Anda di halaman 1dari 21

Model Model Pembelajaran

Metode debat merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat


penting untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa. Materi ajar dipilih
dan disusun menjadi paket pro dan kontra. Siswa dibagi ke dalam beberapa
kelompok dan setiap kelompok terdiri dari empat orang. Di dalam
kelompoknya, siswa (dua orang mengambil posisi pro dan dua orang lainnya
dalam posisi kontra) melakukan perdebatan tentang topik yang ditugaskan.
Laporan masing-masing kelompok yang menyangkut kedua posisi pro dan
kontra diberikan kepada guru.
Selanjutnya guru dapat mengevaluasi setiap siswa tentang penguasaan materi
yang meliputi kedua posisi tersebut dan mengevaluasi seberapa efektif siswa
terlibat dalam prosedur debat. Pada dasarnya, agar semua model berhasil
seperti yang diharapkan pembelajaran kooperatif, setiap model harus
melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa saling membantu dan
mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja saling tergantung
(interdependen) untuk menyelesaikan tugas. Ketrampilan sosial yang
dibutuhkan dalam usaha berkolaborasi harus dipandang penting dalam
keberhasilan menyelesaikan tugas kelompok. Ketrampilan ini dapat diajarkan
kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan untuk memfasilitasi proses
kelompok. Peran tersebut mungkin bermacam-macam menurut tugas,
misalnya, peran pencatat (recorder), pembuat kesimpulan (summarizer),
pengatur materi (material manager), atau fasilitator dan peran guru bisa
sebagai pemonitor proses belajar.
Metode Role Playing
Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran
melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan
imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai
tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih
dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Kelebihan
metode Role Playing:
Melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk
memajukan kemampuannya dalam bekerjasama.
1. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.
2. Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan
dalam situasi dan waktu yang berbeda.
3. Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan
pada waktu melakukan permainan.
4. Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi
anak.

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 1


Indonesia
Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode
dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi
berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah
kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.
Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada
dasarnya adalah pemecahan masalah.
Adapun keunggulan metode problem solving sebagai berikut:
1. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
2. Berpikir dan bertindak kreatif.
3. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
4. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
5. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
6. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
7. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan,
khususnya dunia kerja.
Kelemahan metode problem solving sebagai berikut:
1. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini.
Misal terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk
melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian
atau konsep tersebut.
2. Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan
metode pembelajaran yang lain.
Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Problem Based Instruction (PBI) memusatkan pada masalah kehidupannya
yang bermakna bagi siswa, peran guru menyajikan masalah, mengajukan
pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog.
Langkah-langkah:
1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang
dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan
masalah yang dipilih.
2. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas
belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik,
tugas, jadwal, dll.)
3. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan
masalah.

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 2


Indonesia
4. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya
yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas
dengan temannya.
5. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap
penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Kelebihan:
1. Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya
benar-benar diserapnya dengan baik.
2. Dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain.
3. Dapat memperoleh dari berbagai sumber.
Kekurangan:
1. Untuk siswa yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat
tercapai.
2. Membutuhkan banyak waktu dan dana.
3. Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini
Cooperative Script
Skrip kooperatif adalah metode belajar di mana siswa bekerja berpasangan
dan secara lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.
Langkah-langkah:
1. Guru membagi siswa untuk berpasangan.
2. Guru membagikan wacana/materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat
ringkasan.
3. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai
pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
4. Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan
memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya. Sementara pendengar
menyimak / mengoreksi / menunjukkan ide-ide pokok yang kurang
lengkap dan membantu mengingat / menghapal ide-ide pokok dengan
menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya.
5. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar
dan sebaliknya, serta lakukan seperti di atas.
6. Kesimpulan guru.
7. Penutup.
Kelebihan:
• Melatih pendengaran, ketelitian / kecermatan.
• Setiap siswa mendapat peran.
• Melatih mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan.

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 3


Indonesia
Kekurangan:
• Hanya digunakan untuk mata pelajaran tertentu
• Hanya dilakukan dua orang (tidak melibatkan seluruh kelas sehingga
koreksi hanya sebatas pada dua orang tersebut).
Picture and Picture
Picture and Picture adalah suatu metode belajar yang menggunakan gambar
dan dipasangkan / diurutkan menjadi urutan logis.
Langkah-langkah:
1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2. Menyajikan materi sebagai pengantar.
3. Guru menunjukkan / memperlihatkan gambar-gambar yang
berkaitan dengan materi.
4. Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian
memasang / mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
5. Guru menanyakan alas an / dasar pemikiran urutan gambar
tersebut.
6. Dari alasan / urutan gambar tersebut guru memulai
menanamkan konsep / materi sesuai dengan kompetensi yang ingin
dicapai.
7. Kesimpulan / rangkuman.
Kebaikan:
1. Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa.
2. Melatih berpikir logis dan sistematis.
Kekurangan:Memakan banyak waktu. Banyak siswa yang pasif.
Numbered Heads Together
Numbered Heads Together adalah suatu metode belajar di mana setiap siswa
diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru
memanggil nomor dari siswa.
Langkah-langkah:
1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok
mendapat nomor.
2. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok
mengerjakannya.
3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap
anggota kelompok dapat mengerjakannya.
4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil
melaporkan hasil kerjasama mereka.

