
gangguan perkembangan palatum oleh berbagai agensia telah dipahami

©2004 Digitized by USU digital library 4


IV. METODE PENELITIAN

A.Bahan Penelitian
Sebagai hewan percobaan digunakan mencit betina umur 10 minggu dengan
berat badan 25-30 gram, galur swiss. Untuk medium kultur organ digunakan
Dulbecco's Modified' Eagle's Medium (DMEM) yang diperkaya dengan L-glutamin dan
glukosa (Sigma, no,cat, D-2902), antibiotika penisilin dan streptomycin (Sigma),
serta 5,5- diphenylhydantoin (sigma).

B. Cara Kerja

a. Percobaan in vivo.
Mencit bunting diperoleh dengan cara menempatkan 4 ekor mencit betina
percobaan di dalam satu kandang dengan satu ekor jantan fertil semalaman. Jika
pada keesokan paginya ditemukan sumbat vagina maka saat tersebut ditentukan
sebagai kebuntingan hari ke-0. Duabelas ekor mencit bunting yang diperoleh dengan
Kelompok pertama sebagai kelompok perlakuan diberi fenitoin dengan dosis 150
mg/kg berat badan selama 4 hari, yaitu sejak hari ke-10 hingga hari ke-13
kebuntingan. Selanjutnya pada akhir hari ke-15 kebuntingan seluruh hewan coba
dikurbankan, dibedah caesar dan diangkat fetusnya. Pada wilayah mulut fetus dibuat
irisan yang meneruskan bukaan mulut ke belakang sehingga langit-langit mulut
terbuka untuk diamati. Dengan cara ini jumlah fetus yang langit-langit mulutnya
menutup sempurna, dan yang langit-langit mulutnya bercelah dihitung.

b. Percobaan in vitro
Untuk percobaan in vitro dipelihara hewan bunting sebanyak 4 ekor. Pada
usia kebuntingan 14 hari sejumlah 24 struktur kraniofasial fetus diisolasi secara
aseptik, dibagi ke dalam 2 kelompok, dan masing-masing kelompok dan dibiakkan
selama 24 jam secara in vitro di dalam medium yang telah diberi atau 200 pg/ml
fenitoin. Pada akhir biakan, perkembangan eksplan diamati dan selanjutnya organ
difiksasi dan dibuat sediaan histologis melalui metode parafin.Rincian pekerjaan
kultur organ palatum adalah sebagai berikut:
1. Persiapan Medium
Sebanyak 10 gram serbuk medium DMEM dituang perlahan-lahan ke dalam
erlenmeyer yang telah diberi 900 ml air milli-Q sambil diaduk dengan pengaduk
magnet. Putaran magnet dipasang pada kecepatan redah. Setelah larut di
tambahkan 3, 7 gram natrium bikarbonat lalu volume larutan dipenuhkan hingga
1000 ml, kemudian pH larutan diukur (7,4). Sterilisasi medium dilakukan secara
filtrasi dengan bantuan alat vakum. Filter untuk sterilisasi menggunakan filter
milipore steril ukuran pori 0,22 µm. Tetesan medium ditampung pada botol steril.

2. Persiapan eksplan
Mencit bunting (hari ke-14 kebuntingan) dibedah, lalu uterus diangkat ke
dalam larutan PES yang diletakkan di atas wadah berisi es. Selanjutnya uterus
dibuka dan embrio dipindah ke PES baru. Dengan menggunakan pisau steril struktur
kraniofasial diisolasi dengan cara membuat irisan meneruskan bukaan mulut hingga
ke belakang. Struktur inilah yang selanjutnya dibiakkan (eksplan) .

