Oleh: DANANG INSITA PUTRA MAHASISWA PASCA SARJANA MANAJEMEN BENCANA UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA
Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia terutama terjadi di perkotaan
pada umumnya tidak diiringi dengan kebijakan pembangunan yang matang untuk dapat menampung “tekanan” tersebut. Hal tersebut menimbulkan berbagai dampak negatif baik dari sisi fisik, ekonomi, sosial maupun budaya yang berimplikasi pada menurunnya daya dukung tanah, sehingga meningkatkan kerentanan (vulnerability) terhadap bencana. Secara langsung maupun tidak langsung beberapa bencana yang terjadi adalah terkait dengan kebijakan pembangunan Pemerintah yang salah, terutama kaitannya dalam kesalahan membaca perilaku alam yang selalu dinamis. Makalah ini mencoba menarik hubungan antara kebijakan pembangunan dengan risiko bencana dalam perspektif ketahanan. Kebijakan menurut Carl Friedrich dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan dan kesempatan untuk mencapai tujuan tertentu1. Thomas Dye secara lebih tegas memberikan porsi kebijakan (policies) adalah berada di tangan Pemerintah dengan mengartikan kebijakan adalah pilihan Pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (whatever government chooses to do ar not to do)2. Tujuan kebijakan pembangunan adalah membuat yang ada menjadi lebih baik, membuat kehidupan lebih nyaman dan dalam konteks bencana adalah meminimalisasikan pertemuan antara bahaya (hazard) dengan kerentanan. Namun pada kenyataannya, kebijakan pembangunan memiliki dua mata pedang, disatu sisi dapat membuat kehidupan masyarakat lebih aman dan disisi lain membuat kehidupan yang lebih rentan terhadap bencana. Contoh nyata adalah kebijakan pengelolaan tata ruang Provinsi DKI Jakarta yang lebih mengutamakan peruntukan bagi kawasan terbangun dan semakin mengurangi persentase lahan terbuka hijau tidak hanya di Jakarta namun juga di daerah-daerah penyangganya. Disamping itu karena luas lahan yang cocok untuk pembangunan terbatas, penerapan kebijakan pembangunan ekstensifikasi menggunakan wilayah yang rentan terhadap bencana harus diterapkan oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan kebijakan yang disusun Pemerintah belum memadukan berbagai program pembangunan yang berwawasan keamanan dan keselamatan terhadap bencana. Hal ini seringkali terjadi pada kawasan lindung/preservasi, yang sebenarnya tidak boleh sama sekali dibangun, 1 http://www.balkanfund.org/the-news/supporting-policy-development/57-news-balkan-fund- partners/246-carl-friedrich-goerdeler-kolleg-fuer-good-governance-2011.html diakses pada tanggal 4 Februari 2011 2 http://www.economicexpert.com/a/Public:policy.htm diakses pada 3 Februari 2011 namun kebijakan tersebut sering menimbulkan persoalan dalam pembangunan, khususnya terkait dengan hilangnya kesempatan sosial ekonomi atas lokasi-lokasi yang strategis. Tingkat kerentanan (vulnerability) perkotaan di Indonesia adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya ‘bencana alam’, karena bencana baru akan terjadi bila ‘bahaya alam’ terjadi pada ‘kondisi yang rentan’, seperti yang dikemukakan Awotona (1997:1-2): “....... Natural disasters are the interaction between natural hazards and vulnerable condition”3. Terkait dengan hal tersebut diatas, kebijakan pembangunan kadangkala menciptakan bahaya itu sendiri. Kebijakan reklamasi pantai utara Jakarta untuk tujuan pembangunan perumahan dan kawasan komersil adalah salah satu contohnya. Pergeseran garis pantai tersebut secara langsung akan mengubah perilaku air laut dengan bergeser, akibatnya banjir ROB akan lebih sering terjadi di kawasan lain yang memiliki elevasi lebih rendah. Dari perspektif ketahanan terhadap bencana, masyarakat sebagai individu maupun kelompok mempunyai kemampuan adaptasi terhadap segala perubahan yang terjadi pada lingkungannya. Secara menarik dalam bukunya, Pendall menjelaskan ketahanan adalah kemampuan seseorang, masyarakat, ekosistem atau kota mempunyai ketahanan dalam menghadapi kejutan atau tekanan untuk kembali pada situasi normal (keseimbangan) dapat dilakukan dengan cepat atau dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan alternatif keseimbangan yang baru. Peran pemerintah dalam hal ini adalah sebagai perumus regulasi yang lebih sensitif terhadap setiap risiko bencana yang mungkin timbul. Kebijakan (policies) merupakan implementasi strategi yang menggambarkan alternatif pencapaian tujuan. Kebijakan ini merupakan prinsip dari Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang disusun berdasarkan tujuan dan strategi yang ingin dicapai dan memiliki target dalam jangka waktu tertentu untuk ketahanan regional. Ketahanan regional sendiri menurut Foster adalah kemampuan suatu daerah untuk mengantisipasi, mempersiapkan, memberikan tanggapan dan memulihkan diri dari gangguan. Seringkali kebijakan pembangunan dibuat tanpa memberikan perhatian serius terhadap keseimbangan lingkungan yang dapat menyebabkan peningkatan risiko bencana. Berkaitan dengan hal tersebut sudah seharusnya kita merespon dengan menggeser paradigma top down approach ke arah pendekatan yang melibatkan berbagai sektor dalam kerangka manajemen bencana yang komprehensif dan tertuang dalam kebijakan pembangunan baik jangka panjang, menengah, dan pendek.
3 http://www.cpcs.umb.edu/rsccfd/ diakses pada 4 Februari 2011