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 4


Indonesia
5. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang
lain.
6. Kesimpulan.
Kelebihan:
• Setiap siswa menjadi siap semua.
• Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
• Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
Kelemahan:
• Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
• Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru

Metode Investigasi Kelompok (Group Investigation)


Metode investigasi kelompok sering dipandang sebagai metode yang paling
kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif.
Metode ini melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik
maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut
para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi
maupun dalam ketrampilan proses kelompok (group process skills). Para guru
yang menggunakan metode investigasi kelompok umumnya membagi kelas
menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan
karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas
kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu.
Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi mendalam
terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan
menyajikan suatu laporan di depan kelas secara keseluruhan. Adapun
deskripsi mengenai langkah-langkah metode investigasi kelompok dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a. Seleksi topik
Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum
yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya
diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas
(task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi
kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan
akademik.
b. Merencanakan kerjasama
Para siswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus,
tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik
yang telah dipilih dari langkah a) di atas.
c. Implementasi
Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b).
Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 5


Indonesia
variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai
sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara
terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan
jika diperlukan.
d. Analisis dan sintesis
Para siswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh
pada langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu
penyajian yang menarik di depan kelas.
e. Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai
topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan
mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi
kelompok dikoordinir oleh guru.
f. Evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok
terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat
mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya.
Metode Jigsaw
Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar
menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke
dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa
sehingga setiap anggota bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap
komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari
masing-masing kelompok yang bertanggungjawab terhadap subtopik yang
sama membentuk kelompok lagi yang terdiri dari yang terdiri dari dua atau tiga
orang.
Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam:
a) belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; b) merencanakan
bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya
semula. Setelah itu siswa tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing
sebagai “ahli” dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam
subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak
serupa. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan
penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan
demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara
keseluruhan.
Metode Team Games Tournament (TGT)
Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model
pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh
siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor
sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran
kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 6


Indonesia
disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan
keterlibatan belajar.
Ada 5 komponen utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu:

1. Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas,
biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah,
diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-
benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena
akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada
saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
2. Kelompok (team)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya
heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik.
Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman
kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar
bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.
3. Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji
pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok.
Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor.
Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang
sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan
mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen
mingguan.
4. Turnamen
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah
guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar
kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja
turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga
siswa selanjutnya pada meja II dan seterusnya.
5. Team recognize (penghargaan kelompok)
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing team
akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria
yang ditentukan. Team mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 45
atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan “Good Team”
apabila rata-ratanya 30-40

Model Student Teams – Achievement Divisions (STAD)


Siswa dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai
menjelaskan anggota lain sampai mengerti.
Langkah-langkah:

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 7


Indonesia
1. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen
(campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
2. Guru menyajikan pelajaran.
3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota
kelompok. Anggota yang tahu menjelaskan kepada anggota lainnya
sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
4. Guru memberi kuis / pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat
menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
5. Memberi evaluasi.
6. Penutup.
Kelebihan:
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.
Kekurangan:
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.
Model Examples Non Examples
Examples Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-
contoh. Contoh-contoh dapat dari kasus / gambar yang relevan dengan KD.
Langkah-langkah:
1. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
2. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP.
3. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk
memperhatikan / menganalisa gambar.
4. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa
gambar tersebut dicatat pada kertas.
5. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
6. Mulai dari komentar / hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi
sesuai tujuan yang ingin dicapai.
7. Kesimpulan.
Kebaikan:
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Kekurangan:
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 8


Indonesia
2. Memakan waktu yang lama.

Model Lesson Study


Lesson Study adalah suatu metode yang dikembankan di Jepang yang dalam
bahasa Jepangnya disebut Jugyokenkyuu. Istilah lesson study sendiri
diciptakan oleh Makoto Yoshida.
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas
guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar
mereka agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Sejumlah guru bekerjasama dalam suatu kelompok. Kerjasama
ini meliputi: a. Perencanaan. b. Praktek mengajar. c. Observasi. d. Refleksi/
kritikan terhadap pembelajaran.
2. Salah satu guru dalam kelompok tersebut melakukan tahap
perencanaan yaitu membuat rencana pembelajaran yang matang
dilengkapi dengan dasar-dasar teori yang menunjang.
3. Guru yang telah membuat rencana pembelajaran pada (2)
kemudian mengajar di kelas sesungguhnya. Berarti tahap praktek mengajar
terlaksana.
4. Guru-guru lain dalam kelompok tersebut mengamati proses
pembelajaran sambil mencocokkan rencana pembelajaran yang telah
dibuat. Berarti tahap observasi terlalui.
5. Semua guru dalam kelompok termasuk guru yang telah
mengajar kemudian bersama-sama mendiskusikan pengamatan mereka
terhadap pembelajaran yang telah berlangsung. Tahap ini merupakan
tahap refleksi. Dalam tahap ini juga didiskusikan langkah-langkah perbaikan
untuk pembelajaran berikutnya.
6. Hasil pada (5) selanjutnya diimplementasikan pada kelas/
pembelajaran berikutnya dan seterusnya kembali ke (2).
Adapun kelebihan metode lesson study sebagai berikut:
- Dapat diterapkan di setiap bidang mulai seni, bahasa,
sampai matematika dan olahraga dan pada setiap tingkatan kelas.
- Dapat dilaksanakan antar/ lintas sekolah.
http://gurupkn.wordpress.com/category/pembelajaran/model-
model/page/3/

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 9


Indonesia
Model Pembelajaran ARIAS
Oleh: Djamaah Sopah

Abstrak. Model pembelajaran ARIAS dikembangkan sebagai salah satu


alternatif yang dapat digunakan oleh guru sebagai dasar melaksanakan
kegiatan pembelajaran dengan baik. Model pembelajaran ARIAS berisi lima
komponen yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan
pembelajaran yaitu assurance, relevance, interest, assessment, dan
satisfaction yang dikembangkan berdasarkan teori-teori belajar.
Model ini sudah dicobakan di dua sekolah yang berbeda yaitu salah satu SD
negeri di Kota Palembang (percobaan pertama) dan satu SD negeri di Sekayu,
Kabupaten Musi Banyu Asin (percobaan kedua). Hasil percobaan di lapangan
menunjukkan bahwa model pembelajaran ARIAS memberi pengaruh yang
positif terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil
percobaan tersebut model pembelajaran ARIAS dapat digunakan oleh para
guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dalam usaha
meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa.
Kata kunci: motivasi berprestasi, hasil belajar siswa, ARIAS, kegiatan
pembelajaran