©2004 Digitized by USU digital library 5


3 . Pelaksanaan biakan
Menjelang pelaksanan biakan, 1 ml medium dimasukkan ke dalam wadah
kultur, lalu di bagian

Gambar 1. Penempatan eksplan di wadah kultur. Wadah kultur menggunakan


petri khusus yang memiliki sumuran tunggal tempat medium diteteskan. Di atas
sumuran dipasang kisi-kisi baja (raft) steril, tempat kertas saring yang telah dibasahi
dengan medium ditumpangkan. Eksplan yang diletakkan di atas kertas saring.
Atasnya dipasangi kisi-kisi baja bebas karat (raft). Ke atas raft dipasang kertas
saring steril yang telah dibasahi dengan medium, dan akhirnya eksplan diletakkan di
atas kertas saring tersebut. Dengan cara ini eksplan akan memperoleh nutrisi
melalui hisapan kertas saring terhadap medium di bawahnya dan oleh adanya raft
eksplan tidak tenggelam ke dalam medium. Gambar 1 menunjukkan cara
penempatan eksplan pacta wadah kultur. Duapuluh empat struktur kraniofasial
dipasang dengan cara ini, 12 diantaranya diberi perlakuan fenitoin sedangkan
sisanya sebagai kontrol. Perlakuan fenitoin diberikan langsung ke dalam medium
dengan konsentrasi 200 µg/ml.Biakan selanjutnya disimpan di dalam inkubator CO2
yang diatur pacta suhu 37 °C dan kandungan CO2 udara 5 %. Biakan disimpan
selama 24 jam, hematoksilin dan eosin. Struktur histologis diamati perbedaannya
antara kelompok perlakuan dengan kontrol.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Percobaan invivo


1. Status implantasi
Status implamantasi yang meliputi data jumlah fetus hidup, jumlah fetus
mati, dan jumlah fetus yang diresorpsi pada pengamatan usia kebuntingan hari ke-
15 beserta analisis variannya disajkan pada lampiran 1 hingga lampiran 8.
Rataannya disajikan pada tabel 1.
Berdasarkan data yang di[peroleh pemberian fenotoin kepada induk buncit
bunting dengan dosis 150 mg/kg berat badan selama 4 hari (hari ke-10 hingga ke-
13) ternyata tidak berpengaruh terhadap status implantasi kandungannya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Wilson (1978) bahwa periode perkembangan usia
kebuntingan hari ke-10 hingga ke-13 pada mencit termasuk periode organogenesis.

©2004 Digitized by USU digital library 6


Berbeda dengan periode sebelumnya (pradiferensiasi) yang rentan terhadap efek
agensia toksis yang mengarah ke matian , periode

Tabel 1. Rataan jumlah fetus hidup, jumlahfetus mati, dan jumlah fetus diresorpsi
dari induk mencit yang diberi fenitoin.

Dosis Feniton Jumlah Rataan Jumlah Fetus


(mg/kg BB) Induk Hidup Mati Diresopsi
0 6 10,50a 0,33a 0,50a
150 6 10,33a 0,50a 0,83a
Keterangan : huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak ada
perbedaan yang nyata (P<0,05)

Organogenesis lebih rentan terhadapa gangguan agensia iksik dengan


manifestasi ganguan berupa kelainan perkembangan.

2. Induksi Cleaft Palate


Datajumlah dan frekwensi kejadian cleft palate pada fetus mencit yang
induknya diberi perlakuan feniton disajikan pada tabel 2. Berdasarkan data yang
diperoleh pemberian feniton pada kebuntingan hari ke – 10 hingga ke – 13 telah
menginduksi cacat cleft palate pada 27 % fetus yang dihasilkan. Hasil percobaan in
vivo ini menunjukkan bahwa hambatan fenitoin terhadap penutupan langit-langit
mulut embrio terjadi sejak awal proses palatogenesis.

Tabel 2. Jumlah dan frekuensi fetus terinduksi cacat cleft palate dari induk yang
diberi fenitoin.
Jumlah
Dosis Feniton
(mg/kg BB) Fetus Fetus cacat
Induk
diamati Cleaft palate
0 6 63 1 (0,01)
150 6 62 17 (27%)

Hasil yang diperoleh berbeda dengan dugaan sebelumnya bahwa fenitoin


mengganggu proses transdiferensiasi sel yang terjadi pada tahap akhir penutupan
palatum.Hasil yang diperoleh menjadi petunjuk awal bahwa, bukan transdiferensiasi
melainkan proses yang terjadi sebelumnyalah yang diganggu oleh fenitoin dalam
induksi cacat cleft palate.

