Anda di halaman 1dari 6

Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga

Penulis: Ummu Ayyub


Muroja'ah: Ust Abu Ahmad

Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan
bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negri
untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?

Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada
sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita
muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi
ibu, tapi sekarang saatnya wanita `menunjukkan eksistensi diri' di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah
menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.

Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama "Sekarang kerja dimana?" rasanya terasa berat untuk
menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk "Saya adalah ibu rumah
tangga". Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu "sukses" berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau
kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat
cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan "nasehat"
dari bapak tercintanya: "Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami
dan anak." Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi
tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga.

Ibu Sebagai Seorang Pendidik

Syaikh Muhammad bin Shalih al `Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan
dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah
lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan
masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum
wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta'ala yang artinya:

"Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah
yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud
hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. " (QS. Al-Ahzab: 33)

Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil
jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa
Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai
pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah
menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak
sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari
mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut
banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan
hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa
menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.

Sebuah Tanggung Jawab

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu,
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan- Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. " (QS. At Tahrim: 6)

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya: "Peliharalah dirimu dan keluargamu!" di atas menggunakan Fi'il Amr (kata
kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga
wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.
Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu `anhu berkata, "Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan
keluargamu." (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (IV/494), dan ia mengatakan hadist ini shahih berdasarkan
syarat Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya)

Muqatil mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim harus mendidik diri dan keluarganya dengan cara
memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat.

Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala akan meminta
pertanggungjawaban setiap orang tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta
pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai
hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada
kedua orang tuanya." (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, "Peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu." (QS. At Tahrim: 6)

Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang
bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan
anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah
agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka
ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayahnya.

Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala yang artinya:

"dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat." (QS asy Syu'ara': 214)

Abdullah bin Umar radhiyallahu `anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya), "Kaum lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung jawab atas keluarganya. Wanita pun
pemimpin yang mengurusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria
pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun bertanggung jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah
pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. " (HR. Bukhari 2/91)

Dari keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja
sama, saling menasehati dan turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka sangat membutuhkan
bimbingannya. Orang tua hendaknya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini adalah
tanggung jawab yang besar yang kita akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya.

Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih

Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk,
"Mau untuk apa nak, tabungannya? " Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab "Mau buat beli CD murotal, Mi!"
padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab "Mau buat beli PS!" Atau ketika ditanya tentang cita-cita, "Adek pengen
jadi ulama!" Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi "pengen jadi Superman!"

Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan
tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan
bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu
atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…)
Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-?

Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada
sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja
dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah
terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah
tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa
dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.

Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan
anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian besar ibu-
ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar
memberinya makan. Sedih!

Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan
ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak
inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang
berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10
pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana
ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.

Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit
dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita?
Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan
istri dan anak-anak mereka?

Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal
pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau
kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?

Lalu…

Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata `cuma'? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?

Wallahu a'lam

Maroji':

1. Dapatkan Hak-Hakmu, Wahai Muslimah oleh Ummu Salamah as Salafiyyah. Judul asli: Al-Intishaar li Huquuqil
Mu'minaat
2. Mendidik Anak bersama Nabi oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Judul Asli: Manhaj At-Tarbiyyah An-
Nabawiyyah lit-Thifl
3. Majalah Al Furqon Edisi: 8 Tahun V/Rabi'ul Awwal 1427/April 2006

ps : Idealisme normatif atau realistiskah ditengah kejamnya fitnah dunia ini, bagai buah simalakama
NASIHAT UNTUK MUSLIMAH
http://bukhari.or.id

Semoga kedamaian, kesejahteraan senantiasa Allah Subhanahu wa Ta'ala limpahkan untukmu serta rahmat dan berkah-Nya
selalu. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyanjung para muslimah, mukminah dan para wanita yang sabar
nan khusu’ . Allah Subhanahu wa Ta'ala mensifati mereka bahwa mereka adalah wanita-wanita itu yang menjaga diri disaat
sang suami keluar sesuai dengan tuntutan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan tatkala Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut
sifat-sifat orang-orang yang shalih, Dia Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan sebagian
yang lain.” (Ali Imran: 195)

Sehubungan dengan bulan (yang mulia) ini (kitab kecil ini ditulis untuk menyambut bulan Ramadlan).. aku hadiahkan
padamu wahai pemudi Islam dan wahai hamba Allah (hadiah) berupa pemberian ucapan selamat dengan munculnya bulan
yang mulia ini. Seraya mohon untukku dan untukmu ampunan dan taubat yang tulus. Dan terimalah sepercik nasehat dari
kami yang aku sajikan dalam sepuluh point:

Pertama:
Wanita Muslimah senantiasa beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai Rabbnya, percaya Muhammad Shallallahu
'alaihi wa Sallam
sebagai Nabinya, dan percaya Islam sebagai agamanya. Dan tampak wujud
iman itu dalam perkataan, amalan dan I’tiqad. Dia senantiasa waspada,
menjauhi murka Allah dan takut pada kepedihan adzab-Nya serta menjauhi
apa-apa yang menyelisihi perintah-Nya.