1. Pendahuluan
Salah satu masalah dalam pembelajaran di sekolah adalah rendahnya hasil
belajar siswa. Suatu tes terhadap sejumlah siswa SD dari berbagai kabupaten
dan propinsi menunjukkan hasil belajar siswa sangat rendah (Lastri 1993:12).
Nilai Ebtanas siswa SD dalam kurun waktu lima tahun terakhir (1993/1994
sampai dengan 1997/199) menunjukkan hasil belajar yang kurang
menggembirakan (Depdikbud, 1998).
Hasil belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam (internal)
maupun faktor dari luar (eksternal). Menurut Suryabrata (1982: 27) yang
termasuk faktor internal adalah faktor fisiologis dan psikologis (misalnya
kecerdasan motivasi berprestasi dan kemampuan kognitif), sedangkan yang
termasuk faktor eksternal adalah faktor lingkungan dan instrumental (misalnya
guru, kurikulum, dan model pembelajaran). Bloom (1982: 11) mengemukakan
tiga faktor utama yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu kemampuan kognitif,
motivasi berprestasi dan kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran adalah
kualitas kegiatan pembelajaran yang dilakukan dan ini menyangkut model
pembelajaran yang digunakan.
Sering ditemukan di lapangan bahwa guru menguasai materi suatu subjek
dengan baik tetapi tidak dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan
baik. Hal itu terjadi karena kegiatan tersebut tidak didasarkan pada model
pembelajaran tertentu sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa rendah.
Timbul pertanyaan apakah mungkin dikembangkan suatu model pembelajaran

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 10


Indonesia
yang sederhana, sistematik, bermakna dan dapat digunakan oleh para guru
sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik
sehingga dapat membantu meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil
belajar. Berkenaan dengan hal itu, maka dengan memperhatikan berbagai
konsep dan teori belajar dikembangkanlah suatu model pembelajaran yang
disebut dengan model pembelajaran ARIAS. Untuk mengetahui bagaimana
pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan hasil
belajar siswa, telah dicobakan pada sejumlah siswa di dua sekolah yang
berbeda. Hasil percobaan di lapangan menunjukkan bahwa model
pembelajaran ARIAS memberi pengaruh yang positif terhadap motivasi
berprestasi dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, model pembelajaran
ARIAS ini dapat digunakan oleh para guru sebagai dasar melaksanakan
kegiatan pembelajaran dengan baik, dan sebagai suatu alternatif dalam usaha
meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Tujuan percobaan
lapangan ini untuk mengetahui apakah ada pengaruh model pembelajaran
ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar.
2. Kajian Teori dan Pembahasan
2.1 Model Pembelajaran ARIAS
Model pembelajaran ARIAS merupakan modifikasi dari model ARCS. Model
ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction), dikembangkan oleh
Keller dan Kopp (1987: 2-9) sebagai jawaban pertanyaan bagaimana
merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan
hasil belajar. Model pembelajaran ini dikembangkan berdasarkan teori nilai
harapan (expectancy value theory) yang mengandung dua komponen yaitu
nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan harapan (expectancy) agar
berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua komponen tersebut oleh Keller
dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen model
pembelajaran itu adalah attention, relevance, confidence dan satisfaction
dengan akronim ARCS (Keller dan Kopp, 1987: 289-319).
Model pembelajaran ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori
belajar dan pengalaman nyata para instruktur (Bohlin, 1987: 11-14). Namun
demikian, pada model pembelajaran ini tidak ada evaluasi (assessment),
padahal evaluasi merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam
kegiatan pembelajaran. Evaluasi yang dilaksanakan tidak hanya pada akhir
kegiatan pembelajaran tetapi perlu dilaksanakan selama proses kegiatan
berlangsung. Evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui sampai sejauh mana
kemajuan yang dicapai atau hasil belajar yang diperoleh siswa (DeCecco,
1968: 610). Evaluasi yang dilaksanakan selama proses pembelajaran menurut
Saunders et al. seperti yang dikutip Beard dan Senior (1980: 72) dapat
mempengaruhi hasil belajar siswa. Mengingat pentingnya evaluasi, maka
model pembelajaran ini dimodifikasi dengan menambahkan komponen evaluasi
pada model pembelajaran tersebut.
Dengan modifikasi tersebut, model pembelajaran yang digunakan mengandung
lima komponen yaitu: attention (minat/perhatian); relevance (relevansi);
confidence (percaya/yakin); satisfaction (kepuasan/bangga), dan assessment
(evaluasi). Modifikasi juga dilakukan dengan penggantian nama confidence
menjadi assurance, dan attention menjadi interest. Penggantian nama