B. Hasil percobaan in vitro


Data hasil percobaan pemberian fenitoin ke medium tumbuh fenitoin (in vitro)
disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. pengaruh feniton terhadap fusi palatum dari eksplan usia kebuntingan hari
ke14 yang dibiakkan in vitro selama 24 jam.

Dosis Jumlah
Feniton
(µ/ml) eksplan Eksplan Eksplan Platum
hidup mati Fusi(%)
0 12 8 4 8
200 12 7 5 7

©2004 Digitized by USU digital library 7


Hasil percobaan menunjukkan bahwa biakan palatum yang diperoleh dari
fetus usia kebuntingan hari ke-14 ternyata sebagian mampu tumbuh dan
berkembang sempurna di dalam medium DMEM. Dari 12 eksplan yang ditumbuhkan
pada kontrol, 4 eksplan mengalami kematian sedangkan 8 lainnya hidup dan
melanjutkan perkembangan hingga palatum menutup sempurna. Hal yang ama
diperoleh pada pemberian 200 pg/ml fenitoin, dari 12 eksplan yang dikultur 5
mengalami kematian sedangkan sisanya menutup dengan sempurna. Hasil yang
sama diperoleh pada pemberian 200 pg/ml fenitoin, dari 12 eksplan yang dikultur 5
mengalami kematian sedangkan sisanya menutup dengan sempurna. Hasil yang
diperoleh ini bersesuaian dengan pengamatan in vivo bahwa, tahap palatogenesis
yang dihambat fenitoin tarnpaknya bukanlah transdiferensiasi yang terjadi di akhir
proses palatogenesis melainkan lebih awal daripada tahap tersebut.
Pengamatan hasil sediaan histologis pada Gambar2 menunjukkan langit-langit
mulut yang menutup sempurna, baik pada kontrol maupun perlakuan. Perbedaan
pada tingkat jaringan antara perlakuan dengan kontrol terlihat pada susunan gel-gel
mesenkim bilah palatum kelompok perlakua yang lebih padat dibandingkan dengan
gel-gel mesenkim bilah palatum kontrol. Perbedaan seperti itu diinterpretasikan
sebagai akibat efek fenitoin terhadap berkurangnya sintesis senyawa matriks
ekstrasel. Hambatan sintesis matriks seperti itu bersesuaian dengan efek fenitoin
yang sebelumnya telah dilaporkan menekan ekspresi TGF-β1 dan EGF yang
mengontrol sintesis hialuronan di palatum, yaitu senyawa matriks ekstrasel utama
pada jaringan tersebut

©2004 Digitized by USU digital library 8


Gambar 2. Irisan histologi palatum hasil biakan. Pada A (kontrol) dan B (perlakuan)
fenitoin 200 µg/ml(medium) palatum penutup (tanda panah). Pada C susunan
kelom[pok perlakuan lebih padat densitasnya dibandingkan dengan kelompok kontrol
(D). sn : septum nasalis; bp ; bilah palatum.
Meskipun demikian pada percobaan ini hambatan tersebut belum mampu
mengindukdi cleaft plate, kemungkinan karena terjadi setelah shelves elevation dan
diperoleh ini bersesuaian dengan pengamatan in vivo bahwa, horizontal growth telah
terlampaui. Hambatan sintesis matriks ekstasel jika terjadi lebih awal akan menekan
pertumbuhan bilah karena sel-sel yang padat densitasnya akan terhalang
berproliferasi demikian juga shelves elevation dapat tertunda karena proses genting
tersebut membutuhkan senyawa matriks dengan jumlah dan distribusi spesifik di
jaringan palatum. Lebih jauh lagi gangguan komposisi matriks ekstrasel dapat
mengganggu kemampuan sel-sel mesenkim menginduksi transdiferensiasi epitel
MEE.

