Anda di halaman 1dari 3

1

Mengapa Buruh Harus Berserikat?

Bermasalahkah atau adakah persoalan di tempat kerjamu? Ini


merupakan pertanyaan dasar pertama sebelum kita berbicara mengenai
Serikat Buruh. Apabila jawabannya adalah “tidak bermasalah atau tidak
ada persoalan”, cukup aneh juga jawaban tersebut. Sebab, sejak pertama
kali buruh menandatangani surat perjanjian kontrak dengan pihak
perusahaan tempatnya bekerja, baik itu bersifat jangka waktu tertentu
(buruh kontrak) atau berjangka waktu tidak tertentu / permanen (buruh
tetap), ataupun hanya sekedar menyepakati kerja tanpa menandatangani
surat perjanjian kontrak (buruh lepas, borongan, dll), saat itu pulalah
persoalan hubungan kerja antara buruh dan pengusaha hadir secara
seketika.
Mengapa? Karena antara buruh dan pengusaha memiliki perbedaan
kepentingan yang sangat mendasar (faktor utama). Di Pihak buruh, motif
utama ia bekerja kepada pengusaha adalah untuk mendapatkan upah,
sebagai pertukaran atas tenaga kerja yang telah ia keluarkan (jual) untuk
berproduksi. Upah yang diharapkan tidak hanya sekedar untuk
memulihkan tenaganya agar ia dapat bekerja kembali keesokan harinya
(sekedar hidup), namun juga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup
dirinya dan keluarganya secara layak sesuai dengan standar-standar
manusiawi. Di pihak pengusaha, laba dan terus mendapatkan laba
sebanyak-banyaknya adalah tujuan yang utama.
Dua kepentingan yang sangat bertolak belakang bukan? Sebab, dengan
adanya peningkatan upah tentu saja akan berdampak terhadap
penurunan laba sang pengusaha. Begitu pula sebaliknya. Berharap
adanya suatu peningkatan yang bersamaan antara upah buruh dan laba
pengusaha, merupakan sebuah mimpi di siang bolong. Namun disisi
lainnya, kenaikan upah tidak secara otomatis berarti kenaikan Biaya
Produksi pula. Propaganda sesat yang senantiasa dihembuskan ditengah-
tengah klas buruh.
Kenyataan membentang luas di mata setiap buruh. Kemegahan dan
semakin luasnya bangunan perusahaan atau pabrik, pertambahan dan
peningkatan mesin produksi dan alat-alat kerja lainnya, semakin
bertumpuknya kekayaan pribadi dan kesejahteraan pengusaha beserta
keluarganya, tidak berhubungan langsung dengan kehidupan buruh yang
bertambah hari kehidupannya semakin merosot. Peningkatan upah yang
terjadi setiap tahun pun (upah minimum) hanya sebatas penyesuaian atas
kenaikan harga-harga yang selalu setia mengikuti kenaikan upah.
Hal diatas hanyalah sekelumit dari rentetan persoalan yang harus
dihadapi buruh. Baik di tempat kerjanya, maupun langkah kaki pertama
baru melintasi gerbang pabrik atau perusahaan, persoalan demi persoalan
senantiasa menemani para buruh. Tetapi, kerja senantiasa dituntut lebih
produktif dan lebih giat. Apabila semua itu kita anggap “bukan persoalan”,
jawaban tersebut memberikan syarat-syarat bahwa kita tidak akan mau
berjuang. Berjuang adalah untuk mengubah keadaan yang buruk menjadi
baik. Namun apabila tidak ada yang mau diubah, perjuangan pun tak akan
pernah ada.
2