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 11


Indonesia
confidence (percaya diri) menjadi assurance, karena kata assurance sinonim
dengan kata self-confidence (Morris, 1981: 80). Dalam kegiatan pembelajaran
guru tidak hanya percaya bahwa siswa akan mampu dan berhasil, melainkan
juga sangat penting menanamkan rasa percaya diri siswa bahwa mereka
merasa mampu dan dapat berhasil. Demikian juga penggantian kata attention
menjadi interest, karena pada kata interest (minat) sudah terkandung
pengertian attention (perhatian). Dengan kata interest tidak hanya sekedar
menarik minat/perhatian siswa pada awal kegiatan melainkan tetap memelihara
minat/perhatian tersebut selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Untuk
memperoleh akronim yang lebih baik dan lebih bermakna maka urutannya pun
dimodifikasi menjadi assurance, relevance, interest, assessment dan
satisfaction. Makna dari modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan
pembelajaran untuk menanamkan rasa yakin/percaya pada siswa. Kegiatan
pembelajaran ada relevansinya dengan kehidupan siswa, berusaha menarik
dan memelihara minat/perhatian siswa. Kemudian diadakan evaluasi dan
menumbuhkan rasa bangga pada siswa dengan memberikan penguatan
(reinforcement). Dengan mengambil huruf awal dari masing-masing komponen
menghasilkan kata ARIAS sebagai akronim. Oleh karena itu, model
pembelajaran yang sudah dimodifikasi ini disebut model pembelajaran ARIAS.
2.2 Komponen Model Pembelajaran ARIAS
Seperti yang telah dikemukakan model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima
komponen (assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction) yang
disusun berdasarkan teori belajar. Kelima komponen tersebut merupakan satu
kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Deskripsi singkat
masing-masing komponen dan beberapa contoh yang dapat dilakukan untuk
membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran adalah sebagai
berikut.
Komponen pertama model pembelajaran ARIAS adalah assurance (percaya
diri), yaitu berhubungan dengan sikap percaya, yakin akan berhasil atau yang
berhubungan dengan harapan untuk berhasil (Keller, 1987: 2-9). Menurut
Bandura seperti dikutip oleh Gagne dan Driscoll (1988: 70) seseorang yang
memiliki sikap percaya diri tinggi cenderung akan berhasil bagaimana pun
kemampuan yang ia miliki. Sikap di mana seseorang merasa yakin, percaya
dapat berhasil mencapai sesuatu akan mempengaruhi mereka bertingkah laku
untuk mencapai keberhasilan tersebut. Sikap ini mempengaruhi kinerja aktual
seseorang, sehingga perbedaan dalam sikap ini menimbulkan perbedaan
dalam kinerja. Sikap percaya, yakin atau harapan akan berhasil mendorong
individu bertingkah laku untuk mencapai suatu keberhasilan (Petri, 1986: 218).
Siswa yang memiliki sikap percaya diri memiliki penilaian positif tentang dirinya
cenderung menampilkan prestasi yang baik secara terus menerus (Prayitno,
1989: 42). Sikap percaya diri, yakin akan berhasil ini perlu ditanamkan kepada
siswa untuk mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal guna
mencapai keberhasilan yang optimal. Dengan sikap yakin, penuh percaya diri
dan merasa mampu dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, siswa
terdorong untuk melakukan sesuatu kegiatan dengan sebaik-baiknya sehingga
dapat mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya atau dapat melebihi
orang lain. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap
percaya diri adalah:

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 12


Indonesia
- Membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan diri serta menanamkan
pada siswa gambaran diri positif terhadap diri sendiri. Menghadirkan seseorang
yang terkenal dalam suatu bidang sebagai pembicara, memperlihatkan video
tapes atau potret seseorang yang telah berhasil (sebagai model), misalnya
merupakan salah satu cara menanamkan gambaran positif terhadap diri sendiri
dan kepada siswa. Menurut Martin dan Briggs (1986: 427-433) penggunaan
model seseorang yang berhasil dapat mengubah sikap dan tingkah laku
individu mendapat dukungan luas dari para ahli. Menggunakan seseorang
sebagai model untuk menanamkan sikap percaya diri menurut Bandura seperti
dikutip Gagne dan Briggs (1979: 8) sudah dilakukan secara luas di sekolah-
sekolah.
- Menggunakan suatu patokan, standar yang
memungkinkan siswa dapat mencapai keberhasilan (misalnya dengan
mengatakan bahwa kamu tentu dapat menjawab pertanyaan di bawah
ini tanpa melihat buku).
- Memberi tugas yang sukar tetapi cukup realistis untuk
diselesaikan/sesuai dengan kemampuan siswa (misalnya memberi
tugas kepada siswa dimulai dari yang mudah berangsur sampai ke
tugas yang sukar). Menyajikan materi secara bertahap sesuai dengan
urutan dan tingkat kesukarannya menurut Keller dan Dodge seperti
dikutip Reigeluth dan Curtis dalam Gagne (1987: 175-202) merupakan
salah satu usaha menanamkan rasa percaya diri pada siswa.
- Memberi kesempatan kepada siswa secara bertahap
mandiri dalam belajar dan melatih suatu keterampilan.
Komponen kedua model pembelajaran ARIAS, relevance, yaitu berhubungan
dengan kehidupan siswa baik berupa pengalaman sekarang atau yang telah
dimiliki maupun yang berhubungan dengan kebutuhan karir sekarang atau
yang akan datang (Keller, 1987: 2-9). Siswa merasa kegiatan pembelajaran
yang mereka ikuti memiliki nilai, bermanfaat dan berguna bagi kehidupan
mereka. Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau apa yang akan
dipelajari ada relevansinya dengan kehidupan mereka, dan memiliki tujuan
yang jelas. Sesuatu yang memiliki arah tujuan, dan sasaran yang jelas serta
ada manfaat dan relevan dengan kehidupan akan mendorong individu untuk
mencapai tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas mereka akan mengetahui
kemampuan apa yang akan dimiliki dan pengalaman apa yang akan didapat.
Mereka juga akan mengetahui kesenjangan antara kemampuan yang telah
dimiliki dengan kemampuan baru itu sehingga kesenjangan tadi dapat
dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali (Gagne dan Driscoll, 1988:
140).
Dalam kegiatan pembelajaran, para guru perlu memperhatikan unsur relevansi
ini. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan relevansi dalam
pembelajaran adalah:
- Mengemukakan tujuan sasaran yang akan dicapai.
Tujuan yang jelas akan memberikan harapan yang jelas (konkrit) pada
siswa dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan tersebut
(DeCecco,1968: 162). Hal ini akan mempengaruhi hasil belajar mereka.