VI. KESIMPULAN

1. Fenitoin menginduksi cleft palate mencit jika diberikan pada tingkat awal hingga
pertengahan perkembangan palatum, tetapi tidak pada tahap khirnya. Secara
spesifik hambatan terjadi sebelum transdiferensiasi sel MEE pada tahap fusi
berlangsung.
2. Efek induksi cleft palate oleh fenitoin diperkirakan melibatkan hambatan sintesis
senyawa matriks ekstra sel.

DAFTAR PUSTAKA

Bittencourt, M.A.V., dan A.M. Bolognese.2000 Epithelial alterations of secondary


palate formation. Braz Dent J 11(2) :117-126.

Blavier, L., A. Lazaryev, J. groffen, N. Heisterkamp, , Y.A. DeClerck, dan V.


Kaartinen. 2001. TGF-β3-Induced Palatogenesis Requires Matrix
Metalloproteinases. Molecular Biology of the Cell 12: 1457-1466.

Czeizel, A.E. 2001. Primary Prevention of Congenital Abnormalities. Congo Anom.


41:124-125.

Drury, R.A.B., daD E.A. Wallington. 1976. Charleton's Histological Technique. Oxford
Uni v. Press. Edelman, G.M. 1983. 19:450-457.

Ferguson, M.Q.J. 1988. Palate Development. 103 (Suppl): 41-60.

Freshney, R.I. 1989. Animal cell culture: a practical approach. IRL Press. Oxford,
Washington DC.

Griffith, C.M., daD E.D. Hay. 1992. Epithelia Mesenchymal Transformation During
Palatal Fusion: Carboxy fluorescein Traces Cells at Light and Electron
Microscopic Levels. Development 116: 1087-1099. .

Hutahaean, S. 1998. Pen ga ruh Fenitoin terhadap Kalsifikasi Skeleton, Pengapuran


Arteri dan Kecacatan Fetus Mencit (Mus musculus L). UGM, Yogyakarta,
tesis 82.

©2004 Digitized by USU digital library 9


Kaartinen, V., Xiao-Mei Cui, N. Heisterkamp, J. Goffen, dan C. F. sbuler. 1997.
Transforming Growth Factor β3 Regulates Transdifferentiaion of Medial
Edge Epibelium during Palatal Fusion and Associated Degradation of the
Basement Membrane. Developmental Dynamics 209:255-260.

Kadri, N., [et,al] . Congenital Malformations and Detormations in Provincial Hospitals


in Indonesia. Congo Anom. 35:411-423.

Kent, G.C. 1987. Comparative Anatomy Vertebrates. Times Miror/Mosby colage


publishing .St.Louis, USA.

Kerrigan, J.J[et.al]. 2000. Palatogenesis and potential mechanism for clefting. J.R.
Coll. Surg. Edinb., 45: 351-358.

Martinez-Alvarez, C[et.al]. 2000. Medial edge epithelial cell fate during palatal fusion.
Dev Biol 220(2): 343-357.

Singh, M., dan G. L. Shah. 1989. Teratogenic effect of phenytoin on chick embryos.
Teratology 40: 453-450.

Sun, D, C.R Vanderburg, G.S.1998. TGF-β3 Promotes Transformation of Chicken


Palate Medial Edge Epithelium to Mesenchyme in vitro. Development
125: 95-105.

Taya, Y. S> O’Kane. [and] M.W.J. Ferguson 1999.Pathogenesis of cleft palate in TGF-
β3 knockout mice.Development 126:3869-3979.

Tsukada, S., dan W. Taniguchi. 2000. Clinical aspects of cleaft lip and cleft palate
patients treated at Kanazawa Medical University Hospital from 1974 to
1993. Cong. Anom.. 33: 345-355.

Wilsan, J.G. 1973. Envuronment and Birth Defects. Academic Press, New York.

Wyzinky,D.F dan T II Beaty. 1996. Review of the the role of Potensial Teratogens in
the Origin of Human Non-Syndromic Oral Clefts. Teratology 53: 309-
317.

©2004 Digitized by USU digital library 10

Anda mungkin juga menyukai