Tetapi apabila jawabannya adalah “ada persoalan”, pertanyaan kedua


pun datang menyusul dan harus dijawab, yaitu “apakah persoalan itu
dapat kita selesaikan sendiri?”. Apabila jawabannya “dapat”, maka
menjadi syarat pula bahwa kita tidak membutuhkan organisasi. Sebab,
dasar utama mengapa orang berorganisasi adalah karena mereka
memiliki persoalan bersama dan persoalan tersebut tidak dapat mereka
selesaikan secara sendiri-sendiri. Kebersamaan atau persatuan menjadi
suatu kebutuhan.
Bukan berarti bahwa sebelum buruh berorganisasi, buruh selama ini
tidak melakukan perlawanan. Karena penindasan akan selalu melahirkan
perlawanan, apapun bentuknya. Tetapi perlawanan seperti apakah yang
dilakukan oleh buruh sebelum ia mengenal organisasi? Bentuknya
beragam. Ada yang berkelahi dengan mandor, personalia, atau orang-
orang yang menjadi kepanjangan tangan pengusaha; Ada pula dengan
menyabotase atau merusak mesin agar intensitas kerja sedikit berkurang
dan buruh pun dapat beristirahat sejenak dari kerja yang tak mengenal
batas waktu, sambil menunggu mesin sedang diperbaiki; Ada juga yang
hanya sekedar mencorat-coret tembok WC dengan segala sumpah
serapah bagi sang pengusaha; dll. Selain perlawanan yang bersifat
individual dan primitif diatas, ada pula buruh yang menumpahkan
kekesalannya pada anggota keluarganya setiba dirumah atau menenggak
berbotol-botol minuman keras dengan harapan agar segala kekalutan dari
rentetan persoalan yang dideritanya dapat hengkang dari batok
kepalanya. Semua itu adalah ekspresi dari gunung persoalan yang sedang
dihadapi oleh buruh, dimana penderitaan dan penindasan terpampang
begitu jelas. Namun, semua itu bukanlah perlawanan yang tepat.
Spontanitas, tanpa perhitungan, dan sendirian pula adalah gambaran
perlawanan diatas. Semuanya akan berujung pada kekalahan. Di PHK atau
dikriminalkan adalah beberapa dampak yang akan menyertainya.
Bagaimana mungkin persoalan yang dirasakan bersama dapat
diselesaikan dengan seorang diri? Sehebat apapun orang itu.
Begitu pula dengan jalan keluar buruh untuk mengatasi minimnya upah
yang didapatkan. Beberapa cara pun dilakukan. Lembur menjadi salah
satu pilihan utama yang ditempuh, untuk mendapatkan angka nominal
yang sedikit naik dari standar upah minimumnya. Artinya, apabila mau
penghasilan yang sedikit lebih dari penghasilan pokoknya, buruh dituntut
kerja ekstra keras dan giat. Manfaatkanlah waktu di luar jam kerja resmi
mu yang 8 jam itu, agar tidak hanya dapur mu saja yang dapat mengepul,
tetapi juga dapat menyekolahkan anakmu maksimal sampai tingkat SLTA,
serta menjamin bahwa uang kontrakanmu tak akan tertunggak.
Selain itu, “mencuri” adalah pilihan lainnya. Baik itu bahan baku, limbah
atau hasil produksi yang dihasilkan olehnya namun bukanlah menjadi
miliknya. Hal itu merupakan kenyataan yang membentang dihadapan kita
semua. Bukan persoalan benar atau salah, sebagaimana pandangan para
klas pengusaha yang tentu saja berbeda dengan cara pandang klas
buruh. Sebab, ditengah-tengah upah kecil yang tak pernah beranjak naik,
dikepung dengan segala biaya kebutuhan hidup yang membumbung
tinggi, juga kemiskinan yang tak pernah hilang dari kamus kehidupan
buruh, persoalan benar dan salah atas pilihan tersebut adalah relatif
3

adanya. Tidak mungkin para buruh mau mencuri dimana segala resiko-
resiko akan berhadapan dengannya, ketika kehidupan buruh dan
keluarganya sejahtera. Namun persoalannya adalah apakah cara itu
“tepat” ataukah “tidak tepat”. Apakah untuk hidup sejahtera setiap buruh
harus mencuri?
Pilihan lain, yaitu mencari “sampingan” pendapatan diluar pabrik atau
perusahaan tempatnya bekerja. Bentuknya pun bermacam-macam. Ada
yang membuka warung kecil-kecilan, berdagang keliling, jadi tukang ojek,
dll. Semua itu dilakukannya diluar jam kerjanya. Akibatnya, lagi-lagi buruh
dipaksa untuk bekerja ekstra keras agar dapat menambal pendapatannya
yang serba kekurangan. Sialnya, tambahan itu dicarinya diluar tempat
kerjanya.
Ada pula pilihan alternatif, yaitu dengan “berjudi”. Mimpi mudah nan
murah untuk menambah pendapatan, tetapi cara yang sangat cepat
untuk menjadi lebih “kere”.
Semua itu adalah gambaran yang sangat gamblang atas penderitaan
hidup klas buruh hari ini. Cermin atas upaya klas buruh melawan terhadap
penindasan dan kesewenang-wenangan yang diterimanya, sekaligus
mencari jalan keluar di tengah-tengah hidup yang semakin menghimpit
namun pendapatannya malah defisit. Seluruh perlawanan dan upaya
untuk mencari jalan keluar itu senantiasa menemui jalan buntu. Ibarat
“opium”, cara itu hanya dapat menenangkan dalam skala yang sangat
jangka pendek, namun keesokan harinya kehidupan nyata kembali ke
sedia kala, tertindas dan menderita. Cerita yang berulang bertahun-tahun
bahkan beratus tahun lamanya.
Sudah waktunya klas buruh memakai cara lain yang lebih menjanjikan.
Mengambil pelajaran atas pengalaman perlawanan dan upayanya untuk
mencari jalan keluar selama ini. Bersatu adalah pilihan pertama yang
harus diambil. Suatu persamaan nasib, persamaan derita dan persamaan
tujuan. Namun bersatu tak hanya sekedar seperti “kumpul bersama”.
Dibutuhkan lebih daripada itu.
Tahun 1905, suatu rentang waktu lampau yang cukup panjang,
merupakan titik awalnya. Serikat Buruh pertama berdiri di negeri ini.
Babak baru dimulai. Metode baru telah diperlihatkan untuk menggantikan
metode lama yang telah usang dan tak dapat menjawab persoalan
sepenuhnya. Perlawanan individual menjadi perlawanan bersama,
spontanitas menjadi terencana, dan perjuangan pun mulai ditempa untuk
menyelesaikan persoalan setahap demi setahap. Namun tak ada yang
datang secara otomatis, semuanya tetap butuh perjuangan. Terlebih hari
ini. Butuh ekstra keras untuk mendirikan Serikat Buruh yang sejatinya
ditujukan bagi kepentingan klas buruh, ditengah pukulan bertubi-tubi
yang muaranya adalah bagaimana untuk menghancurkan Serikat Buruh.
Tetapi, karena Serikat Buruh adalah syarat pertama agar klas buruh
dapat memperjuangkan dan mempertahankan berbagai hak serta
kepentingannya, maka tak ada pilihan lain bagi klas buruh. Serikat Buruh
bukanlah semata-mata pilihan, namun kebutuhan dan keharusan! ###

Anda mungkin juga menyukai