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 13


Indonesia
- Mengemukakan manfaat pelajaran bagi kehidupan siswa
baik untuk masa sekarang dan/atau untuk berbagai aktivitas di masa
mendatang.
- Menggunakan bahasa yang jelas atau contoh-contoh
yang ada hubungannya dengan pengalaman nyata atau nilai- nilai yang
dimiliki siswa. Bahasa yang jelas yaitu bahasa yang dimengerti oleh
siswa. Pengalaman nyata atau pengalaman yang langsung dialami
siswa dapat menjembataninya ke hal-hal baru. Pengalaman selain
memberi keasyikan bagi siswa, juga diperlukan secara esensial sebagai
jembatan mengarah kepada titik tolak yang sama dalam melibatkan
siswa secara mental, emosional, sosial dan fisik, sekaligus merupakan
usaha melihat lingkup permasalahan yang sedang dibicarakan
(Semiawan, 1991). (4) Menggunakan berbagai alternatif strategi dan
media pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan. Dengan
demikian dimungkinkan menggunakan bermacam-macam strategi
dan/atau media pembelajaran pada setiap kegiatan pembelajaran.
Komponen ketiga model pembelajaran ARIAS, interest, adalah yang
berhubungan dengan minat/perhatian siswa. Menurut Woodruff seperti dikutip
oleh Callahan (1966: 23) bahwa sesungguhnya belajar tidak terjadi tanpa ada
minat/perhatian. Keller seperti dikutip Reigeluth (1987: 383-430) menyatakan
bahwa dalam kegiatan pembelajaran minat/perhatian tidak hanya harus
dibangkitkan melainkan juga harus dipelihara selama kegiatan pembelajaran
berlangsung. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan berbagai bentuk dan
memfokuskan pada minat/perhatian dalam kegiatan pembelajaran. Herndon
(1987:11-14) menunjukkan bahwa adanya minat/perhatian siswa terhadap
tugas yang diberikan dapat mendorong siswa melanjutkan tugasnya. Siswa
akan kembali mengerjakan sesuatu yang menarik sesuai dengan
minat/perhatian mereka. Membangkitkan dan memelihara minat/perhatian
merupakan usaha menumbuhkan keingintahuan siswa yang diperlukan dalam
kegiatan pembelajaran.
Minat/perhatian merupakan alat yang sangat berguna dalam usaha
mempengaruhi hasil belajar siswa. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk
membangkitkan dan menjaga minat/perhatian siswa antara lain adalah:
- Menggunakan cerita, analogi, sesuatu yang baru,
menampilkan sesuatu yang lain/aneh yang berbeda dari biasa dalam
pembelajaran.
- Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi
secara aktif dalam pembelajaran, misalnya para siswa diajak diskusi
untuk memilih topik yang akan dibicarakan, mengajukan pertanyaan
atau mengemukakan masalah yang perlu dipecahkan.
- Mengadakan variasi dalam kegiatan pembelajaran
misalnya menurut Lesser seperti dikutip Gagne dan Driscoll (1988: 69)
variasi dari serius ke humor, dari cepat ke lambat, dari suara keras ke
suara yang sedang, dan mengubah gaya mengajar.
- Mengadakan komunikasi nonverbal dalam kegiatan
pembelajaran seperti demonstrasi dan simulasi yang menurut Gagne

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 14


Indonesia
dan Briggs (1979: 157) dapat dilakukan untuk menarik minat/perhatian
siswa.
Komponen keempat model pembelajaran ARIAS adalah assessment, yaitu
yang berhubungan dengan evaluasi terhadap siswa. Evaluasi merupakan suatu
bagian pokok dalam pembelajaran yang memberikan keuntungan bagi guru
dan murid (Lefrancois, 1982: 336). Bagi guru menurut Deale seperti dikutip
Lefrancois (1982: 336) evaluasi merupakan alat untuk mengetahui apakah
yang telah diajarkan sudah dipahami oleh siswa; untuk memonitor kemajuan
siswa sebagai individu maupun sebagai kelompok; untuk merekam apa yang
telah siswa capai, dan untuk membantu siswa dalam belajar. Bagi siswa,
evaluasi merupakan umpan balik tentang kelebihan dan kelemahan yang
dimiliki, dapat mendorong belajar lebih baik dan meningkatkan motivasi
berprestasi (Hopkins dan Antes, 1990:31). Evaluasi terhadap siswa dilakukan
untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang telah mereka capai.
Apakah siswa telah memiliki kemampuan seperti yang dinyatakan dalam tujuan
pembelajaran (Gagne dan Briggs, 1979:157). Evaluasi tidak hanya dilakukan
oleh guru tetapi juga oleh siswa untuk mengevaluasi diri mereka sendiri (self
assessment) atau evaluasi diri. Evaluasi diri dilakukan oleh siswa terhadap diri
mereka sendiri, maupun terhadap teman mereka. Hal ini akan mendorong
siswa untuk berusaha lebih baik lagi dari sebelumnya agar mencapai hasil
yang maksimal. Mereka akan merasa malu kalau kelemahan dan kekurangan
yang dimiliki diketahui oleh teman mereka sendiri. Evaluasi terhadap diri sendiri
merupakan evaluasi yang mendukung proses belajar mengajar serta
membantu siswa meningkatkan keberhasilannya (Soekamto, 1994). Hal ini
sejalan dengan yang dikemukakan Martin dan Briggs seperti dikutip Bohlin
(1987: 11-14) bahwa evaluasi diri secara luas sangat membantu dalam
pengembangan belajar atas inisiatif sendiri. Dengan demikian, evaluasi diri
dapat mendorong siswa untuk meningkatkan apa yang ingin mereka capai. Ini
juga sesuai dengan apa yang dikemukakan Morton dan Macbeth seperti dikutip
Beard dan Senior (1980: 76) bahwa evaluasi diri dapat mempengaruhi hasil
belajar siswa. Oleh karena itu, untuk mempengaruhi hasil belajar siswa
evaluasi perlu dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran. Beberapa cara yang
dapat digunakan untuk melaksanakan evaluasi antara lain adalah:
• Mengadakan evaluasi dan memberi umpan balik terhadap kinerja siswa.
• Memberikan evaluasi yang obyektif dan adil serta segera
menginformasikan hasil evaluasi kepada siswa.
• Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap diri
sendiri.
• Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap
teman.
Komponen kelima model pembelajaran ARIAS adalah satisfaction yaitu yang
berhubungan dengan rasa bangga, puas atas hasil yang dicapai. Dalam teori
belajar satisfaction adalah reinforcement (penguatan). Siswa yang telah
berhasil mengerjakan atau mencapai sesuatu merasa bangga/puas atas
keberhasilan tersebut. Keberhasilan dan kebanggaan itu menjadi penguat bagi
siswa tersebut untuk mencapai keberhasilan berikutnya (Gagne dan Driscoll,
1988: 70). Reinforcement atau penguatan yang dapat memberikan rasa