Kedua:
Wanita Muslimah senantiasa menjaga shalat lima waktu dengan wudhunya
dan khusu’nya serta memperhatikan waktunya. Kesibukan tertentu tidak
menjadikan shalat terabaikan. Kesenangan tertentu tidak sampai
melalaikan ibadah. Sehingga tampaklah padanya dampak dari penghayatan
shalat. Karena sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan shalat juga merupakan benteng yang
besar dari kemaksiatan.

Ketiga:
Wanita Muslimah senantiasa menjaga dan memelihara hijab. Merasa senang
hati dan mulia dengan busana muslimah itu. Dia tidak keluar kecuali
selalu menutup auratnya dan memohon perlindungan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan dia bersyukur kepadaNya atas
kemulian dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hijab tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala juga telah menjaga dan
menginginkan kesucian dirinya. Allah berfirman:

Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan


isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
tubuhnya”. (al-Ahzab: 59)

Keempat:
Wanita Muslimah senantiasa bersemangat untuk menjalankan ketaatan pada
suaminya, bersikap lemah lembut terhadapnya, menyayanginya, dan
mendorongnya kepada kebaikan, memberi nasehat kepadanya dan menjadikan
sang suami bisa beristirahat. Dia tidak meninggikan suara terhadapnya
dan tidak menyakiti dalam kata-kata. Telah tersebut di dalam riwayat yang shahih bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: Apabila seorang wanita shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadlan dan taat pada suaminya niscaya dia masuk
surga Rabbnya. (HR. Ahmad dan Thabarani).

Kelima: Wanita Muslimah senantiasa mendidik anak-anaknya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengajarkan
pada mereka aqidah yang benar, menanamkan pada hati mereka kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kecintaan
pada Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam, serta menjauhkan mereka dari kemaksiatan dan akhlaq yang tercela. Allah
berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan. (At-Tahrim:6)

Keenam: Wanita Muslimah tidak bersepi-sepi dengan laki-laki asing (bukan mahram). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam bersabda:

Tidaklah seorang perempuan bersepi-sepi dengan seorang laki-laki kecuali setan menjadi yang ketiganya. (HR. Ahmad,
Tirmidzi dan Al-Hakim)

Sehingga dia tidak bepergian tanpa mahram, dan tidak mendatangi pasar-pasar dan tempat-tempat umum kecuali dalam
kondisi mendesak sambil memakai hijab, terselimuti dan rapi tertutup.

Ketujuh: Wanita Muslimah tidak menyerupai laki-laki pada perkara yang khusus bagi laki-laki. Sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam :

Allah melaknat orang laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki. (Hadits shahih).

Dan jangan sampai menyerupai perempuan-perempuan kafir pada ciri khas


mereka dalam hal pakaian, gerak-gerik, dan tingkah laku, dan lainnya.
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka. (HSR. Ahmad,
Abu Dawud dan lainnya)

Kedelapan: Wanita Muslimah sebagai seorang da’i yang menyeru menuju Allah Subhanahu wa Ta'ala di barisan perempuan
dengan bahasa yang baik, dengan berkunjung ketetangga, dengan menelpon saudari-saudarinya, dengan kitab-kitab kecil dan
kaset-kaset Islami. Dia juga melakukan apa yang ia katakan, dan giat untuk menyelamatkan diri dan saudarinya dari adzab
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :

Sesungguhnya bila Allah memberikan hidayah kepada satu orang lantaran anda, itu lebih baik bagi anda daripada harta yang
termahal. (HSR. Bukhari dan Muslim).

Kesembilan:
Wanita Muslimah senantiasa menjaga hatinya dari perkara syubhat (yang
samar) dan syahwat serta menjaga matanya dari perkara yang haram.
Menjaga telinganya dari musik, perkataan cabul/jorok dan dosa. Menjaga
anggota tubuh seluruhnya dari penyimpangan. Dan mengetahui bahwa yang
demikian ini adalah taqwa. Sabda Rasulullah (yang artinya):

Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Barangsiapa yang malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya
niscaya dia akan menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya dan (menjaga) perut dan apa yang
dimuatnya. Dan barangsiapa yang mengingat kematian dan kebinasaan, dia
akan meninggalkan perhiasan kehidupan dunia. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Hakim).

Kesepuluh:
Wanita Muslimah memelihara waktunya agar tidak terbuang sia-sia,
menjaga siang hari atau malamnya agar tidak berantakan. Dia menjauhkan
diri dari ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), ataupun mencaci, dan hal-hal yang tidak berguna lainnya. Allah
berfirman (yang artinya):

Dan jauhilah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan senda gurau dan mereka telah terpedaya
dengan kehidupan dunia. (Al-An’am:70)

Allah Ta’ala berfirman tentang kaum yang menyia-nyiakan umurnya, bahwa mereka akan berkata:

Betapa ruginya kami karena apa-apa yang telah kami lalaikan di dalamnya (dunia)(Al-An’am: 31)
Ya Allah... berikan petunjuk kepada pemuda-pemudi Islam menuju apa yang Engkau cintai dan ridhai, dan isilah hati mereka
dengan iman.
Mudah-mudahan shalawat dan salam tercurahkan kepada nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam.

Majalah As-Sunnah Edisi 09/Th.IV/1421-2000


http://bukhari.or.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=157&catid=46&Itemid=335

Anda mungkin juga menyukai