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 15


Indonesia
bangga dan puas pada siswa adalah penting dan perlu dalam kegiatan
pembelajaran (Hilgard dan Bower, 1975:561). Menurut Keller berdasarkan teori
kebanggaan, rasa puas dapat timbul dari dalam diri individu sendiri yang
disebut kebanggaan intrinsik di mana individu merasa puas dan bangga telah
berhasil mengerjakan, mencapai atau mendapat sesuatu. Kebanggaan dan
rasa puas ini juga dapat timbul karena pengaruh dari luar individu, yaitu dari
orang lain atau lingkungan yang disebut kebanggaan ekstrinsik (Keller dan
Kopp, 1987: 2-9). Seseorang merasa bangga dan puas karena apa yang
dikerjakan dan dihasilkan mendapat penghargaan baik bersifat verbal maupun
nonverbal dari orang lain atau lingkungan. Memberikan penghargaan (reward)
menurut Thorndike seperti dikutip oleh Gagne dan Briggs (1979: 1) merupakan
suatu penguatan (reinforcement) dalam kegiatan pembelajaran. Dengan
demikian, memberikan penghargaan merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk mempengaruhi hasil belajar siswa (Hilgard dan Bower, 1975:
561). Untuk itu, rasa bangga dan puas perlu ditanamkan dan dijaga dalam diri
siswa. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain :
- Memberi penguatan (reinforcement), penghargaan yang
pantas baik secara verbal maupun non-verbal kepada siswa yang telah
menampilkan keberhasilannya. Ucapan guru : “Bagus, kamu telah
mengerjakannya dengan baik sekali!”. Menganggukkan kepala sambil
tersenyum sebagai tanda setuju atas jawaban siswa terhadap suatu
pertanyaan, merupakan suatu bentuk penguatan bagi siswa yang telah
berhasil melakukan suatu kegiatan. Ucapan yang tulus dan/atau
senyuman guru yang simpatik menimbulkan rasa bangga pada siswa
dan ini akan mendorongnya untuk melakukan kegiatan lebih baik lagi,
dan memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya.
- Memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan
pengetahuan/keterampilan yang baru diperoleh dalam situasi nyata atau
simulasi.
- Memperlihatkan perhatian yang besar kepada siswa,
sehingga mereka merasa dikenal dan dihargai oleh para guru.
- Memberi kesempatan kepada siswa untuk membantu
teman mereka yang mengalami kesulitan/memerlukan bantuan.
2.3 Penggunaan Model Pembelajaran ARIAS
Penggunaan model pembelajaran ARIAS perlu dilakukan sejak awal, sebelum
guru melakukan kegiatan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran ini
digunakan sejak guru atau perancang merancang kegiatan pembelajaran
dalam bentuk satuan pelajaran misalnya. Satuan pelajaran sebagai pegangan
(pedoman) guru kelas dan satuan pelajaran sebagai bahan/materi bagi siswa.
Satuan pelajaran sebagai pegangan bagi guru disusun sedemikian rupa,
sehingga satuan pelajaran tersebut sudah mengandung komponen-komponen
ARIAS. Artinya, dalam satuan pelajaran itu sudah tergambarkan
usaha/kegiatan yang akan dilakukan untuk menanamkan rasa percaya diri
pada siswa, mengadakan kegiatan yang relevan, membangkitkan
minat/perhatian siswa, melakukan evaluasi dan menumbuhkan rasa
dihargai/bangga pada siswa. Guru atau pengembang sudah merancang urutan
semua kegiatan yang akan dilakukan, strategi atau metode pembelajaran yang

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 16


Indonesia
akan digunakan, media pembelajaran apa yang akan dipakai, perlengkapan
apa yang dibutuhkan, dan bagaimana cara penilaian akan dilaksanakan.
Meskipun demikian pelaksanaan kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan
situasi, kondisi dan lingkungan siswa. Demikian juga halnya dengan satuan
pelajaran sebagai bahan/materi untuk siswa. Bahan/materi tersebut harus
disusun berdasarkan model pembelajaran ARIAS. Bahasa, kosa kata, kalimat,
gambar atau ilustrasi, pada bahan/materi dapat menumbuhkan rasa percaya
diri pada siswa, bahwa mereka mampu, dan apa yang dipelajari ada relevansi
dengan kehidupan mereka. Bentuk, susunan dan isi bahan/materi dapat
membangkitkan minat/perhatian siswa, memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengadakan evaluasi diri dan siswa merasa dihargai yang dapat
menimbulkan rasa bangga pada mereka. Guru dan/atau pengembang agar
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti, kata-kata yang
jelas dan kalimat yang sederhana tidak berbelit-belit sehingga maksudnya
dapat dengan mudah ditangkap dan dicerna siswa. Bahan/materi agar
dilengkapi dengan gambar yang jelas dan menarik dalam jumlah yang cukup.
Gambar dapat menimbulkan berbagai macam khayalan/fantasi dan dapat
membantu siswa lebih mudah memahami bahan/materi yang sedang dipelajari.
Siswa dapat membayangkan/mengkhayalkan apa saja, bahkan dapat
membayangkan dirinya sebagai apa saja (McClelland, 1987: 29). Bahan/materi
disusun sesuai urutan dan tahap kesukarannya perlu dibuat sedemikian rupa
sehingga dapat menimbulkan keingintahuan dan memungkinkan siswa dapat
mengadakan evaluasi sendiri.
3. Hasil Percobaan di Lapangan
Model pembelajaran ARIAS telah dicobakan pada sejumlah siswa di dua
sekolah yang berbeda. Pertama model ini dicobakan kepada sejumlah siswa
kelas V dari sebuah sekolah dasar (SD) Negeri di Kota Palembang selama satu
caturwulan yaitu catur wulan III tahun ajaran 1995/1996. Sekolah ini diambil
sebagai sampel secara acak sederhana dari sejumlah SD negeri setara di Kota
Palembang yang memiliki kelas V paralel. Dari keseluruhan siswa SD ini
diambil 60 orang siswa kelas V sebagai sampel yang dikelompokkan ke dalam
empat kelompok, di mana masing-masing kelompok berjumlah 15 orang siswa.
Sampel siswa ini juga diambil secara acak sederhana. Percobaan
menggunakan metode eksperimen dengan rancangan faktorial 2 x 2. Untuk
memperoleh data yang diperlukan digunakan instrumen tes hasil belajar dan
kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data yang diperoleh
dianalisis dengan ANAVA—2 jalur dengan uji F pada taraf signifikansi a
= 0,05.
Percobaan kedua juga menggunakan metode eksperimen dengan rancangan 2
x 2 dilaksanakan di SD yang berbeda, yaitu sebuah SD negeri di Sekayu,
Kabupaten Musi Banyu Asin. Lama percobaan selama satu caturwulan yaitu
catur wulan II tahun ajaran 1996/1997. Jumlah sampel sebanyak 80 orang
siswa yang dikelompokkan ke dalam empat kelompok di mana masing-masing
kelompok berjumlah 20 orang siswa. Baik sampel SD maupun sampel siswa
diambil secara acak sederhana. Untuk memperoleh data yang diperlukan
digunakan tes motivasi berprestasi. Data yang diperoleh juga dianalisis dengan
ANAVA—2 jalur pada taraf signifikansi a = 0,05. Seperti halnya pada
percobaan pertama, pada percobaan kedua ini juga dilakukan uji persyaratan

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 17


Indonesia
analisis yaitu uji Lilliefors untuk normalitas dan uji Bartlett untuk homogenitas
data.
Apakah motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa yang mengikuti model
pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model
pembelajaran non-ARIAS. Untuk itu baik pada percobaan pertama maupun
pada percobaan kedua, siswa dikelompokkan ke dalam kelompok kontrol dan
eksperimen. Kegiatan pembelajaran pada kelompok eksperimen dilaksanakan
berdasarkan model pembelajaran ARIAS. Satuan pelajaran yang disusun
berdasarkan model pembelajaran ARIAS disusun/dikembangkan oleh penulis.
Pada kelompok kontrol kegiatan pembelajaran dilaksanakan berdasarkan
model pembelajaran non-ARIAS, dengan satuan pelajaran disusun oleh guru
kelas bersangkutan. Pada kedua percobaan ini dilakukan pengontrolan
validitas internal dan eksternal. Pengontrolan validitas internal adalah:
(1) Menyetarakan setiap kelompok pada awal percobaan dengan menganalisis
skor tes awal setiap kelompok untuk menghindari efek pemilihan subjek
yang berbeda;
(2) Menggunakan instrumen yang sama untuk tes akhir dan tes awal guna
menghindari efek perbedaan instrumen pengukur;
(3) Mengusahakan agar tidak ada subjek yang mengundurkan diri selama
penelitian berlangsung untuk menghindari efek kehilangan subjek dalam
percobaan;
(4) Memberikan perlakuan yang relatif singkat, untuk menghindari efek
pematangan dan efek tes awal. Pengontrolan validitas eksternal adalah:
1. Penentuan kelompok kontrol, kelompok eksperimen dan
pemilihan guru yang memiliki kualifikasi setara ditetapkan secara acak;
2. Suasana belajar, situasi kelas, dan kondisi setiap kelompok
semua sama seperti hari-hari belajar biasa, kecuali penggunaan model
pembelajaran ARIAS pada kelompok eksperimen, untuk menghindari efek
lingkungan yang dapat menyebabkan reaksi yang berlebihan dari siswa;
3. Selama percobaan siswa tidak diberitahu bahwa sedang ada
penelitian untuk menghindari efek Howthorne dan John Henry.
Hasil ANAVA menunjukkan bahwa pada percobaan pertama Fo=10,74 jauh
lebih besar dari Ft=4,02 pada taraf signifikansi a = 0,05, dan perbedaan rerata
skor antara kedua kelompok XA=78,80 > Xn-A=75,93 (Sopah, 1999: 120 -
121). Hasil ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti model
pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model
pembelajaran non-ARIAS. Pada percobaan kedua Fo=8,44 lebih besar dari
Ft=3,96 pada taraf signifikansi a = 0,05, dan perbedaan rerata skor antara
kedua kelompok adalah XA=18,55 > Xn-A=15,98 (Sopah,1998: 99-100). Hasil
ini menunjukkan bahwa motivasi berprestasi siswa yang mengikuti model
pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model
pembelajaran non-ARIAS.
Hasil kedua percobaan menunjukkan bahwa ada pengaruh model
pembelajaran ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar. Motivasi

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 18


Indonesia
berprestasi dan hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS
lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS.
4. Penutup
Dari hasil kedua percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model
pembelajaran ARIAS dapat digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif dalam
usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar. Meskipun
percobaan lapangan ini menunjukkan hasil positif namun kedua percobaan ini
memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:
Dari hasil kedua percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model
pembelajaran dapat digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif dalam usaha
meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar. Meskipun percobaan
lapangan ini menunjukkan hasil positif namun kedua percobaan ini memiliki
beberapa keterbatasan, yaitu:
- Percobaan ini dilakukan dengan mengambil sampel
salah satu SD negeri di Kota Palembang (percobaan pertama) dan satu
SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin (percobaan kedua).
Walaupun sampel ini diambil secara acak, namun jumlahnya sangat
terbatas, sehingga hasilnya belum tentu dapat digeneralisasikan ke
wilayah yang lebih luas. Untuk itu, perlu penelitian sejenis lainnya dengan
sebaran dan wilayah sampel yang lebih luas. Dengan dukungan hasil
penelitian sejenis ini maka diharapkan dapat merupakan bahan
pertimbangan penggunaan model pembelajaran ARIAS di Sekolah Dasar.
- Waktu yang digunakan untuk percobaan ini juga
terbatas. Percobaan hanya berlangsung selama satu catur wulan. Karena
waktunya terbatas, maka bahan atau materi yang diberikan juga terbatas,
belum begitu banyak. Meskipun dalam percobaan ini telah dilakukan
pengendalian secara cermat, namun karena terbatasnya waktu dan bahan
yang diberikan kemungkinan adanya pengaruh variabel lain yang tidak
terkendali dapat terjadi. Untuk itu, perlu adanya penelitian lanjutan yang
waktunya lebih lama, bahan/materi yang diberikan lebih banyak, sehingga
dapat lebih mencerminkan bahwa model pembelajaran ARIAS dapat
mempengaruhi hasil belajar siswa atau tidak.
- Bidang studi yang digunakan terbatas pada satu bidang
studi bahkan satu subbidang studi. Hasil baik yang diperoleh dalam
subbidang studi ini belum tentu memberikan hasil yang sama pada bidang
studi lain. Karena itu juga perlu adanya penelitian sejenis lainnya pada
berbagai bidang studi, sehingga dapat mencerminkan besarnya pengaruh
model pembelajaran ARIAS terhadap hasil belajar siswa.
- Dalam percobaan ini satuan pelajaran yang disusun
menurut model pembelajaran ARIAS, baik untuk pegangan guru maupun
sebagai bahan/materi bagi murid disusun oleh penulis. Satuan pelajaran
menurut model pembelajaran ARIAS ini dicobakan dan ternyata hasilnya
baik. Hasil baik ini mungkin perlu didukung oleh penelitian sejenis lainnya
di mana satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS disusun
oleh guru bersangkutan. Dengan demikian akan terlihat apakah memang
satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS yang disusun oleh

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 19


Indonesia
guru dengan berbagai macam keterbatasannya juga akan mencapai hasil
yang lebih baik.

Pustaka Acuan :
Beard, Ruth M. dan Senior, Isabel J. 1980. Motivating students. London:
Routledge and Kegan Paul Ltd.
Bloom, Benjamin S.1982. Human characteristics and school learning. New
York: McGraw-Hill Book Company.
Bohlin, Roy M. 1987. Motivation in instructional design: Comparison of an
American and a Soviet model, Journal of Instructional Development vol.
10 (2), 11-14.
Callahan, Sterling G. 1966. Successful teaching in secondary schools.
Chicago: Scott, Foreman and Company.
Davies, Ivor K. 1981. Instructional technique. New York: McGraw Hill Book
Company.
DeCecco, John P. 1968. The psychology of learning and instructions:
Educational psychology. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Laporan EBTANAS SD.
Palembang: Depdikbud Kodya Palembang.
Dick, Walter dan Reiser, Robert A. 1989. Planning effective instruction. Boston:
Allyn and Bacon.
Gagne, Robert M, dan Briggs, Leslie J. 1979. Principles of instructional design.
New York: Holt, Rinehart and Winston.
Gagne, Robert M. dan Driscoll, Marcy P. 1988. Essentials of learning for
instruction. Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall, Inc.
Hendorn, James N. 1987. Learner interests, achievement, and continuing
motivation in instruction, Journal of Instructional Development, Vol. 10
(3), 11-14.
Hilgard, Ernest R. dan Bower, Gordon H. 1975. Theories of learning.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Hopkins, Charles D. dan Antes, Richard L. 1990. Classroom measurement and
evaluation. Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc.
Keller, John M. 1983. Motivational design instruction dalam Charles M
Reigeluth (ed.), Instructional design theories and models, 383-430.
Hillsdale, NJ.: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
________ 1987. Development and use of ARCS model of instructional design,
Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 2-9.

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 20


Indonesia
Keller, John M. dan Thomas W. Kopp. 1987. An application of the ARCS model
of motivational design, dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional
theories in action, 289-319. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates, Publishers.
Lastri, M.T.F. 1993. Kemampuan murid SD memprihatinkan, Kompas, 14 Juli,
12.
Lefrancois, Guy R. 1982. Psychology for teaching. Belmont, CA: Wadsworth
Publishing Company.
McClelland, David C. 1987. Memacu masyarakat berprestasi. Terjemahan
Siswo Suyanto dan W.W. Bakowatun. Jakarta: CV. Intermedia.
Morris, William (ed) 1981. The American heritage dictionary of English
language. Boston: Houghton Miflin Company. Petri, Herbert L. 1986.
Motivation: Theory and research. Belmont, CA: Wadsworth Publishing
Company.
Prayitno, Elida 1989. Motivasi dalam belajar. Jakarta: PPPLPTK.
Reigeluth, Charles M. dan Curtis Ruth V. 1987. Learning situations and
instructinal models, dalam Robert M. Gagne (ed.), Instructional
technology foundations, 175-206. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates, Publishers.
Semiawan, Conny R. 1991. Strategi pembelajaran yang efektif dan efisien
dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto (ed.), Mencari strategi
pengembangan pendidikan nasional menjelang abad XXI, 165-175.
Jakarta: Grasindo. Soekamto,
Toeti 1994. Evaluasi diri demi peningkatan mutu pendidikan. Pidato
pengukuhan guru besar tetap Fakultas Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta, 30 Juli.
Sopah, Djamaah 1998. Studi tentang model peningkatan motivasi berprestasi
siswa, Laporan penelitian. Palembang: Lembaga Penelitian Universitas
Sriwijaya.
________ 1999. Pengaruh model pembelajaran ARIAS dan motivasi
berprestasi terhadap hasil belajar siswa, Disertasi. Jakarta: PPS-IKIP
Jakarta.
Suryabrata, Sumadi 1982. Psikologi pendidikan: Materi pendidikan program
bimbingan konseling di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Depdikbud.

Harry D. Fauzi – Komunitas Guru Bahasa Sastra dan Seni 21


Indonesia

Anda mungkin juga menyukai